Jumat, 17 Februari 2012

Indonesia dalam Jaman Kegelapan

Oleh: Aris Arif Mundayat
Penggalan Serat Kalatida di bawah ini menunjukkan suasana di jaman kegelapan (jaman kalabendu) karena tidak terciptanya suasana pemerintahan yang memberi perlindungan dan kesejahteraan rakyat.

Ratune ratu utama, patihe patih linuwih, pra nayaka tyas raharja, panekare becik-becik. Paranedene tan dadi paliyasing Kala Bendu. Mandar mangkin andadra, rubeda angrebedi,  beda-beda ardaning wong saknegara.
Artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Rajanya adalah raja yang utama, patihnya juga cerdik, para pejabat sejahtera, pemuka masyarakat baik-baik, namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan karena daya jaman kegelapan. Kejahatan makin menjadi-jadi, gangguan semakin merepotkan. Pemikiran orang senegara beragam.”

Suasana yang digambarkan oleh Pujangga Rangawarsita di atas menunjukkan bahwa pusaran jaman kegelapan, yang membuat orang menjadi tergila-gila harta, atau yang disebutnya sebagai “zaman edan”, tidaklah membuat para pejabat negara (pra nayaka) waspada dan ingat terhadap amanah yang diberikan padanya oleh rakyat. Mereka justru hanyut ke dalam upaya untuk memperkaya diri mengambil uang rakyat dan memindahkannya ke luar negeri sehingga tidak menciptakan kebaikan untuk rakyat.

Imaginasi yang tertuang dalam karya sastra yang seringkali dianggap memiliki daya meramal untuk Indonesia masa depan pada dasarnya merupakan pesan etika politik yang sangat kuat bagi para pejabat (baik di tiingkat yudikatif, legislative, maupun eksekutif) untuk menggunakan etika politiknya dalam mengelola Negara. Etika inilah yang selama ini dikesampingkan, dan seolah-olah apa yang dilakukan untuk kepentingan politik semuanya menjadi sah dan dianggap benar meskipun tidak beretika sama sekali. Kasus yang dialami actor-aktor partai berkuasa sekarang ini, maupun partai politik lainnya yang belum berkuasa  menunjukkan kurangnya etika perpolitikan nasional.  Persoalan ini muncul karena apa yang mereka inginkan tidak lebih dari sekedar kekuasaan. 

Dari mana etika politik itu berasal, jika pandangan bahwa berpolitik itu hanyalah upaya strategis untuk memperoleh kekuasaan? Tidak ada etika yang muncul dari nafsu untuk berkuasa, karena nafsu ini cenderung untuk korup demi kekuasaan. Etika politik hanya akan muncul jika perangkat berfikir kita lebih bertujuan untuk memimpin bangsa ini menuju ke arah yang lebih baik. Etika poilitik itu berakar pada nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat yang sebenarnya telah dituangkan oleh para pendiri negara di dalam pembukaan UUD 1945. Dalam perjalanan sejarah Indonesia nilai-nilai tersebut makin dilupakan makin tidak bermakna bagi kehidupan sosial karena pusaran jaman yang membuat kita lupa pada etika sosial politik masyarakat Indonesia. Dunia pendidikan tidak memiliki kemampuan untuk mereproduksi nilai-nilai tersebut menjadi pedoman berperilaku dan berpolitik, karena institusi tersebut hanya mampu menjadikan kata-kata yang harus dihafalkan dan kemudian terlupakan.

Ironisnya nilai-nilai itu telah dilupakan itu terjadi karena segala sesuatu yang terkait dengan nilai-nilai itu telah terbeli dan dijual. Kita menyaksikan kenyataan politik uang bermain pada setiap pemilu baik nasional maupun daerah, kita juga menyaksikan hakim yang memimpin sidang memperoleh suap dari orang yang bernafsu untuk menang dalam persidangan meskipun dengan cara kejahatan, kita menyaksikan polisi menerima suap dari rakyat ketika mengurus kasus atau menghadapi kasus. Kita kehilangan etika berpolitik, karena semuanya dapat diperjualbelikan untuk kepentingan diri sendiri. Kehidupan kita sehari-hari tidak memproduksi etika sosial dan tidak pula menghasilkan pemimpin yang lahir dari rahim rakyat. Kita memperoleh pemimpin dari rahim uang sehingga yang terlahir adalah orang yang memiliki hasrat untuk berkuasa dan untuk memperolehnya uang adalah segalanya. 

Kita sebagai rakyat mengalami kebingungan ketika  kita dihadapkan pada sejumlah partai yang ikut dalam berbagai bentuk pemilu. Hal ini terjadi karena kita sadar bahwa partai memang beragam tetapi dalam keberagaman itu kita tak dapat membedakan antara yang satu dengan yang lainnya apakah masing-masing memiliki “pemimpin”.  Apa yang kita temukan di sini? Kita hanya menemukan aktor-aktor politik yang hanya memiliki hasrat kuasa, bukan hasrat untuk memimpin negeri ini, bukan pula hasrat untuk memimpin rakyat ini, namun hasrat untuk mengeruk uang rakyat dan membeli rakyat untuk kekuasaan. Kita terjebak ke dalam jaman kegelapan yang tidak memiliki etika politik dan penuh dengan kejahatan korupsi.******

Tidak ada komentar: