Jurnalis Independen: Pemerintah Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) bertekuk lutut atau bahkan melakukan konspirasi dengan dengan perusahaan Yahudi asal Amerika
PT Freeport dan PT Newmont terkait UU Minerba No 4 Tahun 2009.
Penerapan UU Minerba diganyang habis oleh kedua
perusahaan yang telah mengangkangi dan mengeruk keuntungan tidak sedikit dari
bumi pertiwi.
“Bertekuk lututnya” pemerintah SBY, mengingatkan
saat hendak lengsernya Pemerintah Soeharto, yang membuat perpanjangan kontrak
kerja baru dengan PT Freeport, menjelang akhir pemerintahannya.
Pemerintah bersiap
melansir aturan turunan Undang-Undang Minerba No 4 Tahun 2009 untuk mengatasi
penolakan beberapa perusahaan tambang berpengaruh mengenai kewajiban pemurnian
di dalam negeri. Untuk memuluskan niatan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP)
tersebut, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra bakal kembali dipanggil.
Hal itu disampaikan oleh Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Dia mengatakan, saran pakar
hukum diperlukan untuk memberi landasan kokoh bagi kebijakan pemerintah yang
rentan dianggap bertentangan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 soal mineral dan batu
bara (Minerba).
"Nanti (Yusril) akan
diundang. PP ini masih akan dimatangkan," ujarnya selepas rapat di Kemenko
Perekonomian, Jakarta, Jumat (27/12).
Pekan lalu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono memanggil Yusril ke Istana Negara. Dia dimintai saran
bagaimana agar penerapan UU Minerba yang mensyaratkan hilirisasi bisa mulus
dijalankan. Apalagi, muncul penolakan keras terkait tafsir beleid bahwa
perusahaan wajib membangun smelter atau mengolah bahan mineral mereka 100
persen di dalam negeri.
Salah satu poin utama dari aturan
ini adalah penentuan definisi bahan mentah. Nantinya, yang tidak boleh diekspor
perusahaan tambang di Indonesia adalah ore, alias mineral sama sekali belum
diolah.
Sedangkan hasil produksi Freeport
dan Newmont, dua perusahaan paling gigih menolak hilirisasi serta kewajiban
membangun smelter, masuk kategori konsentrat. Tembaga atau emas yang ditambang
perusahaan Amerika Serikat itu sudah diolah, tapi tak mencapai 100 persen nilai
tambah.
"Soal kadar konsentrat, PP
akan mengaturnya lebih detail," kata Jero.
Pemerintah mengakui salah satu
alasan perubahan sikap dalam menafsirkan UU Minerba karena ada ancaman
pemecatan karyawan seperti dilontarkan Freeport, Newmont, dan sebagian
perusahaan batu bara.
Meski demikian, Jero berkukuh
langkah pemerintah tidak bertentangan dengan hilirisasi, sebab ore tetap
dilarang diekspor pada 12 Januari 2014.
"Pemerintah akan lakukan UU
Minerba secara konsisten," klaimnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum
Bidang Pemberdayaan Daerah Tertinggal Kadin Natsir Mansyur mengatakan akibat aturan
hilirisasi Freeport akan memecat 100.000 karyawannya. Bukan hanya Freeport,
Newmont juga dikabarkan akan memecat 30.000 karyawannya secara langsung dan
tidak langsung.
"Freeport itu 100.000 yang
akan di PHK bersentuhan langsung dan tidak langsung. Newmont 30.000 itu
langsung operasional itu. Belum lagi yang tidak terlibat langsung," ucap
Natsir.
Menurut Natsir, untuk keseluruhan
perusahaan tambang yang dilarang ekspor tambang akan memecat 800.000
karyawannya. Ini terdiri dari 5 KK (Kontrak Karya), 600 IUP dan 1.300 IPR atau
pertambangan rakyat. Natsir menyayangkan nasib 800.000 karyawan yang terancam
di PHK masal.
"Itu akan menganggur kalau
di stop ekspor. Itu masih dari segi aspek PHK. Bea keluar, pajak. Menganggu
kepada penerimaan negara. Masuk ke APBN lho," tegasnya.
Natsir meminta kepada pemerintah
beserta DPR agar mencari jalan lain selain menghentikan ekspor. Menghentikan
ekspor akan sangat menyiksa pengusaha tambang baik kecil maupun besar.
"Kasihan pengusaha tambang,
infrastruktur masih lemah dan tiba tiba ditutup," tandasnya.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara (Minerba) secara resmi akan berlaku 12 Januari
2014 mendatang. Beleid itu akan mengubah potret pengelolaan barang tambang
mineral di negeri ini.
Ketika resmi berlaku, maka
terdapat beberapa konsekuensi logis yang harus diterima oleh setiap pengusaha
tambang mineral. Jika dulu mereka bisa mengambil keuntungan sangat besar hanya
dengan mengekspor mineral mentah tanpa proses pengolahan, kini mereka harus
gigit jari. Penyebabnya, salah satu konsekuensi tersebut adalah larangan ekspor
mineral mentah, yang tentu membuat para pengusaha kehilangan keuntungan
besarnya.
Pemerintah pun melalui beleid
tersebut menginginkan agar mineral mentah sepenuhnya diolah dan dimurnikan di
dalam negeri. Tetapi, tempat pengolahan dan pemurnian (smelter) itu tidak
banyak ada di Indonesia. Maka, pemerintah pun mewajibkan semua perusahaan
tambang untuk membangun smelter.
Keputusan itu membuat para pelaku
industri pertambangan kelabakan. Mereka terhentak, lantaran pemerintah tampak
tegas memberlakukan larangan ini.
Sejumlah perusahaan tambang tidak
menyukai hal ini. Mereka kemudian berusaha menekan pemerintah dengan mengancam
akan hengkang dari Indonesia jika UU Minerba benar-benar dijalankan. Dua
perusahaan asal Amerika Serikat, Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara
merupakan pihak yang paling lantang mengeluarkan ancaman tersebut.
Freeport dan Newmont membandel
terhadap larangan tersebut. Keduanya meminta agar pemerintah memberikan
dispensasi agar mereka masih diizinkan melakukan ekspor, sembari menjalankan
komitmen untuk membangun smelter di dalam negeri.
"Kami masih mencoba
menyampaikan kepada Menteri ESDM untuk memberikan semacam dispensasi,"
kata Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik Boedioro Soetjipto, di
Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (22/10).
Rozik mengatakan, Freeport sudah
bekerja sama dengan pihak ketiga untuk membangun smelter. Salah satunya adalah
Indo Smelter dan Indovasi Mineral Indonesia. Tahap studi kelayakan baru akan
selesai pada awal tahun depan.
"Ada tiga lokasi yang kita
pelajari. Di Jawa Timur ada dua, Gresik dan Tuban, satu lagi di Papua. Nanti
hasilnya kira-kira Januari. Dan akan kita lihat, oleh karena itu kita minta
dispensasi. Karena kita sendiri bukan yang ahli di bidang itu,"
Sementara itu, Presiden Direktur
Newmont Martiono Hadianto menyatakan, pihaknya tidak akan membangun smelter di
Indonesia. Ini lantaran Newmont merupakan perusahaan yang hanya berpengalaman
di bidang penambangan, sedangkan smelter sudah masuk ranah industri.
Tetapi, Martiono berdalih,
Newmont bersedia menjalankan larangan ekspor tersebut. Untuk mewujudkan
komitmen tersebut, Newmont menggandeng Nusantara Smelting Corporation (NSC) dan
Indonesia Smelting dengan mengadakan perjanjian penjualan bersyarat (Conditional
Sales Purchase Agreement/CPSA) konsentrat tembaga.
"Kami ingin menunjukkan
komitmen kami dalam mendukung kebijakan pemerintah dengan menjadi pemasok
konsentrat tembaga bagi smelter dalam negeri yang akan dibangun," kata
Martiono beberapa waktu yang lalu.
Hal itu ternyata membuat sikap
pemerintah melunak. Pemerintah tampak hendak mengabulkan dispensasi yang
diajukan oleh kedua perusahaan tersebut dengan hanya berdasar pada progres
pembangunan smelter yang masih sekitar 30 persen.
"Kalau Newmont, Freeport,
baru 30 persen (progres smelter), ini yang perlu diatur, walau UU tidak
mengatur, tapi kan mereka sudah ada rencana," terang Menteri Koordinator
Perekonomian Hatta Rajasa awal November lalu.
Pemerintah kemudian melempar bola
panas terkait keputusan dispensasi tersebut ke DPR. Untuk memastikan hal itu
berjalan mulus, Menteri ESDM Jero Wacik mendapat tugas untuk membicarakannya
dengan DPR.
"(Kelonggaran buat Freeport
dan Newmont) belum diputuskan, karena ini menyangkut UU minerba, tidak bisa
kami saja yang melakukannya, harus konsultasi dengan DPR," terang Jero.
Pembahasan inipun berlanjut ke
meja Komisi VII DPR RI. Usai menjalani reses, DPR kemudian mengadakan rapat
koordinasi dengan Menteri ESDM dan menghasilkan keputusan bulat, tidak boleh
ada lagi ekspor bahan mineral mentah setelah UU Minerba berlaku.
"Semua perusahaan tidak
boleh mengekspor bahan mineral mentah," ujar Ketua Komisi VII DPR RI Sutan
Bhatoegana.
Namun demikian, kedua perusahaan
tersebut ternyata masih juga membandel. Mereka tetap meminta pemerintah
memberikan kelonggaran agar Freeport dan Newmont tidak berhenti berproduksi
lantaran adanya larangan ekspor.
"Kami sih inginnya tetap
bisa beroperasi," kata juru bicara Newmont Rubi Purnomo.
Bahkan, perusahaan asing itu
mengumumkan kemungkinan langkah pemecatan senyampang beleid hilirisasi berlaku
efektif. Pelaku tambang lokal sebagian ada yang menyokong rencana tersebut.
Wakil Ketua Umum Bidang
Pemberdayaan Daerah Tertinggal Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Natsir
Mansyur, dua pekan lalu mengatakan seiring dengan diterapkannya UU Minerba No 4
Tahun 2009, Freeport akan memecat 100.000 karyawannya. Sementara Newmont juga
dikabarkan akan memecat 30.000 karyawannya secara langsung dan tidak langsung.
"Freeport itu 100.000 yang
akan di PHK bersentuhan langsung dan tidak langsung. Newmont 30.000 itu
langsung operasional itu. Belum lagi yang tidak terlibat langsung," ucap
Natsir di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (19/12).
Natsir menyebutkan, secara
keseluruhan, jumlah karyawan perusahaan pertambangan yang kemungkinan bakal
kehilangan pekerjaan mencapai 800.000. Ini terdiri dari 5 KK (Kontrak Karya),
600 IUP dan 1.300 IPR atau pertambangan rakyat. Natsir menyayangkan nasib 800.000
karyawan yang terancam di PHK masal.
Pemerintah beberapa kali
menyampaikan gestur menyerah terhadap tuntutan pemain tambang besar lewat
pernyataan para pejabat terkait, misalnya Menteri ESDM Jero Wacik.
Rencananya, sebelum pergantian
tahun, Wakil Presiden Boediono bakal menggelar rapat bersama menteri-menteri
bidang perekonomian soal strategi menjalankan hilirisasi.
"Di pemerintah sendiri masih
berpikir kan ada dampak pengangguran, terutama di wilayah timur Indonesia, kan
tambang banyak di sana. Itu gede lho," kata Wakil Menteri Keuangan Bambang
Brodjonegoro di Jakarta (24/12), menjelaskan kemungkinan agenda pertemuan di
kantor wapres.
Tak kurang, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono langsung meminta saran pakar hukum tata negara Yusril Ihza
Mahendra buat mencari celah revisi UU Minerba. Intinya, pemerintah sudah
bersiap melunak, jika memang itu satu-satunya cara supaya hilirisasi diterima
oleh para pemain tambang besar. Ancaman pemecatan pegawai dianggap sangat
menakutkan, dibanding berkukuh memaksa korporasi tambang memurnikan bahan
mentah di dalam negeri.
"Artinya bagaimana sedikit
bisa melunakkan atau melonggarkan aturan itu sehingga tidak terjadi kerugian
yang lebih besar bagi negara kita, baik dari segi pemasukan negara dan juga
perusahaan-perusahaan itu," kata Yusril selepas bertemu SBY di Istana
Negara pekan lalu.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar