Kamis, 02 Februari 2012

Pemerintah "Ciptakan" Bea Keluar, Mainkan Harga dan Bunuh Petani Karet, Dewan Karet Indonesia, Protes Keras!

Jurnalis Independen: Dewan Karet Indonesia mengaku tetap menolak dengan tegas pemberlakuan bea keluar (BK) atas karet yang direncanakan tahun ini dengan alasan menurunkan minat petani bertanam karet dan maraknya penyelundupan.
"Penolakan bukan tidak beralasan, banyak sekali alasan yang membuat Dekarindo (Dewan Karet Indonesia) menolak rencana pemberlakuan BK atas karet itu antara lain kekhawatiran semakin enggannya petani bertanam dan memelihara tanaman karetnya,"kata staf ahli Dekarindo, Suharto Honggokusumo, di Jakarta, Kamis.

Suharto yang dihubungi melalui telepon selularnya dari Medan, menegaskan, BK yang dkenakan kepada pengusaha akan dibebankan kepada petani. Harga yang semakin murah dikhawatirkan membuat petani enggan bertanam dan memelihara tanamannya sehingga pasokan di dalam negeri semakin berkurang dan mengganggu ekspor.

Di Indonesia, tanaman karet sebagian besar atau 86 persen merupakan milik petani. "Bayangkan kalau petani tidak mau lagi bertanam karet, bagaimana kelangsungan ekspor,"katanya.

Dia menegaskan, penolakan BK juga mengacu pada kesalahan persepsi pemerintah yang menilai bahwa BK bisa mendorong harga dan industri hilir. Menurut Suharto, naik turunnya harga karet sangat dipengaruhi kondisi di pasar internasional, jadi pengenaan BK tidak serta merta membuat harga jual karet naik.

"Yang pasti dampaknya langsung dirasakan petani dengan pengurangan harga beli atau semakin tingginya aksi penyelundupan untuk menghindari BK itu,"katanya. Dia menuturkan, pemerintah harus mengetahui bahwa produk berbasis karet membutuhkan bahan penolong lainnya, tidak hanya karet saja.

"Kalau nyatanya penyerapan karet di dalam negeri rendah, sementara ekspor dibatasi, karet petani itu mau dikemanakan,"katanya. Suharto menegaskan, karet berbeda dengan kakao yang sudah dikenakan BK.

Barang jadi karet memerlukan bahan penolong yang cukup besar, seperti untuk ban, kandungan karet hanya 40 persen dan bahan penolong lainnya 60 persen, berbeda dengan kakao yang bisa diolah jadi coklat tanpa banyak tambahan bahan lainnya.

"BK sangat memberatkan petani dan pengusaha bahkan mengancam penerimaan devisa apalagi dewasa ini harga jual sedang anjlok akibat krisis keuangan di Eropa. Padahal Indonesia termasuk negara produksi dan ekspor karet utama dunia,"katanya.

Petani karet di Sumut, Restu Kurniawan, mengatakan, petani juga keberatan dengan penerapan BK karena harga jual pasti semakin murah. "Lihat saja, kalau harga ekspor turun, pedagang langsung menurunkan harga beli. Jadi kalau nanti ada pungutan lain seperti BK, pasti dibebankan juga kepada petani,"kata Restu yang menjadi Ketua Kelompok Petani Karet Fanayama di Nias Selatan.(rep/mnt)

Tidak ada komentar: