Minggu, 22 Desember 2013

Tiyo Triyanto, Pencipta Pertama Bitcoin Indonesia Alat Tukar Elektronik

Jurnalis Independen: Bitcoin kini sedang nge-tren di dunia bisnis online. Meski di Indonesia penggunaan mata uang elektronik itu belum populer, dunia sudah mengapresiasi Red Fury, alat pengumpul Bitcoin asal Riau yang diciptakan Tiyo Triyanto menjadi pendulang rupiah.

Ditemui di sebuah kedai kopi di Mal Puri Indah, Jakarta, Tiyo Triyanto beberapa kali menghentikan sejenak wawancara karena harus membalas e-mail dan pesan singkat di iPhone-nya. Sesekali dia menunjukkan pesan yang diterima. Seluruhnya menanyakan Red Fury.

’’Ini ada reseller (pedagang perantara) yang menanyakan apakah preorder Red Fury masih dibuka atau tidak,’’ ujar pria 29 tahun tersebut lantas menyeruput ice chocolate.

Nama Tiyo mulai menjadi perbincangan di dunia maya karena keberhasilannya menciptakan benda berbentuk mirip USB yang bisa menjadi bit miner atau penambang mata uang Bitcoin. Dalam kamus Bitcoin, upaya mendapatkan uang elektronik memang lazim disebut miner atau menambang.

Sejak dikenalkan pada 2009 oleh orang bernama samaran Satoshi Nakamoto, Bitcoin kini memang menjadi alternatif mata uang untuk transaksi di dunia maya. Karena diakui sebagai alat pembayaran, fungsi Bitcon mirip dengan uang. Namun, berbeda dengan uang kartal di dompet kita, Bitcoin tidak diterbitkan otoritas keuangan mana pun.

Mata uang itu hanya diedarkan peer to peer dan dilengkapi kriptografi untuk memastikan uang elektronik tersebut hanya bisa digunakan pemiliknya. Sistem juga memastikan uang yang sama tidak bisa digunakan lebih dari sekali. Mirip ketika kita membeli barang.

Menurut Tiyo, karena tidak diedarkan otoritas keuangan tertentu, nilai mata uang Bitcoin tidak dapat diintervensi pemerintah atau otoritas tertentu. Karena otoritas tidak bisa memproduksi Bitcoin, mata uang elektronik tersebut antiinflasi.

Seperti uang kartal, Bitcoin juga dapat disimpan dalam ’’dompet’’ di komputer kita dan dapat dikirimkan lewat internet ke alamat Bitcoin. Karena lewat internet, tidak ada potongan biaya apa pun ketika uang itu berpindah ke tangan orang lain.

Pemilik Bitcoin juga tidak terlihat kaya atau miskin karena tidak harus menyetorkan identitas ketika menggunakannya. Cukup alamat Bitcoin. Nilai tukarnya juga tetap, tidak terpengaruh kurs. ’’Kelebihan itulah yang membuat Bitcoin sekarang banyak digunakan sebagai sarana transaksi di dunia digital,’’ terang pria asli Jakarta tersebut.

Karena tidak ada potongan biaya transaksi, banyak orang yang menggunakannya untuk transaksi bisnis di dunia online hingga menyumbang bencana. Dia mencontohkan penggunaan Bitcoin dalam mikrodonasi yang diadakan sebuah forum internet untuk korban topan Haiyan di Filipina.

’’Kalau kita hanya ikhlas menyumbang Rp 10 ribu, kita kirim lewat bank, bisa jadi biaya administrasinya sama besar dari nilai sumbangannya,’’ terang Tiyo.

Nilai tukar Bitcoin juga diklaim terus meningkat. Awalnya, 1 Bitcoin dipatok senilai USD 1 sen.
Kini nilainya sudah mencapai Rp 9 juta per Bitcoin. ’’Tingginya nilai tukar itu bergantung makin banyaknya penggunaannya,’’ ujar alumnus Xavier University, Cincinnati, AS, tersebut.

Seperti halnya uang kartal, Bitcoin mengenal recehan. Istilahnya Satosi. Ada delapan digit dalam Bitcoin sehingga 1 Satosi = 0,00000001 Bitcoin. Nah, recehan Satosi itulah yang bisa ditambang di internet. Ada alat yang bisa digunakan untuk menambang recehan di internet, yakni Bitcoin Miner. Salah satunya Red Fury ciptaan Tiyo.

Sejumlah artikel menyebutkan, alat tersebut adalah satu-satunya buatan Indonesia, selain yang diproduksi di AS dan Tiongkok. Prinsip kerja alat tersebut adalah memverifikasi transaksi

Bitcoin di internet. Mirip akuntan di perbankan, alat itu merekap lalu lintas Bitcoin yang berseliweran di internet. Dengan demikian, seorang cracker (pencuri data) harus merusak catatan miner di seluruh dunia agar bisa mencuri Bitcoin yang sedang berkelana. ’’Keamanan data yang berlapis-lapis itulah jaminan Bitcoin sebagai uang yang aman,’’ terang Tiyo.

Sebagai upah atas pekerjaannya, server memberikan imbalan dalam bentuk Bitcoin kepada para penambang. Nilai imbalan itu tidak besar. Namun, karena transaksinya besar, jumlahnya pun menggiurkan. ’’Semakin banyak orang yang mining, semakin kuat sistem Bitcoin. Itulah yang disebut the power of peer to peer currency,’’ ungkap Tiyo.

Berbekal keahlian di bidang elektronika dan sistem informasi, dia hanya butuh tiga bulan untuk membuat alat penambang Bitcoin. Kesulitan terletak pada komponen penyusun alat seharga Rp 1 jutaan tersebut. ’’Saya sampai pesan khusus ke Pantai Gading karena di beberapa negara komponen itu tidak tersedia dalam jumlah banyak,’’ terangnya tanpa memerinci komponen yang dimaksud.

Pertengahan tahun ini, Tiyo yang dibantu temannya dari Austria dan AS berhasil membuat prototipe dan dipasarkan secara online untuk mencari modal pembuatannya. Banyak orang yang tertarik memesan. Seluruh konsumen diminta membayar lunas di depan. ’’Awalnya saya produksi 3.000 unit. Tak disangka habis dalam 20 hari. Buat lagi 7 ribu unit, habis dalam lima hari. Mayoritas pembelinya reseller. Makanya, pesannya banyak,’’ ungkapnya.

Kini seluruh produksi dilakukan di Riau, kecuali beberapa komponen yang lebih murah bila diimpor. Setiap pekan transaksi miliaran masuk ke rekening Tiyo. ’’Saya sempat ditelepon bank, ditanyai-tanyai karena mereka curiga rekening saya mendadak gendut,’’ ujarnya lantas tergelak.Terkait dengan tindakan Tiongkok yang melarang penggunaan Bitcoin karena berpotensi mengganggu rezim Yuan, Tiyo mengibaratkan dengan surat elektronik atau e-mail.

Ketika pertama diperkenalkan, banyak orang yang khawatir. Namun, semua orang kini memiliki akun e-mail.’’Saya yakin alat saya ini akan dijiplak. Namun, saya sudah memproduksi alat baru dengan teknologi yang lebih maju,’’ tegas pria kelahiran 25 Januari 1984 tersebut ketika ditanya alasan tidak mematenkan temuannya itu.@


Tidak ada komentar: