Jurnalis Independen: Presiden
Direktur Susi Air , Susi Pudjiastuti,
adalah Sosok wanita Pekerja keras yang tangguh
kini yang merupakan operator penerbangan Susi Air. Rambutnya ikal kemerahan,
suaranya serak-serak basah ini , namun pembawaannya supel disamping itu dengan bahasa Inggris fasih yang keluar dari
mulutnya saat berbincang dengan para karyawan yang sebagian besar pilot bule.
Dan Susi panggilan akrabnya – juga tidak lupa akan akan kota kelahirannya
Pangandaran, 15 Januari 1965 Jawa barat
menggunakan bahasa Sunda dan sesekali bahasa Jawa kepada pembantu-pembantunya
kini telah sukses bergelut di bidang Bisnis
Penerbangan SUSI AIR jenis Pesawat Carter kelompok
kecil 135 baik pesawat
perintis maupun komersial.
“Saya suka belajar bahasa apa
aja. Yang penting bisa buat marah dan memerintah. Sebab, dengan itu, saya bisa
bekerja,” ujarnya sambil lantas tertawa. Saat di temui di kantornya di
jalan Surabaya No. 26 Menteng Jakarta
Senin (9/12/13)
Selanjutnya Susi menceritakan
kisahnya,”bahwa Sebetulnya Saya gak sengaja Tidak ada bisnis plan Bikin Susi
Air yang
secara kebetulan saja sebelum bisnis Penerbangan ini di jalankan
bergerak di bidang perikanan ,intinya ketika
beli pesawat buat mengangkut lobster trus ada Bencana Sunami di Banda Aceh kita bantu
sunami mau pulang gak boleh malah di carter sama NGO-NGO Asing ya..sudah saya
teruskan saja Bikin Bisnis Plan SUSI AIR.
Saat ini, wanita kelahiran
Pangandaran, 15 Januari 1965 tersebut, memiliki
rute penerbangan 113
destinasi di seluruh Indonesia yang
rutin reguler setiap hari baik perintis maupun komersial 50 unit pesawat berbagai jenis.buatan Amerika
dan Swiss Di antaranya adalah SUSI
AIR Cessna C 208B, Grand Caravan, SUSI AIR Piaggio P 180
Avanti II, SUSI AIR Pilatus PC6-B2h4
Turbo Porter, SUSI AIR Augusta Grand A 109S , SUSI AIR Diamond DA 42.SUSI
AUGUSTA A119Ke, SUSI AIR AIR Tractor AT
802, Kebanyakan pesawat itu dioperasikan
di luar Jawa seperti di Papua dan Kalimantan.
“Ada yang disewa. Namun, ada yang
dioperasikan sendiri oleh Susi Air. Biasanya dipakai di daerah-daerah
perbatasan oleh pemda atau swasta,” jelas wanita yang betis kanannya ditato
gambar burung phoenix dengan ekor menjuntai itu.
Susi tak mematok harga sewa
pesawat secara khusus. Sebab, hal itu bergantung pelayanan yang diminta pihak
penyewa. Biaya sewanya pun bermacam-macam, tapi rata-rata antara USD 400 sampai
USD 500 per jam.
“Kadang ada yang mau USD 600
sampai USD 700 per jam. Perusahaan minyak mau bayar USD 1.000 karena beda-beda
level servis yang dituntut. Untuk keperluan terbang, semua piranti disediakan
Susi Air. Pesawat, pilot, maupun bahan bakar. Jadi, itu harga nett mereka
tinggal bayar,” tegasnya.
Bakat bisnis Susi terlihat sejak
masih belia. Pendirian dan kemauannya yang keras tergambar jelas saat usia Susi
menginjak 17 tahun. Dia memutuskan keluar dari sekolah ketika kelas II SMA. Tak
mau hidup dengan cara nebeng orang tua, dia mencoba hidup mandiri. Tapi,
kenyataan memang tak semudah yang dibayangkan.
“Cuma bawa ijazah SMP, kalau
ngelamar kerja jadi apa saya. Saya nggak mau yang biasa-biasa saja,” ujarnya.
Kerja keras pun dilakoni Susi
saat itu. Mulai dari berjualan baju, bed cover, hingga hasil-hasil bumi seperti
cengkeh. Setiap hari, Susi harus berkeliling Kota Pangandaran menggunakan
sepeda motor untuk memasarkan barang dagangannya. Hingga, dia menyadari bahwa
potensi Pangandaran adalah di bidang perikanan. “Mulailah saya pengen jualan
ikan karena setiap hari lihat ratusan nelayan,” tuturnya wanita yang memiliki
hobby potografer ini
Pada 1983, berbekal Rp 750 ribu
hasil menjual perhiasan berupa gelang, kalung, serta cincin miliknya, Susi
mengikuti jejak banyak wanita Pangandaran yang bekerja sebagai bakul ikan. Tiap
pagi pada jam-jam tertentu, dia nimbrung bareng yang lain berkerumun di TPI
(tempat pelelangan ikan). “Pada hari pertama, saya hanya dapat 1 kilogram ikan,
dibeli sebuah resto kecil kenalan saya,” ungkapnya.yang saat ini banyak
mengoleksi poto-potonya ketika singgah di luar negeri
Tak cukup hanya di Pangandaran,
Susi mulai berpikir meluaskan pasarnya hingga ke kota-kota besar seperti
Jakarta. Dari sekadar menyewa, dia pun lantas membeli truk dengan sistem
pendingin es batu dan membawa ikan-ikan segarnya ke Jakarta. “Tiap hari, pukul
tiga sore, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah malam,
lalu balik lagi ke Pangandaran,” ucapnya mengenang pekerjaan rutinnya yang
berat pada masa lalu.
Meski sukses dalam bisnis, Susi
mengaku gagal dalam hal asmara. Wanita pengagum tokoh Semar dalam dunia
pewayangan itu menyatakan sudah tiga kali menikah. Tapi, biduk yang dia arungi
bersama tiga suaminya tak sebiru dan seindah Pantai Pangandaran. Semua karam.
Dari suaminya yang terakhirlah,
Christian von Strombeck, si Wonder Woman ini mendapat inspirasi untuk
mengembangkan bisnis penerbangan. “Dia seorang aviation engineer,” lanjutnya.
Christian merupakan seorang ekspatriat
yang pernah bekerja di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara yang sekarang
bernama PT DI, Red). Awal perkenalannya dengan lelaki asal Prancis itu terjadi
saat Christian sering bertandang ke Restoran Hilmans milik Susi di Pantai
Pangandaran. Berawal dari perkenalan singkat, Christian akhirnya melamar Susi.
“Restoran saya memang ramai. Sehari bisa 70-100 tamu,” katanya.
Dengan Christian, Susi mulai
berangan-angan memiliki sebuah pesawat dengan tujuan utama mengangkut hasil
perikanan ke Jakarta. Satu-satunya jalan, lanjut Susi, adalah dengan membangun
landasan di desa-desa nelayan. “Jadi, tangkap ikan hari ini, sorenya sudah bisa
dibawa ke Jakarta. Kan cuma sejam,” tegas ibu tiga anak dan satu cucu tersebut.
Berbeda jika harus memakai jalur
darat yang bisa memakan waktu hingga sembilan jam. Sesampai di Jakarta, banyak
ikan yang mati. Padahal, jika mati, harga jualnya bisa anjlok separuh.
“Kami mulai masukin business plan
ke perbankan pada 2000, tapi nggak laku. Diketawain sama orang bank dan
dianggap gila. ‘Mau beli pesawat USD 2 juta, bagaimana ikan sama udang bisa
bayar,’ katanya,” ujar Susi.
Barulah pada 2004, Bank Mandiri
percaya dan memberi pinjaman sebesar USD 4,7 juta (sekitar Rp 47 miliar) untuk
membangun landasan, serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan. Namun, baru
sebulan dipakai, terjadi bencana tsunami di Aceh. “Tanggal 27 kami berangkatkan
satu pesawat untuk bantu. Itu jadi pesawat pertama yang mendarat di Meulaboh.
Tanggal 28 kami masuk satu lagi. Kami bawa beras, mi instan, air dan
tenda-tenda,” ungkapnya.
Awalnya, Susi berniat membantu
distribusi bahan pokok secara gratis selama dua minggu saja. Tapi, ketika
hendak balik, banyak lembaga non-pemerintah yang memintanya tetap
berpartisipasi dalam recovery di Aceh. “Mereka mau bayar sewa pesawat kami.
Satu setengah tahun kami kerja di sana. Dari situ, Susi Air bisa beli satu
pesawat lagi,” jelasnya.
Perkembangan bisnis sewa pesawat
miliknya pun terus melangit. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp 47 miliar
sekarang tinggal 20 persennya. “Setahun lagi selesai. Tinggal tiga kali cicilan
lagi. Dari BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau ditotal, semua (pinjaman dari
perbankan) lebih dari Rp 2 triliun. Return of investment (balik modal) kalau di
penerbangan bisa 10-15 tahun karena mahal,” katanya.
Susi tak hanya mengepakkan sayap
di bisnis pesawat dan menebar jaring di laut. Sekarang, dia pun merambah bisnis
perkebunan. Meski begitu, dia mengakui ada banyak rintangan yang harus dilalui.
“Perikanan kita sempat hampir rugi karena tsunami di Pagandaran pada 2005. Kami
sempat dua tahun nggak ada kerja perikanan,” tuturnya.
Untuk penerbangan rute Jawa
seperti Jakarta-Pangandaran, Bandung-Pangandaran dan Jakarta-Cilacap, Susi
menyatakan masih merugi. Sebab, terkadang hanya ada 3-4 penumpang. Dengan harga
tiket rata-rata Rp 500 ribu, pendapatan itu tidak cukup untuk membeli bahan
bakar. “Sebulan rute Jawa bisa rugi Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Tapi, kan
tertutupi dari yang luar Jawa. Lagian, itu juga berguna untuk mengangkut perikanan
kami,” ujarnya.
Susi memang harus mengutamakan
para pembeli ikannya, karena mereka sangat sensitif terhadap kesegaran ikan.
Sekali angkut dalam satu pesawat, dia bisa memasukkan 1,1 ton ikan atau lobster
segar. Pembelinya dari Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu di Jakarta.
“Bisnis ikan serta lobster tetap jalan dan bisnis penerbangan akan terus kami
kembangkan. Tahun depan kami harap sudah bisa memiliki 60 pesawat,” katanya
penuh optimisme.
Susi berharap kepada pemerintah
harus membantu menijau kembali regulasi undang-undang yang telah dianggap tidak
relevan lagi di jaman sekarang era globalisasi terhadap tenaga kerja
pilot Asing yang ingin bekerja di
dalam negeri kita tercinta ini Semoga
Kisah Ibu Susi ini bisa memacu semangat Generasi Muda Negeri ini untuk berani
berusaha dan mau bekerja keras! Tidak hanya berharap bisa bekerja sebagai
pegawai saja, tetapi justru bisa menciptakan lapangan kerja baru di tengah
sempitnya lapangan kerja saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar