Selasa, 07 Februari 2012

Eka Budianta Martoredjo Diantara Dua Kiprah Puisi dan Lingkungan


Selain produktif menulis cerpen dan puisi, anggota Badan Pelestarian Pusaka Indonesia ini juga aktif menulis esai tentang lingkungan hidup, pariwisata, pendidikan, dan sosial-politik. Salah satu buku sajaknya yang berjudul Cerita di Kebun Kopi terbitan Balai Pustaka tahun 1981 menjadi bacaan untuk siswa SLTP. Buku kumpulan puisi Sejuta Milyar Satu pernah diganjar sebuah penghargaan khusus dari Dewan Kesenian Jakarta.


Christophorus Apolinaris Eka Budianta Martoredjo lahir di Ngimbang, Lamongan, 1 Februari 1956. Penulis yang kemudian populer dengan nama Eka Budianta ini tumbuh dalam lingkungan keluarga penganut Katolik yang bersahaja. Ayahnya Astroadi Martaredja mencari nafkah dengan bertani sedangkan sang ibu, Daoeni Andajani bekerja sebagai guru SD.

Setelah menamatkan pendidikan dasar di desa kelahirannya, anak kedua dari sembilan bersaudara ini hijrah ke kota Malang tepatnya di Dempo untuk meneruskan sekolah ke SMA St Albertus. Ketika itulah ia mulai meniti kariernya sebagai penulis. Saat masih duduk di bangku kelas 1 SMA, Eka yang ketika itu masih berusia 16 tahun bahkan telah menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi berjudul Bunga Desember.

Setamat SMA di tahun 1974, ia sempat berkuliah di Akademi Teater LPKJ namun tidak selesai. Gagal menyelesaikan studinya di LPKJ, Eka kemudian memilih Jurusan Kajian Kesusastraan Asia Timur yang juga tak berhasil dirampungkannya. Pada 1975, ia beralih ke Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Namun sayang, walau sudah menghabiskan waktu sekitar empat tahun lamanya, Eka kembali gagal menyelesaikan kuliahnya. Hingga pada akhirnya di tahun 1980, ia mengikuti pendidikan jurnalistik selama satu tahun di Los Angeles Trade Technical College, Amerika Serikat.

Setelah menginjakkan kaki kembali di Tanah Air, ia langsung mengaplikasikan ilmu jurnalistik yang dipelajarinya di Negeri Paman Sam dengan berkarir sebagai wartawan Tempo. Eka pernah tercatat sebagai koresponden koran Jepang, Yomiuri Shimbun, serta menjadi penyiar radio BBC di London, Inggris. Eka juga telah lulus Program Lingkungan dan Pembangunan (Leadership for Environment and Development) dengan kerja lapangan di Costa Rica, Amerika Tengah (1995), Ikonawa, Jepang (1996) dan Zimbabwe (1997).

Dengan menekuni profesi sebagai seorang wartawan, kemampuan menulis suami dari Maria Albertha Felisitas Melanita Pranaya ini pun kian terasah. Sejak dekade 1970-an, ia rajin menelurkan cerpen dan puisi yang antara lain berjudul Blekok Blekok Kenangan, Seorang Lelaki dan Gunungnya, Tembang Permadi, Alya, Taman Seberang, Ndangdut, Seperti Angin, Pada Suatu Malam, Mesjid Negara Kuala Lumpur, Malam Terakhir di Stevens Road, Keberangkatan, dan puluhan judul lainnya.

Tulisan Eka membanjiri halaman berbagai surat kabar dan majalah, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Pelita, Merdeka, Kumandang (Jawa), Basis, Horison, Salemba, Tempo, dan Mastika (Malaysia).
Nama Eka mulai menonjol di dunia sastra ketika ia tampil sebagai peserta forum puisi ASEAN bersama sekitar 50 penyair terkemuka dari negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1978. Dalam acara tersebut, ia adalah peserta paling muda, meskipun sudah menghasilkan 3 buku kumpulan puisi.

Pada 1979, ia memimpin delegasi Indonesia ke pesta Puisi dan Akademi di Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Pada tahun 1983, Eka pernah menghadiri pertemuan sastrawan Asia Tenggara di Filipina. Empat tahun berselang ia mengikuti International Writing Program di University of Iowa yang diadakan di Amerika Serikat. Eka Budianta juga pernah menjadi salah satu seniman Indonesia yang mendapat kehormatan untuk tampil membaca puisi di Queen Elizabeth Hall, London, Inggris tahun 1990.

Sebagian karya-karyanya sudah diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan puisi dengan berbagai judul antara lain Rumahku Dunia, Lautan Cinta, Api Rindu, Bel, Rel, Ada, dan Bang Bang Tut. Salah satu buku sajaknya yang berjudul Cerita di Kebun Kopi terbitan Balai Pustaka tahun 1981 menjadi bacaan untuk siswa SLTP.
Nama Eka mulai menonjol di dunia sastra ketika ia tampil sebagai peserta forum puisi ASEAN bersama sekitar 50 penyair terkemuka dari negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1978. Dalam acara tersebut, ia adalah peserta paling muda. Sebagian karya-karyanya sudah diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan puisi dengan berbagai judul antara lain Rumahku Dunia, Lautan Cinta, Api Rindu, Bel, Rel, Ada, dan Bang Bang Tut. Salah satu buku sajaknya yang berjudul Cerita di Kebun Kopi terbitan Balai Pustaka tahun 1981 menjadi bacaan untuk siswa SLTP.

Kebolehannya merangkai kata menjadi deretan kalimat penuh makna seperti yang terangkum dalam buku kumpulan puisi Sejuta Milyar Satu bahkan pernah diganjar sebuah penghargaan khusus dari Dewan Kesenian Jakarta. Sepanjang karirnya, sudah ribuan cerpen, buku, puisi yang telah dihasilkannya. Beberapa karyanya bahkan diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain Inggris, Mandarin, Jerman, Belanda, dan Finlandia.

Selain menulis karya sastra, mantan Wakil Ketua Badan Pelaksana Pertunjukan dan Pameran Taman Ismail Marzuki ini juga banyak menulis masalah lingkungan hidup, pariwisata, pendidikan, termasuk hal-hal yang menyentuh ranah sosial-politik. Semua pemikirannya tentang beragam hal itu dimuat dalam buku-buku berjudul Eksekutf Bijak Lingkungan, Moral industri, Mempertimbangkan Sekolah di Luar Negeri, Menggebrak Dunia Wisata, dan Mengembalikan Kepercayaan Rakyat.

Karena dedikasinya menyuarakan aspirasi masyarakat, terutama lingkungan dan sosial masyarakat bawah melalui sajak maupun cerpen-cerpennya, ia menerima penghargaan dari ASHOKA Foundation, Innovator For The Public pada tahun 1986. ASHOKA Foundation merupakan sebuah lembaga International yang memperhatikan pengabdi masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang seperti India, Indonesia, Brazil, dan sebagainya.

Pada tahun 2005, Eka merilis buku yang berjudul Senyum Untuk Calon Penulis. Judul bukunya sangat menarik serta spesifik dalam menentukan siapa kira-kira target pembaca buku setebal 274 halaman tersebut. Buku yang terdiri dari 25 tulisan itu dirangkai dari berbagai tulisan makalah yang disajikannya di berbagai seminar dan diskusi dalam kurun waktu 4 tahun (1999-2002). Berbagai macam tema seputar dunia tulis menulis, buku, lingkungan hidup, sastra dan lain-lain mewarnai tulisan-tulisannya dalam buku itu.

Dalam salah satu tulisan yang judulnya diangkat menjadi judul buku ini: Senyum untuk Calon Penulis, Eka menyampaikan beberapa pokok masalah dalam menulis. Pokok pertama adalah, Selalu Ingat: Mengapa Anda menulis? Di sini Eka menegaskan niat dalam hati dalam menentukan tujuan menulis adalah hal yang paling penting dalam karya sastra. Bukan teknik, keindahan bahasa, plot, tetapi intinya. Isi cerpen, isi novel, isi puisi, itulah yang bicara (hal 195).

Kedua, Pentingkah: Kapan Anda Menulis? Bagi Eka kapan menulis bukanlah masalah, yang lebih penting adalah melihat isi atau pesan setiap pengarang. Bagi penulis-penulis besar, pesan-pesan yang disampaikan biasanya akan abadi. Drama-drama Shakespeare tetap abadi hingga kini. Dari segi usia, kapan mulai menulis pun tak jadi persoalan asal tulisannya mengandung nilai-nilai abadi maka tulisannya akan bertahan lama. Kartini, Chiril Anwar, Moh. Hatta menulis di usia yang sangat muda namun apa yang ditulisnya tetap dibaca orang hingga kini.

Ketiga, Jiwa Merdeka dan Gembira. Modal utama seorang pengarang adalah jiwa yang merdeka. Dengan bebas berpikir dan berimajinasi, setiap penulis dapat melahirkan karya-karyanya. Namun Eka mengingatkan bahwa semakin besar kemerdekaan seorang penulis maka semakin besar juga tanggung jawabnya dan semakin perlu hati-hati.

Keempat, Bagaimana Menulis dan Apa isinya. Di sini Eka menceritakan pengalamannya menjadi asisten HB Jasin dalam menyeleksi karya-karya sastra. Walau suatu karya dinilai bagus oleh HB Jasin namun tak berarti karya tersebut bisa dipublikasikan. Menurut Jassin, seorang penulis memiliki tugas sebagai "guru" bagi pembacanya, melalui tulisan, manusia bisa membongkar pikiran orang lain. Tapi bila penulis berhasil membongkar, tentu penulis harus bisa merapihkannya.

Selain membagikan ilmu lewat tulisan, ayah tiga anak ini juga menjadi pengajar Bahasa Indonesia di International School of London, serta menjadi dosen tamu Fulbright Visiting Scholar di Universitas Cornell di Ithaca, New York. Posisi sebagai staf penerangan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNIC) juga pernah diembannya. Sastrawan ini juga pernah terlibat aktif dalam sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti Bina Swadaya, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Yayasan Dana Mitra Lingkungan, anggota Yayasan Mitra Budaya, serta turut giat dalam Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP). Sementara dalam organisasi penyair, editor dan novelis, ia termasuk pengurus PEN Indonesia.*****TI

Tidak ada komentar: