Penggalan
Serat Kalatida di bawah ini menunjukkan suasana di jaman kegelapan
(jaman kalabendu) karena tidak terciptanya suasana pemerintahan yang
memberi perlindungan dan kesejahteraan rakyat.
Ratune
ratu utama, patihe patih linuwih, pra nayaka tyas raharja, panekare
becik-becik. Paranedene tan dadi paliyasing Kala Bendu. Mandar mangkin
andadra, rubeda angrebedi, beda-beda ardaning wong saknegara.
Artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Rajanya
adalah raja yang utama, patihnya juga cerdik, para pejabat sejahtera,
pemuka masyarakat baik-baik, namun segalanya itu tidak menciptakan
kebaikan karena daya jaman kegelapan. Kejahatan makin menjadi-jadi,
gangguan semakin merepotkan. Pemikiran orang senegara beragam.”
Suasana
yang digambarkan oleh Pujangga Rangawarsita di atas menunjukkan bahwa
pusaran jaman kegelapan, yang membuat orang menjadi tergila-gila harta,
atau yang disebutnya sebagai “zaman edan”, tidaklah membuat para pejabat
negara (pra nayaka) waspada dan ingat terhadap amanah yang
diberikan padanya oleh rakyat. Mereka justru hanyut ke dalam upaya untuk
memperkaya diri mengambil uang rakyat dan memindahkannya ke luar negeri
sehingga tidak menciptakan kebaikan untuk rakyat.
Imaginasi
yang tertuang dalam karya sastra yang seringkali dianggap memiliki daya
meramal untuk Indonesia masa depan pada dasarnya merupakan pesan etika
politik yang sangat kuat bagi para pejabat (baik di tiingkat yudikatif,
legislative, maupun eksekutif) untuk menggunakan etika politiknya dalam
mengelola Negara. Etika inilah yang selama ini dikesampingkan, dan
seolah-olah apa yang dilakukan untuk kepentingan politik semuanya
menjadi sah dan dianggap benar meskipun tidak beretika sama sekali.
Kasus yang dialami actor-aktor partai berkuasa sekarang ini, maupun
partai politik lainnya yang belum berkuasa menunjukkan kurangnya etika perpolitikan nasional. Persoalan ini muncul karena apa yang mereka inginkan tidak lebih dari sekedar kekuasaan.
Dari
mana etika politik itu berasal, jika pandangan bahwa berpolitik itu
hanyalah upaya strategis untuk memperoleh kekuasaan? Tidak ada etika
yang muncul dari nafsu untuk berkuasa, karena nafsu ini cenderung untuk
korup demi kekuasaan. Etika politik hanya akan muncul jika perangkat
berfikir kita lebih bertujuan untuk memimpin bangsa ini menuju ke arah
yang lebih baik. Etika poilitik itu berakar pada nilai-nilai sosial yang
hidup dalam masyarakat yang sebenarnya telah dituangkan oleh para
pendiri negara di dalam pembukaan UUD 1945. Dalam perjalanan sejarah
Indonesia nilai-nilai tersebut makin dilupakan makin tidak bermakna bagi
kehidupan sosial karena pusaran jaman yang membuat kita lupa pada etika
sosial politik masyarakat Indonesia. Dunia pendidikan tidak memiliki
kemampuan untuk mereproduksi nilai-nilai tersebut menjadi pedoman
berperilaku dan berpolitik, karena institusi tersebut hanya mampu
menjadikan kata-kata yang harus dihafalkan dan kemudian terlupakan.
Ironisnya
nilai-nilai itu telah dilupakan itu terjadi karena segala sesuatu yang
terkait dengan nilai-nilai itu telah terbeli dan dijual. Kita
menyaksikan kenyataan politik uang bermain pada setiap pemilu baik
nasional maupun daerah, kita juga menyaksikan hakim yang memimpin sidang
memperoleh suap dari orang yang bernafsu untuk menang dalam persidangan
meskipun dengan cara kejahatan, kita menyaksikan polisi menerima suap
dari rakyat ketika mengurus kasus atau menghadapi kasus. Kita kehilangan
etika berpolitik, karena semuanya dapat diperjualbelikan untuk
kepentingan diri sendiri. Kehidupan kita sehari-hari tidak memproduksi
etika sosial dan tidak pula menghasilkan pemimpin yang lahir dari rahim
rakyat. Kita memperoleh pemimpin dari rahim uang sehingga yang terlahir
adalah orang yang memiliki hasrat untuk berkuasa dan untuk memperolehnya
uang adalah segalanya.
Kita sebagai rakyat mengalami kebingungan ketika kita
dihadapkan pada sejumlah partai yang ikut dalam berbagai bentuk pemilu.
Hal ini terjadi karena kita sadar bahwa partai memang beragam tetapi
dalam keberagaman itu kita tak dapat membedakan antara yang satu dengan
yang lainnya apakah masing-masing memiliki “pemimpin”. Apa
yang kita temukan di sini? Kita hanya menemukan aktor-aktor politik
yang hanya memiliki hasrat kuasa, bukan hasrat untuk memimpin negeri
ini, bukan pula hasrat untuk memimpin rakyat ini, namun hasrat untuk
mengeruk uang rakyat dan membeli rakyat untuk kekuasaan. Kita terjebak
ke dalam jaman kegelapan yang tidak memiliki etika politik dan penuh
dengan kejahatan korupsi.******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar