Selain produktif menulis
cerpen dan puisi, anggota Badan Pelestarian Pusaka Indonesia ini juga aktif
menulis esai tentang lingkungan hidup, pariwisata, pendidikan, dan
sosial-politik. Salah satu buku sajaknya yang berjudul Cerita di Kebun Kopi
terbitan Balai Pustaka tahun 1981 menjadi bacaan untuk siswa SLTP. Buku
kumpulan puisi Sejuta Milyar Satu pernah diganjar sebuah penghargaan khusus
dari Dewan Kesenian Jakarta.
Christophorus
Apolinaris Eka Budianta Martoredjo lahir di Ngimbang, Lamongan, 1 Februari
1956. Penulis yang kemudian populer dengan nama Eka Budianta ini tumbuh dalam
lingkungan keluarga penganut Katolik yang bersahaja. Ayahnya Astroadi
Martaredja mencari nafkah dengan bertani sedangkan sang ibu, Daoeni Andajani
bekerja sebagai guru SD.
Setelah
menamatkan pendidikan dasar di desa kelahirannya, anak kedua dari sembilan
bersaudara ini hijrah ke kota Malang tepatnya di Dempo untuk meneruskan sekolah
ke SMA St Albertus. Ketika itulah ia mulai meniti kariernya sebagai penulis.
Saat masih duduk di bangku kelas 1 SMA, Eka yang ketika itu masih berusia 16
tahun bahkan telah menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi berjudul Bunga
Desember.
Setamat SMA
di tahun 1974, ia sempat berkuliah di Akademi Teater LPKJ namun tidak selesai.
Gagal menyelesaikan studinya di LPKJ, Eka kemudian memilih Jurusan Kajian
Kesusastraan Asia Timur yang juga tak berhasil dirampungkannya. Pada 1975, ia
beralih ke Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Namun
sayang, walau sudah menghabiskan waktu sekitar empat tahun lamanya, Eka kembali
gagal menyelesaikan kuliahnya. Hingga pada akhirnya di tahun 1980, ia mengikuti
pendidikan jurnalistik selama satu tahun di Los Angeles Trade Technical
College, Amerika Serikat.
Setelah
menginjakkan kaki kembali di Tanah Air, ia langsung mengaplikasikan ilmu
jurnalistik yang dipelajarinya di Negeri Paman Sam dengan berkarir sebagai
wartawan Tempo. Eka pernah tercatat sebagai koresponden koran Jepang, Yomiuri
Shimbun, serta menjadi penyiar radio BBC di London, Inggris. Eka juga telah
lulus Program Lingkungan dan Pembangunan (Leadership for Environment and
Development) dengan kerja lapangan di Costa Rica, Amerika Tengah (1995),
Ikonawa, Jepang (1996) dan Zimbabwe (1997).
Dengan
menekuni profesi sebagai seorang wartawan, kemampuan menulis suami dari Maria
Albertha Felisitas Melanita Pranaya ini pun kian terasah. Sejak dekade 1970-an,
ia rajin menelurkan cerpen dan puisi yang antara lain berjudul Blekok Blekok
Kenangan, Seorang Lelaki dan Gunungnya, Tembang Permadi, Alya, Taman Seberang,
Ndangdut, Seperti Angin, Pada Suatu Malam, Mesjid Negara Kuala Lumpur, Malam
Terakhir di Stevens Road, Keberangkatan, dan puluhan judul lainnya.
Tulisan Eka
membanjiri halaman berbagai surat kabar dan majalah, seperti Sinar Harapan,
Kompas, Berita Buana, Pelita, Merdeka, Kumandang (Jawa), Basis, Horison,
Salemba, Tempo, dan Mastika (Malaysia).
Nama Eka
mulai menonjol di dunia sastra ketika ia tampil sebagai peserta forum puisi
ASEAN bersama sekitar 50 penyair terkemuka dari negara-negara anggota ASEAN
pada tahun 1978. Dalam acara tersebut, ia adalah peserta paling muda, meskipun
sudah menghasilkan 3 buku kumpulan puisi.
Pada 1979,
ia memimpin delegasi Indonesia ke pesta Puisi dan Akademi di Universitas
Malaya, Kuala Lumpur. Pada tahun 1983, Eka pernah menghadiri pertemuan
sastrawan Asia Tenggara di Filipina. Empat tahun berselang ia mengikuti
International Writing Program di University of Iowa yang diadakan di Amerika
Serikat. Eka Budianta juga pernah menjadi salah satu seniman Indonesia yang
mendapat kehormatan untuk tampil membaca puisi di Queen Elizabeth Hall, London,
Inggris tahun 1990.
Sebagian
karya-karyanya sudah diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan puisi dengan
berbagai judul antara lain Rumahku Dunia, Lautan Cinta, Api Rindu, Bel, Rel,
Ada, dan Bang Bang Tut. Salah satu buku sajaknya yang berjudul Cerita di Kebun
Kopi terbitan Balai Pustaka tahun 1981 menjadi bacaan untuk siswa SLTP.
Nama Eka mulai menonjol di
dunia sastra ketika ia tampil sebagai peserta forum puisi ASEAN bersama sekitar
50 penyair terkemuka dari negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1978. Dalam
acara tersebut, ia adalah peserta paling muda. Sebagian karya-karyanya sudah
diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan puisi dengan berbagai judul antara lain
Rumahku Dunia, Lautan Cinta, Api Rindu, Bel, Rel, Ada, dan Bang Bang Tut. Salah
satu buku sajaknya yang berjudul Cerita di Kebun Kopi terbitan Balai Pustaka
tahun 1981 menjadi bacaan untuk siswa SLTP.
Kebolehannya
merangkai kata menjadi deretan kalimat penuh makna seperti yang terangkum dalam
buku kumpulan puisi Sejuta Milyar Satu bahkan pernah diganjar sebuah
penghargaan khusus dari Dewan Kesenian Jakarta. Sepanjang karirnya, sudah
ribuan cerpen, buku, puisi yang telah dihasilkannya. Beberapa karyanya bahkan
diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain Inggris, Mandarin, Jerman,
Belanda, dan Finlandia.
Selain
menulis karya sastra, mantan Wakil Ketua Badan Pelaksana Pertunjukan dan
Pameran Taman Ismail Marzuki ini juga banyak menulis masalah lingkungan hidup,
pariwisata, pendidikan, termasuk hal-hal yang menyentuh ranah sosial-politik.
Semua pemikirannya tentang beragam hal itu dimuat dalam buku-buku berjudul
Eksekutf Bijak Lingkungan, Moral industri, Mempertimbangkan Sekolah di Luar
Negeri, Menggebrak Dunia Wisata, dan Mengembalikan Kepercayaan Rakyat.
Karena
dedikasinya menyuarakan aspirasi masyarakat, terutama lingkungan dan sosial
masyarakat bawah melalui sajak maupun cerpen-cerpennya, ia menerima penghargaan
dari ASHOKA Foundation, Innovator For The Public pada tahun 1986. ASHOKA
Foundation merupakan sebuah lembaga International yang memperhatikan pengabdi
masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang seperti India, Indonesia,
Brazil, dan sebagainya.
Pada tahun
2005, Eka merilis buku yang berjudul Senyum Untuk Calon Penulis. Judul bukunya
sangat menarik serta spesifik dalam menentukan siapa kira-kira target pembaca
buku setebal 274 halaman tersebut. Buku yang terdiri dari 25 tulisan itu
dirangkai dari berbagai tulisan makalah yang disajikannya di berbagai seminar
dan diskusi dalam kurun waktu 4 tahun (1999-2002). Berbagai macam tema seputar
dunia tulis menulis, buku, lingkungan hidup, sastra dan lain-lain mewarnai
tulisan-tulisannya dalam buku itu.
Dalam salah
satu tulisan yang judulnya diangkat menjadi judul buku ini: Senyum untuk Calon
Penulis, Eka menyampaikan beberapa pokok masalah dalam menulis. Pokok pertama
adalah, Selalu Ingat: Mengapa Anda menulis? Di sini Eka menegaskan niat dalam
hati dalam menentukan tujuan menulis adalah hal yang paling penting dalam karya
sastra. Bukan teknik, keindahan bahasa, plot, tetapi intinya. Isi cerpen, isi
novel, isi puisi, itulah yang bicara (hal 195).
Kedua,
Pentingkah: Kapan Anda Menulis? Bagi Eka kapan menulis bukanlah masalah, yang
lebih penting adalah melihat isi atau pesan setiap pengarang. Bagi
penulis-penulis besar, pesan-pesan yang disampaikan biasanya akan abadi.
Drama-drama Shakespeare tetap abadi hingga kini. Dari segi usia, kapan mulai
menulis pun tak jadi persoalan asal tulisannya mengandung nilai-nilai abadi
maka tulisannya akan bertahan lama. Kartini, Chiril Anwar, Moh. Hatta menulis
di usia yang sangat muda namun apa yang ditulisnya tetap dibaca orang hingga
kini.
Ketiga, Jiwa
Merdeka dan Gembira. Modal utama seorang pengarang adalah jiwa yang merdeka.
Dengan bebas berpikir dan berimajinasi, setiap penulis dapat melahirkan
karya-karyanya. Namun Eka mengingatkan bahwa semakin besar kemerdekaan seorang
penulis maka semakin besar juga tanggung jawabnya dan semakin perlu hati-hati.
Keempat,
Bagaimana Menulis dan Apa isinya. Di sini Eka menceritakan pengalamannya
menjadi asisten HB Jasin dalam menyeleksi karya-karya sastra. Walau suatu karya
dinilai bagus oleh HB Jasin namun tak berarti karya tersebut bisa
dipublikasikan. Menurut Jassin, seorang penulis memiliki tugas sebagai
"guru" bagi pembacanya, melalui tulisan, manusia bisa membongkar
pikiran orang lain. Tapi bila penulis berhasil membongkar, tentu penulis harus
bisa merapihkannya.
Selain
membagikan ilmu lewat tulisan, ayah tiga anak ini juga menjadi pengajar Bahasa
Indonesia di International School of London, serta menjadi dosen tamu Fulbright
Visiting Scholar di Universitas Cornell di Ithaca, New York. Posisi sebagai
staf penerangan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNIC) juga pernah diembannya.
Sastrawan ini juga pernah terlibat aktif dalam sejumlah lembaga swadaya
masyarakat seperti Bina Swadaya, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Yayasan Dana
Mitra Lingkungan, anggota Yayasan Mitra Budaya, serta turut giat dalam Gerakan Pemberdayaan
Swara Perempuan (GPSP). Sementara dalam organisasi penyair, editor dan novelis,
ia termasuk pengurus PEN Indonesia.*****TI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar