Pada suatu pagi sambil minum kopi di lobi sebuah hotel kami berbicara soal-soal pribadi. '"Har, sebagai orang minoritas, kita harus kerja ekstra keras agar dapat pengakuan sewajarnya," kata beliau. Apa ini suatu obsesi ataukah motivasi, tidak pernah saya telusuri.
"Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai
garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku
mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil,
pada hari-Nya…" (2 Tim 4:7-8).
Kutipan ayat suci Injil ini agaknya baik menjadi
pembuka obituari Pak Benny sesuai dengan yang diimaninya. Dan, dalam hal ini
seiring pula dengan pesan orang-orang tua agar kita yang hidup bersedia mendem
jero, mengubur dalam-dalam, sanak dan kadang atau siapa saja yang meninggal
beserta seluruh kesalahannya, maka yang tertinggal di antara kita pun gondo
arum, bau wangi.
Beliau memang prajurit tempur TNI par excellence. Dan, karena sifat
pribadi beliau yang pendiam dan tertutup serta akurat dan cerdas di dalam
bekerja, maka sewaktu mendapat tugas sebagai perwira intelijen beliau dianggap
sebagai pakar yang mumpuni di bidang ini. Untuk tugas kedua-duanya ini, L B
Moerdani menjadi pemimpin yang diteladani.
Dengan itu pula saya ingin mengatakan bahwa beliau itu, yaitu Leonardus
Benjamin Moerdani, dalam catatan hidupnya selama 72 tahun, tampak jelas sejak
usia 14 tahun tidak pernah sekejap pun mengingkari tanggung jawab kebangsaannya
sebagai patriot sejati, "nasionalis 24 karat". Melakukan segala tugasnya,
beyond the call of duty, melampaui panggilan tugasnya.
Benny Moerdani banyak dihormati karena selama masih aktif bertugas terkenal
sebagai loyal terhadap tugas dan fungsinya, menjaga keutuhan dan kedaulatan
bangsa dan negaranya, tidak memikirkan dirinya, tidak kenal waktu jeda,
menghadang satu peristiwa ke peristiwa yang lain, agar semua selesai saat itu
juga, tidak ngambra-ambra. Tuntas. Beres. Selesai. Sempurna. Selanjutnya, tugas
lain sudah menunggu.
Namanya mulai tercatat di dalam ingatan saya, karena cerita-cerita di
dalam memimpin Operasi Naga, pembebasan Irian Barat. Kapten Benny, yang
kemudian diangkat sebagai Mayor, memimpin pasukan yang sebesar satuan brigade
di hutan belantara di sekitar Merauke. Mayor dr Ben Mboi adalah perwira Wamil
yang menyertai penerjunan itu juga.
Kemudian saya lebih mengenal beliau sewaktu saya menyertai Saudara
Julius Pour menulis biografinya yang berjudul: L.B. Moerdani-Profil Prajurit
Negarawan. L B Moerdani memang prajurit TNI yang semenjak muda belia turut
serta dalam operasi-operasi militer, besar maupun kecil untuk menegakkan
kedaulatan negara RI. Perannya selalu menonjol, terutama di dalam medan
pertempuran.
Beliau memang prajurit tempur TNI par excellence. Dan, karena sifat
pribadi beliau yang pendiam dan tertutup serta akurat dan cerdas di dalam
bekerja, maka sewaktu mendapat tugas sebagai perwira intelijen beliau dianggap
sebagai pakar yang mumpuni di bidang ini. Untuk tugas kedua-duanya ini, L Benny
Moerdani menjadi pemimpin yang diteladani.
Loyal pada Atasan dan Bawahan
Banyak orang yang berpendapat bahwa Benny Moerdani orangnya dingin,
tertutup, dan angkuh. Tetapi, sebenarnya di dalam lubuk hatinya yang terdalam
beliau adalah orang yang hangat, peduli, dan pemerhati orang sekitarnya.
Seorang prajurit yang sangat loyal pada atasannya, tetapi sekaligus juga loyal
pada anak buahnya. Benny sangat tinggi kesetiakawanannya, terutama bagi
yang lemah.
Sebagai pengemban tugas negara berhubungan antara bangsa dan negara, Pak
Benny dapat membawakannya dengan piawai dan penuh kehangatan, keakraban, namun
tetap terhormat. Hampir di setiap negara Pak Benny bertugas, selalu terjalin
hubungan yang akrab, hangat dan dipercaya oleh counter-part-nya, baik di
kalangan sipil, politisi maupun militer. Tetapi kalau ada persoalan yang benar
menyentuh martabat, kedaulatan negaranya, beliau dapat meledak dan membuat
orang terperangah.
Dengan berakhirnya era kekuasaan Presiden Soeharto, banyak generasi muda
sekarang ingin mengetahui apakah LB Moerdani pada waktu sekarang ini pro pada
civilian rule apa tidak? Persepsi dan sikap kalangan militer dan
kekuatan-kekuatan politik sipil mengenai perkembangan politik dan proses
demokratisasi merupakan komponen penting dari wacana negosiasi demokrasi yang
sedang berlangsung.
Dari wacana dan diskusi-diskusi yang mencuat di permukaan
tampak bahwa di samping ada beberapa kesamaan, juga terlihat jelas perbedaan
cara pandang mengenai posisi dan peran masing-masing. Yang terang selama ini
pandangan Angkatan 45 terhadap dikotomi sipil dan militer itu memang, tidak
tegas hitam putih, akan tetapi yang saya tahu pasti bahwa pada waktu Pak Benny
ada di puncak pimpinan TNI, waktu itu, dia tegas-tegas menolak tentara
dilibat-libatkan pada politik praktis.
Akan hal ini, kawan-kawan seangkatannya, baik dari kalangan tentara
sendiri maupun dari kalangan kawan-kawan sipil, menyayangkan pendapat Benny
Moerdani itu karena merupakan sterilisasi tentara dari bidang politik. Dan,
oleh karena pada waktu itu pemimpin tertinggi (Pak Harto) adalah seorang
militer, maka ABRI yang steril sedemikian ini akan mudah diperalat oleh
penguasa tertinggi itu (pemerintah).
Pengabdian Tanpa Akhir
Pernah pada waktu saya menulis obituari terhadap Jenderal Simatupang
saya kemukakan pendapatnya bahwa ABRI akan tidak berhasil dalam mendewasakan
proses demokratisasi bangsa Indonesia kalau masih adanya komando teritorial
(koter) dan sistem teritorial. Pak Benny tidak sependapat dengan mengatakan
bahwa isi konsep dan pelaksanaan dari koter sekarang ini adalah lain dengan apa
yang dimaksud oleh Jenderal Simatupang. Apa komando teritorial itu? Sekarang
ini menjadi perdebatan lagi.
Pak Benny memang sosok tentara yang profesional, dalam sikap dan
tindakannya memberi penegasan bahwa pengabdian kepada bangsa dan negaranya
tidak pernah ada batas akhirnya. Keprofesionalannya juga ditandai dengan
penghargaannya yang tinggi pada kecerdasan, tidak hanya untuk kalangan militer
saja, tetapi juga di kalangan sipil. Adalah Pak Benny yang mendirikan sekolah
Taruna Nusantara, yang dimaksudkan untuk menggodok anak-anak setingkat SMA
untuk menghasilkan kader-kader bangsa dan pemimpin-pemimpin nasional yang
tangguh dan berkepribadian.
Pak Benny, di luar tugasnya, menyediakan dan mengusahakan adanya
beasiswa untuk kalangan sipil. Di luar dinas kemiliterannya, Pak Benny selalu
bergaul dengan wartawan, intelektual, dan politisi, dan menghadiri
seminar-seminar baik di dalam dan di luar negeri, terutama yang diselenggarakan
oleh CSIS. Setelah pensiun, Pak Benny secara formal menjadi anggota Dewan
Direktur CSIS sebagaimana juga Hasnan Habib, Abdurrahman Wahid (waktu itu), dan
M Sadli, Fikri Jufri, Sabam Siagian, dan lain-lain.
Akhirnya, untuk Pak Benny, mari kita dendangkan macapatan maskumambang
untuk mengantar kepergiannya ke haribaan yang Mahakuasa: Surem-surem pra
Pandawa samya kingkin, Kruna wit sang lena; Prabu anom Pringgandani; Gugur ing
Bharatayuda; Pra pandhita myang resi samya memuji; Kunjuk mring Hyang Suksma;
Amrih suksmanya sang lalis; Tinampi ing swarga mulya. (Oleh Ki Royal Sudarna)
Terjemahannya: Kesedihan menyelimuti para Pandawa, karena yang wafat Prabu Anom
Pringgandani. Gugur dalam perang Bharatayuda. Dan, para pandita berdoa,
dihaturkan kepada Yang Ilahi, agar jiwa yang meninggal diterima di surga mulia.
Militer dan Intelijen Sejati
Mantan Panglima ABRI Jenderal (Pur) Leonardus Benyamin Moerdani
meninggal dunia sekitar pukul 01.30 WIB Minggu 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot
Soebroto. Mantan Menhankam dan intelijen kawakan kelahiran Cepu 2 Oktober 1932
ini sudah dirawat di rumah sakit tersebut sejak 7 Juli 2004 karena stroke dan
infeksi paru-paru.
Jenazah disemayamkan di rumah duka Jalan Terusan Hang Lekir IV/43, Jakarta
Selatan dan kemudian di Markas Besar TNI Angkatan Darat. Upacara penghormatan
jenazah di Mabes AD dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard
Ryacudu. Dimakamkan hari itu pula pukul 13.45 Wib di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, dengan inspektur upacara Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.
Sedangkan upacara keagamaan dipimpin Pastur Suito Panito.
Penghormatan yang mengiringi kepergiannya sangat terasa khidmat. Bendera
Merah Putih yang dibentangkan setinggi dada serta tembakan salvo mengiringi
jenazah Seorang LB Moerdani ke liang lahat.
Para pelayat, mulai dari kerabat, sejumlah pejabat dan mantan pejabat
negara, baik sipil maupun militer, berduyun-duyun mengantarkannya dari kediaman
di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, ke Mabes TNI Angkatan Darat hingga ke TMP
Kalibata.
Mantan Presiden Soeharto didamping putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana,
serta Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono yang didampingi istrinya,
Kristiani Herawati melayat ke kediaman almarhum.
Sementara Presiden Megawati Soekarnoputri beserta suami, Taufik Kiemas,
menghadiri upacara penghormatan terakhir dan serah terima jenazah mantan
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Komando Operasi Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib) itu saat almarhum disemayamkan di Mabes TNI AD.
Saat disemayamkan di Mabes TNI AD, hadir mantan Presiden KH Abdurrahman
Wahid, Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) Letnan
Jenderal Bibit Waluyo, sejumlah purnawirawan TNI, serta beberapa pejabat
pemerintahan era Orde Baru, seperti Harmoko, Ali Alatas, dan Fuad Hassan.
Begitu pula di pemkaman, hadir sejumlah pejabat, mantan pejabat militer
dan tokoh-tokoh lainnya, antara lain mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Try
Sutrisno dan mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Edi Sudrajat, Des Alwi, Frans
Seda dan sejumlah pengamat dari Centre for Strategic and International Studies
(CSIS), seperti Harry Tjan Silalahi, Sofjan Wanandi, dan Mari Pangestu.
Sebagai rasa hormat kepada almarhum, Panglima TNI memerintahkan seluruh
markas jajaran TNI di seluruh Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih setengah
tiang selama tujuh hari, terhitung mulai 29 Agustus 2004. penghormatan itu
diberikan mengingat jasa-jasa Benny kepada ABRI (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia) dan negara.
Hari-hari sebelumnya sejumlah pejabat dan tokoh menjenguknya yang tengah
dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) lantai 4 kamar bernomor 408 RSPAD
sejak hari Selasa (6/7). Dia antara tokoh yang menjenguknya: Panglima TNI
Jendral Endriartono Sutarto dan Taufik Kiemas.
L.B. Moerdani meninggalkan seorang istri, Hartini dan seorang putri,
Irene Ria Moerdani serta lima orang cucu). Semasa menjabat Menhankam/Pangab,
jenderal bintang empat ini sangat disegani di negeri ini. Pada saat menjabat
Menhankam/Pangab, dia malah disebut-sebut sebagai orang nomor dua terkuat
setelah Presiden Soeharto. Dia memang dikenal seorang jenderal yang tegas,
sosoknya benar-benar militer sejati.
Prestasinya terukir sebagai penata organisasi intelijen di tubuh
militer. Benny, demikian panggilan akrabnya, merupakan penggagas Badan
Intelijen Strategis (Bais) pada 1983. Sebuah lembaga intelijen melengkapi
lembaga serupa yang sudah ada yakni Badan Koordinasi Intelijen Negara (1969).
Dia juga sukses mereorganisasi sejumlah komando daerah militer dan memodernisir
peralatan TNI semasa menjabat Pangab.
Mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini juga
sukses dalam sejumlah operasi militer. Di antaranya Operasi Seroja di Timor
Timur pada 1975 dan Operasi Woyla 1981.
Dia juga dikenal sebagai negarawan yang dijuluki kalangan diplomat asing
sebagai the only statesman in Indonesia.
Legendaris
Benny dikenang sebagai peletak modernitas ABRI. Banyak hal yang telah
diperbuat LB Moerdani semasa hidupnya. Bukan hanya menjadikan lembaga intelijen
berkembang secara profesional, tapi juga juga membangun persenjataan yang lebih
modern, pendidikan, latihan dan kerja sama dengan negara lain di bidang
pertahanan.
Dia figur berkepribadian kuat, memiliki profesionalitas militer yang
sangat kental, sedikit bicara, tegas, dan tidak bertele-tele jika berbicara.
Bahkan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayjen TNI
Sudrajat menilai LB Moerdani sebagai jenderal legendaris dan disejajarkan dengan
Jendral Sudirman, Jendral Nasution, dan Jendral Simatupang.
Menurut Sudrajat, selain punya karisma luar biasa, Beliau bisa membawa
bangsa ini kepada suasana stabil, saling memahami, dan di tengah-tengah itu
memformulasikan nilai-nilai demokrasi.
Anggota Dewan Kehormatan Harry Tjan Silalahi menilai LB Moerdani sebagai
pahlawan, patriot sejati Indonesia. Sebab, ia selalu berjuang dan melaksanakan
tugasnya untuk negeri ini melampaui apa yang diwajibkan. "Kita
menamakannya Patriot 24 Karat," tuturnya kepada Kompas (30/8/2004)
Sofjan Wanandi berpendapat, LB Moerdani termasuk sosok militer yang
berani mengkritik Soeharto, tetapi tetap menunjukkan loyalitasnya. "Dia
juga menjadi korban ketika mulai tidak disukai Soeharto," ucapnya.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menilai mendiang sebagai seorang prajurit
yang berdedikasi tinggi dan tidak pernah memikirkan hal lain, selain negara dan
kesatuannya.
"Beliau seorang ksatria," kata Gus Dur sebagaimana ditulis
dalam pengantar biografi LB Moerdani.
Namun, Gus Dur juga menulis, ternyata seorang LB Moerdani yang
sedemikian perkasa masih mau diperintah untuk menjalankan kebijakan
"petrus" (penembakan misterius). Kebijakan tersebut dijadikan semacam
terapi kejut oleh pemerintahan Soeharto untuk mengurangi angka kejahatan.
"Muka Beliau setelah membaca tulisan saya seperti berubah jadi
’merah-biru’. Tapi kemudian Beliau mengatakan, 'Baik, dimuat’. Saya kemudian
mendatanginya dan mengatakan, ’Saya paling senang berurusan dengan seorang
ksatria’," ujar Gus Dur tentang itu.
Sosok Benny juga terbilang kontroversial. Selain banyak yang
mengenangnya sebagai prajurit sejati, gagah dan prajurit negarawan, juga ada
pihak yang mengenangnya dalam sosok lain.
Dia memang seorang jenderal yang meninggalkan banyak jejak semasa Orde
Baru masih gagah perkasa. Pada masanya menjabat Panglima ABRI, dialah jendral
yang banyak disebut paling berpengaruh setelah Pak Harto. Wajah sangarnya
sering hadir di banyak peristiwa yang menonjol. Bahkan setelah Orde Baru
tumbang, bayang-bayangnya masih banyak dalam pembicaraan politik.
Kebersamaannya dengan Pak Harto dimulai pada saat perebutan Irian Barat.
Pada perang yang dikomandani Mayor Jenderal Soeharto itu, Mayor Benny yang
memimpin Operasi Naga berhasil memimpin penyusupan.
Setelah itu, 1967-1974 Benny bertugas di luar negeri (Kuala Lumpur dan
Seoul) sebagai diplomat. Di era akhir 1960-an hingga awal 1970-an itu, nama
yang membayangi Pak Harto adalah mendiang Jenderal Ali Moertopo, yang juga
salah satu mentor Benny di bidang intelijen.
Kemudian Benny diangkat sebagai pimpinan Satgas Intelijen Kopkamtib
(1974). Kemudian menjabat asisten intelijen Hankam, dan kepala pusat Badan
Intelijen Strategis (Bais) yang didirikannya. Hingga meraih posisi puncak
menjabat Panglima ABRI sekaligus Panglima Kopkamtib sampai 1988.
Pada saat Benny menjabat Pangab itulah, terjadi Peristiwa Priok 1984.
Benny kerap dianggap sebagai orang yang sengaja memojokkan golongan tertentu yaitu Islam.
Namun, Benny membantahnya di hadapan para kiai Ponpes Lirboyo, Kediri,
"Saya ingin menegaskan, umat Islam Indonesia tidak dipojokkan. Dan tidak
akan pernah dipojokkan."
Kesetiaannya sebagai pembantu Presiden untuk menjaga "stabilitas
nasional" memang tidak hanya menggetarkan kalangan aktivis muslim. Banyak
separatis dan gerilyawan, seperti orang Timtim umumnya yang agamanya Katolik,
juga mendapat tindakan tegas pada masa itu.
Namun kesetiaannya kepada Pak Harto tidak harus membungkuk-bungkuk
seperti kebanyakan tokoh lain. Benny, konon, malah punya keberanian
mengingatkan Pak Harto agar putra-putrinya dikendalikan. Walaupun hal itu harus
berakibat hubungannya dengan sang jenderal besar tersebut merengggang.
Apalagi, seperti ditulis Kivlan Zen, Benny dianggap berambisi menduduki
kursi wakil presiden pada Sidang Umum MPR 1988. Berakibat Pak Harto marah dan
memberhentikan Benny dari Jabatan Panglima ABRI beberapa hari sebelum SU MPR
dimulai.
Sehingga Benny pun kehilangan kendali terhadap Fraksi ABRI di DPR/MPR.
Hal ini disikapi Brigjen Ibrahim Saleh, dengan interupsi menolak Sudharmono
sebagai Wapres. Brigjen Ibrahim Saleh pun dipecat. Pada masa itu, interupsi
dianggap suatu keberanian luar biasa yang dianggap penguasa ibarat ledakan bom
dalam suasana 'stablilitas nasional' yang tenang.
Kisah Dua Prajurit
Soeharto membenci sekaligus menyayangiBenny Moerdani. Lama terputus,
hubungan keduanya pulih setelah lengsernya sang Presiden.
"Biar jenderal atau menteri,yang bertindak inkostitusional akan
saya gebug!" Kata-kata itu meluncur dari mulut Soeharto di atas pesawat
kepresidenan, pertengahan 1989. Ketika itu dia dalam perjalanan pulang dari
kunjungan ke Beograd, Yugoslavia.
Soeharto tak menyebut nama tapi publik tahu siapa yang dimaksud.
Leonardus Benyamin Moerdani. Di akhir 1980-an sang Presiden memang sedang
sengit-sengitnya kepada Benny. Bawahan yang paling dia percaya itu berani
menganjurkan dia untuk tidak lagi menjadi presiden serta menentang
anak-anaknya.
Itulah isu yang berkembang. Mayjen (Pur)Kivlan Zen, bekas Kepala Staf
Kostrad, malah mengatakan Benny ingin melakukan kudeta. Informasi ini yang
menurut Kivlan dilaporkan Prabowo Subianto kepada mertuanya yang berujung
pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang Umum MPR
1988.
Benny tegas-tegas membantahnya. "Bagi saya seorang prajurit yang
pernah melawan pemimpin tertingginya berarti sudah cacat seumur hidupnya,"
katanya kepada Brigjen (Pur) FX Bachtiar yang menanyakan hal itu.
Kata-kata Benny itu dikutip Bachtiar dalam artikelnya di biografi
"LB MoerdaniPengabdian Tanpa Akhir" yang terbit Desember 2004.
Puluhan sahabat dan kenalan yang ikut menuliskan pengalaman mereka mengatakan
Benny seorang loyalis. Ucapan Benny kepada Letjen (pur) Sofian Effendy
menggambarkan hal itu: "Soeharto adalah guru saya. Dia yang membesarkan
saya.
Membesarkan? Ya. Mereka berkenalan dalam Operasi Mandala untuk merebut
Irian Barat pada 1961. Soeharto, sang Komandan, mengagumi keberanian Kapten
Benny yang ketika itu memimpin Pasukan Naga. Mereka kembali bertemu pada 1965
kala Benny ditempatkan di satuan intelijen Komando Cadangan Strategis Angkatan
Darat (Kostrad) yang dipimpin Soeharto.
Hubungan mereka kian dekat. Setelah berkuasa, pada 1974 Soeharto
mengangkat Benny menjadi Kepala Perwakilan RI di Seoul, Korea Selatan. Tapi
Benny sering meninggalkan posnya karena punya tugas "sampingan":
mengawal Soeharto dalam berbagai lawatan ke luar negeri. Lakon pengawal tak
resmi ini dia jalankan hingga bertahun-tahun.
Saking percayanya, Pada 1975 Soeharto menunjuk Benny memimpin Operasi
Seroja ke Timor Timur. Dan Benny sukses. Enam tahun kemudian, dia ditugaskan
memimpin pasukan Kopasandha membebaskan pesawat GadudaWoyla DC-9 yang dibajak
di Bandar Udara Don Muang, Thailand. Ada yang mengatakan itu rekayasa Soeharto
agar bisa mendongkrak pangkat Benny.
Benar atau tidak, yang pasti sejak itu karir Benny maju pesat. Puncaknya
ketika Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI dalam Kabinet Pembangunan
IV (1983-1988). Tapi, laporan Prabowo membuat Soeharto marah dan
"memensiunkan" anak emasnya itu lebih awal.
Mantan dokter tentara dalam dalam Operasi Mandala Ben Mboi, bercerita,
Soeharto sudah lama jengkel pada Benny. Soalnya, dia berani meminta si Bos
"menjauhkan" anak-anaknya dari kekuasaan. Itu dia sampaikan ketika
keduanya bermain bilyar, sendirian, di Cendana. Saat itu Benny sudah menjadi
Pangab. "Ketika saya angkat masalah anak-anak itu, Pak Harto berhenti
bermain, masuk kamar tidur dan tinggalkan saya di kamar bilyar," ujar
Benny kepada Boi Mboi.
Anehnya, Soeharto seperti tak bisa benar-benar membenci Benny. Ketika
munyusun kabinetnya pada 1988, Benny mendapatkan pos menteri pertahanan dan
keamanan. Keputusan tak terduga itu membuat Benny kalah taruhan dan harus
membayar Laksamana (Pur) Sudomo satu set golf plus 2.000 bola.
Padahal ketika bertemu Sudomo beberapa waktu sebelum pengumunan kabinet,
Soeharto masih amat marah pada Benny. Itu karena Benny mengusulkan penguasa
Orde Baru untuk mundur dari pentas politik setelah 1993. Benny kuatir, kalau
diteruskan nasib Soeharto akan seperti Presiden Soekarno: diturunkan dengan
paksa.
Soeharto akhirnya diturunkan setelah huru-hara pada 1997. Tapi itu
justru berkah bagi kedua "sahabat" yang hampir sepuluh tahun marahan.
Pada ulang tahun Soeharto pertama setelah lengser—8 Juni 1998— Benny datang.
Keduanya kembali saling mengunjungi dan berkirim kartu ucapan hingga Benny
berpulang pada 29 Agustus 2004. Sumber : Majalah TEMPO, edisi 4-10 Februari
2008 E-TI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar