Senin, 09 Desember 2013

Susi Pudjiastuti Presiden Direktur Susi Air Sukses dari Perikanan

Jurnalis Independen: Presiden Direktur  Susi Air , Susi Pudjiastuti, adalah Sosok wanita Pekerja keras yang tangguh  kini yang merupakan operator penerbangan Susi Air. Rambutnya ikal kemerahan, suaranya serak-serak basah ini , namun pembawaannya supel  disamping itu dengan  bahasa Inggris fasih yang keluar dari mulutnya saat berbincang dengan para karyawan yang sebagian besar pilot bule. Dan Susi panggilan akrabnya – juga tidak lupa akan akan kota kelahirannya Pangandaran, 15 Januari 1965  Jawa barat menggunakan bahasa Sunda dan sesekali bahasa Jawa kepada pembantu-pembantunya kini telah  sukses bergelut di bidang Bisnis Penerbangan SUSI AIR  jenis  Pesawat Carter  kelompok  kecil 135  baik pesawat perintis  maupun komersial.


“Saya suka belajar bahasa apa aja. Yang penting bisa buat marah dan memerintah. Sebab, dengan itu, saya bisa bekerja,” ujarnya sambil lantas tertawa. Saat di temui di kantornya di jalan Surabaya  No. 26 Menteng Jakarta Senin (9/12/13)

Selanjutnya Susi menceritakan kisahnya,”bahwa Sebetulnya Saya gak sengaja Tidak ada bisnis plan Bikin Susi Air  yang  secara kebetulan saja sebelum bisnis Penerbangan ini di jalankan bergerak di bidang perikanan ,intinya ketika  beli pesawat buat mengangkut lobster trus ada  Bencana Sunami di Banda Aceh kita bantu sunami mau pulang gak boleh malah di carter sama NGO-NGO Asing ya..sudah saya teruskan saja Bikin Bisnis Plan SUSI AIR. 

Saat ini, wanita kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965 tersebut, memiliki  rute penerbangan  113 destinasi  di seluruh Indonesia yang rutin reguler  setiap hari  baik perintis maupun komersial  50 unit pesawat berbagai jenis.buatan Amerika dan Swiss  Di antaranya adalah SUSI AIR  Cessna  C 208B, Grand Caravan, SUSI AIR Piaggio P 180 Avanti II, SUSI AIR Pilatus  PC6-B2h4 Turbo Porter, SUSI AIR Augusta Grand A 109S , SUSI AIR Diamond DA 42.SUSI AUGUSTA A119Ke, SUSI AIR  AIR Tractor AT 802,  Kebanyakan pesawat itu dioperasikan di luar Jawa seperti di Papua dan Kalimantan.

“Ada yang disewa. Namun, ada yang dioperasikan sendiri oleh Susi Air. Biasanya dipakai di daerah-daerah perbatasan oleh pemda atau swasta,” jelas wanita yang betis kanannya ditato gambar burung phoenix dengan ekor menjuntai itu.

Susi tak mematok harga sewa pesawat secara khusus. Sebab, hal itu bergantung pelayanan yang diminta pihak penyewa. Biaya sewanya pun bermacam-macam, tapi rata-rata antara USD 400 sampai USD 500 per jam.

“Kadang ada yang mau USD 600 sampai USD 700 per jam. Perusahaan minyak mau bayar USD 1.000 karena beda-beda level servis yang dituntut. Untuk keperluan terbang, semua piranti disediakan Susi Air. Pesawat, pilot, maupun bahan bakar. Jadi, itu harga nett mereka tinggal bayar,” tegasnya.

Bakat bisnis Susi terlihat sejak masih belia. Pendirian dan kemauannya yang keras tergambar jelas saat usia Susi menginjak 17 tahun. Dia memutuskan keluar dari sekolah ketika kelas II SMA. Tak mau hidup dengan cara nebeng orang tua, dia mencoba hidup mandiri. Tapi, kenyataan memang tak semudah yang dibayangkan.

“Cuma bawa ijazah SMP, kalau ngelamar kerja jadi apa saya. Saya nggak mau yang biasa-biasa saja,” ujarnya.

Kerja keras pun dilakoni Susi saat itu. Mulai dari berjualan baju, bed cover, hingga hasil-hasil bumi seperti cengkeh. Setiap hari, Susi harus berkeliling Kota Pangandaran menggunakan sepeda motor untuk memasarkan barang dagangannya. Hingga, dia menyadari bahwa potensi Pangandaran adalah di bidang perikanan. “Mulailah saya pengen jualan ikan karena setiap hari lihat ratusan nelayan,” tuturnya wanita yang memiliki hobby potografer ini

Pada 1983, berbekal Rp 750 ribu hasil menjual perhiasan berupa gelang, kalung, serta cincin miliknya, Susi mengikuti jejak banyak wanita Pangandaran yang bekerja sebagai bakul ikan. Tiap pagi pada jam-jam tertentu, dia nimbrung bareng yang lain berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan). “Pada hari pertama, saya hanya dapat 1 kilogram ikan, dibeli sebuah resto kecil kenalan saya,” ungkapnya.yang saat ini banyak mengoleksi poto-potonya ketika singgah di luar negeri

Tak cukup hanya di Pangandaran, Susi mulai berpikir meluaskan pasarnya hingga ke kota-kota besar seperti Jakarta. Dari sekadar menyewa, dia pun lantas membeli truk dengan sistem pendingin es batu dan membawa ikan-ikan segarnya ke Jakarta. “Tiap hari, pukul tiga sore, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah malam, lalu balik lagi ke Pangandaran,” ucapnya mengenang pekerjaan rutinnya yang berat pada masa lalu.

Meski sukses dalam bisnis, Susi mengaku gagal dalam hal asmara. Wanita pengagum tokoh Semar dalam dunia pewayangan itu menyatakan sudah tiga kali menikah. Tapi, biduk yang dia arungi bersama tiga suaminya tak sebiru dan seindah Pantai Pangandaran. Semua karam.

Dari suaminya yang terakhirlah, Christian von Strombeck, si Wonder Woman ini mendapat inspirasi untuk mengembangkan bisnis penerbangan. “Dia seorang aviation engineer,” lanjutnya.

Christian merupakan seorang ekspatriat yang pernah bekerja di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara yang sekarang bernama PT DI, Red). Awal perkenalannya dengan lelaki asal Prancis itu terjadi saat Christian sering bertandang ke Restoran Hilmans milik Susi di Pantai Pangandaran. Berawal dari perkenalan singkat, Christian akhirnya melamar Susi. “Restoran saya memang ramai. Sehari bisa 70-100 tamu,” katanya.

Dengan Christian, Susi mulai berangan-angan memiliki sebuah pesawat dengan tujuan utama mengangkut hasil perikanan ke Jakarta. Satu-satunya jalan, lanjut Susi, adalah dengan membangun landasan di desa-desa nelayan. “Jadi, tangkap ikan hari ini, sorenya sudah bisa dibawa ke Jakarta. Kan cuma sejam,” tegas ibu tiga anak dan satu cucu tersebut.

Berbeda jika harus memakai jalur darat yang bisa memakan waktu hingga sembilan jam. Sesampai di Jakarta, banyak ikan yang mati. Padahal, jika mati, harga jualnya bisa anjlok separuh.

“Kami mulai masukin business plan ke perbankan pada 2000, tapi nggak laku. Diketawain sama orang bank dan dianggap gila. ‘Mau beli pesawat USD 2 juta, bagaimana ikan sama udang bisa bayar,’ katanya,” ujar Susi.

Barulah pada 2004, Bank Mandiri percaya dan memberi pinjaman sebesar USD 4,7 juta (sekitar Rp 47 miliar) untuk membangun landasan, serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan. Namun, baru sebulan dipakai, terjadi bencana tsunami di Aceh. “Tanggal 27 kami berangkatkan satu pesawat untuk bantu. Itu jadi pesawat pertama yang mendarat di Meulaboh. Tanggal 28 kami masuk satu lagi. Kami bawa beras, mi instan, air dan tenda-tenda,” ungkapnya.

Awalnya, Susi berniat membantu distribusi bahan pokok secara gratis selama dua minggu saja. Tapi, ketika hendak balik, banyak lembaga non-pemerintah yang memintanya tetap berpartisipasi dalam recovery di Aceh. “Mereka mau bayar sewa pesawat kami. Satu setengah tahun kami kerja di sana. Dari situ, Susi Air bisa beli satu pesawat lagi,” jelasnya.

Perkembangan bisnis sewa pesawat miliknya pun terus melangit. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp 47 miliar sekarang tinggal 20 persennya. “Setahun lagi selesai. Tinggal tiga kali cicilan lagi. Dari BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau ditotal, semua (pinjaman dari perbankan) lebih dari Rp 2 triliun. Return of investment (balik modal) kalau di penerbangan bisa 10-15 tahun karena mahal,” katanya.

Susi tak hanya mengepakkan sayap di bisnis pesawat dan menebar jaring di laut. Sekarang, dia pun merambah bisnis perkebunan. Meski begitu, dia mengakui ada banyak rintangan yang harus dilalui. “Perikanan kita sempat hampir rugi karena tsunami di Pagandaran pada 2005. Kami sempat dua tahun nggak ada kerja perikanan,” tuturnya.

Untuk penerbangan rute Jawa seperti Jakarta-Pangandaran, Bandung-Pangandaran dan Jakarta-Cilacap, Susi menyatakan masih merugi. Sebab, terkadang hanya ada 3-4 penumpang. Dengan harga tiket rata-rata Rp 500 ribu, pendapatan itu tidak cukup untuk membeli bahan bakar. “Sebulan rute Jawa bisa rugi Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Tapi, kan tertutupi dari yang luar Jawa. Lagian, itu juga berguna untuk mengangkut perikanan kami,” ujarnya.

Susi memang harus mengutamakan para pembeli ikannya, karena mereka sangat sensitif terhadap kesegaran ikan. Sekali angkut dalam satu pesawat, dia bisa memasukkan 1,1 ton ikan atau lobster segar. Pembelinya dari Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu di Jakarta. “Bisnis ikan serta lobster tetap jalan dan bisnis penerbangan akan terus kami kembangkan. Tahun depan kami harap sudah bisa memiliki 60 pesawat,” katanya penuh optimisme.

Susi berharap kepada pemerintah harus membantu menijau kembali regulasi undang-undang yang telah dianggap tidak relevan lagi di jaman sekarang era globalisasi terhadap  tenaga kerja  pilot Asing  yang ingin bekerja di dalam negeri kita tercinta ini  Semoga Kisah Ibu Susi ini bisa memacu semangat Generasi Muda Negeri ini untuk berani berusaha dan mau bekerja keras! Tidak hanya berharap bisa bekerja sebagai pegawai saja, tetapi justru bisa menciptakan lapangan kerja baru di tengah sempitnya lapangan kerja saat ini.


Tidak ada komentar: