Senin, 20 Februari 2012

Peperangan Islam Melawan Penguasa Negeri Kadal dan Informasi yang Terbeli

Jurnalis Independen: Kepedihan kembali menimpa bangsa ini. Rentetan peristiwa yang terjadi di Indonesia membuat hati kita semakin masgyul: Kesenjangan sosial yang melebar, mandulnya penegakan hukum, tingginya angka kriminalitas, sampai siaran televisi yang acap menyudutkan Islam.
Ini diiringi dengan musibah jatuhnya puluhan korban dalam rentetan kecelakaan. Pelaku korupsi yang masih bebas menggerogoti uang rakyat dan tidak adanya langkah kongkrit dari pemimpin negara. Hampir-hampir rakyat putus asa menjalani beban hidup di rezim saat ini. Sengkarut Republik ini juga dihantam badai korupsi yang menggila.

Dalam rentang delapan tahun, hutang negeri ini meningkat tajam. Tahun 2004 hutang Indonesia tercatat Rp 1.299,5 triliun. Tahun 2011 naik menjadi Rp 1.803,5 triliun, tahun 2012 diprediksi tembus di level RP 1.900 triliun! Logikanya, jika hutang kian besar seharusnya rakyat menjadi makmur. Tapi, apa yang terjadi?

Data yang dilansir Indonesia Corruption Watch, 05 Februari 2012, menyebut sepanjang tahun 2011 terjadi 436 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang. Kebanyakan pelaku korupsi memiliki latar belakang PNS. Ironis!

Ironisnya lagi, besarnya hutang justru diimbangi naiknya angka kemiskinan di Tanah Air. Pemerintah memang mengklaim kemiskinan turun satu juta jiwa per Maret 2011. Faktanya, saat ini begitu mudah kita menemui si miskin. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir Asian Development Bank (ADB) mencatat orang miskin di Indonesia bertambah 2,7 juta orang. Data ini dirilis 2011.

Menurut data itu, tahun 2008 angka kemiskinan di Indonesia mencapai 40,4 juta jiwa. Tahun 2010 melonjak 43,1 juta jiwa. Artinya, orang miskin di negeri ini jauh lebih banyak dibanding data yang diklaim pemerintah. Apalagi jika dihitung jumlah si miskin yang tidak terdata secara resmi.

Tak heran bila tahun 2010 Indonesia menjadi negara terkorup di Asia. Menurut ICW, semester I tahun 2010 korupsi meningkat 50 % dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Masih menurut data itu, korupsi kakap yang nilainya triliunan rupiah mandeg di kepolisian.

Di tengah hutang negara menumpuk, tingginya kemiskinan, penanganan korupsi yang buram; negeri ini juga dilanda krisis keadilan. Penegakan hukum kental nuansa tebang pilih. Apalagi Mahkamah Agung belum lama ini memvonis bersalah Nenek Rasminah.

Wanita renta itu dituding mencuri enam piring milik majikannya. Rasminah divonis empat bulan 10 hari. Padahal, sebelumnya Pengadilan Negeri Tangerang memvonis bebas. Simak juga kasus Nenek Minah. Tahun 2009 ia divonis satu bulan 15 hari lantaran mencuri tiga buah kakao yang hanya senilai Rp2.100.

Lalu, pencurian sandal yang dituduhkan pada seorang pelajar. Ia divonis bersalah meski dikembalikan ke orangtuanya. Kasus-kasus ini menggegerkan publik, termasuk ketidakadilan lain yang menimpa masyarakat kelas bawah.

Jauh berbeda dengan kasus Century, Lapindo, Rekening Gendut Polisi, dan kasus kakap lainnya; yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti secara serius. Penegakan hukum juga kental membela para “teroris koruptor” yang divonis ringan, lalu mendapat remisi dan bebas. Ada pula yang langsung divonis tidak bersalah atau justru belum tersentuh hukum.

Begitu pula dengan kasus yang mendera pejabat partai penguasa. Angelina Sondakh, Wakil Sekjen Partai Demokrat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara wisma atlet, tapi tak sampai dua pekan dari penetapannya itu, ia malah ingin dirotasi di Komisi III (Hukum) yang bersentuhan langsung dengan KPK. Lalu, ada rencana dipindah lagi ke Komisi VIII (Agama). Sungguh, hal ini telah melecehkan akal sehat dan hati rakyat.

Di antara sekngkarut kondisi bangsa, pemerintah justru menghambur uang rakyat. Sebut saja, biaya renovasi istana yang menelan Rp 22,5 miliar. Bahkan dana pembangunan, pengembangan, renovasi serta bangunan dan barang milik negara di lingkungan Sekretariat Presiden dan Kemensetneg pada tahun anggaran 2012 mencapai 72, 852 miliar. Pemerintah juga membeli pesawat kepresidenan jenis Boeing Business Jet seharga Rp526 miliar.

Ironinya, DPR yang seharusnya mengawasi pemerintah seolah tak mau kalah. DPR ikut melakukan pemborosan yang sulit dinalar logika. Misalnya, renovasi toilet sebesar Rp 2 miliar, pembelian mesin fotocopy seharga Rp 4 miliar, pembelian Toyota Camry seharga Rp 470 juta, pembangunan lapangan futsal di rumah Jabatan DPR Kalibata Rp 2 miliar, pembangunan ruang Banggar DPR sebesar Rp 20 miliar; meski furniture impor diganti dengan lokal.

Ditambah masih mengeluhkan urusan snack yang disediakan dalam rapat sidang DPR; padahal bukankah urusan negeri masih setumpuk? Mereka juga membiarkan anggotanya yang terganjal hukum tetap aktif bekerja.

Di lain pihak, anggaran DKI Rp 36 triliun setahun, tidak banyak merubah kondisi curat marut kemacetan dan perbaikan Ibu Kota. Uang-uang rakyat yang diperas dari hasil keringat masyarakat, hasilnya tak banyak dinikmati rakyat. Miris.

Berselancar Di Atas Kejahatan Informasi
Masih banyak lagi rentetan fakta menyayat hati. Semua kepedihan ini masih dihujam dengan siaran televisi yang tidak mendidik. Tetap menyiarkan sinetron, menggunjing melalui tayangan gosip, mengajak hidup konsumtif, dibuai untuk mencapai kesuksesan dengan instan melalui reality show, dan lainnya.

Apalagi, siaran-siaran dewasa yang dominan di TV turut disaksikan anak usia sekolah. Ini meracuni. Masyarakat Indonesia seolah diajak berselancar di atas kejahatan informasi. Dipaksa menelan informasi demi informasi yang jauh dari nilai edukasi. Patut kah negara berpenduduk mayoritas Islam melegalkan siaran itu? Kapitalisme mengoyak hati umat.

Dalam sebuah wawancara dengan Sutradara senior Chaerul Umam, ia mengungkapkan; “Film dan sinetron lebih memprioritaskan keuntungan finansial dibanding bertanggung jawab terhadap moral bangsa.” Apakah ini tak jahat? Apakah umat tidak disakiti?

Perasaan umat kian disakiti dengan informasi media massa yang kembali menyudutkan Islam dalam konteks tragedi FPI: Bagaimana mungkin anggota FPI yang didzalimi di Kalteng, diancam dibunuh, pesawat yang ditumpangi diancam dibakar, tapi justru FPI diminta bubar?

Bagaimana mungkin, media massa yang menjunjung tinggi nilai proposionalitas dalam pemberitaan tapi sangat tendensius dalam pengkonstruksian berita ihwal FPI? Bagaimana mungkin, kelompok yang menjual-jual nama Dayak dengan menerobos apron bandara sambil mengacung-acungi senjata tajam tidak diproses secara hukum?

Padahal, bisa jadi, ini satu-satunya fenomena di dunia dimana bandara bisa diterobos massa. Bukankah ini bisa membuat citra buruk Indonesia? Bukankah aksi itu bisa mengancam dicabutnya sertifikasi penerbangan? Kenapa media massa tidak menyorotnya?

Apalagi kelompok penyerang itu juga membakar tenda Maulid, merusak rumah tokoh Islam di Kalteng. Apa ini yang disebut kearifan lokal? Apakah aksi itu bukan tindak kekerasan? Dimana keadilan?

Ketika Logika Sudah Terjungkal
SBY dalam peringatan Maulid mengajak bangsa ini untuk meneladani sikap Rasulullah. Seorang pemimpin mengajak kebaikan pada rakyatnya tapi tindakannya jauh dari apa yang dianjurkan. Alih-alih mengikuti sikap Rasul, mensejahterakan rakyat dan membela Islam yang mayoritas; ia sendiri masih kerepotan mengurus partainya.

Jika memimpin partai tak sanggup, bagaimana memimpin ratusan juta rakyat. Jika mengajak meneladani Rasul, mengapa kaum Liberal yang jelas menodai Islam masih dipelihara, kenapa pula korupsi tetap menggurita. Di lain pihak, FPI yang mencoba menyelamatkan generasi bangsa dari perusak moral diminta instrospeksi diri.

Katakanlah FPI memang merusak kaca dan bangunan, tapi JIL merusak akidah dan moral melalui kebebasan yang diusungnya. Sedangkan koruptor merusak peradaban. Lebih bahaya mana? Lantas, kenapa pula siaran yang membodohi masyarakat melalui sinetron dkk tidak diberhentikan? Entah bagaimana logika berpikir penguasa.

Pada saat besamaan, media tetap menyoroti kekurangan FPI dan tak pernah mempublish kegiatan positif FPI. Ketimpangan informasi berita FPI juga tidak dibarengi porsi pemberitaan kekerasan yang dilakukan kelompok di luar FPI; gerakan sparatis, perusuh di Ambon, misalnya.

Toh, yang dilakukan FPI dipicu karena tidak adanya langkah nyata dari pemerintah untuk memberangus kemaksiatan. Berbeda dengan motif dan tujuan sparatis atau perusuh Ambon. Parahnya, kini umat Muslim diberi label baru: Pihak yang mendukung FPI = pecinta kekerasan. Betapa tersayatnya hati umat. Padahal sikap tegas beda dengan kekerasan.

Sulit menggambarkan kesedihan tentang sengkarut Republik ini, juga tentang apa yang menimpa umat Muslimnya dari waktu ke waktu, termasuk kesedihan karena seringnya ketidak sesuaian penguasa antara ucapan dan sikapnya. Masih ingat retorika pemberantasan korupsi?

Empat Langkah Penyelamatan Umat
Sebagai penutup, umat perlu melakukan tindakan nyata. Mungkin, umat Muslim bisa melakukan empat langkah antisipasi untuk membendung bom informasi penyudutan Islam dan menyelamatkan moral generasi. Langkah ini kiranya mendesak untuk direalisasikan.

Pertama, merangkul seluruh elemen Muslim di Indonesia untuk bersatu sambil terus mengkampanyekan stop menonton televisi, minimal menguranginya.

Kedua, umat Muslim yang memiliki power –finansial, pengaruh, massa- memotori membuka donasi untuk kebutuhan mendirikan siaran televisi Islam berskala nasional sembari menyatukan media Islam yang ada.

Langkah kedua ini bisa dimulai dengan Gerakan Infaq Massal Media. Mengumpulkan uang umat dari: Infaq di masjid setiap Jumat, melalui infaq kelompok para pendakwah, para jamaah majlis Habib dan ulama, lembaga Islam, dan sebagainya. Tahan dulu membangun masjid megah yang sudah teramat banyak. Hal mendasar, harus dipilih pengelola pembuatan TV Islam (bukan TV kabel) yang amanah dan dieksekusi dengan perencanaan matang serta sistematis.

Ketiga, guru-guru di sekolah Islam terus memberi pengetahuan pada siswanya untuk menghindari televisi dan selalu mendoktrin pentingnya memilah informasi di media.

Keempat, para aktivis dakwah lebih menggencarkan aksinya melalui dakwah bil qalam: Secara sederhana, membuat tulisan-tulisan Islami yang difoto copy atau mencetak Buletin Dakwah. Lalu disebar ke masjid, rumah-rumah, kampus, sekolah; tempat strategis lain.

Ini dilakukan di banyak titik dengan membuat lembar Islami komunitas. Secara lebih rumit tapi terlihat lebih rancak; perbanyak Media Islam Komunitas dan berusaha mengelolanya seprofesional mungkin serta amanah. Mungkin kah langkah ini dilakukan? Mungkin saja.

Tak perlu muluk mendirikan media besar, awali saja membuat Media Komunitas Islami. Jika ada 100 pengusaha mau mendirikan media dakwah komunitas, maka ada 100 media serupa. Indah sekali. Barangkali, kelak bisa mengalahkan media mainstream. Lalu, membom balik informasi sampah! Rudi Agung/ Rap aL Ghifari. Direktur Pemberitaan Tabloid Suara Duren Sawit, penulis sejumlah buku antologi, pebisnis.

Tidak ada komentar: