Jumat, 27 Desember 2013

Tren Pemerintahan dari Balik Jeruji Landa Indonesia

Jurnalis Independen: Tarik ulur pelantikan kepala daerah antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pemerintah pusat tak urung membetot perhatian sejumlah kalangan. Kontrovesi semakin seru menyusul kenekadan Mendagri yang berencana melantik Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas Hambit di Rumah Tahanan Kompleks Polisi Militer Kodam Jaya, Guntur, Manggarai, Jakarta Selatan.


Tidak hanya itu, tahanan KPK  Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah Chasan dikabarkan bakal berkoordinasi dengan Sekretaris Daerah (sekda) Provinsi Banten soal pemerintahan daerahnya. Karena ditahan akibat diduga terlibat perkara suap pilkada Lebak, koordinasi itu konon akan dilakukan di Rumah Tahanan Pondok Bambu tempatnya dibui. Rencana itu juga menyusul rapat pimpinan (Rapim) DPRD Banten 24 Desember lalu yang memutuskan Atut Chosiyah tetap memimpin Banten, meski dari dalam penjara.

“Menyedihkan,” ujar singkat Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Oce Madril saat dihubungi via ponselnya semalam. Menurutya, banyaknya kepala pemerintahan daerah yang tersangkut perkara korupsi kini seolah-olah memunculkan tren baru, yakni pemerintahan dari balik jeruji.

"Ini contoh buruk pemerintahan, penghinaan terhadap reformasi yang kita lakukan. Tega-teganya mereka mempermainkan pemerintahan yang modern dengan cara mempertahankan jabatan meski ditahan. Mana ada yang memimpin dari penjara," kata dia geram.

Oce menegaskan betapa terbelakangnya ide soal pemerintahan dalam jeruji itu. Menurutnya harus dibedakan perlakuan antara tersangka yang tidak ditahan dengan yang ditahan. "Tersangka yang ditahan layaknya sudah dicopot dari jabatan atau mengundurkan diri karena memang tidak bisa memimpin pemerintahan," tandasnya mengedepankan bahwa ditahan atau tidaknya pejabat harus menjadi ukuran kendati tidak spesifik dijelaskan dalam UU Pemda.

Baginya, adanya dukungan dari pemerintah pusat ataupun daerah terhadap kepala daerah yang jadi tersangka kasus korupsi merupakan anomali. "Melihat anomali itu presiden harusnya mengambil langkah tegas menegur menunjukkan keberpihakan pada upaya pemberantasan korupsi," lanjutnya.

Sejatinya, gubernur, walikota, atau bupati, merupakan perwakilan pemerintah pusat di tingkat daerah. Maka kalau ada penyimpangan, selayaknya pemerintah pusat dan presiden mengambil sikap tegas, bukan sebaliknya malah getol memberikan backup. "Ada banyak cara lain untuk menjaga efektivitas pemerintahan, bisa tunjuk Plt (Pelaksana tugas) atau mengangkat wakilnya," jelas Oce.

Persoalan nantinya ternyata dinyatakan bebas, pemerintah bisa merehabilitasi dan memulihkan jabatannya. "Saat ini yang penting restorasi kepercayaan publik terhadap pemerintah yang sudah di titik nadir, bahaya untuk jangka panjang. Sangat wajar masyarakat bertanya soal komitmen pemerintah," ujarnya.@JI


Tidak ada komentar: