Minggu, 23 November 2008

Preman Atau Pahlawan

Jurnalis Independen: Peringatan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan tahun ini, diramaikan dengan berbagai peringatan. Pada momen tersebut salah satu partai peserta pemilu 2009, PKS membuat iklan yang menyakiti sebagian masyarakat. Bahkan mengundang kontroversi tokoh-tokoh politik negeri ini.

Mr. Chessplenx Berani Bicara


Jurnalis Independen: Peringatan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan tahun ini, diramaikan dengan berbagai peringatan. Pada momen tersebut salah satu partai peserta pemilu 2009, PKS membuat iklan yang menyakiti sebagian masyarakat. Bahkan mengundang kontroversi tokoh-tokoh politik negeri ini.

Bahaya Rimba Media

Bertaburannya media pada dekade 90 an di negeri ini laksana pisau bermata dua. Perkembangan media baik cetak maupun elektronik, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Namun, tidak semua masyarakat menilai positif bermunculannya media di negeri ini. Bahkan media dianggap menjadikan hidup tidak nyaman.

Sebenarnya, profesi jurnalis tidaklah berbeda dengan profesi lainnya. Pelaku jurnalistik layaknya pelaku bidang-bidang lainnya. Ada yang menggunakan sebagai lahan mencari nafkah secara halal, tetapi ada juga yang menjadikan jurnalistik atau media cetak dan elektronik sebagai sarana haram dalam mendapatkan sejuta keinginan manusia.

Dalam sejarah negeri ini, media cetak maupun elektronik (kala itu hanya radio), merupakan salah satu alat perjuangan menuju kemerdekaan. Saat itu, belum muncul istilah jurnalisme. Para pejuang kemerdekaan negeri ini, menggunakan media cetak (Koran) untuk mengemukakan irama perjuangan, mengikat emosi dan menyeberluaskan perlawanan rakyat terhadap imperialis.

Sebelum mempergunakan media cetak dan elektronik, para pejuangan telah mempergunakan media seni lain, sebagai alat bantu menyampaikan pesan perjuangan kepada rakyat. Dengan melalui kesenian para pejuangan memberikan informasi dari garis komando kepada jajaran dibawahnya.

Pesan-pesan tersebut ditangkap oleh lasykar pejuang dilapangan. Kemudian pesan-pesan tersebut diapresiasikan dengan cermat oleh para komandan pejuang dilapangan. Dari pesan melalui pertunjukkan seni, pejuang dikawasan tertentu yang kadangkala sangat berjauhan, kemudian membuat, melaksanakan strategi perlawanan terhadap pihak kolonial.

Karena keseharian pejuang yang hidup berbaur dengan masyarakat umum atau penduduk, maka secara otomatis warga masyarakat sipil juga mendapatkan bocoran pesan maupun rencana perlawanan terhadap penjajah. Sebab itu, kesenian di negeri ini sangat kental memuat pesan moral dan perjuangan.

Kesenian tidak hanya memiliki demensi hiburan semata, tetapi lebih dari itu memiliki nilai dan semangat perjuangan yang tinggi. Namun demikian juga memiliki nilai seni dan estetika.
Bila mau menghubungkan asal mula dan tujuan adanya media pada masa perjuangan kemerdekaan, maka bisa dikatakan bahwa media cetak maupun elektronik merupakan sebuah budaya yang lahir guna dijadikan sebagai alat perjuangan negara. Selain itu juga masuk dalam katagori kesenian. Oleh karenanya, para pelaku media bisa dikatakan sebagai kelompok kesenian.

Dalam perkembangannya, media kini telah mengalami perubahan yang cukup monumental. Kalimat ini hanya sekedar memperhalus istilah para pelaku media, agar tidak tersinggung dengan mengatakan lebih vulgar. Atau bila pelaku media lebih membuka telinga dan mau berdingin hati bisa dikatakan, bahwa media saat ini telah menjadi alat pemangsa ketenangan hidup manusia.

Walau tidak semuanya, media, kini telah dijadikan sebagai alat propaganda. Media dijadikan sebagai pemangsa siapa saja yang layak untuk dimangsa. Media juga digunakan sebagai pencari nafkah yang tidak halal. Media digunakan sebagai alat membohongi publik. Ia juga bisa digunakan untuk memecah belah sebuah bangsa yang merdeka.

Tidak sedikit awak media yang memiliki kemampuan, idealis nasionalis maupun agamis, yang tetap menjaga dan mempergunakannya untuk keutuhan dan kemaslahatan bangsa dan negara. Tetapi dibandingkan dengan pelaku media yang mementingkan diri sendiri, mereka tidaklah banyak.

Karena itu, sudah saatnya, pemerintah bertindak cerdas membenahi jagad media di negeri ini. Caranya adalah dengan membatasi munculnya media yang tidak memberikan nilai positif bagi masyarakat, bangsa dan negara. Kalau dahulu, media menjadi alat perjuangan kemerdekaan dan perlawanan terhadap penjajah. Kini, sudah selayaknya media menjadi alat pemerintah untuk memerangi sejuta permasalahan yang membuat bangsa dan negeri ini terpuruk dalam lembah kemiskinan, kesengsaraan dan kebodohan.

Pemerintah harus memiliki sebuah media yang dapat mengendus pelaku korupsi, pejabat hitam, pengusaha drakula, serta organisasi makar dan sejuta masalah pengangguran dan kemiskinan.
Pekerja lapangan media (wartawan) haruslah orang handal. Ia harus mampu bertindak bak seorang intelejen. Bila seorang wartawan menemukan gepeng dijalan dan berhasil mendokumentasikan, maka hal ini bisa dijadikan sebagai bukti bahwa pejabat dimana gepeng berada tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Hal itu akan bisa dijadikan sebagai bukti dan menindak kepala daerah, dinas sosial diwilayah itu.

Demikian pula, bila di wilayah tertentu yang banyak terdapat pemukiman liar, PKL (Pedagang Kaki Lima) yang berjualan dijalan dan trotoar maka pejabat terkait harus mempertanggungjawabkan dan dituntut sesuai hukum yang berlaku. Sebab dengan bukti itu, pejabat terkait jelas-jelas terbukti bersalah tidak mampu menjalankan amanat undang-undang.

Seseorang yang tidak memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) tidak dengan seenaknya ditangkap oleh Polisi beneran atau polisi tidak beneran (Polisi Pamomg Praja). Tetapi lebih dulu harus diselidiki hal ikhwal mengapa orang tersebut tidak memiliki KTP. Sebab, jaman sekarang banyak orang yang tidak memiliki KTP lantaran bila mengurus harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Bila hal ini terjadi, maka yang bertangung jawab adalah RT, RW, Lurah setempat dan harus dikenakan sanksi hukum.

Demikian seterusnya dalam bidang-bidang lainnya. Walhasil, dengan adanya media milik pemerintah yang seperti itu, maka akan menjadikan pejabat dari tingkat bawah hingga orang nomor satu negeri ini tidak melupakan dan melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Lebih dari itu, jabatan kursi pemerintahan dari tingkat RT hingga Presiden, tidak menjadi barang rebutan dari manusia rendah moral dan amanat.

Karena posisi strategis pekerja media, termasuk wartawan. Maka gaji yang tinggi harus diberikan kepada mereka. Dan yang mampu memberikan upah itu, tentu saja hanya pemerintah yang memiliki sumber kekayaan, kekayaan dan kemauan. Bukankah pemerintah juga mampu memberikan gaji tinggi pada profesi guru yang nota bane menjadi pendidik anak bangsa dari generasi ke generasi? Dan profesi pekerja media adalah juga sama seperti guru! Yaitu, menjadi pendidik kepada masyarakat! Bukankah begitu sobat? Setujukah saudara dengan pemikiranku ini?

Pertanyaannya, beranikah para pejabat, pembuat undang-undang, satpam undang-undang ( Eksekutif, Legeslatif, Yudikatif) melaksanakan ide ini? Maukah Pemerintah, KPK (Komite Pemberantas Korupsi), Kejagung, Polri, membawai media sebagai bawahan/mitra dari institusinya? Tentu saja, itu semua ditujukan demi untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara menuju terwujudnya keadilan dan keberadaban! Bukan untuk kelompok atau pengusaha.
Jawablah! Katakan Ya kalau Iya…, katakan Tidak bila Tidak……jangan ya…iya dong saja……
Kutulis ini dengan harapan….. Jangan sampai media dan jurnalistiknya menjadi benang kusut. Sebab, media dan jurnalis yang merupakan bagian dari seni, menjadi bagian industrialisasi. Pada kenyataannya, industri-industri lainnya di negeri ini, ketika dikangkangi oleh konglomerat, kapitalis, pebisnis yang ada hanya manipulasif, pemerasan dan tipu daya………
Jangan jadikan "media seperti rimba" yang tidak bertuan, dan hanya dihuni oleh "binatang"…….
Media dan jurnalisme, idealnya adalah dimiliki, dikelola oleh pejuang. Dan sebenar-benarnya pejuang adalah Negara. Sebab hanya Negara yang benar-benar memperjuangkan nasib rakyat, bangsa dan negaranya. Dan orang-orang yang berjuang untuk negaranyalah yang bisa disebut sebagai negarawan………

Gara-Gara Kisah Cinta Lastri Si Gerwani

Aktivitas di bekas sebuah pabrik gula di daerah Solo, pada minggu ke tiga bulan November, membuat gusar Forum Pembela Islam (FPI) setempat. Kegusaran itu, terpicu oleh kegiatan Eros Djarot yang sedang menggarap sebuah film drama percintaan. Aktivitas seniman asal Jakarta itu, seolah mengusik dan membuat rasa takut sebagian ummat islam seperti FPI.

Bahkan pembuatan film itu, tidak hanya menciptakan kegusaran. Tetapi hampir-hampir menimbulkan ketegangan. Sehingga aparat harus turun tangan untuk melerai kedua kelompok yang berbeda pandangan itu. Demi menjaga hal yang tidak diinginkan, maka pihak kepolisian setempat, menghentikan kegiatan pengambilan gambar film yang disutradarai oleh pemimpin salah satu partai politik di negeri ini. Sebelum dihentikan oleh pihak keamanan, sempat terjadi dialog antara kru film yang dikomandoi Eros dengan pihak FPI.

Pihak FPI ngotot dan berusaha menghentikan kegiatan itu, bukan tanpa dasar. FPI Solo, menghawatirkan pembuatan film drama percintaan tersebut akan menggugah dan memunculkan kembali kekuatan Partai terlarang Komunis di negeri ini (PKI). Sebab, film yang sedang melakukan pengambilan gambar di lokasi tersebut, adalah sebuah film yang berlatar belakang sebuah kejadian yang berujung dengan terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G30S-PKI).

Eros Djarot menyangga kekhawatiran FPI Solo. Bahwa dirinya tidak akan membangkitkan faham PKI di negeri ini. Sebab menurutnya, dirinya hanya ingin menyajikan sebuah film drama percintaan dengan mengambil sebuah simpul kejadian yang memang bersinggungan dengan sisi kehidupan seorang Gerwani. Kita tahu memang, bahwa Gerwani merupakan sebuah wadah wanita komunis.

Totoh wanita yang akan diangkat menjadi tokoh sentral film percintaan Eros tersebut bernama Lastri. Lastri adalah salah satu tokoh gerakan wanita PKI yang akhirnya mati dibantai di sebuah lokasi pabrik gula oleh warga Solo.

Entah apa yang menjadi latar belakang sang sutradara Eros, hingga mau memfilmkan kisah cinta wanita PKI ini. Apakah film percintaan yang dibalut politik? Atau sebaliknya, film bermuatan politik yang disamarkan dengan kisah cinta! Seharusnya, si seneas tahu, ada resiko tinggi bila dirinya memaksakan kehendak. Padahal, Eros si sutradara adalah anak seorang kyai. Tentu ia sangat memahami kebersinggungan ummat islam dengan segala sesuatu yang berbau komunis di negeri ini.

Apakah karena ia seorang seniman sehingga dengan mengatasnamakan seni, mengaburkan fakta sejarah pahit negeri ini? Apakah boleh seseorang mengatasnamakan kebudayaan, kebebasan, demokrasi, hak azasi maupun adat istiadat. Kemudian menguak dan menciptakan rasa sakit dan ketidaknyamanan hidup bermasyarakat dan bernegara? Apakah seniman yang juga politikus ini tidak menyadari, bahwa belakangan ini, generasi anak-anak PKI seolah bangga dengan predikat yang disandang diri dan keluarganya?

Bukankah sang seniman film ini juga tahu bahwa ada anak-anak PKI yang telah mewarnai legeslatif kita? Dan bukankah hanya kelompok islam saja yang menghawatirkan akan munculnya kembali kekuatan anti tuhan dan berusaha menguasai seluruh rana kehidupan negeri ini?

Disisi lain, ketakutan berlebihan FPI khususnya, islam pada umumnya di negeri ini, pada kembalinya embrio PKI hanya mengada-ada? Tetapi bila melihat tak kunjung muncul "soliditas" kekuatan islam yang mayortitas di negeri ini, seolah menyiratkan kepada kita bahwa islam dianggap tak pernah ada! Padahal, mungkin FPI hanya ingin mengatakan, jangan beri jalan pada kelompok masyarakat yang anti tuhan memimpin negeri ini. Jangan beri mereka alasan untuk mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri Pancasila ini. Atau mungkin, FPI khususnya, ummat islam umumnya, tidak menginginkan sejengkal tanah sekalipun, lepas dari genggangaman Republik ini? Yang mungkin bisa terjadi atas hendak disuguhkannya film Lastri tersebut.

Dalam wawancara dengan salah satu tv swasta, Ridwan Saidi yang sejarahwan, seolah menyiratkan kepada sang sineas Eros Djarot. Bahwa sang sineas hendaknya menyadari bahwa kekuatan komunis masih menjadi ancaman serius bagi negeri ini. Dengan di "pendetani" oleh RRC, komunis layak di waspadai kemunculannya kembali di negeri ini. Dan menciptakan neraka bagi rakyat yang berketuhanan Yang Maha Esa ini.

Janganlah merasa aktivitas seni dan sejenisnya dibatasi di negeri ini. Apalagi oleh FPI yang terkesan garang, suka melarang, bertindak terlalu dini. Bahkan terkesan, melebihi aparat. Semuanya dilarang oleh FPI!

Lebih baik mengalah dan membuat film lain saja. Sebagai saran, Batalkan percintaan Lastri. Untuk apa mengatasnamakan seni dan segala macamnya. Bila nantinya hanya berakibat tumpahnya darah saudara sebangsa.

Jangan meminta sangat banyak kepada islam, tetapi berbuatlah sedikit untuk islam. Itu akan lebih adil dan bijaksana. Sebab negeri ini telah terlalu banyak meminta kepada islam. Sebaliknya, sedikit sekali memberi kepada islam.

Ingatlah! Siapa yang menolak UU Pornografi dengan berbagai dalih? Siapakah yang hendak memisahkan diri dari NKRI? Siapakah yang berjuang untuk negeri hingga hari ini? Siapa yang membawa lari kekayaan negeri ini? Siapakah yang selalu hidup di bui bahkan mati demi negeri ini? Dan siapakah yang selalu memprovokasi? Pak Eros, jangan tumpahkan darah untuk kesekian kali gara-gara kisah cinta Lastri Si Gerwani……..!!!!???? (suarabaru)

Gara-Gara Kisah Cinta Lastri Si Gerwani


Sekelompok massa islam, berusaha menghentikan kegiatan pembuatan sebuah film. Perbuatan tersebut, bukan tanpa dasar. FPI Solo, menghawatirkan pembuatan film drama percintaan tersebut akan menggugah dan memunculkan kembali kekuatan Partai terlarang Komunis di negeri ini (PKI). Sebab, film yang sedang melakukan pengambilan gambar di lokasi tersebut, adalah sebuah film yang berlatar belakang sebuah kejadian yang berujung dengan terjadinya


Gerakan 30 September 1965 (G30S-PKI).
Eros Djarot menyangga kekhawatiran FPI Solo. Bahwa dirinya tidak akan membangkitkan faham PKI di negeri ini. Sebab menurutnya, dirinya hanya ingin menyajikan sebuah film drama percintaan dengan mengambil sebuah simpul kejadian yang memang bersinggungan dengan sisi kehidupan seorang Gerwani. Kita tahu memang, bahwa Gerwani merupakan sebuah wadah wanita komunis.

Totoh wanita yang akan diangkat menjadi tokoh sentral film percintaan Eros tersebut bernama Lastri. Lastri adalah salah satu tokoh gerakan wanita PKI yang akhirnya mati dibantai di sebuah lokasi pabrik gula oleh warga Solo.
Entah apa yang menjadi latar belakang sang sutradara Eros, hingga mau memfilmkan kisah cinta wanita PKI ini. Apakah film percintaan yang dibalut politik? Atau sebaliknya, film bermuatan politik yang disamarkan dengan kisah cinta! Seharusnya, si seneas tahu, ada resiko tinggi bila dirinya memaksakan kehendak. Padahal, Eros si sutradara adalah anak seorang kyai. Tentu ia sangat memahami kebersinggungan ummat islam dengan segala sesuatu yang berbau komunis di negeri ini.


Apakah karena ia seorang seniman sehingga dengan mengatasnamakan seni, mengaburkan fakta sejarah pahit negeri ini? Apakah boleh seseorang mengatasnamakan kebudayaan, kebebasan, demokrasi, hak azasi maupun adat istiadat. Kemudian menguak dan menAktivitas di bekas sebuah pabrik gula di daerah Solo, pada minggu ke tiga bulan November, membuat gusar Forum Pembela Islam (FPI) setempat. Kegusaran itu, terpicu oleh kegiatan Eros Djarot yang sedang menggarap sebuah film drama percintaan. Aktivitas seniman asal Jakarta itu, seolah mengusik dan membuat rasa takut sebagian ummat islam seperti FPI.
Bahkan pembuatan film itu, tidak hanya menciptakan kegusaran. Tetapi hampir-hampir menimbulkan ketegangan. Sehingga aparat harus turun tangan untuk melerai kedua kelompok yang berbeda pandangan itu. Demi menjaga hal yang tidak diinginkan, maka pihak kepolisian setempat, menghentikan kegiatan pengambilan gambar film yang disutradarai oleh pemimpin salah satu partai politik di negeri ini. Sebelum dihentikan oleh pihak keamanan, sempat terjadi dialog antara kru film yang dikomandoi Eros dengan pihak FPI.
Pihak FPI ngotot dan ciptakan rasa sakit dan ketidaknyamanan hidup bermasyarakat dan bernegara? Apakah seniman yang juga politikus ini tidak menyadari, bahwa belakangan ini, generasi anak-anak PKI seolah bangga dengan predikat yang disandang diri dan keluarganya? Bukankah sang seniman film ini juga tahu bahwa ada anak-anak PKI yang telah mewarnai legeslatif kita? Dan bukankah hanya kelompok islam saja yang menghawatirkan akan munculnya kembali kekuatan anti tuhan dan berusaha menguasai seluruh rana kehidupan negeri ini?
Disisi lain, ketakutan berlebihan FPI khususnya, islam pada umumnya di negeri ini, pada kembalinya embrio PKI hanya mengada-ada? Tetapi bila melihat tak kunjung muncul "soliditas" kekuatan islam yang mayortitas di negeri ini, seolah menyiratkan kepada kita bahwa islam dianggap tak pernah ada! Padahal, mungkin FPI hanya ingin mengatakan, jangan beri jalan pada kelompok masyarakat yang anti tuhan memimpin negeri ini. Jangan beri mereka alasan untuk mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri Pancasila ini. Atau mungkin, FPI khususnya, ummat islam umumnya, tidak menginginkan sejengkal tanah sekalipun, lepas dari genggangaman Republik ini? Yang mungkin bisa terjadi atas hendak disuguhkannya film Lastri tersebut.
Dalam wawancara dengan salah satu tv swasta, Ridwan Saidi yang sejarahwan, seolah menyiratkan kepada sang sineas Eros Djarot. Bahwa sang sineas hendaknya menyadari bahwa kekuatan komunis masih menjadi ancaman serius bagi negeri ini. Dengan di "pendetani" oleh RRC, komunis layak di waspadai kemunculannya kembali di negeri ini. Dan menciptakan neraka bagi rakyat yang berketuhanan Yang Maha Esa ini.
Janganlah merasa aktivitas seni dan sejenisnya dibatasi di negeri ini. Apalagi oleh FPI yang terkesan garang, suka melarang, bertindak terlalu dini. Bahkan terkesan, melebihi aparat. Semuanya dilarang oleh FPI!
Lebih baik mengalah dan membuat film lain saja. Sebagai saran, Batalkan percintaan Lastri. Untuk apa mengatasnamakan seni dan segala macamnya. Bila nantinya hanya berakibat tumpahnya darah saudara sebangsa.
Jangan meminta sangat banyak kepada islam, tetapi berbuatlah sedikit untuk islam. Itu akan lebih adil dan bijaksana. Sebab negeri ini telah terlalu banyak meminta kepada islam. Sebaliknya, sedikit sekali memberi kepada islam.
Ingatlah! Siapa yang menolak UU Pornografi dengan berbagai dalih? Siapakah yang hendak memisahkan diri dari NKRI? Siapakah yang berjuang untuk negeri hingga hari ini? Siapa yang membawa lari kekayaan negeri ini? Siapakah yang selalu hidup di bui bahkan mati demi negeri ini? Dan siapakah yang selalu memprovokasi? Pak Eros, jangan tumpahkan darah untuk kesekian kali gara-gara kisah cinta Lastri Si Gerwani……..!!!!???? (suarabaru)


Kamis, 13 November 2008

Makam Shuhada Amrozi cs Semakin Monumental

Dengan dieksekusinya Amrozi cs, semakin nyata sudah campur tangan asing di negeri ini. Selain itu, tentu saja juga membuktikan lemahnya pemerintah. Namun demikian, dengan tereksekusinya Amrozi cs, akan lebih mudah membuktikan kebenaran apa yang diperjuangkan oleh kelompok ini. Dan sebaliknya juga akan membuktikan kesalahan langkah kelompok yang menyebut dirinya sebagai kelompok Mujahidin tersebut.

Pembuktian ini amat mudah. Tentu saja bila diizinkan untuk dibuktikan oleh pihak-pihak terkait. Pihak terkait tersebut, tentu saja adalah keluarga tereksekusi disatu sisi dan pemerintah disisi lainnya. Bila pembuktian ini jadi dilakukan, tentu harus ada konsekwensi yang dijadikan sebagai taruhannya.

Pertama, bila jasad tereksekusi terbukti layaknya jasad manusia pendosa, maka keluarga, kerabat maupun anggota kelompoknya, harus rela dikucilkan dan mendapat stikma seperti yang selama ini diberikan kepada pelaku dan kelompok tersebut oleh media, pejabat dan masyarakat. Sebaliknya, bila jasad tereksekusi layaknya seperti jasad para pahlawan, syuhada, mujahidin yang gugur dimedan pertempuran, maka pemerintah dan seluruh jajarannya yang menyebabkan kematian Amrozi cs, harus menerima saksi yang telah disepakati bersama.

Kedua, bila kebenaran ada di pihak tereksekusi, maka system pemerintahan harus mendukung keyakinan yang sedang diperjuangkan oleh kelompok almarhum Amrozi cs. Hal ini harus dijamin oleh undang-undang dan didukung oleh segenap komponen bangsa di negeri ini.

Ini bukan ajakan makar, tetapi sebuah pembuktian dengan konsekwensi tinggi. Sebab selama ini, kelompok seperti Amrozi tidak akan pernah menang bila bertarung. Walaupun ada kemungkinan besar mereka bisa menang secara konstitusi- demokrasi. Namun sejarah membuktikan, kelompok Hamas di Palestina harus menerima kenyataan pahit walau ia memenangi pemilu secara demokratis.

Apalagi di negeri ini? Sebagai contoh, pemilihan Gubernur Jatim putaran II yang semula dimenangi oleh pasangan Kaji. Beberapa hari kemudian telah disulap oleh para maling menjadi sebaliknya. Padahal beberapa lembaga survey sebelumnya telah menyatakan kemenangan pasangan yang hendak membongkat kebobrokan pemimpin diwilayah ini yang korup dan manipulatif.

Jika pasangan Kaji menang dan memegang kekuasasan pemerintah daerah Jatim, tentu kepemimpinan nasional akan menjadi sesuatu yang rumit untuk diraih oleh penguasa sekarang ini. Indikasi kecurangan pada pilkada Jatim, bisa dijadikan sebagai acuhan bagi siapa saja, termasuk kelompok seperti Amrozi. Hal seperti itu bisa dipastikan akan terjadi pada kelompok yang berfaham seperti Amrozi cs. Karenanya, kematian orang seperti Amrozi layak untuk dijadikan taruhan tentang kejelasan nasib bangsa dan negeri ini.

Kelompok penjahat akan selalu berhadapan dengan kelompok penegak keadilan yang jujur dan adil. Dalam masalah Amrozi cs siapa yang disebut penjajah?. Amrozi Cs diadili dan dituntut oleh seorang jaksa yang belakangan diketahui menerima suap yang dalam kasus yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Ya, jaksa Urip Tri Gunawan akhirnya dihukum 20 tahun sebagai ganjaran menerima suap. Aparat seperti ini tidak layak memutuskan hukuman mati pada seseorang. Sebab dirinya terindikasi tidak jujur. Bila tidak jujur, dipastikan tidak adil, apalagi amanah.

Sistem peradilam negeri ini, hampir semua pejabatnya seperti Urip Tri Gunawan. Bahkan diinstansi lain, kondisinya tidak jauh berbeda dengan institusi hukum tersebut. Karenanya, secara keseluruhan pemerintahan negeri ini tidak layak mendapatkan mandat dari rakyat. Sayangnya, tidak banyak warga masyarakat seperti kelompok masyarakat yang mampu membawa amanah, bersikap jujur dan bangga dengan bangsa dan hasil karyanya.

Maka untuk mendidik dan mengingatkan akan perjuangan untuk bertindak jujur, adil dan berani berkorban apa saja demi tegaknya aturan ilahi, perlu kiranya kematian Amrozi cs dijadikan sebagai monumen kebangkitan menegakkan keadilan dan kejujuran. Atau apabila mungkin hari kematian terpidana mati dijadikan sebagai Houl setiap tahunnya. Jangan hanya mereka saja yang bisa mendramatisir sebuah kejadian, tetapi kita hrsu banyak belajar dan memberikan perlawanan yang seimbang.

Sekali lagi sayangnya, tidak banyak masyarakat yang serius berjuang untuk menegakkan keadilan yang hakiki. Padahal bila kita mau, kita juga bisa membuat sarana media baik cetak maupun elektronik yang orang kafir gunakan sebagai sarana paling ampuh mencuci otak generasi robbani. Bahkan kelompok Mujahidin juga bisa membuat monumen yang sangat bersejarah dari berpulangnya para Mujahidin seperti Amrozi cs.***

Ekstrimis Pahlawan Bangsa

Jurnalis Independen: Hilang sudah sosok "teroris" pelaku Bom Bali I. Tepat pada 9 November 2008 (9/11), tokoh teroris asal Indonesia itu telah mati dieksekusi. Sebagian masyarakat, keluarga korban Bom I Bali merasa lega. Terutama Amerika Serikat (negara & Masyarakat Barat), Australia! Sebab, mereka lebih berkepentingan dengan eksekusi tersebut dibandingkan negara lainnya.