Rabu, 22 Februari 2012

Leonardus Benyamin Moerdani Patriot Sejati Mengaku Penerima Mahkota Kebenaran Tuhan

Jurnalis Independen: Itulah keyakinan Leonardus Benyamin Moerdani, seorang prajurit yang tidak pernah sekejap pun mengingkari tanggung jawab kebangsaannya sebagai patriot sejati. Benny Moerdani, begitu ia biasa dipanggil, memang sosok tentara yang profesional, dalam sikap dan tindakannya memberi penegasan bahwa pengabdian kepada bangsa dan negaranya tidak pernah ada batas akhirnya.
Pada suatu pagi sambil minum kopi di lobi sebuah hotel kami berbicara soal-soal pribadi. '"Har, sebagai orang minoritas, kita harus kerja ekstra keras agar dapat pengakuan sewajarnya," kata beliau. Apa ini suatu obsesi ataukah motivasi, tidak pernah saya telusuri.

"Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya…" (2 Tim 4:7-8). 

Kutipan ayat suci Injil ini agaknya baik menjadi pembuka obituari Pak Benny sesuai dengan yang diimaninya. Dan, dalam hal ini seiring pula dengan pesan orang-orang tua agar kita yang hidup bersedia mendem jero, mengubur dalam-dalam, sanak dan kadang atau siapa saja yang meninggal beserta seluruh kesalahannya, maka yang tertinggal di antara kita pun gondo arum, bau wangi.

Beliau memang prajurit tempur TNI par excellence. Dan, karena sifat pribadi beliau yang pendiam dan tertutup serta akurat dan cerdas di dalam bekerja, maka sewaktu mendapat tugas sebagai perwira intelijen beliau dianggap sebagai pakar yang mumpuni di bidang ini. Untuk tugas kedua-duanya ini, L B Moerdani menjadi pemimpin yang diteladani.

Dengan itu pula saya ingin mengatakan bahwa beliau itu, yaitu Leonardus Benjamin Moerdani, dalam catatan hidupnya selama 72 tahun, tampak jelas sejak usia 14 tahun tidak pernah sekejap pun mengingkari tanggung jawab kebangsaannya sebagai patriot sejati, "nasionalis 24 karat". Melakukan segala tugasnya, beyond the call of duty, melampaui panggilan tugasnya.

Benny Moerdani banyak dihormati karena selama masih aktif bertugas terkenal sebagai loyal terhadap tugas dan fungsinya, menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa dan negaranya, tidak memikirkan dirinya, tidak kenal waktu jeda, menghadang satu peristiwa ke peristiwa yang lain, agar semua selesai saat itu juga, tidak ngambra-ambra. Tuntas. Beres. Selesai. Sempurna. Selanjutnya, tugas lain sudah menunggu.

Namanya mulai tercatat di dalam ingatan saya, karena cerita-cerita di dalam memimpin Operasi Naga, pembebasan Irian Barat. Kapten Benny, yang kemudian diangkat sebagai Mayor, memimpin pasukan yang sebesar satuan brigade di hutan belantara di sekitar Merauke. Mayor dr Ben Mboi adalah perwira Wamil yang menyertai penerjunan itu juga.

Kemudian saya lebih mengenal beliau sewaktu saya menyertai Saudara Julius Pour menulis biografinya yang berjudul: L.B. Moerdani-Profil Prajurit Negarawan. L B Moerdani memang prajurit TNI yang semenjak muda belia turut serta dalam operasi-operasi militer, besar maupun kecil untuk menegakkan kedaulatan negara RI. Perannya selalu menonjol, terutama di dalam medan pertempuran.

Beliau memang prajurit tempur TNI par excellence. Dan, karena sifat pribadi beliau yang pendiam dan tertutup serta akurat dan cerdas di dalam bekerja, maka sewaktu mendapat tugas sebagai perwira intelijen beliau dianggap sebagai pakar yang mumpuni di bidang ini. Untuk tugas kedua-duanya ini, L Benny Moerdani menjadi pemimpin yang diteladani.

Loyal pada Atasan dan Bawahan
Banyak orang yang berpendapat bahwa Benny Moerdani orangnya dingin, tertutup, dan angkuh. Tetapi, sebenarnya di dalam lubuk hatinya yang terdalam beliau adalah orang yang hangat, peduli, dan pemerhati orang sekitarnya. Seorang prajurit yang sangat loyal pada atasannya, tetapi sekaligus juga loyal pada anak buahnya. Benny sangat tinggi kesetiakawanannya, terutama bagi yang lemah.

Sebagai pengemban tugas negara berhubungan antara bangsa dan negara, Pak Benny dapat membawakannya dengan piawai dan penuh kehangatan, keakraban, namun tetap terhormat. Hampir di setiap negara Pak Benny bertugas, selalu terjalin hubungan yang akrab, hangat dan dipercaya oleh counter-part-nya, baik di kalangan sipil, politisi maupun militer. Tetapi kalau ada persoalan yang benar menyentuh martabat, kedaulatan negaranya, beliau dapat meledak dan membuat orang terperangah.

Dengan berakhirnya era kekuasaan Presiden Soeharto, banyak generasi muda sekarang ingin mengetahui apakah LB Moerdani pada waktu sekarang ini pro pada civilian rule apa tidak? Persepsi dan sikap kalangan militer dan kekuatan-kekuatan politik sipil mengenai perkembangan politik dan proses demokratisasi merupakan komponen penting dari wacana negosiasi demokrasi yang sedang berlangsung. 

Dari wacana dan diskusi-diskusi yang mencuat di permukaan tampak bahwa di samping ada beberapa kesamaan, juga terlihat jelas perbedaan cara pandang mengenai posisi dan peran masing-masing. Yang terang selama ini pandangan Angkatan 45 terhadap dikotomi sipil dan militer itu memang, tidak tegas hitam putih, akan tetapi yang saya tahu pasti bahwa pada waktu Pak Benny ada di puncak pimpinan TNI, waktu itu, dia tegas-tegas menolak tentara dilibat-libatkan pada politik praktis.

Akan hal ini, kawan-kawan seangkatannya, baik dari kalangan tentara sendiri maupun dari kalangan kawan-kawan sipil, menyayangkan pendapat Benny Moerdani itu karena merupakan sterilisasi tentara dari bidang politik. Dan, oleh karena pada waktu itu pemimpin tertinggi (Pak Harto) adalah seorang militer, maka ABRI yang steril sedemikian ini akan mudah diperalat oleh penguasa tertinggi itu (pemerintah).

Pengabdian Tanpa Akhir
Pernah pada waktu saya menulis obituari terhadap Jenderal Simatupang saya kemukakan pendapatnya bahwa ABRI akan tidak berhasil dalam mendewasakan proses demokratisasi bangsa Indonesia kalau masih adanya komando teritorial (koter) dan sistem teritorial. Pak Benny tidak sependapat dengan mengatakan bahwa isi konsep dan pelaksanaan dari koter sekarang ini adalah lain dengan apa yang dimaksud oleh Jenderal Simatupang. Apa komando teritorial itu? Sekarang ini menjadi perdebatan lagi.

Pak Benny memang sosok tentara yang profesional, dalam sikap dan tindakannya memberi penegasan bahwa pengabdian kepada bangsa dan negaranya tidak pernah ada batas akhirnya. Keprofesionalannya juga ditandai dengan penghargaannya yang tinggi pada kecerdasan, tidak hanya untuk kalangan militer saja, tetapi juga di kalangan sipil. Adalah Pak Benny yang mendirikan sekolah Taruna Nusantara, yang dimaksudkan untuk menggodok anak-anak setingkat SMA untuk menghasilkan kader-kader bangsa dan pemimpin-pemimpin nasional yang tangguh dan berkepribadian.

Pak Benny, di luar tugasnya, menyediakan dan mengusahakan adanya beasiswa untuk kalangan sipil. Di luar dinas kemiliterannya, Pak Benny selalu bergaul dengan wartawan, intelektual, dan politisi, dan menghadiri seminar-seminar baik di dalam dan di luar negeri, terutama yang diselenggarakan oleh CSIS. Setelah pensiun, Pak Benny secara formal menjadi anggota Dewan Direktur CSIS sebagaimana juga Hasnan Habib, Abdurrahman Wahid (waktu itu), dan M Sadli, Fikri Jufri, Sabam Siagian, dan lain-lain.

Akhirnya, untuk Pak Benny, mari kita dendangkan macapatan maskumambang untuk mengantar kepergiannya ke haribaan yang Mahakuasa: Surem-surem pra Pandawa samya kingkin, Kruna wit sang lena; Prabu anom Pringgandani; Gugur ing Bharatayuda; Pra pandhita myang resi samya memuji; Kunjuk mring Hyang Suksma; Amrih suksmanya sang lalis; Tinampi ing swarga mulya. (Oleh Ki Royal Sudarna) 

Terjemahannya: Kesedihan menyelimuti para Pandawa, karena yang wafat Prabu Anom Pringgandani. Gugur dalam perang Bharatayuda. Dan, para pandita berdoa, dihaturkan kepada Yang Ilahi, agar jiwa yang meninggal diterima di surga mulia.


Militer dan Intelijen Sejati
Mantan Panglima ABRI Jenderal (Pur) Leonardus Benyamin Moerdani meninggal dunia sekitar pukul 01.30 WIB Minggu 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot Soebroto. Mantan Menhankam dan intelijen kawakan kelahiran Cepu 2 Oktober 1932 ini sudah dirawat di rumah sakit tersebut sejak 7 Juli 2004 karena stroke dan infeksi paru-paru.

Jenazah disemayamkan di rumah duka Jalan Terusan Hang Lekir IV/43, Jakarta Selatan dan kemudian di Markas Besar TNI Angkatan Darat. Upacara penghormatan jenazah di Mabes AD dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu. Dimakamkan hari itu pula pukul 13.45 Wib di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dengan inspektur upacara Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Sedangkan upacara keagamaan dipimpin Pastur Suito Panito.

Penghormatan yang mengiringi kepergiannya sangat terasa khidmat. Bendera Merah Putih yang dibentangkan setinggi dada serta tembakan salvo mengiringi jenazah Seorang LB Moerdani ke liang lahat.

Para pelayat, mulai dari kerabat, sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara, baik sipil maupun militer, berduyun-duyun mengantarkannya dari kediaman di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, ke Mabes TNI Angkatan Darat hingga ke TMP Kalibata.

Mantan Presiden Soeharto didamping putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana, serta Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono yang didampingi istrinya, Kristiani Herawati melayat ke kediaman almarhum.

Sementara Presiden Megawati Soekarnoputri beserta suami, Taufik Kiemas, menghadiri upacara penghormatan terakhir dan serah terima jenazah mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) itu saat almarhum disemayamkan di Mabes TNI AD.

Saat disemayamkan di Mabes TNI AD, hadir mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) Letnan Jenderal Bibit Waluyo, sejumlah purnawirawan TNI, serta beberapa pejabat pemerintahan era Orde Baru, seperti Harmoko, Ali Alatas, dan Fuad Hassan.

Begitu pula di pemkaman, hadir sejumlah pejabat, mantan pejabat militer dan tokoh-tokoh lainnya, antara lain mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Edi Sudrajat, Des Alwi, Frans Seda dan sejumlah pengamat dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), seperti Harry Tjan Silalahi, Sofjan Wanandi, dan Mari Pangestu.

Sebagai rasa hormat kepada almarhum, Panglima TNI memerintahkan seluruh markas jajaran TNI di seluruh Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang selama tujuh hari, terhitung mulai 29 Agustus 2004. penghormatan itu diberikan mengingat jasa-jasa Benny kepada ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan negara.

Hari-hari sebelumnya sejumlah pejabat dan tokoh menjenguknya yang tengah dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) lantai 4 kamar bernomor 408 RSPAD sejak hari Selasa (6/7). Dia antara tokoh yang menjenguknya: Panglima TNI Jendral Endriartono Sutarto dan Taufik Kiemas.

L.B. Moerdani meninggalkan seorang istri, Hartini dan seorang putri, Irene Ria Moerdani serta lima orang cucu). Semasa menjabat Menhankam/Pangab, jenderal bintang empat ini sangat disegani di negeri ini. Pada saat menjabat Menhankam/Pangab, dia malah disebut-sebut sebagai orang nomor dua terkuat setelah Presiden Soeharto. Dia memang dikenal seorang jenderal yang tegas, sosoknya benar-benar militer sejati.

Prestasinya terukir sebagai penata organisasi intelijen di tubuh militer. Benny, demikian panggilan akrabnya, merupakan penggagas Badan Intelijen Strategis (Bais) pada 1983. Sebuah lembaga intelijen melengkapi lembaga serupa yang sudah ada yakni Badan Koordinasi Intelijen Negara (1969). Dia juga sukses mereorganisasi sejumlah komando daerah militer dan memodernisir peralatan TNI semasa menjabat Pangab.

Mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini juga sukses dalam sejumlah operasi militer. Di antaranya Operasi Seroja di Timor Timur pada 1975 dan Operasi Woyla 1981.

Dia juga dikenal sebagai negarawan yang dijuluki kalangan diplomat asing sebagai the only statesman in Indonesia.

Legendaris
Benny dikenang sebagai peletak modernitas ABRI. Banyak hal yang telah diperbuat LB Moerdani semasa hidupnya. Bukan hanya menjadikan lembaga intelijen berkembang secara profesional, tapi juga juga membangun persenjataan yang lebih modern, pendidikan, latihan dan kerja sama dengan negara lain di bidang pertahanan.

Dia figur berkepribadian kuat, memiliki profesionalitas militer yang sangat kental, sedikit bicara, tegas, dan tidak bertele-tele jika berbicara. Bahkan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayjen TNI Sudrajat menilai LB Moerdani sebagai jenderal legendaris dan disejajarkan dengan Jendral Sudirman, Jendral Nasution, dan Jendral Simatupang.

Menurut Sudrajat, selain punya karisma luar biasa, Beliau bisa membawa bangsa ini kepada suasana stabil, saling memahami, dan di tengah-tengah itu memformulasikan nilai-nilai demokrasi.

Anggota Dewan Kehormatan Harry Tjan Silalahi menilai LB Moerdani sebagai pahlawan, patriot sejati Indonesia. Sebab, ia selalu berjuang dan melaksanakan tugasnya untuk negeri ini melampaui apa yang diwajibkan. "Kita menamakannya Patriot 24 Karat," tuturnya kepada Kompas (30/8/2004)

Sofjan Wanandi berpendapat, LB Moerdani termasuk sosok militer yang berani mengkritik Soeharto, tetapi tetap menunjukkan loyalitasnya. "Dia juga menjadi korban ketika mulai tidak disukai Soeharto," ucapnya.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menilai mendiang sebagai seorang prajurit yang berdedikasi tinggi dan tidak pernah memikirkan hal lain, selain negara dan kesatuannya.

"Beliau seorang ksatria," kata Gus Dur sebagaimana ditulis dalam pengantar biografi LB Moerdani.

Namun, Gus Dur juga menulis, ternyata seorang LB Moerdani yang sedemikian perkasa masih mau diperintah untuk menjalankan kebijakan "petrus" (penembakan misterius). Kebijakan tersebut dijadikan semacam terapi kejut oleh pemerintahan Soeharto untuk mengurangi angka kejahatan.

"Muka Beliau setelah membaca tulisan saya seperti berubah jadi ’merah-biru’. Tapi kemudian Beliau mengatakan, 'Baik, dimuat’. Saya kemudian mendatanginya dan mengatakan, ’Saya paling senang berurusan dengan seorang ksatria’," ujar Gus Dur tentang itu.

Sosok Benny juga terbilang kontroversial. Selain banyak yang mengenangnya sebagai prajurit sejati, gagah dan prajurit negarawan, juga ada pihak yang mengenangnya dalam sosok lain.

Dia memang seorang jenderal yang meninggalkan banyak jejak semasa Orde Baru masih gagah perkasa. Pada masanya menjabat Panglima ABRI, dialah jendral yang banyak disebut paling berpengaruh setelah Pak Harto. Wajah sangarnya sering hadir di banyak peristiwa yang menonjol. Bahkan setelah Orde Baru tumbang, bayang-bayangnya masih banyak dalam pembicaraan politik.

Kebersamaannya dengan Pak Harto dimulai pada saat perebutan Irian Barat. Pada perang yang dikomandani Mayor Jenderal Soeharto itu, Mayor Benny yang memimpin Operasi Naga berhasil memimpin penyusupan.

Setelah itu, 1967-1974 Benny bertugas di luar negeri (Kuala Lumpur dan Seoul) sebagai diplomat. Di era akhir 1960-an hingga awal 1970-an itu, nama yang membayangi Pak Harto adalah mendiang Jenderal Ali Moertopo, yang juga salah satu mentor Benny di bidang intelijen.

Kemudian Benny diangkat sebagai pimpinan Satgas Intelijen Kopkamtib (1974). Kemudian menjabat asisten intelijen Hankam, dan kepala pusat Badan Intelijen Strategis (Bais) yang didirikannya. Hingga meraih posisi puncak menjabat Panglima ABRI sekaligus Panglima Kopkamtib sampai 1988.

Pada saat Benny menjabat Pangab itulah, terjadi Peristiwa Priok 1984. Benny kerap dianggap sebagai orang yang sengaja memojokkan golongan tertentu yaitu Islam. Namun, Benny membantahnya di hadapan para kiai Ponpes Lirboyo, Kediri, "Saya ingin menegaskan, umat Islam Indonesia tidak dipojokkan. Dan tidak akan pernah dipojokkan."

Kesetiaannya sebagai pembantu Presiden untuk menjaga "stabilitas nasional" memang tidak hanya menggetarkan kalangan aktivis muslim. Banyak separatis dan gerilyawan, seperti orang Timtim umumnya yang agamanya Katolik, juga mendapat tindakan tegas pada masa itu.

Namun kesetiaannya kepada Pak Harto tidak harus membungkuk-bungkuk seperti kebanyakan tokoh lain. Benny, konon, malah punya keberanian mengingatkan Pak Harto agar putra-putrinya dikendalikan. Walaupun hal itu harus berakibat hubungannya dengan sang jenderal besar tersebut merengggang.

Apalagi, seperti ditulis Kivlan Zen, Benny dianggap berambisi menduduki kursi wakil presiden pada Sidang Umum MPR 1988. Berakibat Pak Harto marah dan memberhentikan Benny dari Jabatan Panglima ABRI beberapa hari sebelum SU MPR dimulai. 

Sehingga Benny pun kehilangan kendali terhadap Fraksi ABRI di DPR/MPR. Hal ini disikapi Brigjen Ibrahim Saleh, dengan interupsi menolak Sudharmono sebagai Wapres. Brigjen Ibrahim Saleh pun dipecat. Pada masa itu, interupsi dianggap suatu keberanian luar biasa yang dianggap penguasa ibarat ledakan bom dalam suasana 'stablilitas nasional' yang tenang.

Kisah Dua Prajurit
Soeharto membenci sekaligus menyayangiBenny Moerdani. Lama terputus, hubungan keduanya pulih setelah lengsernya sang Presiden.

"Biar jenderal atau menteri,yang bertindak inkostitusional akan saya gebug!" Kata-kata itu meluncur dari mulut Soeharto di atas pesawat kepresidenan, pertengahan 1989. Ketika itu dia dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia.

Soeharto tak menyebut nama tapi publik tahu siapa yang dimaksud. Leonardus Benyamin Moerdani. Di akhir 1980-an sang Presiden memang sedang sengit-sengitnya kepada Benny. Bawahan yang paling dia percaya itu berani menganjurkan dia untuk tidak lagi menjadi presiden serta menentang anak-anaknya.

Itulah isu yang berkembang. Mayjen (Pur)Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad, malah mengatakan Benny ingin melakukan kudeta. Informasi ini yang menurut Kivlan dilaporkan Prabowo Subianto kepada mertuanya yang berujung pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang Umum MPR 1988.

Benny tegas-tegas membantahnya. "Bagi saya seorang prajurit yang pernah melawan pemimpin tertingginya berarti sudah cacat seumur hidupnya," katanya kepada Brigjen (Pur) FX Bachtiar yang menanyakan hal itu.

Kata-kata Benny itu dikutip Bachtiar dalam artikelnya di biografi "LB MoerdaniPengabdian Tanpa Akhir" yang terbit Desember 2004. Puluhan sahabat dan kenalan yang ikut menuliskan pengalaman mereka mengatakan Benny seorang loyalis. Ucapan Benny kepada Letjen (pur) Sofian Effendy menggambarkan hal itu: "Soeharto adalah guru saya. Dia yang membesarkan saya.

Membesarkan? Ya. Mereka berkenalan dalam Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat pada 1961. Soeharto, sang Komandan, mengagumi keberanian Kapten Benny yang ketika itu memimpin Pasukan Naga. Mereka kembali bertemu pada 1965 kala Benny ditempatkan di satuan intelijen Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang dipimpin Soeharto.

Hubungan mereka kian dekat. Setelah berkuasa, pada 1974 Soeharto mengangkat Benny menjadi Kepala Perwakilan RI di Seoul, Korea Selatan. Tapi Benny sering meninggalkan posnya karena punya tugas "sampingan": mengawal Soeharto dalam berbagai lawatan ke luar negeri. Lakon pengawal tak resmi ini dia jalankan hingga bertahun-tahun.

Saking percayanya, Pada 1975 Soeharto menunjuk Benny memimpin Operasi Seroja ke Timor Timur. Dan Benny sukses. Enam tahun kemudian, dia ditugaskan memimpin pasukan Kopasandha membebaskan pesawat GadudaWoyla DC-9 yang dibajak di Bandar Udara Don Muang, Thailand. Ada yang mengatakan itu rekayasa Soeharto agar bisa mendongkrak pangkat Benny.

Benar atau tidak, yang pasti sejak itu karir Benny maju pesat. Puncaknya ketika Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988). Tapi, laporan Prabowo membuat Soeharto marah dan "memensiunkan" anak emasnya itu lebih awal.

Mantan dokter tentara dalam dalam Operasi Mandala Ben Mboi, bercerita, Soeharto sudah lama jengkel pada Benny. Soalnya, dia berani meminta si Bos "menjauhkan" anak-anaknya dari kekuasaan. Itu dia sampaikan ketika keduanya bermain bilyar, sendirian, di Cendana. Saat itu Benny sudah menjadi Pangab. "Ketika saya angkat masalah anak-anak itu, Pak Harto berhenti bermain, masuk kamar tidur dan tinggalkan saya di kamar bilyar," ujar Benny kepada Boi Mboi.

Anehnya, Soeharto seperti tak bisa benar-benar membenci Benny. Ketika munyusun kabinetnya pada 1988, Benny mendapatkan pos menteri pertahanan dan keamanan. Keputusan tak terduga itu membuat Benny kalah taruhan dan harus membayar Laksamana (Pur) Sudomo satu set golf plus 2.000 bola.

Padahal ketika bertemu Sudomo beberapa waktu sebelum pengumunan kabinet, Soeharto masih amat marah pada Benny. Itu karena Benny mengusulkan penguasa Orde Baru untuk mundur dari pentas politik setelah 1993. Benny kuatir, kalau diteruskan nasib Soeharto akan seperti Presiden Soekarno: diturunkan dengan paksa.

Soeharto akhirnya diturunkan setelah huru-hara pada 1997. Tapi itu justru berkah bagi kedua "sahabat" yang hampir sepuluh tahun marahan. Pada ulang tahun Soeharto pertama setelah lengser—8 Juni 1998— Benny datang. Keduanya kembali saling mengunjungi dan berkirim kartu ucapan hingga Benny berpulang pada 29 Agustus 2004. Sumber : Majalah TEMPO, edisi 4-10 Februari 2008 E-TI

Tidak ada komentar: