Rabu, 11 Desember 2013

Walikota Tri Rismaharini Sucikan Kota Pahlawan dari Lendir AIDS dan Lokalisasi

Jurnalis Independen:  Aksi penutupan enam lokalisasi oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini tak bisa dipandang mulus dan tanpa tekanan dari “Masyarakat Pecinta Prostitusi”. Dengan berbagai dalih bahkan juga menggunakan terror tangan-tangan ormas pemuda melakukan perang spanduk untuk mengganjal niat baik Srikandi Surabaya, perang spanduk itu pernah terlihat di lokalisasi di wilayah Surabaya Utara.


Terkait penyucian Kota Surabaya dari julukan kota lokalisasi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Agus Sonhaji mengatakan Dolly yang kini identik dengan sarang pelacur, kedepan diproyeksikan sebagai sentra bisnis dan perdagangan.

Dalam perencanaannya, Jalan Putat akan di perlebar sekitar 25 meter. Tujuannya, lanjut Agus, agar akses transportasi dan bisnis terbuka sehingga kawasan tersebut bisa lebih berkembang.

“Di samping itu tentu juga dibarengi dengan pembenahan sarana penerangan dan saluran air,” ujarnya.

Untuk pembangunan fasilitas umum (fasum), pemkot menyertakan anggaran senilai Rp 5 miliar sebagai modal awal. Dana itu digunakan untuk membeli wisma, lantas akan dibangun fasum berupa taman, fasilitas olahraga, dan lain sebagainya.

Masih kata Agus, rehabilitasi lokalisasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemkot, melainkan juga pemprov dan pemerintah pusat. Ketiganya bersinergi dengan melaksanakan peran sesuai porsinya masing-masing. Yang jelas, semuanya menggelontorkan anggaran guna mendukung penutupan lokalisasi.

Mantan Kabag Bina Program ini mengungkapkan, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Sosial (kemensos) membantu anggaran sebesar Rp 858 juta. Dana tersebut untuk stimulus modal para mantan pekerja seks komersial (PSK). Sementara, Pemprov Jatim terkonfirmasi mengalokasikan Rp 1 miliar lebih khusus bagi keluarga rentan ekonomi termasuk para mantan mucikari). Sisi lain Pemkot Surabaya menggelontorkan Rp 25 miliar untuk kegiatan pelatihan, pembangunan fasum, dan sebagainya.

“Angka tersebut rinciannya untuk lokalisasi Klakah Rejo, Sememi, Morokrembangan, dan Dupak Bangunsari. Dana diatas, lokalisasi Dolly, belum masuk hitungan, sebab khusus lokalisasi terbesar Asia Tenggara itu, masih membutuhkan kajian lebih detil mengenai kebutuhan persisnya,” jelas Agus.

Langkah pemkot merehabilitasi kawasan eks lokalisasi terbagi dalam empat hal. Yakni, pemberdayaan sosial, ekonomi, lingkungan, dan bantuan langsung melalui mekanisme hibah.
Pemberdayaan sosial terfokus kepada bagaimana mengubah perilaku PSK sehingga berimbas pada masyarakat sekitar. Hal ini diungkapkan Agus lantaran merasa miris terhadap adanya anak-anak yang menjadi “pelanggan” di lokalisasi.

“Kita berharap mantan PSK bisa berubah sebab apa yang dilakukannya berdampak pada warga di sekitarnya, khususnya anak-anak,” pungasnya.

Ketekatan pihak Pemkot Surabaya tak hanya berencana menutup Enam lokalisasi begitu saja, tetapi telah menyiapkan sejumlah rencana pengembangan kawasan tersebut. Kawasan merah ini rencananya dijadikan sebagai kawasan strategis, khususnya Dolly.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengungkapkan, nantinya ada akses jalan dua arah (double) yang akan dibuat di bekas lokalisasi. Jalan ini akan menghubungkan Jalan Mayjen Sungkono dan Banyuurip. 

"Artinya ini tempat yang baru lagi dengan aksesbilitas yang lebih baik,"

Terkait penolakan sejumlah pedagang kaki lima, menurut Risma meskipun Dolly ditutup, tidak mungkin Tuhan akan menutup rezeki orang.

"Malah kalau itu (prostitusi) terus dilakukan, mungkin suatu saat rezeki akan ditutup Tuhan. Dengan cara yang lebih Nya,"tuturnya.

Diakui Risma, penutupan itu demi masa depan anak-anak. Karena ternyata lokalisasi memberi dampak yang sangat buruk bagi anak-anak. Anak-anak ini banyak yang tidak miliki harapan.
Secara penampilan mereka biasa saja. Tetapi setelah digali terlihat mereka ini hopless, tidak punya mimpi sama sekali.

"Korban sudah banyak dari anak-anak. Apa kita tega bangsa kita hancur. Orang cacat saja bisa cari makan. Kita yang diberikan Tuhan sempurna, kenapa kita tidak usahakan lebih baik,"katanya.

Mantan kepala Bappeko Surabaya ini meminta masyarakat tidak khawatir dengan bayangan sendiri, apalagi ada yang berusaha hendak menggagalkan penyelamatan kemanusian yang dilakukan Pemkot.

"Tuhan beri ruang yang jauh lebih baik,"ujarnya.

Dengan alokasi dana yang telah disiapkan melalui anggaran APBD 2014, senilai Rp 25 miliar Pemkot akan membeli sejumlah bekas wisma untuk diubah menjadi sport center, perpustakaan, pasar dan sentra PKL.

"Kemarin yang ditawarkan ada tiga tempat. Kami belum appraisal,"tandasnya.

Pembelian wisma itu dimungkinkan karena ternyata para pengusaha wisma Dolly bukan warga Kota Surabaya, tutup Risma.

Sebagai warga Surabaya, mestinya mendukung program yang dirancang dan sudah setengah jalan dilakukan pihak Pemkot, namun masih saja ada suara sumbang dengan dalih yang bermacam-macam dilakukan warga kota. Seyogyanya pemikir suara sumbang mau mengambil hikmah tentang penutupan lokalisasi di Surabaya. Apakah warga Surabaya rela jika Kota Pahlawan ini dijadikan sebagai lahan tambang rupiah oleh warga “asing” dan menyisahkan sampah lendir, berupa hilangnya moralitas, etos kerja positif dan penyakit HIV AIDS, apakah semua itu bisa ditanggulangi dengan KONDOM? 

Ayolah berpikir realistis, memang kita seharusnya mensinergikan dengan daerah-daerah asak PSK, tentang lapangan kerja seusai mereka lulus dari lembaga lokalisasi. Para birokrat harus menyatukan visi tentang penanganan PSK secara integral.@  


Tidak ada komentar: