Pagar betis bagi wartawan yang akan disahkan dalam rapat paripurna ini mengatur
pembatasan gerak gerik wartawan yang meliput kegiatan DPR.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung menyebut aturan yang disetujui pimpinan DPR dimaksudkan untuk menertibkan keberadaan wartawan.
Bahkan Pramono mengatakan, tata tertib dibuat untuk menjaga citra Senayan dari pemberitaan yang kerap menyudutkan karena berisi tudingan negatif terhadap DPR. "Jangan sampai ada berita yang tidak berdasarkan fakta, tapi opini. Dan itu kalau kemudian ditangkap publik akan berbeda-beda," ujar Pramono di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (14/2/2012).
Pramono mencontohkan pemberitaan mengenai masalah kalender yang sempat menjadi pemberitaan utama. Pramono menyesalkan adanya kesalahan informasi mengenai harga proyek pengadaan yang sempat disebut mencapai Rp1 miliar. "Masalah kalender yang kenyataannya hanya Rp300 juta," ujarnya.
Politikus senior PDI Perjuangan ini mengakui kontrol media terhadap dewan harus dilakukan. Namun fungsi kontrol itu harus disertai fakta dan data bukan menonjolkan tudingan semata.
"Karena lembaga ini adalah lembaga negara yang perlu dihormati, dalam banyak hal seringkali berita yang berlebihan tidak baik bagi DPR. Walaupun lembaga ini wajib dikritik, tetapi kalau dibiarkan dalam banyak hal (kritik) orang cenderung melenceng dari tujuan demokrasi. Jangan kritik lembaganya," imbuhnya.
Berikut sejumlah pasal dalam tata tertib wartawan yang dianggap kontroversial;
- Pasal 6 ayat 4, bagi wartawan yang akan mengajukan kartu peliputan di DPR harus menyerahkan contoh berita tentang DPR kepada Sekretariat Jenderal DPR. Wartawan yang tidak pernah menulis berita mengenai DPR, tidak dapat mengajukan kartu peliputan.
- Pasal 8 huruf F, wartawan dilarang menggunakan telepon genggam saat rapat berlangsung. Padahal kebanyakan wartawan khususnya media online mengandalkan ponsel untuk melaporkan berita secara langsung atau menulis berita dengan ponsel cerdasnya saat rapat komisi berlangsung.
Dalam pasal itu juga diatur larangan bagi wartawan melakukan reportase saat rapat sedang berlangsung. Padahal laporan langsung ini dilakukan wartawan televisi untuk memberikan informasi secara cepat dan terkini terkait pembahasan dalam rapat.
- Pasal 6, ketika mengajukan kartu peliputan, wartawan diharuskan membuat surat pernyataan di atas materai berisi penghasilan utamanya sebagai wartawan.
- Pasal 7, disebutkan bahwa wartawan tidak boleh mendesak narasumber untuk bicara. Setiap anggota DPR berhak menolak setiap wawancara sesuai dengan alasan masing-masing
Bila wartawan kedapatan melanggar tata tertib ini, maka wartawan yang bersangkutan dikenai sanksi. "Wartawan yang tidak memenuhi kewajiban dalam peraturan ini dapat dikenai sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, pencabutan kartu peliputan, atau dilaporkan ke Dewan Pers," demikian bunyi pasal 38 Peraturan DPR tentang tata tertib peliputan pers pada kegiatan DPR.(oki/mnt)
Wakil Ketua DPR Pramono Anung menyebut aturan yang disetujui pimpinan DPR dimaksudkan untuk menertibkan keberadaan wartawan.
Bahkan Pramono mengatakan, tata tertib dibuat untuk menjaga citra Senayan dari pemberitaan yang kerap menyudutkan karena berisi tudingan negatif terhadap DPR. "Jangan sampai ada berita yang tidak berdasarkan fakta, tapi opini. Dan itu kalau kemudian ditangkap publik akan berbeda-beda," ujar Pramono di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (14/2/2012).
Pramono mencontohkan pemberitaan mengenai masalah kalender yang sempat menjadi pemberitaan utama. Pramono menyesalkan adanya kesalahan informasi mengenai harga proyek pengadaan yang sempat disebut mencapai Rp1 miliar. "Masalah kalender yang kenyataannya hanya Rp300 juta," ujarnya.
Politikus senior PDI Perjuangan ini mengakui kontrol media terhadap dewan harus dilakukan. Namun fungsi kontrol itu harus disertai fakta dan data bukan menonjolkan tudingan semata.
"Karena lembaga ini adalah lembaga negara yang perlu dihormati, dalam banyak hal seringkali berita yang berlebihan tidak baik bagi DPR. Walaupun lembaga ini wajib dikritik, tetapi kalau dibiarkan dalam banyak hal (kritik) orang cenderung melenceng dari tujuan demokrasi. Jangan kritik lembaganya," imbuhnya.
Berikut sejumlah pasal dalam tata tertib wartawan yang dianggap kontroversial;
- Pasal 6 ayat 4, bagi wartawan yang akan mengajukan kartu peliputan di DPR harus menyerahkan contoh berita tentang DPR kepada Sekretariat Jenderal DPR. Wartawan yang tidak pernah menulis berita mengenai DPR, tidak dapat mengajukan kartu peliputan.
- Pasal 8 huruf F, wartawan dilarang menggunakan telepon genggam saat rapat berlangsung. Padahal kebanyakan wartawan khususnya media online mengandalkan ponsel untuk melaporkan berita secara langsung atau menulis berita dengan ponsel cerdasnya saat rapat komisi berlangsung.
Dalam pasal itu juga diatur larangan bagi wartawan melakukan reportase saat rapat sedang berlangsung. Padahal laporan langsung ini dilakukan wartawan televisi untuk memberikan informasi secara cepat dan terkini terkait pembahasan dalam rapat.
- Pasal 6, ketika mengajukan kartu peliputan, wartawan diharuskan membuat surat pernyataan di atas materai berisi penghasilan utamanya sebagai wartawan.
- Pasal 7, disebutkan bahwa wartawan tidak boleh mendesak narasumber untuk bicara. Setiap anggota DPR berhak menolak setiap wawancara sesuai dengan alasan masing-masing
Bila wartawan kedapatan melanggar tata tertib ini, maka wartawan yang bersangkutan dikenai sanksi. "Wartawan yang tidak memenuhi kewajiban dalam peraturan ini dapat dikenai sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, pencabutan kartu peliputan, atau dilaporkan ke Dewan Pers," demikian bunyi pasal 38 Peraturan DPR tentang tata tertib peliputan pers pada kegiatan DPR.(oki/mnt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar