Senin, 29 Desember 2008

Briana Banks




Jurnalis Independen: Dalam dunia film porno, nama Briana Banks sudah menjadi ikon seks. Siapa kira gadis yang dulunya pemalu ini menjadi salah satu selebriti di dunia film pengumbar syahwat.

Marilyn Monroe Sebelum Mati, Monroe Kencani Tokoh-tokoh Dunia


Jurnalis Independen: Marilyn Monroe merupakan aktris Hollywood paling terkenal abad ke-20. Sepanjang kariernya, dia bekerja dengan sangat serius hingga men capai sebuah kesuksesan. Di tengah gelamour kehidupannya, Marilyn harus menelan kekecewaan. Kematian yang menyisakan misteri digolongkan sebagai aksi bunuh diri. Namun beberapa orang berspekulasi bahwa dia dibunuh.

Kamis, 18 Desember 2008

Indonesia Jago Musik


Siapa bilang musisi Indonesia tidak bisa menjadi pelopor dalam dunia musik Internasional?
The Tielman Brothers adalah jawabannya!
Band Rock lawas yang kini mulai dilupakan bahkan oleh warga asalnya, yaitu Maluku, ternyata memiki segudang prestasi. Bahkan band ini memiliki pengaruh hingga ke Negara Eropa terutama di Belanda.
Group ini lahir 11 tahun sebelum munculnya gitaris Jimi Hendrik. Kabarnya Jimi Hendrik, The Beattles sangat kagum dan menjadikan group ini sebagai inspirator musiknya.

Indonesia Sudah Jago Soal Musik

Siapa bilang musisi Indonesia tidak bisa menjadi pelopor dalam dunia musik Internasional?
The Tielman Brothers adalah jawabannya!
Band Rock lawas yang kini mulai dilupakan bahkan oleh warga asalnya, yaitu Maluku, ternyata memiki segudang prestasi. Bahkan band ini memiliki pengaruh hingga ke Negara Eropa terutama di Belanda.
Group ini lahir 11 tahun sebelum munculnya gitaris Jimi Hendrik. Kabarnya Jimi Hendrik, The Beattles sangat kagum dan menjadikan group ini sebagai inspirator musiknya.

Minggu, 23 November 2008

Preman Atau Pahlawan

Jurnalis Independen: Peringatan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan tahun ini, diramaikan dengan berbagai peringatan. Pada momen tersebut salah satu partai peserta pemilu 2009, PKS membuat iklan yang menyakiti sebagian masyarakat. Bahkan mengundang kontroversi tokoh-tokoh politik negeri ini.

Mr. Chessplenx Berani Bicara


Jurnalis Independen: Peringatan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan tahun ini, diramaikan dengan berbagai peringatan. Pada momen tersebut salah satu partai peserta pemilu 2009, PKS membuat iklan yang menyakiti sebagian masyarakat. Bahkan mengundang kontroversi tokoh-tokoh politik negeri ini.

Bahaya Rimba Media

Bertaburannya media pada dekade 90 an di negeri ini laksana pisau bermata dua. Perkembangan media baik cetak maupun elektronik, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Namun, tidak semua masyarakat menilai positif bermunculannya media di negeri ini. Bahkan media dianggap menjadikan hidup tidak nyaman.

Sebenarnya, profesi jurnalis tidaklah berbeda dengan profesi lainnya. Pelaku jurnalistik layaknya pelaku bidang-bidang lainnya. Ada yang menggunakan sebagai lahan mencari nafkah secara halal, tetapi ada juga yang menjadikan jurnalistik atau media cetak dan elektronik sebagai sarana haram dalam mendapatkan sejuta keinginan manusia.

Dalam sejarah negeri ini, media cetak maupun elektronik (kala itu hanya radio), merupakan salah satu alat perjuangan menuju kemerdekaan. Saat itu, belum muncul istilah jurnalisme. Para pejuang kemerdekaan negeri ini, menggunakan media cetak (Koran) untuk mengemukakan irama perjuangan, mengikat emosi dan menyeberluaskan perlawanan rakyat terhadap imperialis.

Sebelum mempergunakan media cetak dan elektronik, para pejuangan telah mempergunakan media seni lain, sebagai alat bantu menyampaikan pesan perjuangan kepada rakyat. Dengan melalui kesenian para pejuangan memberikan informasi dari garis komando kepada jajaran dibawahnya.

Pesan-pesan tersebut ditangkap oleh lasykar pejuang dilapangan. Kemudian pesan-pesan tersebut diapresiasikan dengan cermat oleh para komandan pejuang dilapangan. Dari pesan melalui pertunjukkan seni, pejuang dikawasan tertentu yang kadangkala sangat berjauhan, kemudian membuat, melaksanakan strategi perlawanan terhadap pihak kolonial.

Karena keseharian pejuang yang hidup berbaur dengan masyarakat umum atau penduduk, maka secara otomatis warga masyarakat sipil juga mendapatkan bocoran pesan maupun rencana perlawanan terhadap penjajah. Sebab itu, kesenian di negeri ini sangat kental memuat pesan moral dan perjuangan.

Kesenian tidak hanya memiliki demensi hiburan semata, tetapi lebih dari itu memiliki nilai dan semangat perjuangan yang tinggi. Namun demikian juga memiliki nilai seni dan estetika.
Bila mau menghubungkan asal mula dan tujuan adanya media pada masa perjuangan kemerdekaan, maka bisa dikatakan bahwa media cetak maupun elektronik merupakan sebuah budaya yang lahir guna dijadikan sebagai alat perjuangan negara. Selain itu juga masuk dalam katagori kesenian. Oleh karenanya, para pelaku media bisa dikatakan sebagai kelompok kesenian.

Dalam perkembangannya, media kini telah mengalami perubahan yang cukup monumental. Kalimat ini hanya sekedar memperhalus istilah para pelaku media, agar tidak tersinggung dengan mengatakan lebih vulgar. Atau bila pelaku media lebih membuka telinga dan mau berdingin hati bisa dikatakan, bahwa media saat ini telah menjadi alat pemangsa ketenangan hidup manusia.

Walau tidak semuanya, media, kini telah dijadikan sebagai alat propaganda. Media dijadikan sebagai pemangsa siapa saja yang layak untuk dimangsa. Media juga digunakan sebagai pencari nafkah yang tidak halal. Media digunakan sebagai alat membohongi publik. Ia juga bisa digunakan untuk memecah belah sebuah bangsa yang merdeka.

Tidak sedikit awak media yang memiliki kemampuan, idealis nasionalis maupun agamis, yang tetap menjaga dan mempergunakannya untuk keutuhan dan kemaslahatan bangsa dan negara. Tetapi dibandingkan dengan pelaku media yang mementingkan diri sendiri, mereka tidaklah banyak.

Karena itu, sudah saatnya, pemerintah bertindak cerdas membenahi jagad media di negeri ini. Caranya adalah dengan membatasi munculnya media yang tidak memberikan nilai positif bagi masyarakat, bangsa dan negara. Kalau dahulu, media menjadi alat perjuangan kemerdekaan dan perlawanan terhadap penjajah. Kini, sudah selayaknya media menjadi alat pemerintah untuk memerangi sejuta permasalahan yang membuat bangsa dan negeri ini terpuruk dalam lembah kemiskinan, kesengsaraan dan kebodohan.

Pemerintah harus memiliki sebuah media yang dapat mengendus pelaku korupsi, pejabat hitam, pengusaha drakula, serta organisasi makar dan sejuta masalah pengangguran dan kemiskinan.
Pekerja lapangan media (wartawan) haruslah orang handal. Ia harus mampu bertindak bak seorang intelejen. Bila seorang wartawan menemukan gepeng dijalan dan berhasil mendokumentasikan, maka hal ini bisa dijadikan sebagai bukti bahwa pejabat dimana gepeng berada tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Hal itu akan bisa dijadikan sebagai bukti dan menindak kepala daerah, dinas sosial diwilayah itu.

Demikian pula, bila di wilayah tertentu yang banyak terdapat pemukiman liar, PKL (Pedagang Kaki Lima) yang berjualan dijalan dan trotoar maka pejabat terkait harus mempertanggungjawabkan dan dituntut sesuai hukum yang berlaku. Sebab dengan bukti itu, pejabat terkait jelas-jelas terbukti bersalah tidak mampu menjalankan amanat undang-undang.

Seseorang yang tidak memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) tidak dengan seenaknya ditangkap oleh Polisi beneran atau polisi tidak beneran (Polisi Pamomg Praja). Tetapi lebih dulu harus diselidiki hal ikhwal mengapa orang tersebut tidak memiliki KTP. Sebab, jaman sekarang banyak orang yang tidak memiliki KTP lantaran bila mengurus harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Bila hal ini terjadi, maka yang bertangung jawab adalah RT, RW, Lurah setempat dan harus dikenakan sanksi hukum.

Demikian seterusnya dalam bidang-bidang lainnya. Walhasil, dengan adanya media milik pemerintah yang seperti itu, maka akan menjadikan pejabat dari tingkat bawah hingga orang nomor satu negeri ini tidak melupakan dan melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Lebih dari itu, jabatan kursi pemerintahan dari tingkat RT hingga Presiden, tidak menjadi barang rebutan dari manusia rendah moral dan amanat.

Karena posisi strategis pekerja media, termasuk wartawan. Maka gaji yang tinggi harus diberikan kepada mereka. Dan yang mampu memberikan upah itu, tentu saja hanya pemerintah yang memiliki sumber kekayaan, kekayaan dan kemauan. Bukankah pemerintah juga mampu memberikan gaji tinggi pada profesi guru yang nota bane menjadi pendidik anak bangsa dari generasi ke generasi? Dan profesi pekerja media adalah juga sama seperti guru! Yaitu, menjadi pendidik kepada masyarakat! Bukankah begitu sobat? Setujukah saudara dengan pemikiranku ini?

Pertanyaannya, beranikah para pejabat, pembuat undang-undang, satpam undang-undang ( Eksekutif, Legeslatif, Yudikatif) melaksanakan ide ini? Maukah Pemerintah, KPK (Komite Pemberantas Korupsi), Kejagung, Polri, membawai media sebagai bawahan/mitra dari institusinya? Tentu saja, itu semua ditujukan demi untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara menuju terwujudnya keadilan dan keberadaban! Bukan untuk kelompok atau pengusaha.
Jawablah! Katakan Ya kalau Iya…, katakan Tidak bila Tidak……jangan ya…iya dong saja……
Kutulis ini dengan harapan….. Jangan sampai media dan jurnalistiknya menjadi benang kusut. Sebab, media dan jurnalis yang merupakan bagian dari seni, menjadi bagian industrialisasi. Pada kenyataannya, industri-industri lainnya di negeri ini, ketika dikangkangi oleh konglomerat, kapitalis, pebisnis yang ada hanya manipulasif, pemerasan dan tipu daya………
Jangan jadikan "media seperti rimba" yang tidak bertuan, dan hanya dihuni oleh "binatang"…….
Media dan jurnalisme, idealnya adalah dimiliki, dikelola oleh pejuang. Dan sebenar-benarnya pejuang adalah Negara. Sebab hanya Negara yang benar-benar memperjuangkan nasib rakyat, bangsa dan negaranya. Dan orang-orang yang berjuang untuk negaranyalah yang bisa disebut sebagai negarawan………

Gara-Gara Kisah Cinta Lastri Si Gerwani

Aktivitas di bekas sebuah pabrik gula di daerah Solo, pada minggu ke tiga bulan November, membuat gusar Forum Pembela Islam (FPI) setempat. Kegusaran itu, terpicu oleh kegiatan Eros Djarot yang sedang menggarap sebuah film drama percintaan. Aktivitas seniman asal Jakarta itu, seolah mengusik dan membuat rasa takut sebagian ummat islam seperti FPI.

Bahkan pembuatan film itu, tidak hanya menciptakan kegusaran. Tetapi hampir-hampir menimbulkan ketegangan. Sehingga aparat harus turun tangan untuk melerai kedua kelompok yang berbeda pandangan itu. Demi menjaga hal yang tidak diinginkan, maka pihak kepolisian setempat, menghentikan kegiatan pengambilan gambar film yang disutradarai oleh pemimpin salah satu partai politik di negeri ini. Sebelum dihentikan oleh pihak keamanan, sempat terjadi dialog antara kru film yang dikomandoi Eros dengan pihak FPI.

Pihak FPI ngotot dan berusaha menghentikan kegiatan itu, bukan tanpa dasar. FPI Solo, menghawatirkan pembuatan film drama percintaan tersebut akan menggugah dan memunculkan kembali kekuatan Partai terlarang Komunis di negeri ini (PKI). Sebab, film yang sedang melakukan pengambilan gambar di lokasi tersebut, adalah sebuah film yang berlatar belakang sebuah kejadian yang berujung dengan terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G30S-PKI).

Eros Djarot menyangga kekhawatiran FPI Solo. Bahwa dirinya tidak akan membangkitkan faham PKI di negeri ini. Sebab menurutnya, dirinya hanya ingin menyajikan sebuah film drama percintaan dengan mengambil sebuah simpul kejadian yang memang bersinggungan dengan sisi kehidupan seorang Gerwani. Kita tahu memang, bahwa Gerwani merupakan sebuah wadah wanita komunis.

Totoh wanita yang akan diangkat menjadi tokoh sentral film percintaan Eros tersebut bernama Lastri. Lastri adalah salah satu tokoh gerakan wanita PKI yang akhirnya mati dibantai di sebuah lokasi pabrik gula oleh warga Solo.

Entah apa yang menjadi latar belakang sang sutradara Eros, hingga mau memfilmkan kisah cinta wanita PKI ini. Apakah film percintaan yang dibalut politik? Atau sebaliknya, film bermuatan politik yang disamarkan dengan kisah cinta! Seharusnya, si seneas tahu, ada resiko tinggi bila dirinya memaksakan kehendak. Padahal, Eros si sutradara adalah anak seorang kyai. Tentu ia sangat memahami kebersinggungan ummat islam dengan segala sesuatu yang berbau komunis di negeri ini.

Apakah karena ia seorang seniman sehingga dengan mengatasnamakan seni, mengaburkan fakta sejarah pahit negeri ini? Apakah boleh seseorang mengatasnamakan kebudayaan, kebebasan, demokrasi, hak azasi maupun adat istiadat. Kemudian menguak dan menciptakan rasa sakit dan ketidaknyamanan hidup bermasyarakat dan bernegara? Apakah seniman yang juga politikus ini tidak menyadari, bahwa belakangan ini, generasi anak-anak PKI seolah bangga dengan predikat yang disandang diri dan keluarganya?

Bukankah sang seniman film ini juga tahu bahwa ada anak-anak PKI yang telah mewarnai legeslatif kita? Dan bukankah hanya kelompok islam saja yang menghawatirkan akan munculnya kembali kekuatan anti tuhan dan berusaha menguasai seluruh rana kehidupan negeri ini?

Disisi lain, ketakutan berlebihan FPI khususnya, islam pada umumnya di negeri ini, pada kembalinya embrio PKI hanya mengada-ada? Tetapi bila melihat tak kunjung muncul "soliditas" kekuatan islam yang mayortitas di negeri ini, seolah menyiratkan kepada kita bahwa islam dianggap tak pernah ada! Padahal, mungkin FPI hanya ingin mengatakan, jangan beri jalan pada kelompok masyarakat yang anti tuhan memimpin negeri ini. Jangan beri mereka alasan untuk mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri Pancasila ini. Atau mungkin, FPI khususnya, ummat islam umumnya, tidak menginginkan sejengkal tanah sekalipun, lepas dari genggangaman Republik ini? Yang mungkin bisa terjadi atas hendak disuguhkannya film Lastri tersebut.

Dalam wawancara dengan salah satu tv swasta, Ridwan Saidi yang sejarahwan, seolah menyiratkan kepada sang sineas Eros Djarot. Bahwa sang sineas hendaknya menyadari bahwa kekuatan komunis masih menjadi ancaman serius bagi negeri ini. Dengan di "pendetani" oleh RRC, komunis layak di waspadai kemunculannya kembali di negeri ini. Dan menciptakan neraka bagi rakyat yang berketuhanan Yang Maha Esa ini.

Janganlah merasa aktivitas seni dan sejenisnya dibatasi di negeri ini. Apalagi oleh FPI yang terkesan garang, suka melarang, bertindak terlalu dini. Bahkan terkesan, melebihi aparat. Semuanya dilarang oleh FPI!

Lebih baik mengalah dan membuat film lain saja. Sebagai saran, Batalkan percintaan Lastri. Untuk apa mengatasnamakan seni dan segala macamnya. Bila nantinya hanya berakibat tumpahnya darah saudara sebangsa.

Jangan meminta sangat banyak kepada islam, tetapi berbuatlah sedikit untuk islam. Itu akan lebih adil dan bijaksana. Sebab negeri ini telah terlalu banyak meminta kepada islam. Sebaliknya, sedikit sekali memberi kepada islam.

Ingatlah! Siapa yang menolak UU Pornografi dengan berbagai dalih? Siapakah yang hendak memisahkan diri dari NKRI? Siapakah yang berjuang untuk negeri hingga hari ini? Siapa yang membawa lari kekayaan negeri ini? Siapakah yang selalu hidup di bui bahkan mati demi negeri ini? Dan siapakah yang selalu memprovokasi? Pak Eros, jangan tumpahkan darah untuk kesekian kali gara-gara kisah cinta Lastri Si Gerwani……..!!!!???? (suarabaru)

Gara-Gara Kisah Cinta Lastri Si Gerwani


Sekelompok massa islam, berusaha menghentikan kegiatan pembuatan sebuah film. Perbuatan tersebut, bukan tanpa dasar. FPI Solo, menghawatirkan pembuatan film drama percintaan tersebut akan menggugah dan memunculkan kembali kekuatan Partai terlarang Komunis di negeri ini (PKI). Sebab, film yang sedang melakukan pengambilan gambar di lokasi tersebut, adalah sebuah film yang berlatar belakang sebuah kejadian yang berujung dengan terjadinya


Gerakan 30 September 1965 (G30S-PKI).
Eros Djarot menyangga kekhawatiran FPI Solo. Bahwa dirinya tidak akan membangkitkan faham PKI di negeri ini. Sebab menurutnya, dirinya hanya ingin menyajikan sebuah film drama percintaan dengan mengambil sebuah simpul kejadian yang memang bersinggungan dengan sisi kehidupan seorang Gerwani. Kita tahu memang, bahwa Gerwani merupakan sebuah wadah wanita komunis.

Totoh wanita yang akan diangkat menjadi tokoh sentral film percintaan Eros tersebut bernama Lastri. Lastri adalah salah satu tokoh gerakan wanita PKI yang akhirnya mati dibantai di sebuah lokasi pabrik gula oleh warga Solo.
Entah apa yang menjadi latar belakang sang sutradara Eros, hingga mau memfilmkan kisah cinta wanita PKI ini. Apakah film percintaan yang dibalut politik? Atau sebaliknya, film bermuatan politik yang disamarkan dengan kisah cinta! Seharusnya, si seneas tahu, ada resiko tinggi bila dirinya memaksakan kehendak. Padahal, Eros si sutradara adalah anak seorang kyai. Tentu ia sangat memahami kebersinggungan ummat islam dengan segala sesuatu yang berbau komunis di negeri ini.


Apakah karena ia seorang seniman sehingga dengan mengatasnamakan seni, mengaburkan fakta sejarah pahit negeri ini? Apakah boleh seseorang mengatasnamakan kebudayaan, kebebasan, demokrasi, hak azasi maupun adat istiadat. Kemudian menguak dan menAktivitas di bekas sebuah pabrik gula di daerah Solo, pada minggu ke tiga bulan November, membuat gusar Forum Pembela Islam (FPI) setempat. Kegusaran itu, terpicu oleh kegiatan Eros Djarot yang sedang menggarap sebuah film drama percintaan. Aktivitas seniman asal Jakarta itu, seolah mengusik dan membuat rasa takut sebagian ummat islam seperti FPI.
Bahkan pembuatan film itu, tidak hanya menciptakan kegusaran. Tetapi hampir-hampir menimbulkan ketegangan. Sehingga aparat harus turun tangan untuk melerai kedua kelompok yang berbeda pandangan itu. Demi menjaga hal yang tidak diinginkan, maka pihak kepolisian setempat, menghentikan kegiatan pengambilan gambar film yang disutradarai oleh pemimpin salah satu partai politik di negeri ini. Sebelum dihentikan oleh pihak keamanan, sempat terjadi dialog antara kru film yang dikomandoi Eros dengan pihak FPI.
Pihak FPI ngotot dan ciptakan rasa sakit dan ketidaknyamanan hidup bermasyarakat dan bernegara? Apakah seniman yang juga politikus ini tidak menyadari, bahwa belakangan ini, generasi anak-anak PKI seolah bangga dengan predikat yang disandang diri dan keluarganya? Bukankah sang seniman film ini juga tahu bahwa ada anak-anak PKI yang telah mewarnai legeslatif kita? Dan bukankah hanya kelompok islam saja yang menghawatirkan akan munculnya kembali kekuatan anti tuhan dan berusaha menguasai seluruh rana kehidupan negeri ini?
Disisi lain, ketakutan berlebihan FPI khususnya, islam pada umumnya di negeri ini, pada kembalinya embrio PKI hanya mengada-ada? Tetapi bila melihat tak kunjung muncul "soliditas" kekuatan islam yang mayortitas di negeri ini, seolah menyiratkan kepada kita bahwa islam dianggap tak pernah ada! Padahal, mungkin FPI hanya ingin mengatakan, jangan beri jalan pada kelompok masyarakat yang anti tuhan memimpin negeri ini. Jangan beri mereka alasan untuk mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri Pancasila ini. Atau mungkin, FPI khususnya, ummat islam umumnya, tidak menginginkan sejengkal tanah sekalipun, lepas dari genggangaman Republik ini? Yang mungkin bisa terjadi atas hendak disuguhkannya film Lastri tersebut.
Dalam wawancara dengan salah satu tv swasta, Ridwan Saidi yang sejarahwan, seolah menyiratkan kepada sang sineas Eros Djarot. Bahwa sang sineas hendaknya menyadari bahwa kekuatan komunis masih menjadi ancaman serius bagi negeri ini. Dengan di "pendetani" oleh RRC, komunis layak di waspadai kemunculannya kembali di negeri ini. Dan menciptakan neraka bagi rakyat yang berketuhanan Yang Maha Esa ini.
Janganlah merasa aktivitas seni dan sejenisnya dibatasi di negeri ini. Apalagi oleh FPI yang terkesan garang, suka melarang, bertindak terlalu dini. Bahkan terkesan, melebihi aparat. Semuanya dilarang oleh FPI!
Lebih baik mengalah dan membuat film lain saja. Sebagai saran, Batalkan percintaan Lastri. Untuk apa mengatasnamakan seni dan segala macamnya. Bila nantinya hanya berakibat tumpahnya darah saudara sebangsa.
Jangan meminta sangat banyak kepada islam, tetapi berbuatlah sedikit untuk islam. Itu akan lebih adil dan bijaksana. Sebab negeri ini telah terlalu banyak meminta kepada islam. Sebaliknya, sedikit sekali memberi kepada islam.
Ingatlah! Siapa yang menolak UU Pornografi dengan berbagai dalih? Siapakah yang hendak memisahkan diri dari NKRI? Siapakah yang berjuang untuk negeri hingga hari ini? Siapa yang membawa lari kekayaan negeri ini? Siapakah yang selalu hidup di bui bahkan mati demi negeri ini? Dan siapakah yang selalu memprovokasi? Pak Eros, jangan tumpahkan darah untuk kesekian kali gara-gara kisah cinta Lastri Si Gerwani……..!!!!???? (suarabaru)


Kamis, 13 November 2008

Makam Shuhada Amrozi cs Semakin Monumental

Dengan dieksekusinya Amrozi cs, semakin nyata sudah campur tangan asing di negeri ini. Selain itu, tentu saja juga membuktikan lemahnya pemerintah. Namun demikian, dengan tereksekusinya Amrozi cs, akan lebih mudah membuktikan kebenaran apa yang diperjuangkan oleh kelompok ini. Dan sebaliknya juga akan membuktikan kesalahan langkah kelompok yang menyebut dirinya sebagai kelompok Mujahidin tersebut.

Pembuktian ini amat mudah. Tentu saja bila diizinkan untuk dibuktikan oleh pihak-pihak terkait. Pihak terkait tersebut, tentu saja adalah keluarga tereksekusi disatu sisi dan pemerintah disisi lainnya. Bila pembuktian ini jadi dilakukan, tentu harus ada konsekwensi yang dijadikan sebagai taruhannya.

Pertama, bila jasad tereksekusi terbukti layaknya jasad manusia pendosa, maka keluarga, kerabat maupun anggota kelompoknya, harus rela dikucilkan dan mendapat stikma seperti yang selama ini diberikan kepada pelaku dan kelompok tersebut oleh media, pejabat dan masyarakat. Sebaliknya, bila jasad tereksekusi layaknya seperti jasad para pahlawan, syuhada, mujahidin yang gugur dimedan pertempuran, maka pemerintah dan seluruh jajarannya yang menyebabkan kematian Amrozi cs, harus menerima saksi yang telah disepakati bersama.

Kedua, bila kebenaran ada di pihak tereksekusi, maka system pemerintahan harus mendukung keyakinan yang sedang diperjuangkan oleh kelompok almarhum Amrozi cs. Hal ini harus dijamin oleh undang-undang dan didukung oleh segenap komponen bangsa di negeri ini.

Ini bukan ajakan makar, tetapi sebuah pembuktian dengan konsekwensi tinggi. Sebab selama ini, kelompok seperti Amrozi tidak akan pernah menang bila bertarung. Walaupun ada kemungkinan besar mereka bisa menang secara konstitusi- demokrasi. Namun sejarah membuktikan, kelompok Hamas di Palestina harus menerima kenyataan pahit walau ia memenangi pemilu secara demokratis.

Apalagi di negeri ini? Sebagai contoh, pemilihan Gubernur Jatim putaran II yang semula dimenangi oleh pasangan Kaji. Beberapa hari kemudian telah disulap oleh para maling menjadi sebaliknya. Padahal beberapa lembaga survey sebelumnya telah menyatakan kemenangan pasangan yang hendak membongkat kebobrokan pemimpin diwilayah ini yang korup dan manipulatif.

Jika pasangan Kaji menang dan memegang kekuasasan pemerintah daerah Jatim, tentu kepemimpinan nasional akan menjadi sesuatu yang rumit untuk diraih oleh penguasa sekarang ini. Indikasi kecurangan pada pilkada Jatim, bisa dijadikan sebagai acuhan bagi siapa saja, termasuk kelompok seperti Amrozi. Hal seperti itu bisa dipastikan akan terjadi pada kelompok yang berfaham seperti Amrozi cs. Karenanya, kematian orang seperti Amrozi layak untuk dijadikan taruhan tentang kejelasan nasib bangsa dan negeri ini.

Kelompok penjahat akan selalu berhadapan dengan kelompok penegak keadilan yang jujur dan adil. Dalam masalah Amrozi cs siapa yang disebut penjajah?. Amrozi Cs diadili dan dituntut oleh seorang jaksa yang belakangan diketahui menerima suap yang dalam kasus yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Ya, jaksa Urip Tri Gunawan akhirnya dihukum 20 tahun sebagai ganjaran menerima suap. Aparat seperti ini tidak layak memutuskan hukuman mati pada seseorang. Sebab dirinya terindikasi tidak jujur. Bila tidak jujur, dipastikan tidak adil, apalagi amanah.

Sistem peradilam negeri ini, hampir semua pejabatnya seperti Urip Tri Gunawan. Bahkan diinstansi lain, kondisinya tidak jauh berbeda dengan institusi hukum tersebut. Karenanya, secara keseluruhan pemerintahan negeri ini tidak layak mendapatkan mandat dari rakyat. Sayangnya, tidak banyak warga masyarakat seperti kelompok masyarakat yang mampu membawa amanah, bersikap jujur dan bangga dengan bangsa dan hasil karyanya.

Maka untuk mendidik dan mengingatkan akan perjuangan untuk bertindak jujur, adil dan berani berkorban apa saja demi tegaknya aturan ilahi, perlu kiranya kematian Amrozi cs dijadikan sebagai monumen kebangkitan menegakkan keadilan dan kejujuran. Atau apabila mungkin hari kematian terpidana mati dijadikan sebagai Houl setiap tahunnya. Jangan hanya mereka saja yang bisa mendramatisir sebuah kejadian, tetapi kita hrsu banyak belajar dan memberikan perlawanan yang seimbang.

Sekali lagi sayangnya, tidak banyak masyarakat yang serius berjuang untuk menegakkan keadilan yang hakiki. Padahal bila kita mau, kita juga bisa membuat sarana media baik cetak maupun elektronik yang orang kafir gunakan sebagai sarana paling ampuh mencuci otak generasi robbani. Bahkan kelompok Mujahidin juga bisa membuat monumen yang sangat bersejarah dari berpulangnya para Mujahidin seperti Amrozi cs.***

Ekstrimis Pahlawan Bangsa

Jurnalis Independen: Hilang sudah sosok "teroris" pelaku Bom Bali I. Tepat pada 9 November 2008 (9/11), tokoh teroris asal Indonesia itu telah mati dieksekusi. Sebagian masyarakat, keluarga korban Bom I Bali merasa lega. Terutama Amerika Serikat (negara & Masyarakat Barat), Australia! Sebab, mereka lebih berkepentingan dengan eksekusi tersebut dibandingkan negara lainnya.

Senin, 27 Oktober 2008

Hitam Tetap Hitam, Putih Tetap Putih

Mengapa Larang Sebut Amrozi CS Sebagai Suhada, Mujahidin atau Pahlawan
Larangan sebut Pahlawan, Syuhada, Mujahidin atau Pahlawan kepada Amrozi CS, menandahkan kebencian kepada Tuhan. Mereka para pelarang membiarkan bahkan menerima stikma teroris pada agama dan aturan Allah SWT. Mereka jelas-jelas telah menjadi penentang Tuhan. Bila tidak demikian, mengapa tidak sekalian melarang ummat islam menjadikan Al Quran sebagai kitab suci? Suruh saja ummat Islam membuang Qur'an dan tafsirnya dan ganti dengan Talmut sekalian. Ternyata, banyak manusia di negeri ini yang menjadi penganut dan antek dari ajaran Talmut bikinan Thogut.

Kalau mau jujur dan melihat permasalahan dengan jernih dan hati bening, bukankah sabda Amrozi telah menjadi kenyataan? bahwa yang mengadili, menuntut dengan hukuman mati adalah para Jaksa penuntut yang korup. Coba ingat, Jaksa Urip yang menuntut hukuman mati sang Mujahidin ternyata adalah seorang koruptor deles! Sedangkan Amerika kini telah menelan sumpah yang dilontarkan oleh Calon Shuhada Bali I, negeri itu kini dilanda oleh seresi dan kepanikan ekonomi yang hebat.

Semoga krisis ini menghasilkan resesi ekonomi yang berlanjut dengan perang dunia III seperti perang dunia sebelumnya yang selalu didahului dengan resesi ekonomi! Selain menunjukkan kebenaran aturan Tuhan yang selama ini dilanggar oleh kebanyakkan manusia sombong.

Hal ini juga menunjukkan kebenaran akan perjuangan para Mujahidin seperti Amrozi. Tersenyumlah kawan, engkau memang melawan Dajjal dan teroris ! Walau selaksa regu tembak menghadangmu, tetapkan langkah maju. Bukankah dahulu nenek moyang kita juga dihukum rajam dan gantung yang lebih sadis oleh nenek moyang kaum Thogut?

Minggu, 14 September 2008

Serial Ngajidin



Diskusi Anak-Anak Tuhan
Setiap manusia, memiliki tiga main stream dasar. Yaitu Bibir (lidah), Hati dan Otak. Ketiga main stream manusia ini membentuk karakter manusia. Namun ketiganya terkadang saling berlawanan satu dengan yang lainnya.Perlawanan itu, sering kita rasakan. Namun amat jarang kita tanggapi secara semestinya.
Ketiga mahkluq yang tergolong istimewa ini, memiliki pengaruh sangat dominan. Ketiganya juga merupakan dalang (konseptor) semua perbuatan manusia. Namun ketiganya tak pernah mau dipersalahkan oleh siapapun.
Hal ini terbukti dengan adanya dialog yang mereka lakukan. Ketiga mahkluq saling menyalahkan dan membenarkan diri sendiri.
Awal dialog itu dimulai dari manusia bernama Ngajidin. Ngajidin adalah seorang remaja lancur. Ia berusia, belum genap 20 tahun. Seorang remaja muda yatim piatu. Ia hidup dan besar di sebuah pondok, di daerah Kediri, Jawa Timur.
Beberapa bulan terakhir, ia pergi meninggalkan pondok tanpa sepengetahuan pengawas pondok dan izin dari Wak Yai. Tidak ada seorang temannya yang ia pamiti. Maklum ketika itu, Wak Yai, santri-santri senior dan santri lainnya sedang sibuk. Sebab ada salah seorang alumnus pondok, mencalonkan diri menjadi calon gubernur. Karenanya, Kyai dan santri pondok dimana Ngajidin menuntut ilmu sedang sibuk "membantu" persiapan pemilu daerah itu.
Apa yang terjadi di pondok Ngajidin merupakan kesibukan yang sangat luar biasa. Kesibukan itu juga terjadi pada Otak Ngajidin. Hati Ngajidin, juga tak kalah sibuknya. Sedangkan bibirnya terus mengoceh tak karuan menanggapi tingkah "pondoknya" menyambut pilkada.
Din, begitu teriak Fikri (Otak). "Ngapain kamu duduk termangu disitu". Ketika itu Ngajidin sedang duduk dibawa beduk masjid pondoknya. " Lebih baik, kamu suruh kakimu melangkah pergi dari tempat ini", kata fikri lagi.
Hati Ngajidin, tidak bergeming sedikitpun, mendengar perintah Fikri. Namun kaki Ngajidin, setapak demi setapak melangkah pergi meninggalkan area pondok, yang berubah menjadi pasar malam. Sedangkan bibirnya (lidah), terus berceloteh menyayangkan penghuni pondok yang turut larut dalam hiruk pikuk pemilihan calon gubernur.
Perjalanan meninggalkan pondok, tanpa disadarinya, telah membawa Ngajidin di sebuah tempat bernama terminal.
Dari singgasananya, Fikri terbangun dari tidurnya. Ia tersentak kaget ketika menyaksikan Ngajidin telah berada di sebuah terminal kota Surabaya. Terminal itu bernama Bungurasih. Kesadaran Fikri, membuat ia merasakan desahan nafas Tyas (Hati). Nafas Tyas yang lembut dan hangat biasanya melenakan Fikri.
Anehnya, kali ini nafas Tyas dirasakan Fikri panasnya agak tinggi. Hal ini membuat Fikri bertanya kepada Tyas. "Tyas ada apa denganmu"? Tanya Fikri. Tiba-tiba hawa panas keluar dari badan Tyas, mendahului Jawabannya. Dengan suara nyaring Tyas membentak Fikri. " Apa kamu tidak tahu, Ngajidin sudah berjalan dua hari dua malam tanpa berhenti. Lagi pula, semenjak berjalan keluar pondok, tak sebutir nasipun ia telan", kata Tyas. Semprotan Tyas disambung oleh Totok (Tutuk = Bibir). " Ya, itulah Fikri. Setiap ada kesempatan selalu membius Ngajidin. Sehingga ia tidak menghiraukan aku. Dua hari, dua malam aku tidak diberikan makanan dan minuman", kata Totok.
Ngajidin duduk, termangu sambil bersandar pada sebuah tiang bangunan terminal. Pagi itu, ia merasakan kelelahan yang amat sangat. Selain itu, perutnya yang keroncongan minta diisi makanan atau sekedar seteguk air. Sayangnya, dirinya tidak memiliki uang sepeserpun untuk membelinya. Akhirnya, ia hanya duduk dilantai sambil bersandar menikmati pemandangan hilir mudiknya manusia sambil menjinjing tas maupun kopor.
Tanpa sepengetahuan Fikri, rupanya Tyas dan Totok telah bersekongkol untuk mendampratnya. Mereka tengah merencanakan sesuatu. Menyadari hal itu, Fikri bangkit berdiri sambil berkacak pinggang dan berkata. " Hai, kamu Totok dan Tyas. Aku tak pernah membius Ngajidin. Aku hanya tertidur. Dan ketika tidur itulah, Ngajidin tidak merasakan apapun. Rasa haus, lapar ataupun capek tak terasakan olehnya. Bila hal itu terjadi hingga 2 hari sekalipun", kata Fikri. "Sebenarnya yang salah adalah kalian berdua", tegas Fikri.
Merasa disalahkan, mereka berdua, Tyas maupun Totok, tak mau diam saja. Mereka pun membela diri. " Koq malah aku yang disalahkan", tukas Totok. " Coba jelaskan dimana salahku dalam masalah ini", sambung Tyas.
"Totok Bayu Samudra dan kau Ratna Ning Tyas, dengarkan penjelasanku, kata Fikri Nur Rahmat. "Sejak pertama kita bertemu dan saling mengenal, kita telah sepakat untuk mengajak Ngajidin menuju jalan yang lurus. Menyelamatkan dirinya dari rongrongan yang bermaksud menjerumuskan Ngajidin menjadikan dirinya seperti hewan".
Mahkluq yang namanya hewan, bukankah kalian berdua sudah tahu! Betapa bejadnya mereka. Pekerjaan mereka hanya berebut makanan dan berebut lawan jenisnya saja. Dan itu dilakukan sepanjang hidupnya, tanpa mengenal rasa malu dan belas kasihan! Dan kalian bersekongkol hendak menjerumuskan Ngajidin kederajad lebih rendah, yaitu hewan.
Apa kalian tidak kasihan dengan Ngajidin. Selain itu, kalian juga menginginkan dirinya tetap berdiam di pondok. Bila aku biarkan ia berada disana, Ngajidin akan menjadi boneka. Ia akan diperalat oleh yang lainnya, agar supaya dirinya mau membantu mantan santri mendapatkan jabatan sebagai seorang gubernur. Apakah kalian tidak mengerti, bila sebenarnya mantan santri Wak Yai itu, sebenarnya, hanya memperalat Wak Yai dan santrinya untuk mengahantarkan dirinya memenuhi keinginannya menjadi gubernur. Bila sudah jadi, tidak mungkin mereka mau menurut apa yang menjadi kehendak Wak Yai. Ia akan lebih menurut kepada majikan barunya, yaitu para pengusaha, seperti Alim markus dan sejenisnya.
Manusia yang menjadi alat seseorang agar bisa menduduki jabatan tertentu, akan memperoleh getahnya. Orang seperti itu juga menerima bagian dosa dengan menempatkan seseorang menjadi pengayom masyarakat. Padahal, perbuatannya, justru sebaliknya malah menindas masyarakat lainnya", jelas Nur Fikri.
"Kamu jangan memutarbalikkan fakta", kata Tyas menyangga penjelasan Fikri. Bukankah selama ini, yang membuat manusia berbuat seperti itu atas perintahmu? Bukankah segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia atas perintahmu? Aku hanya mengamini apa yang menjadi keinginan dan perintahmu semata. Bukankah seperti itulah yang terjadi pada manusia lainnya, seperti Ngajidin, sambung Tyas.
Totok pun segera menimpali sanggahan yang dilakukan oleh Tyas. " Aku ini kan hanya pion, hanya pesuruh", kata Totok dengan nada pasrah. "Aku hanya makan atau minum, itu pun karena perintahmu. Bukan atas kemauanku sendiri", katanya lagi.
Tidak bisa, aku hanya memerintahkan dirimu untuk makan secukupnya. Tapi, seringkali engkau makan minum berlebihan. Terkadang engkau makan barang yang bukan menjadi hak Ngajidin. Juga kamu minum barang yang terlarang seperti tuak, alkohol, bahkan kamu juga makan bubuk putih yang membuat aku lemah dan bahkan mati. Masak aku menyuruh engkau makan yang membuat diriku mati? Apakah itu mungkin? Tanya Fikri. Oleh karena itu, hai Totok Samudra. Engkau harus menyadari. Terkadang ada perintah yang bukan dariku. Tetapi itu tidak pernah engkau ketahui, apalagi memahami. Perintah itu datang dari Tyas. Tyaslah yang memerintahkan dirimu makan minum tanpa ada batasan, jelas Fikri. Totok Samudra, terdiam dan menatap tajam kepada Tyas.
Tyas yang tersudut bangkit berdiri. Ia tak mau kalah oleh tingkah dan diplomasi Fikri.
"Hai Fikri", kata Tyas dengan suara merdu seperti seruling. " Kamu jangan lempar batu sembunyi tangan", kata Tyas lagi. Aku berbuat seperti itu, untuk melindungi dan menjaga hidup Ngajidin. Lihatlah, ia duduk dan tertidur lemas karena kelaparan dan kehausan, pakah engkau tidak merasa iba dengan pemandangan ini? Jelas Tyas.
Karena kelelahan, haus dan kelaparan, Ngajidin tertidur dilantai terminal. Rasa dingin dan lapar mengharuskan dirinya memeluk lututnya sendiri. Ngajidin, tidur setengah melingkar. Tubuhnya ditekuk sedemikian rupa. Mirip tubuh hewan bernama trenggiling yang lari menyelamatkan diri ketika dikejar musuh.
Perdebatan antara Fikri, Totok dan Tyas, tidak menjadikan rasa kantuknya hilang. Bahkan ia justru tertidur pulas. Seakan tak terjadi apa-apa dengan dirinya. Rasa lapar dan haus pun, tak membuat serta merta tangannya menyambar tas, makanan manusia yang lalulalang di terminal itu. Ngajidin bukan tipe orang yang mudah menyerah dan merebut hak orang lain. Tidak seperti orang kebanyakkan.
Seiring dengan dengkuran suara perut Ngajidin, Totok merasa ingin segera menyuap sesuatu dan memasukkannya kemulut Ngajidin yang mengecap-ecap. Disisi lain, Tyas semakin mendongkol dan mengeluarkan hawa panas dari tubuhnya. Sedangkan tubuhnya sendiri semakin berwarna merah.
Fikri! bentak Tyas pada Fikri. " Apakah kamu ingin Ngajidin mati lemas.? Dengan membiarkannya tanpa makan dan minum? Biarlah aku berbuat sesuatu untuk Ngajidin. Agar ia tidak kelaparan dan kehausan, kata Tyas setengah memohon kepada Fikri.
Mata Fikri melotot. Saking lebarnya ia memelototkan matanya, mata itu hampir-hampir copot keluar. Seiring dengan apa yang dialami Fikri, kepala Ngajidin mengeluarkan uap dingin berwarna putih. Ngajidin nampak menggigil kedinginan. Keadaan Ngajidin yang seperti itu, tak luput dari perhatian orang yang lalu lalang di terminal Bungurasih.
Tak jarang orang yang menyaksikan kondisi Ngajidin menjadi iba. Selain rasa dingin yang membuat tubuhnya terlihat pucat, pakaian kumel Ngajidin menambah nilai kekerean. Melihat itu, banyak diantara orang-orang tersebut melemparkan uang recehan. Bahkan ada juga yang menyempatkan merogoh kantungnya dan mengeluarkan puluhan ribu rupiah. Mereka melemparkannya ke samping tubuh Ngajidin.
Lihatlah!, kata Fikri. Apa yang dilakukan manusia ketika melihat kondisi Ngajidin. Rasa iba! Rasa iba, memunculkan rasa sosial. Hal seperti itu pasti dilakukan oleh manusia. Namun, hal tersebut akan menjadi sebaliknya. Bila si manusia tersebut menuruti kehendakmu, jelas Fikri sambil menatap tajam kepada Totok dan Tyas bergantian.
"Apa maksudmu", tanya Totok dan Tyas hampir bersamaan. Begini, kata Fikri berusaha menjelaskan. Manusia itu dalam hidupnya, hendaknya bisa menguasai diri. "Bahkan mematikan diri", kata Fikri lagi.
Nah, kalau manusia tersebut, katakanlah seperti apa yang sedang dilakukan oleh Ngajidin. Kalian berdua harusnya, membantunya, bukan malah sebaliknya. Menentang kemauan manusia seperti Ngajidin. Dengan melakukan tipu daya dengan berbagai cara.
Kalian membanding-bandingkan keadaan Ngajidin dengan manusia lainnya. Padahal manusia-manusia yang kalian jadikan pembanding, adalah manusia-manusia lemah yang mudah dan telah kalian perdaya.
Stop, stop ocehanmu, Fik, kata Totok menghentikan penuturan Fikri. " Apa nggak keliru apa yang kamu bicarakan. Selama ini, siapa yang menipu Ngajidin, kami berdua atau dirimu yang pongah, congkak, sombong tak berperasaan! Semenjak Ngajidin pergi meninggalkan pondok yang engkau katakan telah keluar dari pakem, Ngajidin tak menelan apapun selain ludahnya sendiri", kata Totok. Dus, dengan demikian, engkaulah yang menyiksa dirinya, sehingga ia mengalami hal seperti ini. "Ia hidup terhina dan terlantar di sebuah terminal", cibir Tyas menimpali sanggahan Totok kepada Fikri.
Ngajidin, menguap. Kemudian meregangkan tubuhnya, seolah meluruskan otot-ototnya yang kaku. Beberapa saat kemudian ia duduk, menyapu sekelilingnya dengan pandangan mata yang masih terlihat lelah dan ngantuk.
Saat ia menoleh kesebelah kiri tubuhnya, tangannya menyentuh sesuatu yang menghendaki pandangan matanya tertuju kearah dimana tangannya merasakan bulatan dingin. Setelah matanya menemukan apa yang dirasakan oleh tangannya tadi, iapun tertegun beberapa saat. Di sebelah kanan dirinya, dimana ia duduk didapati puluhan keping uang recehan dan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah.
Ia pun termenung beberapa saat. Disekitarnya tak terlihat ada orang. Maka diberesinya uang yang berceceran itu. Setelah itu, ia berdiri melangkah sambil menggenggam selembar uang puluhan ribu. Sedangkan lainnya ia masukan kedalam buntalan sarung yang berisi dua potong pakaian yang dibawanya dari pondok. Pakaian itu sebagai ganti dalam pengembaraannya.
Dengan selembar uang di tangan, Ngajidin menuju ke sebuah warung dan memesan segelas kopi dan memakan sepotong pisang gorong. Ia duduk di sebuah kursi salah satu restorasi yang ada di terminal.***

Serial Ngajidin
Bertemu Tuhan Di Bungkul
Ngajidin menyeruput kopi panasnya sedikit demi sedikit. Rokok ketengan bermerk 76, dihisapnya kuat-kuat dan dihembuskannya perlahan dari mulut dan lubang hidungnya. Puluhan pasang mata, memandang penuh selidik dan tanda tanya. Mungkin dalam hati, pemilik beberapa pasang mata itu bergumam dalam hati. Baru minum kopi dan menghisap rokok 76, sudah demikian nikmatnya. Apalagi bila ada seorang cewek cantik yang mendampingi? Pemuda ini tentu merasa sebagai pemilik dunia. Demikian piker banyak orang yang ada disekelilingnya.
Pemuda lecek ini, bukan tak tahu pikiran yang menggerayangi beberapa orang yang juga sedang menikmati pelayanan kafetaria terminal itu. Namun, dasar Ngajidin, selalu cuek bebek dengan keadaan sekelilingnya yang sekiranya hanya menimbulkan prasangka buruk bagi dirinya. Hingga, beberapa saat kemudian, ada mulut usul yang bertanya kepadanya. Bade tindak pundit mas? (mau pergi kemana mas?)
Ngajidin melihat kearah pemilik suara, ternyata adalah seorang kondektur Bus Antar Kota. "Saya bade tindak Bungkul, mas," jawab Ngajidin sekenanya. "Mau ziarah toh? Iya, jawab Ngajidin lagi. "Kalau mau ke Taman Bungkul, saya mesti naik mobil yang mana mas ya"? Tanya Ngajidin. " Sampean naik Bus Kota aja, yang jurusan Perak. Itu busnya, yang ada tulisannya P4 jurusan perak lewat Tunjungan", kata mbak-mbak penjaga Café Been terminal Bungurasih, menimpali tanya jawab Ngajidin dengan kondektur Bus Antar Kota.
Beberapa saat kemudian, Ngajidin telah bergelantungan di dalam Bus Kota yang penuh sesak. Bus itu membawanya menuju Taman Bungkul yang berada di tengah Kota Surabaya. Ya, namanya juga Bus Kota. Sudah menjadi kelaziman di jaman yang katanya modern dan maju ini. Ya seperti inilah, bus kota di negeri ini. Negeri yang gemah ripa lo jinawi. Bukan lautan tapi kolam susu, tongkat dan batu jadi tanaman. Tapi nyatanya apa? Semua yang namanya kendaraan umum, kendaraannya kaum kere, ya pasti kumuh, jelek, polutif, penuh sesak selain itu pasti tidak aman.
Lain dengan kendaraan peribadi! Ngajidin melihat, kendaraan pribadi yang kebetulan sedang melintas di jalur sebelah kanan. Ia membandingkan dengan bus yang ia tumpangi yang sekali-kali mengeluarkan asap hitam dengan mobil-mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil-mobil itu terlihat mulus, elegan dan mewah, sedangkan orang yang duduk didalamnya terlihat berkepala botak, kalau tidak yang terlihat berkulit kuning, bila wanita terlihat sangat mulus dan cantik.
Itu kalau kaca mobilnya terang. Kalau mobilnya berkaca gelap, Ngajidin tidak mengetahui, apakah yang duduk didalam mobil itu pejabat, maling, koroptor, perampok, manusia, setan berkumis atau setan berkepala botak, ia tidak mengetahuinya. Yang jelas, sepertinya hanya mobil dan motor yang tidak mengeluarkan polusi lah yang layak dan pantas melewati jalanan ini. Sedangkan angkutan umum yang ditumpanginya, seharusnya sudah masuk mesium atau pabrik untuk didaur ulang.
Keruwetan fikir dan hati Ngajidin mengarahkan langkah kakinya menuju Taman Bungkul. Sesuai pelajaran sekolah yang ia dapat dari guru sejarahnya, bahwa Sunan Bungkul merupakan seorang "Tokoh Tua Sebelum Jaman Wali Sembilan Tanah Jawa". Entah apa yang menggerakkan hatinya sehingga dirinya memilih tempat itu sebagai pelampiasan kegundahan hati. Yang jelas, bila dibandingkan dengan tempat seperti Sunan Ampel, mengingat tempat Sunan Bungkul terasa lebih menyejukkan jiwanya.
Ngajidin memang belum pernah melakukan ziarah ke semua makam, petilasan Sembilan Wali. Tetapi ia pernah "melihat makam Sunan Giri dan Malik Ibrahim di Gresik. Dirinya juga pernah bermunajat kepada Penciptanya di Sunan Bonang yang terletak di dekat alun-alun Tuban, Jatim. Bahkan ia pernah menginap di Sunan Drajat, Lamongan selama dua hari.
Sesampai di depan Taman Bungkul bus yang ditumpanginya berhenti, ia pun segera turun dan menyeberang untuk segera memeluk hawa sejuk pelataran Bungkul. Di pelataran itu, ia menyaksikan banyak pemandangan yang mengisyaratkan akan kebesaran Sang Pencipta.
Dua puluh tahun lalu, yang disebut Taman Bungkul, tidak seperti yang ia saksikan sekarang ini. Dulu, tempat itu lengang dan berkesan magis. Walau saat itu, ketika ia dating ke tempat itu masih berusia beberapa tahun. Kini tempat itu bak pasar. Ramai oleh banyak pengunjung, baik tua, muda laki-perempuan dengan mengenakan pakaian yang menandakan jamannya sendiri. Tetapi juga tak sedikit oaring yang mengenakan pakaian spiritual. Ya, pakaian yang dianggap menyiratkan jiwa spiritual pemakainya. Di sekeliling taman, menjadi bagian tempat parker kendaraan yang rata-rata kendaraan roda dua. Sedangkan kendaraan roda empat, diparkir dibagian depan rumah sakit milik angkatan udara. Namun semua itu, tak mengurangi nuansa sejuk yang dirasakan jiwanya.
Segera Ngajidin melangkahkan kakinya menyusuri jalanan yang melingkari Taman Bungkul. Sambil berjalan mengitari taman, Ngajidin memberikan ucapan salam kepada penghuni makam Taman Bungkul, walau hanya didalam hati. " Assalammualina ya ahli kubur, khusushon Sunan Bungku", katanya dalam hati. Setelah itu ia menuju ke sebuah kedai minuman memesan secangkir kopi pahit dan sebatang rokok favoritnya.
Ia sengaja tidak langsung memasuki areal pemakaman. Dirinya ingin mendapatkan kejelasan tentang apa yang pernah ia rasakan selama ini, yaitu apakah kedatangannya itu atas "undangan" dari yang empunya tempat? Dirinya perlu mendapatkan jawaban sebelum ia memasuki "rumah" Sunan Bungkul yang dikenal waskita itu.
Sebelum memutuskan keluar pondok yang terletak di kota Kediri, yang kebetulan saat itu penghuni pondoknya sedang dihinggapi demam Pilkada, Ngajidin telah mendapatkan panggilan hati untuk melakukan ziarah ke Tamn Bungkul. Karenanya, momen itu dijadikan Ngajidin sebagai momen untuk meninggalkan pondok dan memenuhi keinginan hatinya. Walau begitu, dirinya masih belum merasa yakin. Bahwa keinginan itu tidak keluar dari keinginan hati atau nafsunya sendiri. Sebab selama ini ia di pondoknya, tidak pernah mendapatkan pengajaran apapun. Dirinya hanya diberikan tugas oleh Wak Yai untuk mengisi air dan memenuhi setiap kolam yang dijadikan sebagai tempat wudhu dan tempat mandi para santri. Walau ia sudah mondok lebih dari 4 tahun.
Sejenak setelah memesan kopi dan rokok, Ngajidin duduk di bangku kayu kedai. Sebelumnya, ia membuka dan memasukkan songkok bulat berwarna putih yang ia pakai kedalam saku celana yang hanya sepanjang betis. Sambil menikmati rokok dan kopi, ia menyaksikan pernak pernik Taman Bungkul. Dirinya melihat beberapa pemuda-pemudi seusianya, sedang bermain papan luncur. Tanpa sadar, dirinya menghitung kumpulan pemuda yang begitu riang bermain dengan mengunakan papan luncur itu.
Ada enam orang pemuda. Dua perempuan dan empat lelaki. Dua pemudi itu menggenakan celana berwarna gelap ketat sepenjang dengkul. T-Shirt berwarna hitam, selain ketat, juga hanya sebatas pinggang. Seolah si pemakai sengaja memamerkan bentuk tubuhnya. Terutama bagian pinggul yang nampak ehem… Sedangkan yang Empat pemuda berpakaian layaknya orang kota. Ada yang memakai kalung, gelang dan dua orang mengenakan anting ditelinga bagian kirinya.
Dikedai itu, Ngajidin duduk membelakangi arah pintu masuk areal pemakaman. Tampak olehnya dari arah jalanan rombongan orang tua, muda, besar maupun kecil memasuki pelataran dan langsung menuju areal pemakaman. Pakaian mereka serba putih sengan songkok bulat berwarna putih pula. Mereka bergegas menuju areal pemakaman Sunan Bungkul yang berada di belakang sebelah kanan tempatnya duduk. Tampaknya rombongan itu dari luar kota. Entah dari mana, ia tidak peduli. Yang sedang ia pikirkan, ketika rombongan itu memasuki areal pemakaman, adalah begitu kontras. Kekontrasan itu, bila ia membandingkan antara pemuda yang sedang bermain papan luncur dengan rombongan yang baru datang tersebut. Yang satu datang untuk "bermain" dengan mengenakan pakaian modern. Sedangkan disisi lain ada rombongan yang datang tentu juga bisa disebut sedang "bermain".
Selain kedua kelompok itu, ada juga kelompok lain yang membawa alat-alat musik menghantarkan lagu dan syair. Di pelataran sebelah barat, juga tidak sedikit pemuda-pemudi melakukan aktifitas "layaknya pemuda". Bahkan ada yang sedang bermain bola dan bercengkrama. Pendeknya di tempat itu tergambar "Allahu Akbar". Yaitu, salah satu sifat Sang pencipta yang selama ini lepas dari perhatiannya.
Ya, bukankah semua apa yang terhampar didepannya, sebenarnya merupakan wujud dari kebesaran Nya? Baik itu yang terekam lewat panca indra atau tidak. Mungkin, selama ini apa yang terlihat seperti yang ada di Bungkul, merupakan sebuah kontradiksi. Tetapi bagi indra telah beriman, hal itu merupakan sebagian dari wujud af’al Allah.
Dan di Taman Bungkul itu Ngajidin juga dapat melihat akan Sifat Allah. Bagaimana tidak, apa saja yang tidak mendapatkan kasih sayang dan rezeki dari Nya? Ada orang berjualan bermacam-macam barang dagangan. Semuanya laku dan banyak dikunjungi oleh pembeli. Sedangkan para pemuda dengan pakaian Hypis, rambut gimbal dengan telinga ditindik sebelah, juga mendapatkan bagiannya dengan menjadi tukang parkir. Dan para pengamen yang tampak "agak sopan". Dan yang jelas, lebih ganteng dari dirinya, juga mendapatkan daun yang tidak sedikit. Sikap mereka semua terkesan bersahabat, bila dibandingkan dengan yang berada di tempat lain. Hal ini menunjukkan kepada dirinya, bahwa Tuhan menampakkan "Diri Nya" melewati sebuah lubang bernama Sifat Nya. Di Taman Bungkul itulah ia baru bisa melihat Tuhannya!
Tanpa disadari oleh Ngajidin, tangannya ada yang menggandeng. Ia dipapah dan menggerakkan langkah kakinya menuju ke dalam. Ngajidin memasuki areal pemakaman "tidak dengan keinginan diri". Otaknya, tidak memerintahkan, hatinya tidak menggerakkan, sedangkan lidahnya keluh tanpa firman, saat memasuki peraduan Sunan Bungkul!

Biasanya, hatinya selalu bertanya dan berkata macam-macam ketika ia melihat dan berkeinginan sesuatu. Lidahnya tak mau berhenti bicara, saat melihat keadaan yang lain dari pada biasa. Dan sedangkan otaknya, senang memerintah dirinya untuk melakukan segala macam hal, bahkan terkadang hal yang buruk menurut tatanan umum sekali pun. Tetapi kali ini tidak sama sekali.
Ketika tiba di dalam, areal pemakaman yang tergeletak hanyalah puluhan batu nisan. Ia tidak melihat Sunan Bungkul. Ia tidak melihat Sunan Kalijaga atau siapapun. Sekali lagi, ia hanya melihat batu nisan! Yang terdengar, hanya pujian Asma Allah. Itupun tidak didengar lewat daun telinganya, juga tidak melewati gendang telingahnya. Namun yang jelas pujian tentang Asma Allah itu berada di dalam kepalanya! Sebab Tuhan tidak berada dimana-mana, tetapi juga tidak kemana-mana. Sebab, Tuhan Allah hanya ada dan bersemayam diatas Arsy Nya. Dan Ngajidin bertemu Tuhannya di dalam Arsy dengan perantara Nya pula. Allah Sang Pencipta hanya bisa ditemui oleh Diri Nya sendiri. Tidak oleh siappun termasuk manusia bernama Ngajidin!***

Partai Lambang Beringin & Banteng Layak Dikubur

Jurnalis Independen: Kelangkaan dan melambungnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dalam negeri, berakibat menyengsarakan rakyat. Selain itu kemelut BBM, menguak beberapa fakta yang sangat memprihatinkan. Selain menimbulkan ketidak percayaan kalangan DPR pada pemerintah, juga menimbulkan tanda tanya besar masyarakat pada kebijakan partai politik.

Jumat, 15 Agustus 2008

Hak Angket



Hak Angket
Perjuangan Pro Rakyat atau Pribadi

Fraksi di DPR –RI berebut menjadi ketua Pansus Hak Angket. Perebutan antar fraksi di Senayan Jakarta, untuk menduduki posisi ketua layak mendapat perhatian. Perebutan ini mengindikasikan ketidakseriusan wakil rakyat dalam memperjuangkan hak rakyat. Hal ini tercermin dari statemen Arbi Sanit.
Selain itu, sikap mendukung sebagian anggota dewan untuk melakukan hak angket cenderung menipu rakyat. Dukungan mempersoalkan kebijakan pemerintah terkait kebijakan migas, lebih didasari oleh mendekatnya pemilu 2009. Selain itu, mesin-mesin politik di Senayan ingin menghindari amukan mahasiswa.
Wakil rakyat yang duduk disenayan ini mengkhawatirkan bersatunya masyarakat dengan mahasiswa bila mereka tidak menindaklanjuti hysteria massa. Kepanikan masyarakat tentang tingginya harga BBM dikhawatirkan memicu didudukinya gedung dewan di senayan. Karenanya, mau tidak mau dewan akan tetap merespon kepanikan rakyat dengan menggelar hak angket. Disisi lain, pemerintah merasa dikhianati oleh anggota dewan yang telah menyetujui kenaikan harga BBM, lantaran melonjaknya harga BBM di luar negeri.
Bergulirnya hak angket terkait kebijakan migas pemerintah SBY, menjadi harapan seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat, khususnya mahasiswa akan tetap terus berjuang agar pemerintah menurunkan kembali harga BBM yang kini membuat rakyat negeri ini hidup semakin terpuruk.
Bila politikus yang ada Senayan ini mau jujur, hak angket akan menjadi kunci untuk mengurai benang kusut persoalan BBM negeri ini. Selama ini kebijakan pemerintah yang berkaitan erat dengan BUMN bernama Pertamina ini penuh tanda Tanya. Misteri kebijakan migas pemerintah serta tertutupnya managemen Pertamina laksana lingkungan istana siluman.
Tersimpul dari uraian Arbi Sanit, carut marutnya komposisi pansus hak angket, setali tiga uang dengan problema perminyakan negeri ini. Ia menyayangkan bila nanti pansus akan membahas masalah-masalah yang tidak relevan dengan tugas pokok dari pansus sendiri. Pansus pada akhirnya akan membahas persoalan-persoalan tehnis dan non tehnis yang tidak ada hubungannya dengan benang kusut perminyakan kita. Lebih lagi bila dihubungkan dengan makin dekatnya pemilu 2009. waktu dan dana akan banyak terbuang hanya untuk membahas yang tidak substansial dari persoalan yang sebenarnya.
Seharusnya pansus bekerja lebih keras lagi untuk membongkar dan menyelidiki soal migas ini dari hulu sampai hilir, demikian kata Azwar Anas anggota dari fraksi Kebangkitan Bangsa. Fraksinya beserta fraksi dari PDI-P yang paling getol mengusulkan hak angket menginginkan persoalan migas ini diperjuangkan oleh anggota pansus lintas partai tersebut untuk menemukan solusi yang tepat. Agar kelak kemudian hari tidak akan terjadi pengambilan keputusan pemerintah yang menyengsarakan masyarakat terkait migas ataupun energi secara umum.
Penyelidikan oleh ahli layak dilakukan. Semua pihak harus bekerja sama untuk menuntaskan permasalah tersebut. Target-target penyelidikan harus diketahui oleh publik. Walau pada proses penyelidikannya secara tertutup, namun tetap dibawah sumpah.
Diusulkan pula, secepatnya anggota pansus untuk mengumpulkan para ahli yang akan terlibat dalam penyelidikan kasus migas ini. Juga akan dibocarakan hal-hal yang terkait dengan dana yang ditimbulkan akibat dari turut sertanya para ahli yang dibutuhkan. Dananya, dimasukkan menjadi satu dan diusulkan kepada ketua pansus.
"Pansus harus cepat menyeleksi team-team ahli yang dibutuhkan untuk mendukung data. Mulai dari ahli perminyakan, ekonomi dan ahli hukum", jelas Azwar.
Abdullah azwar Anas menambahkan, agar pengamat, politisi dan pres turut memantau kinerja pansus. Dengan demikian kinerja pansus tetap lurus seperti yang diharapkan semua pihak.***

Selasa, 05 Agustus 2008

AS & Sekutu, Datang, Menantang Perang



Jurnalis Independen: Afghanistan, merupakan contoh lain yang hingga kini masih mampu memberikan banyak pelajaran bagi manusia di dunia. Penyerangan AS dan sekutunya disaat negeri ini berhasil melepaskan diri dari salah satu tangan gurita Dajjal bernama Uni Sovyet.

Dajjal, Tipu Daya & Konspirasi




Dajjal, Tipu Daya & Konspirasi Mengapa Srebrenica dibiarkan jatuh di depan mata pasukan PBB, lalu ribuan warga muslim dibantai tentara Serbia? Karadzic akan mengungkap deal rahasia di balik jatuhnya Srebrenica.

Jumat, 01 Agustus 2008


Kata AS di negeri ini sarang teroris. Tetapi aku bilang, bahwa di negeri ini gudang Mujahiddin. Yaitu tempat pejuang yang hanya tunduk kepada Sang Pencipta Sejati. Yang membuat hatiku sedih, banyak pemimpin di negeri ini yang takut bila dikatakan tidak Demokrasi dan melanggar HAM. Padahal dua kata tersebut hanyalah sampah yang hanya mengotori jiwa dan pikiran kita saja. Lebih parahnya, banyak masyarakat awam mudah diracuni oleh slogan Freemasonry Yahudi. Bila tak cepat mengganti pemimpin negeri ini, maka Biduk Nusantara akan lenyap dari peta dunia. Sadarkah saudaraku......

Istri adalah matahari dalam rumah tangga. Karenanya carilah sesuai selera jiwa. Agar jangan menyesal kelak kemudian hari. Dengan bertingkah dengan mencari WIL atau bahkan merendahkan selera dengan berlaku seperti Ryan sang jagal HOMO dari Tembelang Jombang. contohlah aku yang mencari jodoh hingga melongok ke surga untuk mendapatkan sang bidadariku.


Menikah, bukan sebuah permainan dadu! Tetapi mencari belahan jiwa yang ditebar di dunia. Carilah, sahabat.... walau butuh waktu, namun jangan lupa berdoa agar tidak salah mendapatkan belahan jiwa....... okey....

Gubernur Wanita Pertama Indonesia



Gubernur Wanita Pertama

Khofifah Indar Parawansah
Pilkada Jatim telah usai setengah putaran. Setengah putaran sisanya, masih belum ditentukan, kapan akan dilaksanakan oleh KPU Jatim.
Pilkada Jatim 2008, diikuti oleh lima pasangan cagub dan cawagub. Diantara lima pasangan itu, satu-satunya peserta wanita adalah Khofifah Indar Parawansah. Wanita yang pernah menjadi menteri pada kabinet pemerintahan Gus Dur.
Nama Khofifah menjadi menarik untuk dibicarakan, sebab pemilik cagub no I ini, terlihat tidak lazim. Pasangan Khofifah-Mudjiono (KAJI) hanya didukung oleh partai gurem. Partai-partai yang mendukungnya antara lain, Patriot, PKNU, PPP,
Pada kenyataannya, dalam pilkada yang diselenggarakan (23/7), KAJI mengungguli pasangan SR, SALAM, maupun ACHSAN. Setelah dilakukan penghitungan, terutama oleh LSI, perolehan suara KAJI berkisar pada angka 25%.
Angka ini sungguh mengagetkan masyarakat. Terutama bagi masyarakat pendukung SR. diatas kertas, pasangan SR terlihat lebih mapan dari pada KAJI. Namun kenyataan, membuat banyak mata terbelalak.


Sudah Diramalkan
Pilkada putaran kedua, harus dilakukan. Karena pada putaran sebelumnya, kelima pasangan tidak memenuhi syarat untuk keluar dan disebut sebagai pemenang. Alasannya, tak ada kontestan yang mendapatkan suara lebih dari 30 %. Oleh karena itu, putaran kedua harus segera dilaksanakan oleh KPU Jatim, walau konsekwensinya pihak penyenggara harus menyediakan dana yang tidak sedikit.
Walau putaran kedua pilkada Jatim belum dipersiapkan, tetapi aroma kemengan pasangan Khofifah-Mudjiono telah tercium dengan sangat kuatnya. Kemenangan pasangan ini, seolah membenarkan adanya sinyalemen yang pernah dikatakan seorang tidak terkenal asal Jember. Orang tersebut bernama Mbah Jenggot.
Menurut Mbah Jenggot, negeri ini, tidak akan berubah menjadi lebih baik, bila tidak didahului dengan munculnya seorang pemimpin wanita di Jatim. Masih menurut lelaki uzur yang pernah ditemui di halaman Universitas Merdeka Surabaya ini bahwa wanita tersebut merupakan kader muslimat dan seorang tokoh yang cerdas.
Bila ditilik dari sisi kepercayaan "islam ortodok", pemimpin wanita masih dianggap tabu untuk memimpin sebuah wilayah administrasi. Namun hal itu bukan menjadi pokok bahasan kali ini. Tetapi pokok bahasan kali ini adalah munculnya seorang tokoh wanita yang menjadi tonggak sejarah bangkitnya negeri Nusantara menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih mapan dari pada sebelumnya.
Diharapkan, kenyataan ini bukan sekedar harapan kosong seperti selama ini. Sebab, bila menilik pendukung KAJI yang heterogen, jangan-jangan justru akan menjadikan khususnya wilayah Jatim menjadi ajang mafia yang akan melegalkan segala bentuk usaha.
Bukan tidak mungkin, para pendukung Khofifah akan meminta balas jasa untuk menduduki jabatan strategis dalam pemirintahan, khususnya bidang usaha tertentu yang justru mengakibatkan kesengsaraan masyarakat semakin bertambah parah.
Walau kita ketahui, selain Hasyim Musadi, ada tokoh-tokoh dengan track record hitam yang mendukung Khofifah Indar Parawansah. Tokoh-tokoh tersebut, sepertinya memiliki agenda tertentu. Agenda itu adalah untuk mencari keuntungan pribadi dan golongan yang sangat kental.
Terlepas dari itu semua, kenyataannya pasangan Khofifah-Mudjiono terlihat mantab melaju menuju Jatim I dan Jatim II, mengubur harapan pasangan lainnya termasuk pasangan KARSA yang memiliki orientasi sosial dan kesejahteraan masyarakat Jatim sangat jelas.
Melajunya KAJI menuju Grahadi, ternyata tak terbendung oleh siapapun. Hal ini bisa terjadi karena, Khofifah memiliki aura pemimpin yang sangat jelas dan terang benderang. Sebab itu, sudah bisa dipastikan bahwa periode mendatang (2008-2013), gubernur Jawa Timur adalah seorang wanita. Dan wanita itu bernama Khofifah Indar Parawansah.***

Pilkada Jatim, 23 Juli 2008
Pilkada Jatim yang dilaksanakan pada Rabu (23/7), berakhir sudah. Hasilnya untuk sementara mendudukan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf sebagai pemenang. Pasangan nomor 5 ini mengantongi hasil 27,2 %.
Sedangkan pasangan no 1, Ka-Ji (Kofifah Indar Parawansa – Moedjiono) menduduki peringkat dua dengan perolehan suara sebesar 25, 38 %. Pasangan SR ( Soecipto-Ridwan Hisyam) memperolah 20,94 %. Pasangan No Salam dan Achsan, masing-masing memperolah 18,87 % dan 7,84 %. Data ini disajikan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada Rabu, pukul 18.00.
Pilkada Jatim, Dua Putaran
Tidak adanya pasangan yang mendapatkan kuota melebihi 30 %, menyebabkan kemungkinan akan diadakannya putaran kedua pada pilkada Jatim. Hal ini disampaikan oleh divisi logistic, Didik Prasetiyo.
Menurut Didik, KPU Jatim akan menyusun rencana dalam dua bulan mendatang. Rencana tersebut terkait hasil pilkada yang sementara ini menurut data dari lembaga survey tidak adanya pasangan yang mendapatkan pereolehan suara lebih dari 30 %.
Dengan hasil tersebut KPU akan menyiapkan Pilkada Putaran kedua. Terkait itu, KPU akan mempersiapkan segala sesuatunya guna pelaksanaan Pilkada putaran kedua. Hasil resmi pilkada Jatim 23 Juli, akan diumumkan pada 4 Agustus mendatang.
Hasil sementara pilkada Jatim, memungkinkan diadakannya pemilihan lanjutan atau putaran kedua. Pilkada putaran kedua akan menghabiskan biaya sebesar Rp 250 miliar.
"Dengan hasil yang dilaporkan oleh pihak lembaga survey, merupakan peringatan bagi KPU Jatim untuk mempersiapkan dua putaran Pilkada Jatim," kata Didik Prasetiyo. KPU Jatim akan mempersiapkan putaran kedua terkait tidak adanya perolehan 30 % dari 5 pasangan peserta pilkada. "Persiapan putaran kedua akan dilasanakan, 60 hari sejak waktu pencoblosan, "jelas ketua divisi logistik Didik Prasetiyo kepada para wartawan.***

Masyarakat Tidak Antusias
Pilkada Jatim, ternyata tidak disambut gembira oleh masyarakat Jatim. Hal itu terlihat dibeberapa lokasi tempat pemungutan suara (TPS). Dari pantauan adakabar.com, dibeberapa TPS tidak cukup dipadati oleh warga pemilih. Hal ini, terbukti dari jumlah pemilih yang hadir di setiap TPS tidak melebihi 50 % dari angka yang tertera di DPT (Daftar Pemilih Tetap).
Seperti yang terjadi di TPS 05 Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan Surabaya. Di TPS tersebut, tertera 377 warga pemilih. Namun yang hadir dan menggunakan hak pilihnya hanya 185 orang. Sedangkan di TPS 06, daerah yang sama, warga yang mencoblos hanya 248 dari jumlah yang semestinya 568 pemilih.
Tidak diketahui sebab pasti tidak hadirnya pemilih pada pilkada kali ini. Dari beberapa orang menyatakan kengganan mereka mengikuti pesta demokrasi kali ini, lantaran lokasi surah mereka "sedikit jauh" dari lokasi TPS tempat mereka memberikan hak pilihnya.
Seperti yang terjadi di TPS 05, ada beberapa warga yang enggan memberikan suaranya lantaran di TPS 08. padahal letak TPS tersebut hanya terpaut 100 meter dari tempat tinggal mereka. Alasan yang dikemukakan juga terkesan mengada-ada.

Golput Bertambah
Keengganan warga untuk mencoblos di tempat yang berjarak tak lebih dari 100 meter dari rumahnya merupakan salah satu besarnya angka golput pilkada Jatim. Sedangkan tidak terdaftarnya warga pemilih di DPT merupakan persoalan lain yang juga mnegakibatkan rendahnya peran aktif warga masyarakat dalam pilkada kali ini.
Selain itu, ketidakakuratan data merupakan persoalan yang serius. Ada beberapa warga yang tidak terdaftar dan memperoleh kartu pemilih. Sehingga tidak mendapatkan surat pemberitahuan pencoblosan. Padahal, beberapa anggota keluarga yang serumah, terdaftar dan mendapatkan undangan dan kartu pemilih.
Persoalan seperti ini, mendapat respon positif dari warga bersangkutan. Tetapi tidak sedikit warga yang cuek, ketika dirinya tidak mendapat kartu pemilih dan undangan pemberitahuan pencoblosan.

Selain kasus tersebut ada beberapa warga yang telah meninggal dunia, nama dan alamatnya masih tercantum di DPT dan memiliki hal pilih dalam Pilkada Jatim.
Bila ada putaran kedua Pilkada Jatim, hal seperti ini harus diperbaiki. Bila tidak, Pilkada Jatim layak untuk dipertanyakan keabsahannya.***
PW NU Jatim "Tuduh" KPU Gelembungkan Suara Pasangan Kontenstan Tertentu
Ketua PW NU Jatim Mutawakil Alala, mengingatkan KPU Jatim tidak melakukan manipulasi suara hasil pemilihan calon gubernur-wakil gubernur Jatim, (23/7) lalu. Hal itu disampaikan oleh ketua PW NU dikantornya.

Bila hal itu sampai dilakukan oleh KPU Propinsi Jatim, maka kekisruhan akan terjadi di Jawa Timur menyusul kekisruhan yang terjadi di Maluku Utara dan Sulawesi.
Ada 3 dampak yang bisa terjadi, bila manipulasi hasil suara dilakukan oleh KPU. Pertama : Masyarakat tidak akan lagi percaya kepada pemerintah. Kedua : Akan muncul pemimpin yang dianggap masyarakat bukan sebagai pemimpin tetapi sebagai pemain dan penipu karena melakukan kebohongan. Ketiga : Akan memicu tindakan anarkis dari masyarakat seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Maluku Utara dan Sulawesi.
Di depan para wartawan di kantor PW NU Surabaya, Mutawakil Alala walau tidak secara rinci juga mengatakan, adanya penggelembungan dan pencurian suara. Karenanya, Alala juga berharap KPU Jatim bekerja dengan baik. Selain itu, dirinya juga berharap Panwaslu untuk bertindak tegas terhadap semua pelanggaran yang terjadi pada pilkada Jatim sesuai dengan aturan yang ada.
" KPU harus bersikap Jurdil, tidak terjadi manipulasi suara. Baik itu penggelembungan maupun pencurian suara. Bila itu terjadi, maka akan menimbulkan tiga hal yang merugikan dan membuat kekacauan di Propinsi Jawa Timur, seperti yang terjadi di Maluku Utara maupun Sulawesi," begitu kata Ketua Pimpinan Wilayah NU, Mutawakil Alala.
Menurut tokoh NU tersebut, Indikasi kecurangan, diketahui setelah laporan dari kader NU yang diterjunkan di sejumlah wilayah untuk memantau jalannya Pilkada Jatim, diterimanya. Namun Alala tidak memerinci 4 daerah yang diindikasikan melakukan penggelembungan dan pencurian suara tersebut.***

Larangan Warga NU Membawa Bendera Putaran Kedua Pilkada Jatim
Pada putaran kedua pilkada Jatim, warga NU tidak diperkenankan menggunakan bendera NU. Larangan ini disampaikan oleh ketua Pimpinan Wilayah NU Jatim pada konfercab di Bangil.
Larangan tersebut dilakukan untuk menjaga situasi yang kondusif di wilayah Jatim, demikian dikatakan oleh Mutawakil Alala. Alala, sehari sebelumnya pernah menyatakan imbauan pada KPU Jatim untuk lebih waspada terhadap penggelembungan dan pencurian suara.
Hal tersebut disampaikan terkait ada indikasi penggelembungan dan pencurian suara yang ditemukan di 4 wilayah Jatim.***

Amerika Datang Negara Perang


Amerika Datang Negara Perang

Amerika Datang Perang Melanda
Itulah ungkapan yang menjadi kenyataan dewasa ini. Ungkapan tersebut, bukan hanya merupakan isapan jempol belaka. Bila kita perhatikan, setiap Amerika Serikat (AS) hadir dalam suatu wilayah atau Negara lain di dunia ini, perang selalu mengiringinya.
Negara yang memiliki peralatan perang tercanggih di dunia ini bak Barbar Mongolia. Masyarakat dan pemerintahannya memiliki hobi membunuh dan berperang. Sepanjang sejarah peradaban manusia modern, AS paling banyak terlibat peperangan dengan Negara-negara di dunia.
Liciknya, AS selalu berperang dengan Negara yang tidak memiliki peralatan perang lebih baik dari yang dimilikinya.
Tetapi AS selalu menghindar bila harus berhadapan dengan Negara yang memiliki peralatan perang sebanding dengannya.
Hal ini terbukti dengan menghindarnya AS dari berperang melawan Uni Sovyet (US, sekarang Rusia). AS pun menghindari dan tidak berlaku garang terhadap Negara Komunis RRC ( Republik Rakyat Cina).
Tetapi sebaliknya bila berhadapan dengan Negara seperti Vietnam, Korea, Palestina, Iran, Irak, Afganistan, Sudan, Afrika, Pakistan dan Negara lainya. Serbuan semacam, juga tidak luput menimpa negara seperti Indonesia. Negara-negara tersebut harus tunduk kepada AS dengan berbagai dalih dan cara.
AS melakukan hal itu hanya dengan satu tujuan. Yaitu menjadi kampium dunia yang harus dituruti semua kemauannya. Bila keinginannya tidak dipenuhi, tak segan-segan negeri Rambo itu menggerakkan gengnya untuk menyerbu Negara kurcaci itu.
Negera boneka Israel ini, selalu berbuat arogan dan membuat keonaran diberbagai penjuru dunia. Keonaran itu bukan hanya dalam bidang politik saja. Namun juga termasuk berbagai bidang seperti, budaya, ekonomi, pendidikan maupun informasi.
AS pun tak segan-segan menggunakan mafia pengedar obat terlarang untuk merusak mental dan moral suatu negara. Bila mafia tersebut tertangkap, pemerintah AS dan begundalnya, tak segan menggunakan kekuatannya untuk membebaskan si pelaku dengan berbagai dalih termasuk HAM.
Munculnya siaran berita diberbagai Negara dalam bahasa setempat oleh Amerika merupakan bukti nyata adanya usaha penguasaan dalam bidang informasi. Siaran berita tersebut merupakan bentuk agitasi yang dilakukan oleh pemerintah AS. Tujuannya jelas, yaitu hanya untuk memberikan pandangan yang keliru kepada masyarakat terhadap Negara dan para pemimpinnya.
Agitasi tersebut lebih berhasil manakala moral pemimpin Negara tersebut jatuh dalam kubangan Lumpur. Biasanya, Lumpur tersebut berupa korupsi, kolosi dan nepotisme (KKN). Pada awalnya, penyakit kronis tersebut merupakan bibit yang ditanam oleh AS dan sekutunya.
Agitasi lewat informasi tidak hanya dilakukan oleh AS saja, tetapi Inggris dan Australia belakangan juga aktif melakukannya. Kalau AS beragitasi melalui siaran VOA (Voice Of Amerika), BBC dan ABC merupakan agitator dari Imperialis-Kapitalis Inggris dan Australia.
Di Indonesia sendiri hal tersebut nampak telanjang di mata kita. Anehnya, agitasi ini diamini oleh banyak media di tanah air. Dan biasanya, pemilik media tersebut, merupakan individu maupun terdiri dari kumpulan komprador yang ber AQ jongkok. Sayangnya, di negeri ini tak banyak pejabat yang berpikiran cerdas. Pejabat negeri ini, hanya mau duduk dan mengumbar janji tanpa memiliki rasa cinta pada negara, bangsa dan tanah air.
Bukti ketidakbecusan pemerintah adalah, hingga hari ini negeri ini tak pernah mandiri dalam hal apapun. Masalah pangan pun, negeri ini kini bergantung dan menurut pada negara lain.
Bila sebuah Negara, pemimpin dan masyarakatnya takut berperang demi kebebasan dan kesejahteraan negerinya, maka jangan harap kemakmuran akan didapat hanya mengandalkan bantuan dan uluran tangan Negara atau pemerintah lain. Sebab negeri ini merdeka bukan atas dasar uluran tangan dari bangsa lain seperti Amerika, Inggris, Jepang maupun Australia. Negeri ini merdeka atas pengorbanan darah, air mata dan melayangnya nyawa para Syuhada yang menjadi Pahlawan bangsanya.
Amerika datang dengan membawa perang dan perbudakan. Padahal kita adalah bangsa yang merdeka. Mengapa kita harus tunduk kepada bangsa yang tidak pernah memiliki tujuan mensejahterakan Negara, rakyat dan bangsa kita? Mereka (AS dan sekutunya) bertindak hanya dengan satu tujuan. Mereka bertindak hanya untuk kesejahteraan rakyat dan bangsanya (AS), bukan untuk bangsa dan rakyat Indonesia!
Dan mereka pun bertindak atas suruhan dari tuannya yang bernama Israel Raya (Israel Raja). Tahukah pejabat negeri ini? Apa yang engkau ketahui wahai pejabat? Mengapa engkau diam saja? Apakah engkau manusia? Apakah engkau orang Indonesia? Apakah engkau punya agama? Mengapa diam saja? Berbuatlah sebagai ksatria!
Ksatria itu berbuat sesuai dengan undang-undang. Undang-Undang Dasar kita adalah UUD 1945, bukan mulutnya Presiden manca Negara.apakah UUD 1945 sekarang ini masih dipakai?Tetapi mengapa pemimpin negeri ini lebih tunduk kepada monyong Bush, Clinton, Obama, Theacher, ataupun monyong-monyong lain? Kalau pengecut, jangan jadi pemimpin bung!***

Senin, 21 Juli 2008


Dua Puluh Mei 2008: Kebangkitan Nasional?
Di tengah gempita peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, mengemuka gugatan terhadap peran dan posisi Boedi Oetomo. Sebagian menilai, kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu sesungguhnya amat tidak patut diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen). Lebih jauh mereka menilai, dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam. Sarekat Islam (SI) yang lahir 3 tahun terlebih dahulu dari Boedi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, lebih tepat dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Karena itu, sejarah kebangkitan nasional yang selama ini mendasarkan pada peran Boedi Oetomo harus dipertanyakan kembali.
Topik hangat ini dibahas dalam Dialog Peradaban “HOS Cokroaminoto vs Wahidin Sudirohusodo (Serikat Islam vs Budi Oetomo); Mencari Kompromi Kebangkitan Nasionalisme Kita yang diselenggarakan oleh Cides bersama Mahfudz Siddiq (FPKS), Ahmad Suhelmi (Fisip UI), Firman Noor (Cides) dan Jubir HTI M. Ismail Yusanto pada 22 Mei lalu. Acara yang dibuka oleh Mensesneg Hatta Rajasa ini dipadati peserta dan diskusi berlangsung hangat.
Sebuah tesis sejarah yang ditulis Savitri Scherer di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975 yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1985, menggambarkan bahwa Boedi Oetomo pada intinya merupakan gerakan sosial yang mengartikulasikan kepentingan kelompok priyayi non-birokrat yang bersifat lokal. Ini karena adanya disharmoni antara priyayi ningrat (priyayi birokrat) dengan priyayi profesional, khususnya para dokter Jawa.
Atas hal itu, kemunculan Boedi Oetomo sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk menolong diri sendiri yang berada dalam posisi rendah dibandingkan dengan priyayi birokratis. “Kalau kita tidak menolong diri kita sendiri tidak akan ada orang lain yang menolong kita, dan tolonglah diri kalian sendiri,” demikian Gunawan Mangunkusumo tentang alasan mahasiswa STOVIA mendirikan Boedi Oetomo (Paul W van der veur, ed., Kenang-kenangan Dokter Soetomo, Jakarta: Sinar Harapan, 1984 hlm. 22).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa Boedi Oetomo merupakan organisai lokal, dan hanya berjuang untuk kelompok kecil, tidak berskala nasional, sehingga sulit untuk dianggap sebagai perintis kebangkitan nasional.
Sejalan dengan itu, dalam pasal 2 anggaran dasar Boedi Oetomo tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis”. Jadi, jelas sekali bahwa tujuan Boedi Oetomo bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan (Rizki Ridyasmara, “20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional”, dalam http://www.eramuslim.com).
Atas hal demikian, banyak pengamat sejarah yang menolak peran Boedi Oetomo sebagai gerakan pelopor kebangkitan nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH Firdaus AN mengungkapkan “…Boedi Oetomo adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya.”
Selanjutnya Firdaus AN mengungkapkan, perkumpulan Boedi Oetomo dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Boedi Oetomo pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.
Selain itu, Firdaus AN memaparkan bahwa dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.
Karena itu, lanjut Firdaus, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia, dan Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.
Mengenai hubungan Boedi Oetomo dengan Islam, KH Firdaus AN mengungapkan adanya indikasi kebencian terhadap Islam di kalangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata, “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Sebuah artikel di Suara Umum, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah Al-Lisan terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).
Bukan itu saja, di belakang kelompok Boedi Oetomo pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama Boedi Oetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895. Sekretaris Boedi Oetomo (1916), Boedihardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boedihardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (Dr. Th. Stevens).
Berbeda dengan Boedi Oetomo, Sarekat Islam lebih menasional. Keanggotaan Sarekat Islam terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Sifat menasional Sarekat Islam juga tampak dari penyebarannya yang menyentuh hingga kepelosok-pelosok desa. Tahun 1916, tercatat 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan tak kurang dari 700.000 orang tercatat sebagai anggotanya. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Sebaliknya, Boedi Oetomo pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang.
Adanya faktor Islam inilah yang membuat Sarekat Islam lebih progresif, tidak terbatas pada kelompok tertentu, dan menginginkan adanya kemajuan bagi seluruh rakyat. Salah satu misi pembentukan Sarekat Islam, seperti dirumuskan oleh Tirtoadisuryo ialah, “Tiap-tiap orang mengetahuilah bahwa masa yang sekarang ini dianggap zaman kemajuan. Haruslah sekarang kita berhaluan: janganlah hendaknya mencari kemajuan itu cuma dengan suara saja. Bagi kita kaum muslimin adalah dipikulkan wajib juga akan turut mencapai tujuan itu, dan oleh karena itu, maka telah kita tetapkanlah mendirikan perhimpunan Sarekat Islam.” (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3JS, 1982. Hal 116).
Berdasarkan alasan tersebut, tampak adanya sikap kepeloporan perubahan dan perbaikan bagi seluruh warga negara yang lebih merakyat yang didorong atas keyakinan Islam. Cakupan kegiatan Sarekat Islam yang meliputi seluruh rakyat Indonesia juga tampak dalam tujuan organisasi tersebut yang termaktub dalam anggaran dasarnya.
Organisasi ini berkembang dengan cepat di daerah-daerah lain di Jawa, bahkan organisasi ini menyebar juga ke luar Jawa, seperti di Sumatera Selatan.
Jelas tampak adanya perbedaan mendasar antara Boedi Oetomo yang hanya berjuang untuk kelompok kecil priyayi di Jawa dengan Sarekat Islam yang berjuang untuk seluruh rakyat. Dengan menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan, tampak pula bahwa SI sesungguhnya merupakan pelopor yang sebenarnya dari sebuah kebangkitan yang bersifat nasional.
Namun, ketika pertama kali dilakukan peringatan hari Kebangkitan Nasional pada tahun 1948, peringatan itu mengambil momentum kelahiran Boedi Oetomo yang dianggap sebagai pelopor kebangkitan nasional sehingga peringatan Kebangkitan Nasional selalu jatuh pada tanggal 20 Mei. Ini jelas sekali merupakan suatu usaha menghilangkan spirit Islam dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, juga menghilangkan identitas Islam sebagai bagiaan terintegruasi dari bangsa Indonesia.

Awas Dajjal-Dajal Bergerilya!

Salah satu cara yang digunakan Barat untuk menghambat tegaknya kembali Khilafah adalah propaganda jahat. Barat dan kaki tangannya di negeri Islam secara sistematis berusaha mengkaitkan perjuangan Khilafah dengan terorisme atau tindakan kekerasan. Bulan Desember 2004, The Nixon Center, sebuah lembaga penelitian nirlaba di Amerika yang didirikan oleh mantan Presiden AS Richrad Nixon, merilis buku berjudul, Hizb at-Tahrir: Islam’s Political Insurgency, karya Zeyno Baran. Telaah Kitab kali ini bermaksud memaparkan sejauh mana pandangan penulis buku ini terhadap Hizbut Tahrir (HT), yang diklaim didasarkan pada sejumlah penelitian ilmiah, dan apa saja yang perlu dikritisi atas pandangan tersebut.
Dalam pengantar buku ini, Presiden The Nixon Center Dimitri K. Simes memberikan catatan tentang pentingnya buku ini. Temuan dan rekomendasi dari risalah ini sangat penting guna memastikan keamanan AS dalam jangka panjang. Baran mengatakan, tujuan dari bukunya ini adalah untuk memberikan gambaran yang jelas tentang sebuah kelompok yang berada di garis depan dalam pemikiran gerakan Islam radikal. Menurutnya, perang melawan terorisme bukanlah perang yang sesungguhnya, tetapi perang yang sesungguhnya adalah perang ideologi. “Terorisme sendiri hanyalah alat; kita harus melihat tujuan politis yang menggunakannya,” tulisnya.
Beberapa Catatan Kritis
Sebagaimana lazimnya, buku kajian yang dilakukan Barat tentang Islam atau kelompok Islam yang mereka tuduh radikal penuh dengan manipulasi di sana-sini. Beberapa penyakit kajian Barat tentang Islam seperti generalisasi, bias, standar ganda, data yang tidak obyektif, dan narasumber yang tidak seimbang menjadi penyebab mengapa buku ini penuh dengan kecacatan. Sepertinya memang buku ini ditulis dengan maksud tertentu untuk membuat citra negatif terhadap Hizbut Tahrir sekaligus untuk menghasut negera-negara Barat dan Dunia Ketiga untuk membendung perkembangan HT. Beberapa catatan kritis dari buku ini antara lain:
Mengaitkan Hizbut Tahrir dengan tindakan terorisme.
Nafsu untuk mengaitkan HT dengan terorisme sangat dominan dalam tulisan Baran ini. Seperti yang ditulisnya sendiri, menghancurkan citra HT sebagai gerakan non violance (tanpa kekerasan) adalah first step (langkah pertama) yang penting. Tidak aneh, kalau Baran menggunakan logika yang dangkal dan terkesan dipaksakan untuk mengaitkan HT dengan kekerasan. Menyadari garis perjuangan HT dalam menegakkan Khilafah memang tidak menggunakan kekerasan, Baran mencari-cari alasan agar HT tetap dikaitkan dengan kekerasan. Hal ini tampak dari argumentasinya yang menempatkan HT dalam posisi bukan pelaku langsung kekerasaan, tetapi “memberikan landasan ideologis, memberikan inspirasi, dan menumbuhsuburkan tindakan terorisme.”
Baran membangun argumentasinya dengan suatu asumsi: Kekerasan adalah alat yang digunakan oleh Islamis radikal dalam “perang pemikiran” yang lebih luas melawan demokrasi liberal Barat (hlm. 7). Namun sayang, asumsi ini tidak dibangun atas atas dasar argumentasi yang logis. Kegagalan awal dari asumsi ini adalah tidak adanya kejelasan defenisi apa yang dimaksud oleh Baran dengan Islamis radikal. Kalau HT masuk dalam kelompok radikal, asumsi ini menjadi rontok, karena HT sudah jelas-jelas menyebutkan tidak menggunakan kekerasan dalam perjuangannya.
Anehnya, untuk menunjukkan HT adalah kelompok radikal yang menggunakan kekerasan, Baran mengutip pendapat Sayyid Qutb yang menurut Baran mengesahkan penggunaan kekerasan jihad untuk menegakkan Khilafah (hlm 7). Padahal sangat jelas, Sayyid Qutb bukanlah anggota HT, apalagi menjadi pemimpin HT yang menyusun pimikiran-pemikiran HT. Baran gagal mencari satu pun dari buku-buku sah HT (mutabbanât) yang menyatakan perjuangan penegakan Khilafah oleh HT ditempuh dengan menggunakan kekerasan. Sekarang, perhatikan argumentasi Baran berikut ini:
HT selalu menolak kekerasan. Namun, kelompok-kelompok lain yang mempunyai tujuan sama tetapi menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan itu tidak pernah dikutuk oleh HT. HT tidak pernah mencela serangan teroris….HT aktif melakukan pembinaan ideologi kaum Muslim, sementara organisasi-organisasi lain menangani perencanaan dan pengeksekusian serangan teroris. Meskipun menolak deskripsi ini, sekarang ini secara de facto HT merupakan perantara bagi teroris.
Baran menuduh HT tidak berkomentar terhadap berbagai serangan bom yang ada didunia ini. Baran keliru. HT Inggris, misalnya, secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aksi bom di London baru-baru ini. HT Inggris juga pernah mengeluarkan komentar ketidaksetujuannya dengan aksi bom di Madrid yang menewaskan rakyat sipil yang tidak bersalah. Di Indonesia, HT Indonesia mengeluarkan banyak siaran pers yang mengharamkan pembunuhan rakyat sipil yang tidak bersalah dan penghancuran fasilitas umum saat terjadinya berbagai aksi bom di Indonesia. Hal ini bisa dilihat di berbagai website resmi HT.
Tuduhan terhadap HT sebagai pengemban ideologi perantara atau pemberi inspirasi bagi tindakan terorisme juga sangat lemah. Tidak ada uraian yang jelas dan detail, pandangan ideologi mana dari HT yang melegalkan penggunaan kekerasan dalam perjuangannya menegakkan Khilafah dan syariah. Kalau dikatakan memberikan inspirasi, ini juga jelas sangat kabur. Kalau setiap yang memberikan inspirasi disebut teroris, maka AS-lah yang paling layak disebut teroris. Sebab, justru banyak aksi kekerasan merupakan reaksi dari kebijakan AS yang menindas di Dunia Islam. Artinya, AS bisa dianggap telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan terhadap Amerika seperti yang terjadi di Irak saat ini. Bukankah perlakuan kejam tentara AS di penjara Guantanamo dan pembunuhan oleh tentara AS terhadap rakyat sipil adalah di antara faktor yang menimbulkan perlawanan terhadap AS?
Masih belum puas dengan argumentasi di atas, Baran berupaya mengaitkan HT dengan kekerasaan, dengan tuduhan bahwa pecahan-pecahan HT seperti Al-Muhajirun (1996) telah mengeluarkan pernyataan yang mendukung terorisme. HT juga dikaitkan dengan gerakan Palestinian Islamic Jihad (1958), Akromiyah di Uzbekistan (1996), dan Hizb un-Nusrat (1999). Kelompok-kelompok ini dianggap merupakan ‘lulusan’ HT yang melakukan tindakan kekerasaan.
Sebagai sebuah organisasi Islam dunia, jelas HT berinteraksi dengan kelompok-kelompok Islam lainnya. Namun, bukan berarti HT sama dengan kelompok-kelompok tersebut. Penggunaan istilah ‘lulusan’ HT juga lucu. Apakah kalau seseorang lulusan Universitas Harvard melakukan tindakan terorisme, bisa disimpulkan bahwa Harvard juga adalah lembaga teroris. Apalagi Baran mengatakan kelompok-kelompok itu merupakan pecahan HT. Kalau pecahan, tentu saja artinya kelompok tersebut tidak sejalan lagi dengan HT sehingga dia keluar atau membentuk organisasi baru. Kalau sejalan, mengapa disebut pecahan? Jelas ini mengada-ada.
Menuduh HT menyebarkan ideologi kebencian, anti-Semit, anti-Amerika, dan anti-Barat.
Tuduhan bahwa HT menyebarluaskan kebencian juga sangat kabur dan cenderung merupakan propaganda. Pertama: tidak semua kebencian itu salah; bergantung pada apa yang kita benci dan apa alasan kita membencinya. HT merupakan partai politik yang sangat membenci penindasan yang dilakukan oleh Israel di Palestina, kekejaman dan penjajahan AS di Irak dan Afganistan, termasuk pembunuhan rakyat sipil di sana.
Apakah salah kalau HT membenci semua itu. Inilah yang tidak didudukkan persoalannya oleh Baran. Dia sekadar membangun propaganda bahwa HT membangun kebencian terhadap Amerika Serikat atau Barat. Baran sengaja menutupi bahwa yang dibenci oleh HT adalah penindasan dan penjajahan dalam segala bentuk yang dilakukan oleh AS. HT membenci ideologi Kapitalisme yang diterapkan saat ini, yang telah menyebabkan penderitaan umat manusia. Jadi, HT bukan membenci orang AS sebagai manusia. Apalagi tidak semua warga AS setuju terhadap kebijakan Bush yang memang kejam.
Lalu berkaitan dengan tuduhan anti-Semit yang sering dilekatkan pada HT. Berulang-ulang HT mengatakan, yang ditentang oleh HT adalah berdirinya negara Israel yang menjajah Palestina dan sikap kejam negara zionis itu terhadap rakyat Palestina. Islam sendiri tidak mempersoalkan keberadaan orang-orang Yahudi atau Nasrani. Sejarah keemasan Islam dihiasi dengan bagaimana rukun dan damainya kehidupan penganut agama Islam, Nasrani, dan Yahudi di Palestina dan Spanyol. Akan tetapi, Baran sengaja menutupi hal ini. Jelas ini adalah ketidakjujuran yang nyata dari seorang yang mengklaim peneliti.
Kedua: Baran mengatakan, kebencian HT tanpa bukti. “Kebencian HT terhadap AS jauh lebih parah daripada pernyataan tanpa bukti tentang imperialisme.” (hlm. 13). Padahal imperialisme AS di dunia sejak zaman kolonial hingga sekarang adalah bukti yang tidak terbantahkan dan kasatmata. Media masa dunia pun secara terbuka menampilkan kekejaman tentara AS saat menghujani Fallujah dengan bom-bom kimia yang berbahaya. Jelas, ada foto-foto yang menunjukkan perlakuan kejam AS terhadap para tahanan Muslim di Guantanamo Kuba dan Ghuraib Irak. Bahkan badan-badan internasional HAM termasuk PBB pun telah mengeluarkan pernyataan kecamannya terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS. Ribuan orang ikut berkampanye menentang kebijakan imperialisme Bush mulai dari Eropa, Amerika, sampai Asia. Jadi, sungguh lucu kalau Baran mengatakan, HT tidak bisa memberikan bukti tentang imperialisme AS.
Mengaitkan HT dengan Komunisme.
Sepertinya, mengaitkan HT dengan komunisme penting bagi Baran untuk menjadikan HT musuh bersama Barat sebagai mana Komunisme dulu. Untuk itu Baran menulis, “Bahkan, HT meminjam filosofi metodologi secara langsung dari Marxisme-Leninisme. An-Nabhani menggunakan prinsip-prinsip organisasi Marxisme-Leninisme, mengawinkan ideologi Islam dengan taktik dan strategi Leninis.” (hlm. 24).
Kesalahan mendasar Baran adalah terlampau gampang membuat generalisasi saat melihat ada yang mirip antara pemikiran HT dan komunis. Karena ada hirearki dan desentralisasi, dikatakan oleh Baran, HT mirip komunis. Lantas, bagaimana dengan militer atau organisasi gereja yang juga bersifat hierarkis, apakah lantas bisa disebut komunis. Alasan lain, menurutnya HT bersifat otoriter, tidak memberikan ruang perbedaan pendapat, dan mengeluarkan anggotanya yang tidak setuju dengan filosofi partai. Baran sengaja menutupi fakta, bahwa setiap organisasi pasti memiliki pemikiran-pemikiran mendasar yang harus dipatuhi oleh anggotanya, dan tentu saja wajar kalau yang tidak setuju dikeluarkan. Ini sebenarnya prinsip sederhana dalam organisasi apa pun.
Hal lain yang diangkat oleh Barat adalah cita-cita HT yang dianggap utopis, sama dengan cita-cita komunis yang ingin menciptakan masyarakat dongeng. Untuk kasus Komunisme, Baran mungkin tepat, sebab masyarakat komunis hingga saat ini tidak pernah terwujud. Akan tetapi, untuk kasus HT, Baran keliru besar. Cita-cita yang ingin diwujudkan oleh HT bukanlah utopis apalagi dongeng, karena sudah pernah terwujud di tengah-tengah kaum Muslim. Penerapan seluruh aturan Allah oleh Daulah Islam sudah dipraktikkan Rosulullah saw., yang kemudian diikuti oleh para khalifah. Jadi, cita-cita itu sudah pernah terwujud, bukan utopis. HT sesungguhnya hanya ingin melanjutkan kembali kehidupan Islam yang terputus tersebut.
Tuduhan bahwa HT bergerak berdasarkan sel rahasia seperti Komunisme juga adalah bohong. Di beberapa negara, HT bergerak secara terbuka. Di Indonesia HT memiliki kantor dan juru bicara yang bisa dikontak kapan saja; pengurus-pengurus HT di daerah seluruh Indonesia juga dengan gampang bisa diketahui dan ditemukan. Memang, di daerah lain seperti di Timur Tengah HT lebih hati-hati, namun hal ini bukan karena sistem sel rahasia, tetapi akibat sikap refresif yang dilakukan oleh para tiran dukungan Barat di sana yang sering menangkap dan membunuh para aktivis HT yang mereka jumpai. Yang paling lucu mungkin adalah penggunaan selebaran oleh HT, yang oleh Baran dikatakan mirip komunis. Padahal pasukan AS juga menggunakan selebaran di Afganistan dan Irak untuk membujuk rakyat Irak dan Afganistan.
Pernyataan Baran bahwa HT mirip Komunisme ini justru menunjukkan bahwa Baran memang bukan pakar tentang HT atau memang dia memiliki maksud tertentu. Sebab, kalaulah dia pakar, dia akan mengetahui bahwa banyak buku-buku HT yang justru mengkritisi pemikiran komunis dengan menunjukkan kesalahannya dan pertentangannya dengan Islam.
Manipulasi Data
Buku Baran ini juga banyak menggunakan data-data yang tidak akurat. Sebagai contoh, HT Inggris menerbitkan majalah bulanan Al-Wa‘ie untuk didistribusikan di Indonesia.[2] (hlm. 36). Padahal majalah Al-Wa‘ie yang tersebar di Indonesia dibuat dan dicetak di Indonesia. Baran juga menggunakan kata-kata yang menunjukkan ketidakpastian, namun tanpa ada usaha melakukan klarifikasi langsung kepada pengurus HT, yang sebenarnya sangat gampang ditemui di Inggris, Indonesia, dan daerah-daerah lainnya. Berkaitan dengan dana HT, Baran menulis:
Para pakar dan anggota komunitas intelijen internasional berspekulasi bahwa HT didanai oleh para sponsor dari Iran, negara-negara Teluk, dan Arab Saudi. HT juga bisa jadi menerima dana dari Afganistan era Taliban. Arab Saudi diyakini mendukung publikasi HT (penerjemahan, pencetakan, dan bahkan pemilihan judul), tetapi tampaknya berhenti setelah peristiwa 11/9. Pada akhir 1950-an bahkan ada rumor bahwa HT didanai oleh CIA. (hlm. 51).
Perhatikan penggunaan kata-kata ‘berspekulasi’, ‘bisa jadi’, ‘diyakini’, dan ‘rumor’. Semuanya menunjukkan informasi yang tidak menyakinkan. Tampaknya, Baran ingin membangun opini yang menyesatkan, seakan-akan HT didukung oleh Saudi, Taliban, Iran, atau CIA.
Kata ‘mungkin’ juga digunakan untuk mengaitkan HT Indonesia dengan Jamaah Islamiyah: “Ini terlepas dari fakta bahwa HT mungkin memiliki kaitan dengan kelompok ekstremis pro-kekerasan seperti Jamaah Islamiyah, kelompok yang bertanggungjawab atas peristiwa Bom Bali pada Oktober 2002.” (hlm. 43). Baran tidak berusaha mengklarifikasi masalah ini kepada pengurus resmi HT Indonesia. Kemungkinan HTI terkait dengan JI jelas tidak beralasan. Baran lagi-lagi menutupi kenyataan bahwa HT Indonesia dalam berbagai siaran pers, buletin, atau wawancara dengan media menyatakan ketidaksetujuannya dalam berbagai kasus bom di Indonesia yang dituduh oleh Barat sebagai hasil kerjaan Jama’ah Islamiyah.
Rekomendasi Penting
Buku ini ditutup dengan rekomendasi Nixon Center untuk menghadapi Hizbut Tahrir. Beberapa rekomendasi penting itu antara lain:
AS harus merehabilitasi kredibilitas dan otoritas moralnya sehingga kaum Muslim dapat kembali terilhami oleh nilai-nilai yang dianut AS.
AS harus mengubah persepsi bahwa kebijakan luar negerinya “tidak adil”.
AS harus membantu kaum Muslim dalam meningkatkan kondisi sosio-ekonomi mereka secara nyata; AS juga harus fokus menghilangkan ketidakadilan distribusi kekayaan, korupsi, dan kronisme.
AS harus memperkuat elemen moderat di dalam masyarakat Muslim. Untuk mendukung kelompok moderat ini, AS juga dapat memberikan ruang bagi kelompok-kelompok Islam yang mempromosikan toleransi dan dialog antar-agama, dan tidak membiarkan kalangan radikal mendominasi arus utama. Perlu juga ada forum formal, seperti PBB, di mana negara-negara Muslim moderat dapat menyampaikan pandangan-pandangannya. AS juga perlu mendukung pendidikan Muslim moderat yang mendukung kerukunan antar-agama dan kebudayaan serta mengadopsi nilai-nilai demokrasi dan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari ajaran Islam. Yang juga perlu dilakukan ialah memperbarui pendekatan legal dan konstitusional internasional untuk memerangi kelompok-kelompok seperti HT. (hlm. 5).
Tampaknya rekomendasi ini dalam beberapa hal sudah dijalankan oleh pengambil kebijakan AS, seperti mendukung kelompok moderat serta penyebarluasan ide-ide demokrasi, dialog antar umat beragama, dan lain-lain. Yang belum dan tampaknya sulit dilakukan oleh AS adalah membangun sistem masyarakat yang adil dan sejahtera. Bagaimana mungkin itu bisa dicapai dengan sistem Kapitalisme. Sebab, sistem Kapitalisme itulah yang menjadi pangkal ketidakadilan dunia saat ini, baik secara ekonomi maupun politik, khususnya di Dunia Ketiga saat ini . ***