Berkebalikan dengan ironi yang sangat
banyak terjadi hari ini, pejuang dan pejabat di zaman perjuangan tidak pernah
memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Salah satunya, KH
Saifuddin Zuhri, seorang pejuang, pemuka agama, dan pendidik.
Sederhana sudah menjadi bagian
dari kehidupan Saifuddin kecil yang mempunyai ibu perajin batik dan ayah
seorang petani. Latar belakang kedua orang tua yang datang dari keluarga pemuka
agama, membuat Saifuddin kecil berlimpah ilmu agama. Di usia ke-17, dia
meninggalkan Banyumas, pergi ke Solo.
Di Solo, Saifuddin berkenalan
dengan dunia jurnalistik yang membuatnya melahirkan berbagai tulisan dan buku.
Dia pun ikut berperang bersama pasukan Hizbullah dan Jenderal Sudirman di
pertempuran Ambarawa. Pencapaian yang diperoleh Saifuddin masih ditambah dengan
berbagai jabatan di lembaga Islam dan pendidikan.
Bung Karno pun mempercayai
Saifuddin menjadi Menteri Agama, menggantikan KH Wahib Wahab. Suatu kali,
Saifuddin diuji. Adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan memohon untuk
dihajikan dengan biaya dinas dari Departemen Agama. Meskipun sudah lazim
menghajikan pejuang kemerdekaan, namun Saifuddin menolak permintaan itu.
"Sebagai orang yang berjasa
dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika
Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang
kemerdekaan. Tapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu
melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama
aku hajikan," ujar KH Saifuddin Zuhri kepada iparnya.
Menjadi Menteri Agama, tidak
lantas membuat Saifuddin seenaknya memanfaatkan fasilitas negara. Dia tetap
hidup dalam kesederhanaan. Dikutip dari buku Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26
Tokoh NU karangan Saifullah Ma'shum, terungkap bahwa Saifuddin memilih berdagang
beras di Pasar Glodok sehabis shalat Dhuha. Bahkan kebiasaan ini pun membuat
anaknya mengelus dada.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar