Jumat, 06 Desember 2013

Menteri Anti Gratifikasi

Berkebalikan dengan ironi yang sangat banyak terjadi hari ini, pejuang dan pejabat di zaman perjuangan tidak pernah memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Salah satunya, KH Saifuddin Zuhri, seorang pejuang, pemuka agama, dan pendidik.


Sederhana sudah menjadi bagian dari kehidupan Saifuddin kecil yang mempunyai ibu perajin batik dan ayah seorang petani. Latar belakang kedua orang tua yang datang dari keluarga pemuka agama, membuat Saifuddin kecil berlimpah ilmu agama. Di usia ke-17, dia meninggalkan Banyumas, pergi ke Solo.

Di Solo, Saifuddin berkenalan dengan dunia jurnalistik yang membuatnya melahirkan berbagai tulisan dan buku. Dia pun ikut berperang bersama pasukan Hizbullah dan Jenderal Sudirman di pertempuran Ambarawa. Pencapaian yang diperoleh Saifuddin masih ditambah dengan berbagai jabatan di lembaga Islam dan pendidikan.

Bung Karno pun mempercayai Saifuddin menjadi Menteri Agama, menggantikan KH Wahib Wahab. Suatu kali, Saifuddin diuji. Adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas dari Departemen Agama. Meskipun sudah lazim menghajikan pejuang kemerdekaan, namun Saifuddin menolak permintaan itu.

"Sebagai orang yang berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan," ujar KH Saifuddin Zuhri kepada iparnya.

Menjadi Menteri Agama, tidak lantas membuat Saifuddin seenaknya memanfaatkan fasilitas negara. Dia tetap hidup dalam kesederhanaan. Dikutip dari buku Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU karangan Saifullah Ma'shum, terungkap bahwa Saifuddin memilih berdagang beras di Pasar Glodok sehabis shalat Dhuha. Bahkan kebiasaan ini pun membuat anaknya mengelus dada.@


Tidak ada komentar: