Minggu, 23 November 2008

Bahaya Rimba Media

Bertaburannya media pada dekade 90 an di negeri ini laksana pisau bermata dua. Perkembangan media baik cetak maupun elektronik, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Namun, tidak semua masyarakat menilai positif bermunculannya media di negeri ini. Bahkan media dianggap menjadikan hidup tidak nyaman.

Sebenarnya, profesi jurnalis tidaklah berbeda dengan profesi lainnya. Pelaku jurnalistik layaknya pelaku bidang-bidang lainnya. Ada yang menggunakan sebagai lahan mencari nafkah secara halal, tetapi ada juga yang menjadikan jurnalistik atau media cetak dan elektronik sebagai sarana haram dalam mendapatkan sejuta keinginan manusia.

Dalam sejarah negeri ini, media cetak maupun elektronik (kala itu hanya radio), merupakan salah satu alat perjuangan menuju kemerdekaan. Saat itu, belum muncul istilah jurnalisme. Para pejuang kemerdekaan negeri ini, menggunakan media cetak (Koran) untuk mengemukakan irama perjuangan, mengikat emosi dan menyeberluaskan perlawanan rakyat terhadap imperialis.

Sebelum mempergunakan media cetak dan elektronik, para pejuangan telah mempergunakan media seni lain, sebagai alat bantu menyampaikan pesan perjuangan kepada rakyat. Dengan melalui kesenian para pejuangan memberikan informasi dari garis komando kepada jajaran dibawahnya.

Pesan-pesan tersebut ditangkap oleh lasykar pejuang dilapangan. Kemudian pesan-pesan tersebut diapresiasikan dengan cermat oleh para komandan pejuang dilapangan. Dari pesan melalui pertunjukkan seni, pejuang dikawasan tertentu yang kadangkala sangat berjauhan, kemudian membuat, melaksanakan strategi perlawanan terhadap pihak kolonial.

Karena keseharian pejuang yang hidup berbaur dengan masyarakat umum atau penduduk, maka secara otomatis warga masyarakat sipil juga mendapatkan bocoran pesan maupun rencana perlawanan terhadap penjajah. Sebab itu, kesenian di negeri ini sangat kental memuat pesan moral dan perjuangan.

Kesenian tidak hanya memiliki demensi hiburan semata, tetapi lebih dari itu memiliki nilai dan semangat perjuangan yang tinggi. Namun demikian juga memiliki nilai seni dan estetika.
Bila mau menghubungkan asal mula dan tujuan adanya media pada masa perjuangan kemerdekaan, maka bisa dikatakan bahwa media cetak maupun elektronik merupakan sebuah budaya yang lahir guna dijadikan sebagai alat perjuangan negara. Selain itu juga masuk dalam katagori kesenian. Oleh karenanya, para pelaku media bisa dikatakan sebagai kelompok kesenian.

Dalam perkembangannya, media kini telah mengalami perubahan yang cukup monumental. Kalimat ini hanya sekedar memperhalus istilah para pelaku media, agar tidak tersinggung dengan mengatakan lebih vulgar. Atau bila pelaku media lebih membuka telinga dan mau berdingin hati bisa dikatakan, bahwa media saat ini telah menjadi alat pemangsa ketenangan hidup manusia.

Walau tidak semuanya, media, kini telah dijadikan sebagai alat propaganda. Media dijadikan sebagai pemangsa siapa saja yang layak untuk dimangsa. Media juga digunakan sebagai pencari nafkah yang tidak halal. Media digunakan sebagai alat membohongi publik. Ia juga bisa digunakan untuk memecah belah sebuah bangsa yang merdeka.

Tidak sedikit awak media yang memiliki kemampuan, idealis nasionalis maupun agamis, yang tetap menjaga dan mempergunakannya untuk keutuhan dan kemaslahatan bangsa dan negara. Tetapi dibandingkan dengan pelaku media yang mementingkan diri sendiri, mereka tidaklah banyak.

Karena itu, sudah saatnya, pemerintah bertindak cerdas membenahi jagad media di negeri ini. Caranya adalah dengan membatasi munculnya media yang tidak memberikan nilai positif bagi masyarakat, bangsa dan negara. Kalau dahulu, media menjadi alat perjuangan kemerdekaan dan perlawanan terhadap penjajah. Kini, sudah selayaknya media menjadi alat pemerintah untuk memerangi sejuta permasalahan yang membuat bangsa dan negeri ini terpuruk dalam lembah kemiskinan, kesengsaraan dan kebodohan.

Pemerintah harus memiliki sebuah media yang dapat mengendus pelaku korupsi, pejabat hitam, pengusaha drakula, serta organisasi makar dan sejuta masalah pengangguran dan kemiskinan.
Pekerja lapangan media (wartawan) haruslah orang handal. Ia harus mampu bertindak bak seorang intelejen. Bila seorang wartawan menemukan gepeng dijalan dan berhasil mendokumentasikan, maka hal ini bisa dijadikan sebagai bukti bahwa pejabat dimana gepeng berada tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Hal itu akan bisa dijadikan sebagai bukti dan menindak kepala daerah, dinas sosial diwilayah itu.

Demikian pula, bila di wilayah tertentu yang banyak terdapat pemukiman liar, PKL (Pedagang Kaki Lima) yang berjualan dijalan dan trotoar maka pejabat terkait harus mempertanggungjawabkan dan dituntut sesuai hukum yang berlaku. Sebab dengan bukti itu, pejabat terkait jelas-jelas terbukti bersalah tidak mampu menjalankan amanat undang-undang.

Seseorang yang tidak memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) tidak dengan seenaknya ditangkap oleh Polisi beneran atau polisi tidak beneran (Polisi Pamomg Praja). Tetapi lebih dulu harus diselidiki hal ikhwal mengapa orang tersebut tidak memiliki KTP. Sebab, jaman sekarang banyak orang yang tidak memiliki KTP lantaran bila mengurus harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Bila hal ini terjadi, maka yang bertangung jawab adalah RT, RW, Lurah setempat dan harus dikenakan sanksi hukum.

Demikian seterusnya dalam bidang-bidang lainnya. Walhasil, dengan adanya media milik pemerintah yang seperti itu, maka akan menjadikan pejabat dari tingkat bawah hingga orang nomor satu negeri ini tidak melupakan dan melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Lebih dari itu, jabatan kursi pemerintahan dari tingkat RT hingga Presiden, tidak menjadi barang rebutan dari manusia rendah moral dan amanat.

Karena posisi strategis pekerja media, termasuk wartawan. Maka gaji yang tinggi harus diberikan kepada mereka. Dan yang mampu memberikan upah itu, tentu saja hanya pemerintah yang memiliki sumber kekayaan, kekayaan dan kemauan. Bukankah pemerintah juga mampu memberikan gaji tinggi pada profesi guru yang nota bane menjadi pendidik anak bangsa dari generasi ke generasi? Dan profesi pekerja media adalah juga sama seperti guru! Yaitu, menjadi pendidik kepada masyarakat! Bukankah begitu sobat? Setujukah saudara dengan pemikiranku ini?

Pertanyaannya, beranikah para pejabat, pembuat undang-undang, satpam undang-undang ( Eksekutif, Legeslatif, Yudikatif) melaksanakan ide ini? Maukah Pemerintah, KPK (Komite Pemberantas Korupsi), Kejagung, Polri, membawai media sebagai bawahan/mitra dari institusinya? Tentu saja, itu semua ditujukan demi untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara menuju terwujudnya keadilan dan keberadaban! Bukan untuk kelompok atau pengusaha.
Jawablah! Katakan Ya kalau Iya…, katakan Tidak bila Tidak……jangan ya…iya dong saja……
Kutulis ini dengan harapan….. Jangan sampai media dan jurnalistiknya menjadi benang kusut. Sebab, media dan jurnalis yang merupakan bagian dari seni, menjadi bagian industrialisasi. Pada kenyataannya, industri-industri lainnya di negeri ini, ketika dikangkangi oleh konglomerat, kapitalis, pebisnis yang ada hanya manipulasif, pemerasan dan tipu daya………
Jangan jadikan "media seperti rimba" yang tidak bertuan, dan hanya dihuni oleh "binatang"…….
Media dan jurnalisme, idealnya adalah dimiliki, dikelola oleh pejuang. Dan sebenar-benarnya pejuang adalah Negara. Sebab hanya Negara yang benar-benar memperjuangkan nasib rakyat, bangsa dan negaranya. Dan orang-orang yang berjuang untuk negaranyalah yang bisa disebut sebagai negarawan………

Tidak ada komentar: