Jurnalis Independen: Kisah Perjuangan Jenderal Tua
Melawan Mafia Hukum Depsos Mempertahankan Cawang Kencana.
“Sesungguhnya nanti perjuangan kalian akan lebih berat karena kalian akan menghadapi musuh – musuh dari bangsa kalian sendiri” – Bung Karno.
Menghabiskan hari tua bagi
seorang Mayor Jenderal Purn. H. Moerwanto Soeprapto SH tidak seperti
layaknya para pensiunan mantan perwira
tinggi lain yang dapat bermain dan bercanda riang dengan cucu dan cicit atau
menunggu akhir hayatnya dengan tenang. Pasalnya, beberapa waktu lalu Moerwanto
menerima surat pemberitahuan putusan Mahkahamah Agung RI No. 1504 K/Pidsus/2013
Jo. No. 10/PID/TKP/2013/PT.DKI Jo. No. 58/Pid.B/TKP/2012/PN.Jkt.Pst yang
memutuskan Moerwanto divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 4 tahun,
denda Rp. 500 juta serta uang pengganti Rp. 726 juta.
Mahkamah Agung (MA) RI menyatakan
bahwa Moerwanto terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara
bersama – sama dan berlanjutan sebagaimana dakwaan subsidair.
Kasus yang menjerat mantan
sekretaris jenderal Departemen Sosial (Sekjen Depsos) itu bermula dari somasi
atau surat peringatan yang disampaikan oleh Ghazali Situmarang kepada Moerwanto
pada 4 Januari 2010 lalu, dimana Moerwanto dituduh telah melakukan
penyalahgunaan wewenang dan korupsi terkait dengan aset berupa tanah seluas
7.902 meter persegi dan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut yang
selama ini dikelola oleh Yayasan Citra Handadari Utama (YCHU) yang diketuai
oleh Moerwanto.
Bagaikan disambar petir di siang
bolong ketika mantan prajurit TNI – AD berusia 70 tahun itu ketika menerima
somasi dari Ghazali Situmorang yang tidak lain adalah sekjen Depsos yunior atau
penerusnya. Betapa tidak, tuduhan itu selain merupakan fitnah terhadap dirinya,
somasi itu juga tidak sesuai dengan pernyataan Menteri Sosial RI atasan Ghazali
Situmorang sendiri.
Menteri Sosial Salim Assegaf Al
Jufrie dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan bahwa aset yang dikelola
YCHU itu sama sekali bukan milik Departemen Sosial, melainkan milik yayasan.
Yang tidak lain adalah sekjen
Depsos pengganti dirinya. Somasi dari Ghazali Situmorang tersebut sangat aneh
karena mengatasnamakan Menteri Sosial RI, sedang Menteri Sosial selaku pimpinan
Ghazali Situmorang dalam berbagai kesempatan mengakui bahwa aset tanah dan
bangunan yang terletak di kawasan Cawang, Jakarta Timur itu sebagai milik
yayasan dan bukan milik Departemen Sosial RI. Penegasan senada disanpaikan
sejumlah mantan menteri sosial seperti Bachtiar Chamsyah, Justika S Baharsjah,
Nani Soedarsono dan seterusnya.
Kepemilikan YHCU atas tanah dan
bangunan yang dikenal masyarakat luas sebagai Cawang Kencana tersebut bermula
dari pelaksanaan Keppres No. 32 tahun 1979 junto Permendagri No. 3 tahun 1979
yang menetapkan bahwa hak – hak atas tanah ex kolonial Belanda diberikan hak
kepada mereka yang memerlukan tanah dengan mengutamakan bekas pemegang hak atas
tanah tersebut.
Melalui SK Mensos No. 34/HUK/1986
hak penggunaan tanah Cawang Kencana telah diserahkan Mensos kepada Yayasan Dana
Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS).
Pada tanggal 9 Maret 1987 Depsos
untuk kepentingan YDBKS telah mengajukan permohonan hak atas tanah Cawang
Kencana tersebut. Pada tanggal 12 Mei 1987 Mensos Nani Soedarsono mengirimkan
surat No. K/B/-46/V-87/MS kepada Dirjen Agraria untuk mendapatkan hak pakai dan
sertifikat tanah Cawang Kencana atas nama YDBKS.
Kemudian terbitlah SK Mendagri
No. 206/HP/D.A/88 tanggal 29 Juni 1988 tentang Pemberian Hak Pakai atas nama
Departemen Sosial UNTUK Kepentingan YDBKS.
Menteri Sosial berikutnya,
Haryati Soebadio telah mengirimkan surat No. B/F.08-XI-88/MS tanggal 19
Nopember 1988 kepada Dirjen Agraria yang meminta koreksi atas nama yang
tercantum sebelumnya yakni Departemen Sosial agar diubah menjadi atas nama
YDBKS.
Pada tahun 1992 di atas tanah
Cawang Kencana tersebut didirikan bangunan berdasarkan IMB No. 9216/IMB/1992
yang biaya pembangunan gedung seluruhnya adalah uang milik yayasan (YDBKS).
Tidak ada sepeser pun uang negara atau depsos.
Ketika YDBKS dibubarkan/likuidasi
pada tanggal 29 September 1999, sesuai akte notaris Siti Pertiwi Henny Singgih
No. 82 tahun 1999 tentang berita acara penyerahan dilakukan pengalihan
kepemilikan tanah dan bangunan Cawang Kencana dari YDBKS kepada YHCU. Dan
kemudian pengelolaan Gedung Cawang Kencana diserahkan YHCU kepada PT. Citra
Satya Utama (CSU) melalui surat Ketua YHCU Moerwanto Soeprapto.
Menteri Sosial periode
berikutnya, Justika S Baharsjah juga telah mengirimkan surat No. AC.58/LX-99/MS
tanggal 17 September 19999 kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) perihal
permohonan penggantian nama pemegang hak pakai tanah Cawang Kencana menjadi
atas nama YHCU.
BPN Jakarta Timur ternyata telah
menerbitkan Sertifikat Hak Pakai Tanah Cawang Kencana atas nama YDBKS pada
tanggal 14 Oktober 1999. Meski demikian sesuai akte notaris tanggal 29
September 1999 tanah berikut bangunan di atasnya yang semula milik YDBKS
dialihkan menjadi milik YHCU.
Fakta – fakta hukum tersebut di
atas ternyata diabaikan begitu saja oleh Ghazali Situmorang yang diduga
bertindak untuk dan atas nama kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dengan
alasan bahwa uang yang digunakan YDBKS untuk membeli membangun gedung di atas
tanah tersebut termasuk uang negara. Padahal tidak ada satu pun peraturan
perundang – undangan yang menyatakan bahwa uang Yayasan adalah merupakan uang
negara. Apalagi uang YDBKS tersebut bukan berasal dari pemerintah atau negara
melainkan dari usaha sendiri selaku penyelenggara undian sosial berhadiah pada
masa itu.
Keganjilan berikutnya adalah
mengenai langkah sekjen depsos melaporkan Moerwanto Soeprapto Ketua YHCU dengan
tuduhan melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) mengindikasikan adanya
kepentingan tersembunyi dari Ghazali Situmorang cs, yang mana kemudian terbukti
dengan adanya :
1. Rekayasa penjebakan kepada
YHCU yang dilakukan oleh oknum SK dan J dimana Moerwanto diminta uang
‘pengurusan’ oleh penasihat hukumnya sebesar Rp. 300 juta. Uang tersebut
disebutkan sebagian untuk oknum jaksa penuntut umum (JPU) pada pengadilan
Tipikor, dengan janji kepastian dapat memenangkan perkara tersebut. Permintaan
JPU itu didasarkan atas keraguan JPU atas bukti – bukti yang dimiliki oleh
pelapor (Ghazali Situmorang). Permintaan uang itu lalu dipenuhi oleh pengelola
gedung Cawang Kencana PT. CSU.
Ternyata, pemberian uang sebesar
Rp. 150 juta yang dimaksudkan sebagai uang ucapan terima kasih atas pengertian
JPU yang bersedia objektif melihat kasus ini lemah dan hanya kriminalisasi
terhadap Moerwanto, tiba – tiba menjadi bumerang. Oknum SK dan J yang sejak
kasus ini bergulir sudah terlibat menawarkan bantuan kepada Moerwanto, kemudian
terbukti sebagai musuh dalam selimut dan pengkhianat. SK dan J malah mengancam
pihak JPU agar merekayasa bukti – bukti sedemikian rupa supaya Moerwanto
dinyatakan bersalah.
2. Ternyata, Oknum SK dan J
adalah pihak yang berkolusi dan diduga otak dari kriminalisasi Ketua YHCU
Moerwanto Soeprapto. Terdapat indikasi pasangan suami istri SK dan J serta para
mafia di belakangnya telah mengatur hukum dan majelis hakim sedemikian rupa
untuk memastikan Moerwanto divonis bersalah.
3. Diduga tekanan, ancaman dan
mungkin uang suap jumlah besar dari oknum SK dan J cs kepada majelis hakim yang
menyebabkan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung nekad mengabaikan semua fakta hukum, keterangan para saksi dan bukti –
bukti yang mematahkan tuduhan korupsi terhadap Ketua YHCU Moerwanto Soeprapto.
4. Terdengar informasi bahwa ada
pengusaha properti terkemuka, oknum pejabat tinggi negara dan kerabat Cikeas
berada di balik kriminalisasi Moerwanto, jenderal tua yang dikenal sebagai
pribadi jujur, berintegritas tinggi dan menghabiskan puluhan tahun umurnya
untuk berbakti pada negara dan kegiatan sosial.
5. Terungkap banyak informasi
tentang rencana besar nan kotor dari para mafia hukum otak kriminalisasi
terhadap Moewanto, dimana nantinya tanah dan bangunan Cawang Kencana yang
selama ini digunakan untuk kantor puluhan yayasan dan organisasi sosial, akan
dihancurkan dan dibangun apartement mewah bernilai triliunan rupiah dengan
modus KKN bersama oknum pejabat tinggi Kementerian Sosial. Lokasi Cawang
Kencana sangat strategis sehingga sangat menggiurkan dan membuat para mafia
hukum dengan entengnya merekayasa hukum dan mengkriminalisasi seorang anak
bangsa mantan prajurit pejuang hingga jadi pesakitan, terpidana korupsi.
6. Upaya hukum Peninjauan Kembali
(PK) rencananya segera dilakukan oleh Moerwanto. Namun, belum lagi memori PK
disusun, sudah terdengar SK dan J sudah ‘mengunci’ para anggota majelis hakim
di MA. Belum diketahui berapa besar uang suap yang dijanjikan kepada para hakim
agung durjana itu.
Ketika kami temui di salah satu
ruang kantor Gedung Cawang Kencana, Moerwanto terlihat tegar menghadapi
kezaliman ini. “Saya prajurit pejuang dik. Sudah biasa menghadapi bahaya
kematian di medan perang. Jangankan dipenjara, mati pun saya ikhlas demi
mempertahankan kebenaran. Saya tidak ada korupsi sepeser pun. Selama belasan
tahun saya curahkan hidup saya mengelola yayasan sosial. Tidak ada keuntungan
disini. Honor yang hanya sekitar Rp. 5 juta per bulan dari yayasan sebenarnya
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan operasional tugas saya selaku
ketua Yayasan. Lihatlah kehidupaan keluarga saya, jauh dari mewah atau kaya
raya”, ungkap Moerwanto kepada kami.
Jangan bayangkan Mayor Jenderal
Purn. H. Moerwanto Soeprapto seperti jenderal – jenderal orde baru lain.
Sosoknya sangat sederhana, alim dan taat beribadah. Beliau menjadi Mualaf
ketika bertugas sebaga Komandan Kodim WatanSoppeng, Sulawesi Selatan puluhan
tahun lalu. Di Wattansoppeng, beliau berkenalan dengan seorang guru agama
terkemuka di Sulawesi Selatan, Almukarrom Daud Ismail, yang kemudian menjadi
guru agama Moerwanto saat dia berserah diri masuk agama Islam.
Ketika ditanya mengenai sikapnya
terhadap pengkhianatan yang dilakukan SK dan J, Moerwanto mengakui dirinya
benar – benar ‘shock’ dan terpukul. ” SK itu sudah saya anggap sebagai adik
sendiri. Apalagi SK itu juga mayor jenderal TNI – AD, sama seperti saya. Sedang
istri Mayjen SK juga sama seperti saya, seorang mualaf. Jadi, saya benar –
benar tidak mengerti kenapa dia tega menikam dari belakang untuk menguasai
Cawang Kencana yang sudah puluhan tahun menjadi pusat kegiatan sosial dari
puluhan yayasan yang berkantor di sini”, ujarnya lirih.
Namun tiba – tiba jenderal sepuh
ini berkata dengan lantang. “Tolong diingat Dik, meski saya sudah dizalimi
dengan vonis bersalah, jangan harapkan mereka bandit – bandit itu bisa mudah
menguasai mencaplok Cawang Kencana. Ribuan laskar Panglima Besar Soedirman dan
laskar – laskar pejuang lainnya akan mempertahankan Cawang Kencana ini sampai
titik darah penghabisan. Saya bisa mati, tapi laskar – laskar binaan saya
tidak. Mereka akan beri pelajaran pahit kepada para mafia itu !”, suara
jenderal itu menggelegar, matanya melotot dan tangannya terkepal ketika
ikrarkan janji itu kepada kami.
Bagaimana selanjutnya perjuangan
seorang mantan prajurit pejuang yang curahkan hidup, waktu dan tenaganya untuk
kepentingan negara dan rakyat, tapi malah berbalas penjara ini? Mari kita
nantikan bersama, sembari mohon doa dari seluruh teman pembaca agar perjuangan
beliau menegakan kebenaran dan keadilan di negeri ini dapat terwujud. Amiin Ya
rabbalamiiin.@
“Sesungguhnya nanti perjuangan kalian
akan lebih berat karena kalian akan menghadapi musuh – musuh dari bangsa kalian
sendiri” – Bung Karno.
Sebelumnya Jenderal Sepuh ini telah Divonis 1 Tahun dan Enam Bulan Penjara pada Jumat 10/01/2013
Sebelumnya Jenderal Sepuh ini telah Divonis 1 Tahun dan Enam Bulan Penjara pada Jumat 10/01/2013
Majelis
hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, menjatuhkan vonis
penjara selama 1 tahun dan 6 bulan kepada terdakwa kasus penguasaan tanah dan
bangunan Cawang Kencana di Jalan Mayjen Sutoyo Kav. 22 Cawang Jakarta Timur,
Moerwanto Soeprapto.
Majelis menilai, mantan
Sekretaris Jendral Departemen Sosial tersebut terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan Tindak pidana secara bersama sama dan berlanjut melakukan
tindak pidana korupsi pada kasus penguasaan tanah dan bangunan tersebut.
"Menyatakan terdakwa
Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara
bersama sama dan berlanjut melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur
dan diancam pasal 3 ayat 1 junto pasal 18 ayat 1 undang- undang 31/1999
sebagaimana diubah 20/2001 tentang pemberantasan korupsi junto pasal 55 ayat 1
junto pasal 64 KUHP," ujar ketua majelis hakim, Marsudin Nainggolan ketika
membaca amar putusan di pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, Kamis (10/1).
Ketua Yayasan Citra Handadari
Utama (YCHU) tersebut juga dikenakan pidana denda sebesar Rp.150 juta dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana
kurungan selama 3 bulan.
"Terdakwa juga diharuskan
untuk membayar uang pengganti sebesar Rp726 juta dengan ketentuan apabila tidak
dibayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap maka dipidana dengan hukuman penjara selama 6 bulan," ujar
hakim.
Pada pertimbangannya, hakim pun
melihat hal yang meringankan maupun memberatkan. Hal yang memberatkan adalah
perbuatan Moerwanto dianggap mengganggu program pemerintah dalam upaya
memberantas tindak pidana korupsi.
Sementara yang meringankan adalah
Moerwanto belum pernah di hukum, tulang punggung keluarga, sudah usia tua dan
merupakan purnawirawan dengan banyak penghargaan.
Dalam putusannya, majelis juga
mengatakan bahwa tanah dan bangunan gedung cawang kencana di Jalan Mayjen
Sutoyo Kav. 22 Cawang Jakarta Timur akan dikembalikan kepada Kementrian Sosial.
Hukuman ini lebih rendah dari
tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Sebelumnya, Jaksa menuntut Moerwanto hukuman penjara selama 2 tahun dan 6 bulan penjara serta dijatuhi
pidana denda sebesar Rp500juta subsider 6 bulan kurangan.
Sebagai informasi, kasus ini
bermula pada tahun 1971, Yayasan Rehabilitasi Sosial (YRS) yang dibentuk dan
didirikan oleh Departemen Sosial telah membeli 9 bidang tanah eks Eigendom
Verponding No.6972 seluas 7.902 m2 yang terletak di Jalan Mayjen Sutoyo Kav.22
Cawang Jakarta Timur.
Saat Yayasan Rehabilitasi Sosial
(YRS) dibubarkan pada tahun 1977, sesuai akte Pembubaran diserahkan kepada
Menteri Sosial dan menjadi milik Negara. Kemudian tanah tersebut diserahkan
dengan hak pakai kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang
dibentuk oleh Departemen Sosial serta diberi ijin untuk menyelenggarakan undian
sosial berhadiah.
Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan
Sosial (YDBKS) kemudian diijinkan untuk membangun gedung serba guna yang
dananya diperoleh dari hasil penyelenggaraan SDSB.
Akan tetapi pada tahun 1999 tanpa
ijin dan pemberitahuan kepada Menteri Sosial dan Menteri Keuangan RI, tanah dan
bangunan tersebut dipindahtangankan dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan
Sosial (YDBKS) kepada Yayasan Citra Handadari Utama (YCHU) yang belum berbadan
hukum.
Oleh Yayasan Citra Handadari
Utama (YCHU) tanah dan bangunan tersebut kemudian dikomersialkan dengan
menyewakannya kepada pihak ketiga tanpa ada kontribusi kepada Negara/Departemen
Sosial RI.
Sebelumnya, pengacara senior,
Yusril Ihza Mahendra, mengatakan bahwa jika banyak kepentingan nonhukum ikut
bermain di ranah hukum, maka bisa dipastikan keadilan dan kepastian hukum
takkan pernah ada.
Hal ini disampaikannya saat
menjadi saksi ahli dalam kasus
penguasaan tanah dan bangunan di Jl Mayjen Sutoyo Kav 22, Cawang, Jakarta Timur
dengan tersangka mantan Sekjen Departemen Sosial, Moerwanto Suprapto.
"Jika kepentingan nonhukum
ikut bermain, orang salah bisa tidak dihukum. Sebaliknya, orang tidak salah
bisa dihukum, dan ini terjadi di mana mana," ungkap Yusril di Pengadilan
Tipikor Jakarta, Rabu (26/12).
Yusril juga mengatakan bahwa
penegakan hukum di Indonesia masih banyak diwarnai oleh kepentingan nonhukum di
belakangnya. Hal ini yang membuat mereka yang tidak bersalah menjadi salah.
"Negara harus tegas kepada aparat
penegak hukum, Kalau ada kepentingan nonhukum ikut
bermain dibalik penegakan hukum,
harus diberi sanksi yang berat," tambahnya.
Mantan Menteri Sosial Bachtiar
Chamsyah membenarkan bahwa sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan
Negara (BPN) atas tanah dan bangunan
Cawang Kencana di Jl Mayjen Sutoyo Kav. 22, Jakarta Timur, adalah murni milik
Yayasan Citra Handadari Utama (YCHU).
"Memang benar bahwa BPN
sudah mengeluarkan surat kepemilikan atas
tanah milik yayasan, dan bukan milik Depsos," ungkap Bachtiar
kepada Aktual.co di Jakarta, Rabu (26/12).
Bachtiar yang juga menjadi saksi
ahli dalam persidangan kasus kepemilikan tanah dan bangunan Cawang Kencana
dengan tersangka mantan Sekretaris Jenderal Departemen Sosial, Moerwanto
Suprapto, mengatakan mencium ada yang tidak beres sehingga bersedia secara
sukarela menjadi saksi ahli untuk meringankan tersangka.
"Ini sampai ke Tipikor saja
sudah aneh," tambahnya.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar