Rabu, 25 Desember 2013

Jenderal Tua, Mafia Tanah dan Mafia Hukum

Jurnalis Independen: Kisah Perjuangan Jenderal Tua Melawan Mafia Hukum Depsos Mempertahankan Cawang Kencana.

“Sesungguhnya nanti perjuangan kalian akan lebih berat karena kalian akan menghadapi musuh – musuh dari bangsa kalian sendiri” – Bung Karno.
Menghabiskan hari tua bagi seorang Mayor Jenderal Purn. H. Moerwanto Soeprapto SH tidak seperti layaknya  para pensiunan mantan perwira tinggi lain yang dapat bermain dan bercanda riang dengan cucu dan cicit atau menunggu akhir hayatnya dengan tenang. Pasalnya, beberapa waktu lalu Moerwanto menerima surat pemberitahuan putusan Mahkahamah Agung RI No. 1504 K/Pidsus/2013 Jo. No. 10/PID/TKP/2013/PT.DKI Jo. No. 58/Pid.B/TKP/2012/PN.Jkt.Pst yang memutuskan Moerwanto divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 4 tahun, denda Rp. 500 juta serta uang pengganti Rp. 726 juta.

Mahkamah Agung (MA) RI menyatakan bahwa Moerwanto terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama – sama dan berlanjutan sebagaimana dakwaan subsidair.

Kasus yang menjerat mantan sekretaris jenderal Departemen Sosial (Sekjen Depsos) itu bermula dari somasi atau surat peringatan yang disampaikan oleh Ghazali Situmarang kepada Moerwanto pada 4 Januari 2010 lalu, dimana Moerwanto dituduh telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan korupsi terkait dengan aset berupa tanah seluas 7.902 meter persegi dan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut yang selama ini dikelola oleh Yayasan Citra Handadari Utama (YCHU) yang diketuai oleh Moerwanto.

Bagaikan disambar petir di siang bolong ketika mantan prajurit TNI – AD berusia 70 tahun itu ketika menerima somasi dari Ghazali Situmorang yang tidak lain adalah sekjen Depsos yunior atau penerusnya. Betapa tidak, tuduhan itu selain merupakan fitnah terhadap dirinya, somasi itu juga tidak sesuai dengan pernyataan Menteri Sosial RI atasan Ghazali Situmorang sendiri.

Menteri Sosial Salim Assegaf Al Jufrie dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan bahwa aset yang dikelola YCHU itu sama sekali bukan milik Departemen Sosial, melainkan milik yayasan.

Yang tidak lain adalah sekjen Depsos pengganti dirinya. Somasi dari Ghazali Situmorang tersebut sangat aneh karena mengatasnamakan Menteri Sosial RI, sedang Menteri Sosial selaku pimpinan Ghazali Situmorang dalam berbagai kesempatan mengakui bahwa aset tanah dan bangunan yang terletak di kawasan Cawang, Jakarta Timur itu sebagai milik yayasan dan bukan milik Departemen Sosial RI. Penegasan senada disanpaikan sejumlah mantan menteri sosial seperti Bachtiar Chamsyah, Justika S Baharsjah, Nani Soedarsono dan seterusnya.

Kepemilikan YHCU atas tanah dan bangunan yang dikenal masyarakat luas sebagai Cawang Kencana tersebut bermula dari pelaksanaan Keppres No. 32 tahun 1979 junto Permendagri No. 3 tahun 1979 yang menetapkan bahwa hak – hak atas tanah ex kolonial Belanda diberikan hak kepada mereka yang memerlukan tanah dengan mengutamakan bekas pemegang hak atas tanah tersebut.

Melalui SK Mensos No. 34/HUK/1986 hak penggunaan tanah Cawang Kencana telah diserahkan Mensos kepada Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS).



Pada tanggal 9 Maret 1987 Depsos untuk kepentingan YDBKS telah mengajukan permohonan hak atas tanah Cawang Kencana tersebut. Pada tanggal 12 Mei 1987 Mensos Nani Soedarsono mengirimkan surat No. K/B/-46/V-87/MS kepada Dirjen Agraria untuk mendapatkan hak pakai dan sertifikat tanah Cawang Kencana atas nama YDBKS.

Kemudian terbitlah SK Mendagri No. 206/HP/D.A/88 tanggal 29 Juni 1988 tentang Pemberian Hak Pakai atas nama Departemen Sosial UNTUK Kepentingan YDBKS.

Menteri Sosial berikutnya, Haryati Soebadio telah mengirimkan surat No. B/F.08-XI-88/MS tanggal 19 Nopember 1988 kepada Dirjen Agraria yang meminta koreksi atas nama yang tercantum sebelumnya yakni Departemen Sosial agar diubah menjadi atas nama YDBKS.

Pada tahun 1992 di atas tanah Cawang Kencana tersebut didirikan bangunan berdasarkan IMB No. 9216/IMB/1992 yang biaya pembangunan gedung seluruhnya adalah uang milik yayasan (YDBKS). Tidak ada sepeser pun uang negara atau depsos.

Ketika YDBKS dibubarkan/likuidasi pada tanggal 29 September 1999, sesuai akte notaris Siti Pertiwi Henny Singgih No. 82 tahun 1999 tentang berita acara penyerahan dilakukan pengalihan kepemilikan tanah dan bangunan Cawang Kencana dari YDBKS kepada YHCU. Dan kemudian pengelolaan Gedung Cawang Kencana diserahkan YHCU kepada PT. Citra Satya Utama (CSU) melalui surat Ketua YHCU Moerwanto Soeprapto.

Menteri Sosial periode berikutnya, Justika S Baharsjah juga telah mengirimkan surat No. AC.58/LX-99/MS tanggal 17 September 19999 kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) perihal permohonan penggantian nama pemegang hak pakai tanah Cawang Kencana menjadi atas nama YHCU.

BPN Jakarta Timur ternyata telah menerbitkan Sertifikat Hak Pakai Tanah Cawang Kencana atas nama YDBKS pada tanggal 14 Oktober 1999. Meski demikian sesuai akte notaris tanggal 29 September 1999 tanah berikut bangunan di atasnya yang semula milik YDBKS dialihkan menjadi milik YHCU.

Fakta – fakta hukum tersebut di atas ternyata diabaikan begitu saja oleh Ghazali Situmorang yang diduga bertindak untuk dan atas nama kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dengan alasan bahwa uang yang digunakan YDBKS untuk membeli membangun gedung di atas tanah tersebut termasuk uang negara. Padahal tidak ada satu pun peraturan perundang – undangan yang menyatakan bahwa uang Yayasan adalah merupakan uang negara. Apalagi uang YDBKS tersebut bukan berasal dari pemerintah atau negara melainkan dari usaha sendiri selaku penyelenggara undian sosial berhadiah pada masa itu.

Keganjilan berikutnya adalah mengenai langkah sekjen depsos melaporkan Moerwanto Soeprapto Ketua YHCU dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) mengindikasikan adanya kepentingan tersembunyi dari Ghazali Situmorang cs, yang mana kemudian terbukti dengan adanya :
1. Rekayasa penjebakan kepada YHCU yang dilakukan oleh oknum SK dan J dimana Moerwanto diminta uang ‘pengurusan’ oleh penasihat hukumnya sebesar Rp. 300 juta. Uang tersebut disebutkan sebagian untuk oknum jaksa penuntut umum (JPU) pada pengadilan Tipikor, dengan janji kepastian dapat memenangkan perkara tersebut. Permintaan JPU itu didasarkan atas keraguan JPU atas bukti – bukti yang dimiliki oleh pelapor (Ghazali Situmorang). Permintaan uang itu lalu dipenuhi oleh pengelola gedung Cawang Kencana PT. CSU.

Ternyata, pemberian uang sebesar Rp. 150 juta yang dimaksudkan sebagai uang ucapan terima kasih atas pengertian JPU yang bersedia objektif melihat kasus ini lemah dan hanya kriminalisasi terhadap Moerwanto, tiba – tiba menjadi bumerang. Oknum SK dan J yang sejak kasus ini bergulir sudah terlibat menawarkan bantuan kepada Moerwanto, kemudian terbukti sebagai musuh dalam selimut dan pengkhianat. SK dan J malah mengancam pihak JPU agar merekayasa bukti – bukti sedemikian rupa supaya Moerwanto dinyatakan bersalah.

2. Ternyata, Oknum SK dan J adalah pihak yang berkolusi dan diduga otak dari kriminalisasi Ketua YHCU Moerwanto Soeprapto. Terdapat indikasi pasangan suami istri SK dan J serta para mafia di belakangnya telah mengatur hukum dan majelis hakim sedemikian rupa untuk memastikan Moerwanto divonis bersalah.

3. Diduga tekanan, ancaman dan mungkin uang suap jumlah besar dari oknum SK dan J cs kepada majelis hakim yang menyebabkan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung nekad mengabaikan semua fakta hukum, keterangan para saksi dan bukti – bukti yang mematahkan tuduhan korupsi terhadap Ketua YHCU Moerwanto Soeprapto.

4. Terdengar informasi bahwa ada pengusaha properti terkemuka, oknum pejabat tinggi negara dan kerabat Cikeas berada di balik kriminalisasi Moerwanto, jenderal tua yang dikenal sebagai pribadi jujur, berintegritas tinggi dan menghabiskan puluhan tahun umurnya untuk berbakti pada negara dan kegiatan sosial.

5. Terungkap banyak informasi tentang rencana besar nan kotor dari para mafia hukum otak kriminalisasi terhadap Moewanto, dimana nantinya tanah dan bangunan Cawang Kencana yang selama ini digunakan untuk kantor puluhan yayasan dan organisasi sosial, akan dihancurkan dan dibangun apartement mewah bernilai triliunan rupiah dengan modus KKN bersama oknum pejabat tinggi Kementerian Sosial. Lokasi Cawang Kencana sangat strategis sehingga sangat menggiurkan dan membuat para mafia hukum dengan entengnya merekayasa hukum dan mengkriminalisasi seorang anak bangsa mantan prajurit pejuang hingga jadi pesakitan, terpidana korupsi.

6. Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) rencananya segera dilakukan oleh Moerwanto. Namun, belum lagi memori PK disusun, sudah terdengar SK dan J sudah ‘mengunci’ para anggota majelis hakim di MA. Belum diketahui berapa besar uang suap yang dijanjikan kepada para hakim agung durjana itu.



Ketika kami temui di salah satu ruang kantor Gedung Cawang Kencana, Moerwanto terlihat tegar menghadapi kezaliman ini. “Saya prajurit pejuang dik. Sudah biasa menghadapi bahaya kematian di medan perang. Jangankan dipenjara, mati pun saya ikhlas demi mempertahankan kebenaran. Saya tidak ada korupsi sepeser pun. Selama belasan tahun saya curahkan hidup saya mengelola yayasan sosial. Tidak ada keuntungan disini. Honor yang hanya sekitar Rp. 5 juta per bulan dari yayasan sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan operasional tugas saya selaku ketua Yayasan. Lihatlah kehidupaan keluarga saya, jauh dari mewah atau kaya raya”, ungkap Moerwanto kepada kami.

Jangan bayangkan Mayor Jenderal Purn. H. Moerwanto Soeprapto seperti jenderal – jenderal orde baru lain. Sosoknya sangat sederhana, alim dan taat beribadah. Beliau menjadi Mualaf ketika bertugas sebaga Komandan Kodim WatanSoppeng, Sulawesi Selatan puluhan tahun lalu. Di Wattansoppeng, beliau berkenalan dengan seorang guru agama terkemuka di Sulawesi Selatan, Almukarrom Daud Ismail, yang kemudian menjadi guru agama Moerwanto saat dia berserah diri masuk agama Islam.

Ketika ditanya mengenai sikapnya terhadap pengkhianatan yang dilakukan SK dan J, Moerwanto mengakui dirinya benar – benar ‘shock’ dan terpukul. ” SK itu sudah saya anggap sebagai adik sendiri. Apalagi SK itu juga mayor jenderal TNI – AD, sama seperti saya. Sedang istri Mayjen SK juga sama seperti saya, seorang mualaf. Jadi, saya benar – benar tidak mengerti kenapa dia tega menikam dari belakang untuk menguasai Cawang Kencana yang sudah puluhan tahun menjadi pusat kegiatan sosial dari puluhan yayasan yang berkantor di sini”, ujarnya lirih.

Namun tiba – tiba jenderal sepuh ini berkata dengan lantang. “Tolong diingat Dik, meski saya sudah dizalimi dengan vonis bersalah, jangan harapkan mereka bandit – bandit itu bisa mudah menguasai mencaplok Cawang Kencana. Ribuan laskar Panglima Besar Soedirman dan laskar – laskar pejuang lainnya akan mempertahankan Cawang Kencana ini sampai titik darah penghabisan. Saya bisa mati, tapi laskar – laskar binaan saya tidak. Mereka akan beri pelajaran pahit kepada para mafia itu !”, suara jenderal itu menggelegar, matanya melotot dan tangannya terkepal ketika ikrarkan janji itu kepada kami.

Bagaimana selanjutnya perjuangan seorang mantan prajurit pejuang yang curahkan hidup, waktu dan tenaganya untuk kepentingan negara dan rakyat, tapi malah berbalas penjara ini? Mari kita nantikan bersama, sembari mohon doa dari seluruh teman pembaca agar perjuangan beliau menegakan kebenaran dan keadilan di negeri ini dapat terwujud. Amiin Ya rabbalamiiin.@

“Sesungguhnya nanti perjuangan kalian akan lebih berat karena kalian akan menghadapi musuh – musuh dari bangsa kalian sendiri” – Bung Karno.

Sebelumnya Jenderal Sepuh ini telah Divonis 1 Tahun dan Enam Bulan Penjara pada Jumat 10/01/2013

Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, menjatuhkan vonis penjara selama 1 tahun dan 6 bulan kepada terdakwa kasus penguasaan tanah dan bangunan Cawang Kencana di Jalan Mayjen Sutoyo Kav. 22 Cawang Jakarta Timur, Moerwanto Soeprapto.

Majelis menilai, mantan Sekretaris Jendral Departemen Sosial tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak pidana secara bersama sama dan berlanjut melakukan tindak pidana korupsi pada kasus penguasaan tanah dan bangunan tersebut.

"Menyatakan terdakwa Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama sama dan berlanjut melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pasal 3 ayat 1 junto pasal 18 ayat 1 undang- undang 31/1999 sebagaimana diubah 20/2001 tentang pemberantasan korupsi junto pasal 55 ayat 1 junto pasal 64 KUHP," ujar ketua majelis hakim, Marsudin Nainggolan ketika membaca amar putusan di pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, Kamis (10/1).

Ketua Yayasan Citra Handadari Utama (YCHU) tersebut juga dikenakan pidana denda sebesar Rp.150 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

"Terdakwa juga diharuskan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp726 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap maka dipidana dengan hukuman penjara selama 6 bulan," ujar hakim.

Pada pertimbangannya, hakim pun melihat hal yang meringankan maupun memberatkan. Hal yang memberatkan adalah perbuatan Moerwanto dianggap mengganggu program pemerintah dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi.

Sementara yang meringankan adalah Moerwanto belum pernah di hukum, tulang punggung keluarga, sudah usia tua dan merupakan purnawirawan dengan banyak penghargaan.

Dalam putusannya, majelis juga mengatakan bahwa tanah dan bangunan gedung cawang kencana di Jalan Mayjen Sutoyo Kav. 22 Cawang Jakarta Timur akan dikembalikan kepada Kementrian Sosial.

Hukuman ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Sebelumnya, Jaksa menuntut Moerwanto hukuman penjara selama  2 tahun dan 6 bulan penjara serta dijatuhi pidana denda sebesar Rp500juta subsider 6 bulan kurangan.

Sebagai informasi, kasus ini bermula pada tahun 1971, Yayasan Rehabilitasi Sosial (YRS) yang dibentuk dan didirikan oleh Departemen Sosial telah membeli 9 bidang tanah eks Eigendom Verponding No.6972 seluas 7.902 m2 yang terletak di Jalan Mayjen Sutoyo Kav.22 Cawang Jakarta Timur.

Saat Yayasan Rehabilitasi Sosial (YRS) dibubarkan pada tahun 1977, sesuai akte Pembubaran diserahkan kepada Menteri Sosial dan menjadi milik Negara. Kemudian tanah tersebut diserahkan dengan hak pakai kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang dibentuk oleh Departemen Sosial serta diberi ijin untuk menyelenggarakan undian sosial berhadiah.

Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) kemudian diijinkan untuk membangun gedung serba guna yang dananya diperoleh dari hasil penyelenggaraan SDSB.

Akan tetapi pada tahun 1999 tanpa ijin dan pemberitahuan kepada Menteri Sosial dan Menteri Keuangan RI, tanah dan bangunan tersebut dipindahtangankan dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) kepada Yayasan Citra Handadari Utama (YCHU) yang belum berbadan hukum.

Oleh Yayasan Citra Handadari Utama (YCHU) tanah dan bangunan tersebut kemudian dikomersialkan dengan menyewakannya kepada pihak ketiga tanpa ada kontribusi kepada Negara/Departemen Sosial RI.

Sebelumnya, pengacara senior, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan bahwa jika banyak kepentingan nonhukum ikut bermain di ranah hukum, maka bisa dipastikan keadilan dan kepastian hukum takkan pernah ada.

Hal ini disampaikannya saat menjadi saksi ahli dalam  kasus penguasaan tanah dan bangunan di Jl Mayjen Sutoyo Kav 22, Cawang, Jakarta Timur dengan tersangka mantan Sekjen Departemen Sosial, Moerwanto Suprapto.

"Jika kepentingan nonhukum ikut bermain, orang salah bisa tidak dihukum. Sebaliknya, orang tidak salah bisa dihukum, dan ini terjadi di mana mana," ungkap Yusril di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (26/12).

Yusril juga mengatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih banyak diwarnai oleh kepentingan nonhukum di belakangnya. Hal ini yang membuat mereka yang tidak bersalah menjadi salah.

"Negara harus tegas kepada aparat penegak hukum, Kalau ada kepentingan nonhukum ikut
bermain dibalik penegakan hukum, harus diberi sanksi yang berat," tambahnya.

Mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah membenarkan bahwa sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Negara (BPN) atas  tanah dan bangunan Cawang Kencana di Jl Mayjen Sutoyo Kav. 22, Jakarta Timur, adalah murni milik Yayasan Citra Handadari Utama (YCHU).

"Memang benar bahwa BPN sudah mengeluarkan surat kepemilikan atas  tanah milik yayasan, dan bukan milik Depsos," ungkap Bachtiar kepada Aktual.co di Jakarta, Rabu (26/12).

Bachtiar yang juga menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus kepemilikan tanah dan bangunan Cawang Kencana dengan tersangka mantan Sekretaris Jenderal Departemen Sosial, Moerwanto Suprapto, mengatakan mencium ada yang tidak beres sehingga bersedia secara sukarela menjadi saksi ahli untuk meringankan tersangka.

"Ini sampai ke Tipikor saja sudah aneh," tambahnya.@




Tidak ada komentar: