Jurnalis Independen: Aksi penutupan
enam lokalisasi oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini tak bisa dipandang mulus
dan tanpa tekanan dari “Masyarakat Pecinta Prostitusi”. Dengan berbagai dalih
bahkan juga menggunakan terror tangan-tangan ormas pemuda melakukan perang
spanduk untuk mengganjal niat baik Srikandi Surabaya, perang spanduk itu pernah
terlihat di lokalisasi di wilayah Surabaya Utara.
Terkait penyucian Kota Surabaya
dari julukan kota lokalisasi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota
(Bappeko) Surabaya, Agus Sonhaji mengatakan Dolly yang kini identik dengan
sarang pelacur, kedepan diproyeksikan sebagai sentra bisnis dan perdagangan.
Dalam perencanaannya, Jalan Putat
akan di perlebar sekitar 25 meter. Tujuannya, lanjut Agus, agar akses
transportasi dan bisnis terbuka sehingga kawasan tersebut bisa lebih
berkembang.
“Di samping itu tentu juga
dibarengi dengan pembenahan sarana penerangan dan saluran air,” ujarnya.
Untuk pembangunan fasilitas umum
(fasum), pemkot menyertakan anggaran senilai Rp 5 miliar sebagai modal awal.
Dana itu digunakan untuk membeli wisma, lantas akan dibangun fasum berupa
taman, fasilitas olahraga, dan lain sebagainya.
Masih kata Agus, rehabilitasi
lokalisasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemkot, melainkan juga pemprov
dan pemerintah pusat. Ketiganya bersinergi dengan melaksanakan peran sesuai
porsinya masing-masing. Yang jelas, semuanya menggelontorkan anggaran guna
mendukung penutupan lokalisasi.
Mantan Kabag Bina Program ini
mengungkapkan, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Sosial (kemensos)
membantu anggaran sebesar Rp 858 juta. Dana tersebut untuk stimulus modal para
mantan pekerja seks komersial (PSK). Sementara, Pemprov Jatim terkonfirmasi mengalokasikan
Rp 1 miliar lebih khusus bagi keluarga rentan ekonomi termasuk para mantan
mucikari). Sisi lain Pemkot Surabaya menggelontorkan Rp 25 miliar untuk
kegiatan pelatihan, pembangunan fasum, dan sebagainya.
“Angka tersebut rinciannya untuk
lokalisasi Klakah Rejo, Sememi, Morokrembangan, dan Dupak Bangunsari. Dana diatas,
lokalisasi Dolly, belum masuk hitungan, sebab khusus lokalisasi terbesar Asia
Tenggara itu, masih membutuhkan kajian lebih detil mengenai kebutuhan persisnya,”
jelas Agus.
Langkah pemkot merehabilitasi
kawasan eks lokalisasi terbagi dalam empat hal. Yakni, pemberdayaan sosial,
ekonomi, lingkungan, dan bantuan langsung melalui mekanisme hibah.
Pemberdayaan sosial terfokus
kepada bagaimana mengubah perilaku PSK sehingga berimbas pada masyarakat
sekitar. Hal ini diungkapkan Agus lantaran merasa miris terhadap adanya
anak-anak yang menjadi “pelanggan” di lokalisasi.
“Kita berharap mantan PSK bisa
berubah sebab apa yang dilakukannya berdampak pada warga di sekitarnya,
khususnya anak-anak,” pungasnya.
Ketekatan pihak Pemkot Surabaya
tak hanya berencana menutup Enam lokalisasi begitu saja, tetapi telah
menyiapkan sejumlah rencana pengembangan kawasan tersebut. Kawasan merah ini
rencananya dijadikan sebagai kawasan strategis, khususnya Dolly.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini
mengungkapkan, nantinya ada akses jalan dua arah (double) yang akan dibuat di
bekas lokalisasi. Jalan ini akan menghubungkan Jalan Mayjen Sungkono dan
Banyuurip.
"Artinya ini tempat yang
baru lagi dengan aksesbilitas yang lebih baik,"
Terkait penolakan sejumlah
pedagang kaki lima, menurut Risma meskipun Dolly ditutup, tidak mungkin Tuhan
akan menutup rezeki orang.
"Malah kalau itu
(prostitusi) terus dilakukan, mungkin suatu saat rezeki akan ditutup Tuhan.
Dengan cara yang lebih Nya,"tuturnya.
Diakui Risma, penutupan itu demi
masa depan anak-anak. Karena ternyata lokalisasi memberi dampak yang sangat
buruk bagi anak-anak. Anak-anak ini banyak yang tidak miliki harapan.
Secara penampilan mereka biasa
saja. Tetapi setelah digali terlihat mereka ini hopless, tidak punya mimpi sama
sekali.
"Korban sudah banyak dari
anak-anak. Apa kita tega bangsa kita hancur. Orang cacat saja bisa cari makan.
Kita yang diberikan Tuhan sempurna, kenapa kita tidak usahakan lebih
baik,"katanya.
Mantan kepala Bappeko Surabaya
ini meminta masyarakat tidak khawatir dengan bayangan sendiri, apalagi ada yang
berusaha hendak menggagalkan penyelamatan kemanusian yang dilakukan Pemkot.
"Tuhan beri ruang yang jauh
lebih baik,"ujarnya.
Dengan alokasi dana yang telah
disiapkan melalui anggaran APBD 2014, senilai Rp 25 miliar Pemkot akan membeli
sejumlah bekas wisma untuk diubah menjadi sport center, perpustakaan, pasar dan
sentra PKL.
"Kemarin yang ditawarkan ada
tiga tempat. Kami belum appraisal,"tandasnya.
Pembelian wisma itu dimungkinkan
karena ternyata para pengusaha wisma Dolly bukan warga Kota Surabaya, tutup
Risma.
Sebagai warga Surabaya, mestinya
mendukung program yang dirancang dan sudah setengah jalan dilakukan pihak Pemkot,
namun masih saja ada suara sumbang dengan dalih yang bermacam-macam dilakukan
warga kota. Seyogyanya pemikir suara sumbang mau mengambil hikmah tentang penutupan
lokalisasi di Surabaya. Apakah warga Surabaya rela jika Kota Pahlawan ini dijadikan
sebagai lahan tambang rupiah oleh warga “asing” dan menyisahkan sampah lendir, berupa
hilangnya moralitas, etos kerja positif dan penyakit HIV AIDS, apakah semua itu
bisa ditanggulangi dengan KONDOM?
Ayolah berpikir realistis, memang kita seharusnya mensinergikan dengan daerah-daerah asak PSK, tentang lapangan kerja seusai mereka lulus dari lembaga lokalisasi. Para birokrat harus menyatukan visi tentang penanganan PSK secara integral.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar