Rabu, 22 Februari 2012

Aisyah Aminy SH Politisi Muslimah Berjuluk "Parlementarian Perempuan yang Unggul"

Jurnalis Independen: Meski usianya sudah lebih dari 70 tahun, Hj Aisyah Aminy SH tetap terlihat sehat, prima dan lebih muda dari usianya. Bicaranya tetap lantang dan jernih, tak berubah seperti saat ia masih menjalani hari-harinya di parlemen. Perempuan Minang ini, selama tiga dasawarsa dikenal sebagai tokoh perempuan nasional yang menjalani berbagai peran politik dan sosial bersama tokoh-tokoh nasional lainnya.


Perempuan kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat dan anak ketujuh dari delapan bersaudara, itu sejak kecil dididik dalam lingkungan yang sangat religius. Maklumlah, selain orangtuanya yang memang dekat dengan ajaran agama, di daerahnya banyak berdiri perguruan agama terkenal seperti Perguruan Diniyah dan Diniyah Puteri, Sumatera Thawalib dimana Buya HAMKA dan KH Zarkasyi-pimpinan Pondok Pesantren Gontor-pernah menimba ilmu, HIS Muhammadiyah, Kulliyatul Muballighien, Muballighot dan Madrasah Irsyadun Irsyad.

Ayahnya, H Muhamad Amin, berperan sangat penting dalam mendidik anak-anaknya. Sang ayah dan ibu Aisyah, Hj. Djalisah, meski tidak berpendidikan formal akan tetapi selalu memberikan teladan yang baik bagi mereka.

Dari sang ayahlah Aisyah dan saudara-saudaranya belajar menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan moralitas. Itu sebabnya, selama malang melintang di dunia politik yang penuh intrik dan godaan duniawi, nama Aisyah Aminy tidak pernah dikaitkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).

Kejujuran ayahnya yang bekerja sebagai pedagang itu begitu membekas dalam kenangan Aisyah. Suatu hari, tuturnya, ada seorang pembeli yang lupa mengambil uang kembalian dan pergi begitu saja. Ayahnya menyuruh Adnan, anak keempatnya, untuk mengejar si pembeli dan memberikan uang kembalian itu. Ayahnya juga selalu membersihkan timbangannya sebelum digunakan lagi agar takaran barangnya tepat dan ia tidak mengurangi hak orang lain.

H Muhammad Amin adalah seorang otodidak. Ia bisa membaca karena sering memperhatikan huruf-huruf dan angka-angka yang tertera pada kemasan barang yang dijualnya. Dengan semangat belajar yang tinggi, dirangkainya satu demi satu huruf-huruf itu sampai ia pun menjadi lancar membaca.

Bersama isterinya, H Muh Amin juga menambah pengetahuan agamanya dengan mengikuti ceramah-ceramah agama, yang antara lain diberikan oleh Dr H Karim Amarullah (ayah Buya HAMKA).

Semangat belajarnya itu ditularkan kepada anak-anaknya. Semua anaknya bersekolah, bahkan ada yang sampai ke Jawa. Sampai saat ini, yang masih aktif selain Aisyah adalah Rahmah Aminy, kakak Aisyah yang keenam. Rahmah menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta. Adik Aisyah, si bungsu Dr. Wardiyah Aminy pernah memimpin poliklinik Departemen Agama dan saat ini masih berpraktik dokter di Rumah Sakit Rawamangun Jakarta.

Sedangkan kakak keempat Aisyah, Adnan Syamny sempat dikirim Pak Natsir ke Pakistan untuk mempelajari UUD Pakistan pada awal kemerdekaan. Kakaknya yang kelima, Rusli Aminy, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan pernah menjadi dosen di Trisakti dan UPN.

Dari ayahnya, Aisyah belajar tentang kejujuran, semangat menimba ilmu, dan sikap religius. Maka dari ibunya, ia belajar kedisplinan dan tanggung jawab. Aisyah tidak boleh meninggalkan sholat lima waktu dan tidak lupa mengerjakan pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawabnya.

Aisyah muda tidak pernah mendengar orangtuanya berkata dengan lisan bahwa mereka mendukung penuh kegiatannya berorganisasi sejak masih duduk di perguruan Diniyah Puteri Bahagian B (setingkat SMP). Tetapi mereka menunjukkan dengan tindakan.

Kebiasaan Aisyah setiap liburan sekolah, adalah pulang kampung ke Nagari Magek Kabupaten Agam. Ia diminta teman-temannya untuk memimpin kegiatan bagi masyarakat di desanya yang kebanyakan tidak berpendidikan. Timbullah ide, ia dan teman-temannya kemudian mengundang guru-guru dari kota untuk memberikan ceramah pada penduduk. Buya HAMKA pun pernah diundangnya.

Maka, tampaklah dukungan orangtuanya, dengan menyediakan kamar di rumah mereka untuk menginap para penceramah, menjamunya dengan baik, sampai menyediakan fasilitas bagi anak-anak muda yang melakukan kegiatan positif tersebut.

Aisyah juga banyak mendapat dukungan dari kakak keduanya, Dt Bagindo Sutan dan isterinya, Maimunah yang mengajar di Diniyah Puteri dan SKKP. Karena waktu itu, Aisyah tinggal di rumah kakaknya, Maimunahlah yang membiasakannya membagi waktu belajar, tugas rumah tangga dan kegiatan di luar. Bahkan mendorongnya mengikuti berbagai kursus.

Keluarga yang Konsisten
Apa yang sudah diajarkan ayah ibunya, kini diajarkan kembali oleh Aisyah kepada anak-anak dan para keponakannya di rumah. Isteri dari Drs Desril Kamal ini menerapkan ajaran agama Islam dan disiplin.

Suatu kali, seorang anaknya ketahuan pergi ke diskotik. Dipanggilnya sang anak dan ditanyainya, untuk apa pergi ke tempat seperti itu. Anaknya menjawab, pergi ke tempat itu hanya untuk bergembira.

Aisyah pun berkata, "Keluarga kita selalu menjalankan ajaran agama dengan baik. Di diskotik itu kamu bergembira, tetapi kamu jadi lupa waktu. Tahu-tahu sudah larut malam, tahu-tahu sudah pagi."

Padahal, di rumahnya ada aturan tidak tertulis bagi seluruh anggota keluarga, bahwa jika masuk adzan Maghrib, semuanya sudah harus berada di rumah. Jika terpaksa harus pulang malam, yang bersangkutan harus memberitahu hendak ke mana.

Aisyah sendiri, yang terkadang pulang larut malam bahkan pagi untuk urusan partai dan organisasi, selalu menyempatkan memberitahu ke rumah. Menurutnya, di dalam sebuah keluarga harus dikembangkan sikap saling memahami dan bertanggung jawab.

Ketika ditanya apa kiatnya tetap konsisten dalam mempertahankan idealismenya, Aisyah tersenyum. Maka meluncurlah sejumlah kiat dari mulutnya, agar idealisme bisa terjaga dan tidak terkontaminasi hal-hal yang berbau kepentingan.

Pertama, ujarnya, diawali dari rumah tangga. Pendidikan itu harus dimulai dari rumah. Seperti halnya Aisyah yang mendapatkan ajaran agama, disiplin dan moral dari orangtuanya.

Kedua, pendidikan sekolah sebagai lanjutan dari pendidikan di rumah. Aisyah termasuk beruntung mendapat pendidikan dari guru-guru yang benar-benar berdedikasi tinggi. Menurut pandangan Aisyah, guru memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk karakter anak didiknya.

Sayangnya, saat ini kebanyakan guru hanya mentransfer ilmu, bukan pendidikan. Karena itu, guru harus digaji dengan baik agar ia bisa fokus mendidik murid-muridnya. Tidak terpecah mencari pekerjaan lain untuk penghasilan tambahan.

Ketiga, berorganisasi dan menjalin pergaulan yang sejalan dengan prinsip agama Islam dan moral. Aisyah memperbolehkan anak-anak dan para keponakannya bergaul dengan siapa saja, namun tetap ada batasnya. Aturan keluarganya adalah melaksanakan ajaran agama Islam dengan baik. Jadi jika lingkungan pergaulan mereka tidak sejalan dengan itu, lebih baik tidak usah.

Sampai kini, semua anak dan keponakannya menjadi orang-orang yang berhasil dan tidak pernah menyimpang dari prinsip-prinsip keluarga.

Filosofi Minang "anak dipangku kemenakan dibimbing’ yang berarti disamping kewajiban memperhatikan keluarga sendiri, juga ada kewajiban memperhatikan keponakan dan orang di sekeliling diimplementasikan dengan baik.

Tidak heran jika memberikan perhatian kepada orang lain sudah menjadi kebudayaan keluarga Aisyah. Misalnya, seorang keponakannya membangun sebuah masjid kecil di samping kantornya, yang kebetulan berdekatan dengan terminal Blok M. Masjid itu diberi nama Al Amin, yang diilhami dari nama ayah Aisyah.

Banyak orang ikut sholat dan membersihkan tubuh di situ. Bahkan pada bulan Ramadhan, disediakan makanan berbuka untuk para musafir yang singgah di masjid.

Selain memetik teladan dari orangtuanya, Aisyah banyak belajar dari Mr Mohamad Roem, ketika ia bekerja di kantor pengacaranya. Meski Pak Roem adalah tokoh nasional yang berperan dalam perjanjian Roem-Royen dan pernah menjadi menteri, sikapnya terhadap bawahan sangat bersahabat.
Aisyah yang masih yunior diperlakukan sejajar. Ia merasa sangat dihargai dan belakangan menyadari bahwa sikap Pak Roem itu merupakan pembelajaran yang patut diteladani.

Demikianlah, Aisyah Aminy mendapat begitu banyak teladan dari orang-orang terdekatnya dan membentuknya menjadi seorang perempuan tegar yang kita kenal sekarang. Tetap gigih berjuang di dunia politik, sosial dan kepartaian, tanpa menanggalkan kereligiusan dan keteguhan moralnya.

Perempuan di Ranah Publik
Dedikasi Aisyah Aminy tidak terbatas hanya di parlemen. Pada usia 70-an pun ia masih memperjuangkan persamaan gender yang dirasakannya berjalan lambat.

Sejak muda, Aisyah sudah dikenal sebagai perempuan yang ingin diperlakukan sejajar dengan kaum laki-laki. Kalau ada teman laki-laki yang meremehkan kemampuannya, serta merta ia akan menunjukkan bahwa pendapat itu salah. Hal itu dilakukannya dengan elegan dan terbukti bahwa ia memang mampu.

Karena caranya membuktikan diri yang elegan itu maka tak pernah ada konfrontasi dengan teman-teman laki-lakinya. Mereka menerima keberadaannya dalam organisasi karena ia memang patut diperhitungkan sebagai teman seperjuangan.

Persamaan gender yang diperjuangkannya tidak hanya diucapkan belaka, melainkan ditunjukkannya dengan perbuatan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun Aisyah tetap tampil sebagai sosok perempuan feminin dengan caranya bersikap dan berbusana. Sejak dulu, ia identik dengan pakaian panjang dan kerudung, serta seuntai kalung di lehernya.

Demikian kenangan itu dituturkan salah seorang teman seperjuangannya di HMI tahun 1956/1957 yang juga penulis terkenal, Titie Said. Kesan itu ditorehkan Titie dalam buku biografi Aisyah berjudul Dedikasi Tanpa Batas.

Dalam buku itu pula, teman seperjuangan Aisyah di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Prof. Miriam Budiardjo, menjulukinya ‘Parlementarian Perempuan yang Unggul.’

Mengenai buku biografi itu sendiri, Aisyah menuturkan, bahwa tadinya ia tidak pernah berpikir untuk membuat sebuah biografi. Namun atas desakan teman-temannya, terutama para yuniornya di PPP, maka akhirnya terbitlah buku itu. Mereka ingin Aisyah berbagi pengalaman, sehingga bisa memetik teladan dari kiprahnya di panggung politik nasional.

Selain buku yang diluncurkan tepat di hari ulangtahunnya yang ke-70, bulan Agustus 2004 di akhir masa jabatannya di DPR-MPR RI, Aisyah menerbitkan sebuah buku lagi yakni Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004. Buku itu merupakan refleksi pengalamannya selama empat periode di parlemen.

Perjuangan Aisyah Aminy agar kaumnya ikut berperan aktif di ranah publik semakin menonjol saat ia masuk parlemen. Bersama anggota-anggota parlemen perempuan lainnya, digagas Kaukus Perempuan Parlemen, yang diresmikan 19 Juli 2001. Salah satu yang direkomendasikan Kaukus Perempuan itu adalah kuota 30 persen perempuan di parlemen.

Dasar Perjuangan
Darah Minang dalam tubuhnya tampaknya ikut mempengaruhi gejolak semangat Aisyah untuk menunjukkan eksistensinya sebagai perempuan. Budaya Minang adalah budaya maternalistik yang menempatkan perempuan dalam kedudukan terhormat dan diakui eksistensinya.

Keberadaannya sebagai seorang muslimah dan anggota sebuah partai Islam bukannya membatasi sepak terjangnya, sebaliknya membuat ia semakin mendobrak maju.

Sejak dulu orang selalu beranggapan Islam membatasi gerak perempuan. Menurut Aisyah, Islam tidak pernah melarang perempuan menjadi pemimpin. Pada masa Nabi Muhammad, kedudukan perempuan sangat dihormati dan mempunyai peranan penting. Isteri Nabi, Aisyah, adalah perawi hadist di zamannya. Ia juga memimpin pasukan di Perang Jamal.

Demikian juga dalam sejarah Indonesia. Di Aceh dulu pernah dipimpin sultan-sultan perempuan (sultanah). Bahkan, banyak perempuan Aceh yang ikut berjuang mengangkat senjata di masa perang melawan penjajah, seperti halnya Cut Nya’ Dien.

Aisyah sangat ingin perempuan Indonesia mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk unjuk kemampuan di segala bidang, seperti dirinya. Perempuan bukan hanya untuk ditempatkan di urusan domestik. Istilah Jawa dahulu, bahwa perempuan itu hanyalah konco wingking (teman di belakang/pengikut suami-Red) atau pepatah swargo nunut neroko katut (surga ikut, neraka terangkut-Red) sudah bukan zamannya lagi.

Tahun 1957, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mencanangkan International Women Year. Hal itu membuka kesempatan kaum perempuan Indonesia untuk ikut berperan serta dalam pembangunan. Tahun 1977-1987, Aisyah yang kala itu menjadi anggota MPR turut bersama-sama memelopori dimasukkannya klausul tentang peningkatan peran perempuan di ranah publik dalam GBHN.

Sebelumnya, pemerintah tidak pernah memberi kesempatan pada perempuan untuk duduk dalam kabinet. Aisyah yang ketika itu juga sekaligus pengurus KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) melakukan berbagai lobi yang ternyata tidak mudah.

Bersama teman-temannya di KOWANI, ia menghadap Presiden dan melobi agar dalam kabinet ada menteri perempuan. Untungnya Presiden cukup tanggap dan membentuk Kementerian Peranan Wanita.

Berangsur-angsur, istilah peran serta, mitra sejajar dan gender mulai merambah peraturan-peraturan hukum yang ada. Kemudian, Aisyah menyadari jumlah perempuan di DPR tidak pernah lebih dari 11 persen. Maka dibentuklah Kaukus Perempuan Parlemen, yang salah satu rekomendasinya mengenai kuota perempuan di parlemen menjadi wacana hangat. Pada dasarnya, Kaukus Perempuan Parlemen memperjuangkan peran perempuan di ranah publik.

Kaukus Perempuan memasukkan usulan agar perempuan diberikan kesempatan yang lebih luas dalam berbagai rancangan undang-undang. Di antaranya UU tentang Partai Politik, yang diingat Aisyah perlu lobi berminggu-minggu sampai akhirnya disetujui bahwa dalam kepengurusan harian partai harus ada perempuan dengan kuota 30 persen.

Namun, tiba-tiba terjadi perubahan. Masukan mereka yang tadinya dituangkan dalam pasal tersendiri kemudian hanya dituangkan di bagian penjelasan. Isinya pun berubah. Aisyah protes. Terjadilah perdebatan alot. Pada akhirnya perubahan itu diterima, namun ditambahkan dalam penjelasan itu penegasan bahwa peningkatan jumlah perempuan dalam partai secara signifikan di semua level. Meski demikian, faktanya belum berjalan.

Kaukus Perempuan Parlemen kembali memasukkan klausul kuota 30 persen itu pada pembahasan RUU Pemilu. Banyak protes muncul dan mengatakan bahwa itu tidak demokratis. Namun Aisyah berargumen, bahwa hal itu bukan berarti jumlah perempuan harus ditambah sekaligus 30 persen. Pemerintah pun bisa memberikan batas waktu untuk beberapa periode saja.

Dukung Mega Jadi Presiden
Aisyah menyayangkan, dalam proses penyusunan daftar caleg, perempuan biasanya diberi nomor urut belakang atau nomor sepatu. Akhirnya yang terpilih caleg laki-laki yang selalu di urutan atas. Perjuangannya untuk pemilihan caleg perempuan ini belum berakhir. Kaukus Perempuan sebenarnya tidak menuntut jumlah perempuan harus sama banyak dengan laki-laki, melainkan hanya perlu keseimbangan yang wajar saja.

Dalam Pemilu, jumlah pemilih perempuan selalu lebih dari 50 persen. Tapi tampaknya kesadaran perempuan untuk memilih caleg perempuan pun masih kurang. Jadi, menurut Aisyah, kesadaran perempuan pun harus ditingkatkan. Kepada teman-temannya yang masih di DPR, Aisyah berpesan untuk tetap memperjuangkan itu.

Jika pemilihan untuk caleg DPR menggunakan suara terbanyak, bukannya nomor urut, kemungkin-an besar caleg perempuan bisa memperoleh suara lebih banyak lagi dibandingkan sebelumnya.

Terbukti dalam pemilihan caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD), jumlah perempuan yang terpilih lebih banyak karena pemilihannya tidak berdasarkan nomor urut dan tidak ada partai yang bermain di sana. Jadi siapa pun yang dipilih, akan menduduki kursi DPD.

Hambatan perempuan untuk berperan di ranah publik adalah kebudayaan kita yang mayoritas paternalistik. Selain itu penafsiran agama (Islam), di mana peran kaum laki-laki kadang-kadang membatasi peran kaum perempuan.

Contohnya, ketika Megawati Soekarnoputeri dicalonkan sebagai presiden, banyak yang memprotes karena ia seorang perempuan yang dianggap tidak akan mampu memimpin negara. Kala itu, Aisyah Aminy termasuk orang yang mendukung Mega jadi presiden, meskipun pendapat partainya bertentangan dan tidak setuju.

Hampir sepanjang hidup, Aisyah konsisten dalam memperjuangkan kesetaraan kaumnya di ranah publik. Hal itu bisa dilihat dari sederet aktivitas yang pernah dige-lutinya, yang spesifik di antaranya adalah Kesatuan Aksi Wanita Indo-nesia (KAWI), Komnas Kedudukan Wanita Indonesia, Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Wanita Islam dan Women Movement RISEAP (Regional Islamic Da’wah Council of South East Asia and the Pasific).

Berkibar di Semua Gelanggang
Keaktifan Aisyah tidak hanya sebatas bidang politik, hukum, dan pemberdayaan perempuan. Ia juga terjun ke organisasi seni budaya, sosial, dan keagamaan. Setahun sejak menjadi advokat (1960), Aisyah Aminy terjun pula ke organisasi seni budaya. Ia masuk ke dalam organisasi Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI) yang waktu itu diketuai Yunan Helmi Nasution dan pernah menjadi anggota Pengurus HSBI.

Di masa sekarang, HSBI masih memproduksi sandiwara-sandiwara televisi. Bersama Majelis Seniman Budayawan Islam (MASBI) yang diketuai Buya HAMKA, dihasilkan prinsip-prinsip seni dalam Islam, termasuk masalah patung dan seni pentas.

Pada tahun 1979, saat aktif di KOWANI, Aisyah juga menjadi anggota Dewan Film Nasional. Dewan ini bertujuan memajukan perfilman nasional agar menjadi tuan di rumah sendiri dan mendorong sineas-sineas Indonesia agar lebih kreatif dan maju.

Aisyah juga peduli pada pengembangan dan pelestarian budaya serta pengembangan masyarakat daerahnya, Minangkabau. Minangkabau selain dikenal keindahan alamnya juga keunikan budayanya yang menganut sistim matrilineal (garis keturunan dari ibu), sementara mayoritas suku bangsa di Indonesia adalah patrilineal (garis keturunan dari ayah).

Sejak peristiwa PRRI di Sumatera Barat, banyak masyarakat Minang yang merasa terguncang. Aisyah dan tokoh-tokoh Minang seperti Djamaludin Malik, dr Rusmali, Usmar Ismail, Asrul Sani dan lainnya menyelenggarakan acara ‘Minang Mangimbau’ tahun 1962 di Gelora Bung Karno Jakarta. Tujuannya mengembalikan kepercayaan diri masyarakat Minang agar tetap bangga dengan adat dan budayanya. Juga menggugah perhatian masyarakat Minang di perantauan terhadap daerahnya.

Tahun 1971, kaum perempuan Minangkabau mendirikan Yayasan Bunda yang diketuai Ny. Adam Malik. Aisyah sebagai penasehat hukumnya. Yayasan ini mendirikan SMP dan SMA Bunda serta Akademi Pariwisata Bunda.

Tahun 1989, melalui suatu musyawarah besar, dibentuk Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang). Aisyah menjadi dewan penyantun tahun 2001-2004. Lembaga ini merupakan badan pengkajian dan penggerak masyarakat dalam pengelolaan dana-dana yang dihimpun untuk pembangunan Sumatera Barat.

Kemudian dibentuklah Yayasan Gebu Minang dimana Aisyah menjadi dewan penyantunnya periode 2001-2004. Yayasan ini mengelola dana-dana yang dihimpun untuk kesejahteraan masyarakat dan nagari. Gebu Minang kini menjadi gerakan ekonomi dan budaya Minang yang menasional.

Dari ICMI sampai MUI
Setahun kemudian, yakni 7 Desember 1990, dibentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin B.J Habibie. ICMI adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat keislaman, yang bercirikan kebudayaan, keilmuan, dan kecendekiawanan. Kegiatan-kegiatannya memberikan perhatian kepada masyarakat lemah, dari segi ekonomi maupun ilmu dan teknologi.

Aisyah merasa terkesan karena para birokrat saat ini tak lagi sungkan tampil sebagai seorang muslim. Di masa kepemimpinan Adi Sasono, Aisyah menjadi anggota Dewan Penasehat ICMI. Kala itu, keberadaan ICMI banyak yang menolak. Bahkan Gus Dur menganggap ICMI sebagai sektarian dan membentuk tandingan, Forum Demokrasi.

Pergelutan Aisyah pun merambah ke dunia keagamaan. Tidak heran jika ia kemudian menjadi anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak tahun 1990 sampai sekarang.
Komisi ini membahas berbagai masalah hukum Islam dan memberikan fatwa tentang berbagai hal, seperti kasus Ajinomoto di tahun 2001. Kala itu, MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ajinomoto mengandung zat yang tidak halal. Namun Gus Dur sebagai presiden waktu itu justru menyatakan sebaliknya.

Aisyah beranggapan Gus Dur terlalu berorientasi pada kepentingan materi dan mengabaikan keyakinan umat yang ingin mengkonsumsi makanan halal. Mungkin Gus Dur mengira, Komisi Fatwa asal saja memberikan label dan hanya mendengar kata orang. Padahal, hal itu sudah dikaji mendalam oleh LPOM MUI yang terdiri dari pakar di bidangnya.

Aisyah bahkan pernah menjadi pimpinan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga yang didirikan MUI dan Humanika. Pendiri lembaga ini, Aisyah dan Amirudin Siregar mewakili MUI, sementara Nani Jamin dan Adi Sasono mewakili Humanika. Di dalamnya bergabung berbagai pakar dari psikolog, agama, ahli psikoterapi dan sebagainya.

Ketika perhatian dunia beralih pada masalah-masalah hak asasi manusia (HAM), maka tahun 1993 pemerintah Indonesia juga ikut menunjukkan perhatiannya dengan mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Aisyah adalah satu yang terpilih sebagai anggotanya. Ketua pertamanya adalah almarhum Ali Said SH dan sekretaris jenderalnya dipegang almarhum Baharuddin Lopa.

Meski dibentuk berdasarkan Keppres, sehingga ada kekhawatiran gerak langkahnya tidak akan independen, justru para anggotanya berusaha membuktikan bahwa Komnas HAM bukan alat pemerintah.

Menurut Aisyah, independensi sebuah organisasi tidak tergantung pada siapa yang mendirikannya, tetapi dinilai dari sikap, integritas dan komitmen yang kokoh dari para anggotanya dalam menegakkan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia di Indonesia.

Kegiatan teranyar Aisyah Aminy saat ini adalah mendirikan Bakti Aminy Consultant bersama anak-anak dan para keponakannya. Salah satu misinya adalah memacu pembangunan daerah-daerah seiring era otonomi daerah.
Ketika para yuniornya di PPP bertanya, apakah dirinya ingin menjadi anggota parlemen terus, Aisyah menjawab bahwa berbakti untuk Nusa dan Bangsa tidak mesti di parlemen.

Demi Bangsa dan Negara
Sebagai seorang muslimha yang taat, Aisyah Aminy selalu tajam mengkritisi, korupsi, kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat.

Pemikiran-pemikiran Aisyah untuk masalah bangsa dan negara tetap setajam dulu. Sampai masa tuanya (usia di atas 70 tahun), ia masih aktif dalam kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelutinya setelah sebelumnya aktif di Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) tahun 1968.

Pada waktu Parmusi terkena kebijakan restrukturisasi dan difusikan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1973, Aisyah secara otomatis menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP. Sementara itu, Parmusi yang dahulu merupakan partai sekarang menjadi organisasi kemasyarakatan sejak tahun 2000 dengan kepanjangan ‘Persaudaraan Muslim Indonesia’ yang diketuai Drs. Husni Thamrin dan Sekjen Bachtiar Chamsyah.

Karena keaktifan Aisyah di PPP dan potensinya, pada Muktamar PPP tahun 1984, ia terpilih menjadi Ketua DPP PPP. Ia merupakan perempuan pertama dari kader partai yang menduduki jabatan Ketua DPP. Dalam bidang politik praktis, memang jarang seorang perempuan mendapat kesempatan menjabat ketua DPP sebuah partai politik Islam. Kemudian berturut-turut, ia mendapat jabatan-jabatan strategis, seperti wakil Ketua MPP PPP termuda periode 1989-1994, ketua DPP PPP periode 1994-1999, wakil ketua Majelis Pakar PPP periode 1999 dan anggota Majelis Pertimbangan Partai Pusat (MPP) sampai sekarang.

Sewaktu menjadi Ketua DPP PPP 1984-1989, ia mengusulkan pada ketua umum PPP saat itu DJ Naro, agar di setiap wilayah dan cabang ada seorang perempuan di posisi ketua. Naro merespon positif usul Aisyah dengan menginstruksikan pada pengurus wilayah dan cabang agar menempatkan perempuan pada pimpinan hariannya dalam jajaran ketua-ketua.

Saat ia masih duduk di Komisi I, Aisyah mendesak Pangab LB Moerdani agar perempuan diberi kesempatan menduduki jabatan-jabatan tinggi di jajaran TNI, juga untuk bersekolah di SMA Taruna. Saat ini, saran Aisyah menjadi kenyataan.

Di masa kepemimpinan Naro, April 1989, menjelang Muktamar II PPP, Aisyah sempat terlibat konflik dengan sang ketua umum. Awalnya, Aisyah, H Ismail Hasan Metareum SH, Faisal Baasir, Chalil Badawi, Moh Sulaiman, Hartono Mardjono, Jusuf Syakir dan Husni Thamrin membentuk panitia kembar Muktamar II PPP. Aisyah menganggap pembentukan ini untuk menegakkan demokrasi di PPP. Namun menurut Naro itu merugikan partai. Naro mengancam akan me-recall mereka dari DPR, tetapi mereka pantang menyerah. Kelompok ini disebut Kodel (Kelompok Delapan).

Lain halnya ketika PPP dipimpin Buya Ismail Hasan Metareum, Aisyah sering diberi kesempatan melaksanakan tugas-tugas partai, termasuk sebagai Ketua Komisi I DPR atas nama fraksi. Putusan akhir tentang pimpinan Komisi ini dilaksanakan dalam rapat pleno Komisi. Aisyah menganggap Buya Ismail telah menerapkan prinsip kesetaraan gender jauh sebelum isu ini menjadi wacana seru sekarang ini.

Demikian juga saat PPP dipimpin Hamzah Haz. Saat dirinya akan dicalonkan sebagai anggota DPR pada Pemilu 1999, Aisyah mengetahui bahwa sebagian kader partai menginginkan kesempatan itu diestafetkan pada yang lain. Karena itu, ia bermaksud mengundurkan diri. Namun, Hamzah Haz memberikan ‘catatan’ kepada Sekjen partai agar Aisyah tetap dicalonkan di kabupaten Agam sesuai permintaan pimpinan Cabang Partai Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Konsolidasi 2009
Menjelang Pemilu 2009, dibandingkan partai-partai lain yang sudah melakukan konsolidasi, PPP tampak masih tenang-tenang saja. Padahal, berdasarkan survei Denny AJ, jika PPP tidak segera berbenah sejak sekarang, pada Pemilu berikutnya tidak akan masuk treshold.

Karena itu, di PPP mulai muncul suara-suara yang menginginkan pimpinan partai melakukan langkah-langkah untuk mengadakan konsolidasi. Sementara itu, unsur-unsur pimpinan-termasuk Ketua Umum-di Dewan Pimpinan Pusat yang sekarang disebut Dewan Harian Pusat (PHP) memutuskan untuk mengadakan muktamar tahun 2007. Padahal menurut kelompok yang menginginkan konsolidasi segera, hal itu tidak akan efektif sebab tahun 2008 sudah ada persiapan Pemilu.

Kelompok yang ingin mempercepat konsolidasi itu kemudian melaksanakan Silaturahmi Nasional (Silatnas) yang menghasilkan rekomendasi atau usulan untuk mempercepat muktamar pada 2005. Apalagi, dalam Pemilu sebelumnya perolehan suara PPP menurun.

Namun DHP menganggap Silatnas itu melanggar AD/ART partai. Maka beberapa orang yang terlibat Silatnas diberhentikan sementara, termasuk di antaranya enam orang pengurus harian. Belakangan nama mereka direhabilitir kembali, namun sebagai gantinya 40 orang anggota PPP yang menghadiri Silatnas diberhentikan. Setelah diprotes, kembali direhabilitir. Setelah itu, menurut Aisyah, tampaknya ada tanda-tanda bahwa muktamar akhirnya akan dipercepat, meski waktunya belum dipastikan.

Kesejahteraan dan Korupsi
Suatu hari, seorang kenalan Aisyah yang bekerja di perusahaan mobil bercerita tentang seorang yang membeli sebuah Mercedes Benz seharga Rp 12 miliar. Diceritakan oleh kenalannya, betapa semangatnya si pembeli dan bagaimana perusahaannya mengantar mobil itu sampai masuk ke garasi si pembeli.

Aisyah mengaku trenyuh mende-ngar cerita itu. Di saat ekonomi sulit seperti sekarang dan orang-orang miskin bukannya berkurang malah bertambah, ada orang yang tidak segan membuang uangnya sebesar itu demi sebuah mobil.
Ia menunjuk orang-orang desa yang di zaman serba modern itu sebagian besar tetap saja hidup miskin. Di zaman penjajahan, rakyat desa adalah orang yang paling menderita karena harus kerja paksa dan tanam paksa.

Dalam Pasal 33 UUD1945, unsur kerakyatan benar-benar ditekankan, tetapi tidak terlaksana. Menurut Aisyah, negara kita tak kunjung bangkit karena manajemennya buruk. Kekayaan negara tidak dikelola sesuai dengan amanat founding fathers. Ada orang yang untuk makan hari ini pun tidak bisa, tapi ada orang yang kekayaannya tujuh turunan tak habis.

Ia mengaku sangat gembira ketika Presiden SBY begitu bertekad memberantas KKN, karena KKN adalah salah satu faktor yang mengakibatkan kesenjangan dan kesengsaraan.
Bagaimana mungkin ada PNS golongan IV yang memiliki 4 rumah, 5 mobil. Kalau tidak ada penyimpangan, tidak mungkin.

Karena awalnya gaji tidak cukup, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan. Berkembang tidak hanya untuk kebutuhan sekadarnya, melainkan menjadi kerakusan. Aisyah menunjuk contoh kasus korupsi di KPU dan Bank Mandiri yang merupakan bank BUMN terbesar.

Padahal, menurutnya, KPU saat ini anggota-anggotanya berbeda dengan KPU sebelumnya yang merupakan orang partai. Anggota-anggota KPU sekarang ini orang-orang terdidik dan terpercaya. Ternyata tetap saja terjadi kasus korupsi yang memprihatinkan banyak orang.

Selain kemiskinan dan kesejahteraan rakyat, ia juga mencermati sistem pendidikan yang tidak mendorong para lulusan sekolah untuk bisa mandiri. Saat ini, jumlah penggangguran terus meroket setiap tahun. Menurut perempuan yang pernah menjadi guru dan dosen ini, hal itu disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia tidak berbasis link and match. Jadi para lulusan tidak bisa mengaplikasikan apa yang sudah didapat di sekolah di tengah masyarakat. Selain itu, kesejahteraan guru yang kurang, menyebabkan guru tidak fokus mendidik murid-muridnya.

Kepedulian Aisyah pada dunia pendidikan juga diwujudkan pada pelajar-pelajar perempuan Aceh yang tertimpa musibah tsunami. Organisasi Wanita Islam berencana akan membangun asrama untuk mahasiswi Aceh yang sudah hampir lulus dan berbakat. Para mahasiswi itu dikhawatirkan keluar dari Bumi Rencong karena merasa tidak ada harapan lagi di daerahnya yang porak poranda.

Padahal, menurut Aisyah, mereka adalah calon-calon pemimpin perempuan di Aceh. Ia berharap, mereka tetap tinggal di Aceh dan ikut membantu membangun daerahnya kembali. Apalagi sejak dahulu, Aceh terkenal dengan sultan-sultan perempuan dan pejuang-pejuang perempuan yang gigih. (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 22)

Tidak ada komentar: