Jurnalis Independen: Jika Ulil Abshar Abdalla adalah "Pendekar Agama Liberalis", maka sebutan yang tepat bagi seniman Hanung Bramantyo yang banyak digandrungi masyarakat negeri mayoritas berpenduduk muslim ini layak mendapatkan julukan sebagai "Nabinya Agama Liberal". Suami Zaskiah Mekkah ini telah dengan "sukses" menuangkan keahliannya pada "film Tanda Tanya" dengan menggambarkan Islam sebagai sebuah agama yang menentang HAM, tidak toleran, kasar, teroris, bodoh dan seabrek predikat jelek lainnya.
Entah Bramantyo sang sutradara "Tanda Tanya", pernah baca koran, nonton tv, atau bergaul dalam masyarakat seperti layaknya manusia yang lain? Sehingga dirinya tidak mengetahui kenyataan hidup masyarakat negeri ini, lebih-lebih mengenai Islam. Sehingga dirinya berani menggambarkan Islam dalam Film "Tanda Tanya" seperti itu. Bila membenci Islam dan menggambarkan Islam seperti yang ada di "Tanda Tanya", mengapa Hanung Bramantyo mengaku dan tetap memeluk Islam sebagai agama? Layakkah Pelecehan dan penghinaan ini dibiarkan begitu saja termasuk dengan tetap beredarnya "Tanda Tanya?"
Hari
Rabu 13 April 2011 pukul 15.10, penulis berkesempatan menonton film
“?”(Tanda Tanya) di Jakarta Theater. Awalnya, saya selaku Direktur
Lembaga Kajian Islam dan Arab (LemKIA) Universitas Islam As-Syafi’iyah
yang juga anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI, ditunjuk oleh
Rektor UIA Ibu Prof. DR. Hj. Tutty Alawiyah AS (Ketua MUI bidang
Advokasi Perempuan dan Perlindungan Anak), untuk mewakili beliau
memenuhi undangan pimpinan MUI menonton film yang kontroversial itu.
Tampak hadir beberapa pimpinan yang saya kenal, Slamet Efendi Yusuf
(Ketua MUI Bidang Kerukunan Umat Beragama), Ichwan Syam (Sekjend MUI),
KH. Muhyiddin Junaidi (Ketua MUI Bidang Kerjasama Luar Negeri), dan
lain-lain. Nonton Bareng (nobar) unsur pimpinan MUI itu sendiri adalah
keputusan musyawarah rapat pimpinan MUI sehari sebelumnya pada 12 April
menyusul desakan dan masukan para tokoh dan masyarakat luas kepada MUI
untuk menanggapi resmi terhadap konten film tersebut. Para pimpinan MUI
sepakat bahwa agar tidak salah menanggapi maka harus menonton terlebih
dahulu secara utuh dan bukan atas dasar informasi setengah-setengah.
Duduk di kursi deretan D no. 9, sedari awal saya sudah penasaran. Dan
sejak detik pertama tayang, saya terus khusuk memperhatikan dan
mencatat setiap kalimat, gerak, adegan dan cuplikan gambar yang
ditampilkan.Hampir tak ada satu cuplikan pun yang luput dari perhatian
dan kepekaan saya, insya Allah.
Kesan umum yang ditampilkan film besutan sutradara Hanung Bramantyo
dari awal sampai akhir adalah fakta yang disodorkan kepada penonton
bahwa Islam dus umatnya adalah agama yang kasar, penuh dengan sikap
picik dan kebodohan, intoleran, eksklusif, rasis, suka anarkisdan bahkan
menebar terror!
Citra Islam dan umatnya betul-betul babak belur ditampilkan oleh sang
sutradara film. Sementara agama dan etnis tertentu (dalam hal ini
Katolik dan etnis China) diangkat setinggi langit dan digambarkan
sebagai penuh kesantunan, kesabaran, pengertian, penuh kasih, toleran
dan sering (tentu saja) jadi korban kekerasan umat Islam.
Adegan pembukanya saja, yang berupa penusukan terhadap seorang pastur
gereja katolik sesaat sebelum kebaktian di halaman gereja, sudah
menebarkan fitnah dan kesan kuat bahwa umat Islam adalah otak pembunuhan
itu. Adegan itu hanya menampilkan insidenpenusukan dan berita media
elektronik yang mengutip pernyataan pejabat (dalam hal ini Walikota
Semarang) bahwa insiden itu tak ada kaitannya dengan isu agama, alias
tindakan kriminal murni. Tanpa ada klarifikasi pengadilan, dalam cerita
itu,tentang motif insiden dan siapa pelakunya sama sekali. Namun, siapa
pun akan mudah berkesimpulan bahwa tuduhan itu diarahkan kepada muslim
apalagi itu dilakukan di Negara mayoritas beragama Islam. Kesan ini
sudah jadi rahasia umum, bung!
Stereotype Buruk Umat Islam
Alih-alih ingin mengirimkan pesan kuat dari film tentang pentingnya
kerukunan dan toleransi hidup umat beragama di tanah air. Justru alur
dan segmen cerita yang mengalir dalam film berdurasi 110 menit (dalam
hitungan saya) itu menyuguhkan penggambaran buruk alias stereotipikal
terhadap umat Islam, dan tak ketinggalan pula pendiskreditan atas
beberapa ajarannya.
Dalam film itu pimpinan dan pengikut Katolik digambarkan seindah dan
sebaik mungkin. Toleran dan bijak adalah sifat mereka. Ketika muncul
protes atas peran seorang muslim bernama Suryo dalam drama penyaliban
Yesus Kristus dalam perayaan jumat agung Paskah, tampil Romo katolik
yang membela peran tersebut dan meyakinkan jemaat yang protes. “Tak
pernah ada dalam sejarah, kehancuran iman disebabkan pementasan drama,
tapi hanya kebodohan lah yang jadi penyebab kehancuran iman”, tukas Sang
Romo. Bandingkan dengan sikap umat muslim yang digambarkan penuh
kebencian dan intoleran terhadap penganut agama lain, seperti tindakan
penusukan dan pengiriman paket bom Natal di dalam gereja saat misa malam
Natal.
Dengan cerdiknya pula, sang sutradara memang tak menampilkan pemuka
agama Islam yang arogan, intoleran dan menebarkan kebencian terhadap
penganut agama lain. Namun yang dimunculkan adalah sosok ustad pemuka
agama yang inklusif - pluralis dan bahkan mendukung aksi Suryo yang
memerankan Yesus Kristus dalam drama penyalibanitu. Tampak, pesan yang
ingin disampaikan adalah selayaknya tokoh muslim harus meniru sikap dan
pandangan ustad yang inklusif dan toleran itu.
Apalagi secara terbuka, sang ustad tidak keberatan sama sekali saat
menyaksikan Suryo tengah berlatih peran sebagai Yesus Kristus di dalam
masjid, yang sebenarnya itu adalah tindakan yang mengotori dan
melecehkan masjid sebagai symbol ketauhidan paling murni kepada Sang
Khaliq, Allah subhanahu wa ta’ala.
Di sisi lain, penganut Katolik yang murtad dari Islam (Rika)
ditampilkan sangat toleran dan inklusif. Buktinya, demikian sang
sutradara berimajinasi, ia tetap membiarkan anak semata wayangnya yang
bernama Abi sebagai muslim, memperhatikan aktifitas ibadahnya,
memasakkan sahur dan menuntunnya berniat puasa saat Ramadhan, dan bahkan
menyelenggarakan syukuran atas prestasi Abi yang berhasil khatam baca
Al-Qur’an 30 juz dengan membagikan sedekah dan kue kepada teman-teman
sekolah dan para orang tuanya.
Bandingkan dengan sikap ayah dan ibu Rika yang (digambarkan kuat)
telah memutuskan komunikasi karena kekecewaan dan protes mereka atas
pilihan murtad sang anak dari Islam. Juga sikap masyarakat sekeliling
Rika yang suka menudingnya telah mengkhianati Allah dan suka
menganggapnya rendah, sehingga saking seringnya ia diperlakukan seperti
itu Rika seperti jadi paranoid yang belum apa-apa langsung bereaksi
sensitif terhadap orang yang dijumpainya. Sekali lagi muslim dituding
dan digambarkan intoleran terhadap pilihan murtad seseorang dari agama
asalnya.
Lain pula cerita Tan Kat Sun, pemilik restoran Cina yang
menghidangkan Babi disamping ayam, daging sapi dan lainnya. Si majikan
Menukini, muslimah berjilbab yang bekerja sebagai pramusaji restoran,
demikian pula isterinya ditampilkan sangat toleran dan inklusif kepada
para pramusaji dan tukang masaknya yang rata-rata muslim. Para
pegawainya itu diberikan kebebasan beribadah, dan dalam kondisi tertentu
bahkan mengingatkan pegawainya agar jangan telat dan lupa shalat.
Selain itu di bulan Ramadhan yang suci dan istimewa bagi umat Islam,
meski tetap buka di siang hari, ia mentradisikan menutup kedai makannya
itu dengan tirai dan kebijakan untuk tidak menjual hidangan Babi selama
bulan suci, dengan resiko sepinya pelanggan yang berdampak pada cash
flow. Itu semua demi menghormati umat muslim. Apalagi ditambah
kebiasaannya untuk memberi toleransi tinggi bagi para pegawainya untuk
cuti hingga H+ 5 lebaran.
Namun belakangan tradisi dan kebijakan itu dilanggar anaknya sendiri, Hendra, sehingga
menyebabkan aksi anarkis atas nama agama (berbau SARA) dengan para pelakunya
adalah kader-kader Banser ANSOR yang meneriakkan yel takbir, Allahu
Akbar, saat penyerangan terjadi. Di situ jelastergambar, etnis tertentu
ditampilkan sebagai korban kekerasan padahal mereka tolerandan damai,
dan lagi-lagi umat Islam jadi kambing hitam yang tertuduh!
Inilah yang saya istilahkan bahwa citra dan visualisasi umat Islam
betul-betul babakbelur, tak ada kebaikan sedikitpun. Jika pun ada, yaitu
satu-satunya, ialah adegan Soleh, suami Menuk yang jadi anggota Banser,
menyelamatkan jemaat misa Natal di sebuah gereja dari paket bom Natal.
Itu pun menurut saya, tak jelas klarifikasi identitas pengirim paket
bom, yang biasanya diarahkan kepada kelompok muslim. Ditambah kesalahan
fatal sutradara, alih-alih ingin menggambarkan tindakan heroik Soleh,
justru yang terjadi adalah mirip kejadian bunuh dirinya yang dengan
sengaja mendekap isi paket bom tersebut di halaman gereja.
Virus Liberal: Pro-Pluralisme Agama
Dalam film ini, propaganda dan kampanye pluralisme agama juga sangat
kental. Rika ditampilkan sebagai sosok yang ideal. Ia murtad dari Islam,
tapi toleran dan hiduprukun. Pada segmen lain, secara harfiah Rika
mengatakan, BAHWA agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda
tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Ia pun mengutip ungkapan
sebuah buku, “… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke
arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama,
yaitu Tuhan.” Lebih dari itu, di beberapa segmen lain, langkah Rika
yang memilih murtad dari Islam dipuja-puja sebagai “telah mengambil
langkah besar dalam hidup”, atau dikesankan “berubah untuk menjadi yang
lebih baik”, seperti beberapa kutipan kalimat Suryo dalam film itu.
Selain tidak mempersoalkan kemurtadan seseorang dari Islam, yang
dalam pandangan Islam ini adalah soal yang sangat besardan fundamental,
film ini juga hendak mengaburkan konsep agama dan Tuhan dalam
masing-masing agama.
Soal kemurtadan, beberapa ayat al-Quran menyebutkan bahaya dan resikonya dunia –
akhirat bagi seorang Muslim.
”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia
dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (QS 2:217).
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).
Jadi, kemurtadan adalah masalah besar dalam pandangan Islam. Tapi
sangat enteng dalam pandangan kaumpluralisdan liberalis! Tindakan murtad
semestinya bukan untuk dipertontonkan apalagi diidealkan dengan
embel-embel toleran dan suka kerukunan.Dalam perspektif Islam, patutkah
seorang bangga dengan kekafirannya?
Konsep Tuhan berikut nama dan sifat-sifat-Nya juga dibuat absurd dan
rancu. Contohnya pada segmen Rika, penganut Katolik muallafyang akan
dibaptis, saat diberikan tugas menjawab pertanyaan Romo katolik apakah
arti penting Tuhan Yesus dalam kehidupan anda? Ia menyatakan bahwa Tuhan
itu adalah Allah. Ia memiliki sifat Arrahman, sang maha kasih,
Almu’min, sang maha pemberi rasa aman, dst yang ia kutip dan ambil dari
Asmaul Husna dalam tradisi khas Islam.
Dalam Islam, hal ini tidak dapat dibenarkan. Konsep Tuhan berikut
nama dan sifat-Nya, lengkap dengan tata cara beribadah sesuai yang
dikehendaki Allah dari hamba-Nya dalam Islam telah tegas dan jelas dalam
tuntunan wahyu Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits Rasul. Ia tidak bisa
begitu saja dicampur aduk dengan konsep ketuhanan dalam agama lain yang
tidak berbasis kepada wahyu yang otentik dan final dari Allah subhanahu
wa ta’ala, seperti penjelasan verbatim dan praktek visual yang
dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw kepada ummat. Ini, hemat saya,
bisa dikategorikan penodaan terhadap ajaran Islam, dan juga barangkali
akan dinilai sama oleh kalangan Katolik yang menolak pencampuradukan
konsep agama dan Tuhan dalam agama mereka dengan Islam.
Walhasil, film ini sarat dengan pesan dan kampanye pluralisme agama
yang secara resmi MUI telah memfatwakan bahwa haram hukumnya bagi umat
Islam untuk menganut
dan memeluk pandangan semacam itu.
Pelecehan terhadap Syariat Islam
Tak hanya sebatas wacana pluralisme agama yang diusung film itu untuk
menikam akidah Islam. Film “?” (Tanda Tanya)juga telah memperolok-olok
syariat Islam yang abadi dan universal, sehingga dikesankan merendahkan
perempuan, intoleran dan anti-HAM, dan penetapan standar halal-haramnya
makanan yang abai terhadap ‘kelezatan’lidah. Setidaknya hal ini
tersingkap dari kesan implisit yang dimunculkan scenario film itu dalam
tiga aspek syariah:
Pertama,dalam kisah flash back Rika digambarkan bahwa ia kecewa terhadap aturan
Islam yang melegalkan praktek poligami. Saat suaminya bersikeras ingin
berpoligami, Rika menolaknya dan bahkan lebih memilih cerai dari
suaminya yang tetap ingin mempertahankan Rika sebagai istri namun
dimadu. Selain itu ada kesan bahwa alasan syariat inilah yang memicu
Rika menukar agamanya menjadi Katolik.
Penilaian saya itu cukup beralasan, sebab sejauh yang saya amati
tidak ada alur kisah lain di luar hikayat poligami itu yang melatari
perpindahan agama Rika. Saya berusaha mencari-cari kemungkinan ada kisah
lain yang ditampilkan sutradara untuk melatari penyebab ia murtad dari
Islam. Namun usaha saya sia-sia, sebab satu-satunya tayangan flash back
hanyalah kisah poligami suaminya yang ia tolak.
Olok-olok terhadap syariat poligami dalam Islam dimunculkan secara
tersirat, apalagi dalam Katolik (agama baru yang dipilih Rika), poligami
dilarang. Sehingga ia merasa nyaman dengan ajaran itu dan (mungkin)
karena sebab itu lah ia murtad dari Islam dan memilih Katolik. Sebab
dalam Kristen, secara umum, pernikahan harus ‘monogami’karena doktrin
Bible yang menyatakan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang
rusuk laki-laki (Adam).
Oleh sebab itu jangankan poligami, perceraian pun diharamkan dalam
Kristen karena konsep pernikahan mereka adalah hanya satu istri/suami
dan untuk selamanya. Berbeda dengan konsepsi Islam yang membolehkan
poligami sesuai ketentuan dan syarat yang berlaku, dan juga menghalalkan
talak/cerai yang diungkapkan Rasulullah sebagai “tindakan halal yang
paling dibenci oleh Allah”.
Kedua,syariat Islam yang melarang perkawinan campur (beda) agama, terutama untuk
muslimah kawin dengan pria non-muslim, disinggung juga dalam film itu
secara halus sekali. Sehingga bagi penonton yang tidak jeli dan peka
terhadap setiap kalimat di adegan-adegan film itu tak akan merasakan
kejanggalan tersebut.
Pelecehan dan olok-olok terhadap syariat Islam itu tersingkap dari
ungkapan curhat Hendra, putra Tan Kat Sun, yang sempat menjalin hubungan
asmara dengan Menuk. Saat itu, Hendra yang curhat kepada mamanya,
menyesalkan sikap Menuk yang lebih memilih Soleh, lelaki yang seagama
dengan Menuk hanya karena alasan iman. Ia bertutur begini: “…(saya
kecewa) bayangkan mi, si Menuk lebih memilih lelaki lain dan bukan aku
hanya karena lelaki itu konon taat beragama (seagama)..”, yang saya
tangkap adalah karena seagama seakidah.
Sikap Menuk ini tentu saja telah sesuai dengan tuntunan syariat Islam
yang melarang muslimah menikah dengan lelaki non-muslim. Soal ini
Al-Qur’an telah dengan gamblang menjelaskan hukumnya dalam dua ayat
yaitu Q.s. Al-Baqarah: 221 dan Al-Mumtahinah: 10. Juga diperkuatlagi
oleh Ijma’ para ulama dari seluruh mazhab dalam Islam. Sikap tegas
syariat Islam yang melarang perempuan muslimah kawin dengan non-muslim
ini lah yang kerap jadi bulan-bulanan kaum liberal.
Mereka pun menuding aturan semacam itu intoleran terhadap agama lain
dan juga bertentangan dengan HAM yang menjamin seseorang untuk menjalin
hubungan dan menikah dengan orang yang dicintainya tanpa sekat agama dan
etnis. Naifnya, film ini ikut termakan bualan dan ejekan kaum liberal
yang suka mempersoalkan ajaran syariah yang sudah baku dan permanen.
Ketiga,secara vulgar adegan dan kalimat di film itu
juga terselip kampanye pro babi, jenis hewan yang diharamkan
mengkonsumsinya oleh Al-Qur’an bagi umat Islam. Dalam ungkapan Tan Kat
Sen, dinyatakan “…kalo masak babi lu gak perlu pake bumbu banyak-banyak,
karena dagingnya udah gurih. Beda sama ayam, daging sapi, atau cumi,
kamu harus royal sama bumbu supaya enak..!” disitu terselip upaya
olok-olok terhadap syariat Islam yang mengharamkan babi tanpa alasan
jelas, padahal rasanya gurih dan lezat.
Bukan sekedar itu, film ini dengan berbagai sorotan vulgarnya juga
hendak menggiring opini penonton muslim agar mengakrabi babi dan tidak
perlu menjauhinya, apalagi menganggapnya menjijikkan. Apakah artinya ini
jika bukan memperolok-olok standar dan jenis makanan yang halal dan
haram dalam pandangan Islam?
Namun, patut disayangkan film yang disutradari seseorang yang mengaku
muslim dan didanai oleh Mahaka Pictures, anak perusahaan Mahaka Group
milik Erik Tohir yang menguasai mayoritas saham Republika, Koran
nasional terbesar milik umat Islam, justru terseret arus ikut
memperolok-olok beberapa aspek syariat Islam, entah itu disengaja atau
tidak.
Kesimpulan
Banyak sekali ditemukan kejanggalan yang sempat saya rekam, seperti terungkap dalam fakta di atas. Sehingga hemat saya film ini tidak layak ditonton oleh umat Islam, karena banyak sekali hal-hal prinsipil dalam ajaran Islam yang dilecehkan sengaja atau tidak sengaja- di dalam film itu.
Jika sedari awal film itu mengklaim terinspirasi dari kejadian yang
sebenarnya seperti terpampang besar di awal screen, maka patut
dipertanyakan kesesuaian dengan fakta sesungguhnya di lapangan.
Padahal dilapangan, banyak pekerja muslim yang tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk melaksanakan ibadah di tempat mereka bekerja, bahkan tidak diperbolehkan Sholat pada waktunya. Cuti haid, chek aja sendiri pada aturan perusahaan. Pekerja di restoran yang tergambar pada Tanda Tanya, itu hanya bualan Hanung Bramantyo yang tidak pernah merasakan menjadi pelayan di sebuah restoran. Mengharapkan Masjid sebagai latihan drama terkait dengan penyaliban Yesus (Nabi Isa as Palsu) adalah impian para salibis dan zionis. Sedangkan keinginan menundukkan Alquran dan Hadits kepada HAM, jelas-jelas merupakan perbuatan iblis! Jelasnya, seluruh isi Tanda Tanya merupakan propaganda anti, pembunuhan islam secara terang-terangan sekaligus sebagai penyerangan dan pengaburan Aqidah Ummat islam khususnya di Indonesia oleh Hanung Bramantyo begundal Liberal (bagi islam tapi bagi yang anti islam) Hanung Bramantyo Nabinya Liberal.
Prof.
Tutty Alawiyah (Rektor UIA dan Ketua MUI) yang datang saat film telah
diputar beberapa menit, ketika saya tanyakan apa kesan dan rekomendasi
beliau setelah menyaksikan langsung film itu?, Ia menyatakan bahwa,
“isinya terlalu dipaksakan, makna pluraljadi kaburkarena faktanya hampir
susah putri muslimah cari kerja dan diterima di resto Chinese food yang
menjual hidangan babi.
Misi pesan agama juga amburadul, disitu Islam ditonjolkan secara
negatifsebagai agama teroris, kasar, menohok dan membenci orang, suka
memaki. Apalagi murtad dari Islam dianggap berubah kepada yang lebih
baik. Gereja terkesan sangat penuh danumat Islam seadanya. Walhasil film
ini adalah propaganda menyudutkan Islam dan umat Islam. Ustadz
digambarkan bodoh, sedangkan Romo Pastur bijaksana. Peran perempuan yang
murtad tajam sekali kata-katanya dan sikapnya mengganti agama dianggap
hal remeh”.
Beliau pun mengakhiri komentarnya dengan suatu harapan dan permintaan
kepada yang berwenang agar film itu ditarik dari peredaran karena jauh
dari fakta sebenarnya.Saya pun mengamini dan meminta hal yang sama. Amat
miris menyaksikan Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini selalu
ditampilkan misleading, dan dilecehkan secara sistematis. Itu semua
dilakukan atas klaim rapuh kreatifitas seni dan kebebasan berekspresi.
Suatu hal yang tak akan dijumpai di belahan dunia manapun di negeri
muslim lainnya. Ironis bukan?! Allahumma inni qad ballaghtu, Allahumma fasyhad.Oleh: Fahmi Salim, MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar