KEBIASAAN orang-orang besar yang dekat dengan Allah SWT
adalah berjalan-jalan di sekelilingnya. Bukan sekadar berjalan-jalan
belaka, tapi lebih untuk melihat dari dekat apa yang sedang terjadi.
Biasanya mereka menjadikan semua itu sebagai sebuah perenungan. Itulah yang dilakukan juga oleh Presiden Pertama Negeri ini, Yaitu Ir. Soekarno, selain itu tidak ada Presiden lain yang melakukannya hingga kini..... makanya negeri terpuruk...sebab negeri ini dipimpin oleh pemimpin yang tak kenal ajaran Islam secara benar......
Begitu
pula dengan Imam Abu Hanifah.
Suatu hari, ketika Imam Abu Hanifah tengah melakukan kebiasaannya
itu, ia melewati sebuah rumah. Rumah itu terletak di pedesaan.
Jendelanya terbuka. Tanpa diduga, dari dalam rumah tersebut terdengar
suara orang mengeluh dan menangis. Cukup keras. Abu Hanifah mencoba
mendekat, agar bisa mendengar lebih jelas. Ia melakukannya dengan
perlahan-lahan, seolah tidak ingin diketahui oleh empunya rumah.
“Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini,” suara itu sekarang makin
kedengaran dengan jelas oleh Abu Hanifah. “Agaknya tiada seorang pun
yang lebih malang daripadaku. Nasibku ini sungguh celaka. Aku memang
tidak beruntung. Sejak dari pagi, belum datang sesuap nasi atau makanan
pun lewat di kerongkongku. Badanku lemah lunglai. Oh, adakah hati yang
berbelas-kasihan sudi memberi curahan air walaupun setitik?”
Abu Hanifah terperanjat. Ia merasa kasihan. Di samping itu, ia juga
merasa bertanggung jawab, ada seorang yang begitu memerlukan pertolongan
tetapi ia tidak mengetahuinya. Bagaimana kalau ia tidak peduli, tentu
Allah akan semakin tidak ridho kepadanya. Bergegas Abu Hanifah pun
kembali ke rumahnya dan mengambil sebuah bungkusan. Bungkusan itu berisi
uang. Hendak diberikan bungkusan itu kepada orang tersebut. Abu Hanifah
bergegas kembali ke rumah orang tersebut.
Setelah tiba, Abu Hanifah melemparkan begitu saja bungkusan itu ke
rumah orang yang sedang meratap-ratap itu lewat jendelanya. Lalu ia pun
meneruskan perjalanannya. Untuk sementara waktu, kelegaan terasakan oleh
Abu Hanifah.
Mendapati sebuah bungkusan yang tiba-tiba saja datang dari arah
jendelanya yang terbuka, bukan buatan terkejutnya orang tersebut. Sambil
masih terus bertanya-tanya dalam hati, dengan tergesa-gesa ia
membukanya. Setelah dibuka, tahulah ia bungkusan itu berisi uang. Cukup
banyak ternyata.
Namun tidak hanya uang. Juga ada secarik kertas di
dalamnya. Kertas itu bertuliskan kata-kata Abu Hanifah yang isinya, “Hai
kawan, sungguh tidak wajar kamu mengeluh seperti itu. Sesungguhnya,
kamu tidak perlu mengeluh atau meratapi nasibmu. Ingatlah kepada
kemurahan Allah dan cobalah memohon kepadaNya dengan bersungguh-sungguh.
Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus.”
Karena diliputi kegembiraan mendapati bungkusan berisi uang, orang
itu cenderung tidak mengacuhkan isi surat itu. Ia pun bersuka cita
membelanjakan uang itu untuk kebutuhan sehari-harinya.
Keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi rumah itu. Tapi
ternyata, dari luar suara keluhan itu terdengar lagi. Masih orang itu
juga. “Ya Allah, Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah
kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekadar untuk
menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Engkau tidak beri,
akan lebih sengsaralah hidupku,” ratapnya.
Mendengar keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun lalu melemparkan
lagi bungkusan berisi uang dan secarik kertas dari luar. Tampaknya ia
sudah menyiapkan bungkusan itu sebelumnya. Dan seperti biasanya, lalu
dia pun meneruskan perjalanannya.
Orang itu kembali merasa beruntung melonjak-lonjak riang. Ia sudah
yakin bungkusan itu pastilah berisi uang seperti yang ia terima
sebelumnya. Tapi setelah itu, ia membaca tulisan dalam kertas yang
tersampir bersama bungkusan uang itu. “Hai kawan, bukan begitu cara
bermohon. Bukan begitu cara berikhtiar dan berusaha.
Perbuatan demikian
'malas' namanya, dan putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah.
Sungguh tidak ridho Allah melihat orang pemalas dan putus asa, enggan
bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan, jangan berbuat demikian.
Raihlah kesenangan dengan bekerja dan berusaha. Kesenangan itu tidak
mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup harus
bekerja dan berusaha. Allah tidak akan memperkenankan permohonan orang
yang malas bekerja. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus
asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu.
Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. InsyaAllah, akan
dapat juga pekerjaan itu selama engkau tidak berputus asa. Nah, carilah
segera pekerjaan. Aku doakan semoga bisa berhasil.”
Usai membaca surat itu, dia termenung. Kali ini, dia insaf dan sadar
akan kemalasannya. Selama ini dia sama sekali tidak berikhtiar dan
berusaha.
Keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari
pekerjaan. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti
ketentuan-ketentuan hidup. Ia juga tidak pernah melupakan orang yang
telah memberikan nasihat itu.
Oleh Saad Saefullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar