Kamis, 26 Desember 2013

SBY Bertekuklutut atau Lakukan Konspirasi dengan Freeport dan Newmont?

Jurnalis Independen: Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertekuk lutut atau bahkan melakukan konspirasi dengan dengan perusahaan Yahudi asal Amerika PT Freeport dan PT Newmont terkait UU Minerba No 4 Tahun 2009.
Penerapan UU Minerba diganyang habis oleh kedua perusahaan yang telah mengangkangi dan mengeruk keuntungan tidak sedikit dari bumi pertiwi.

“Bertekuk lututnya” pemerintah SBY, mengingatkan saat hendak lengsernya Pemerintah Soeharto, yang membuat perpanjangan kontrak kerja baru dengan PT Freeport, menjelang akhir pemerintahannya.

Pemerintah bersiap melansir aturan turunan Undang-Undang Minerba No 4 Tahun 2009 untuk mengatasi penolakan beberapa perusahaan tambang berpengaruh mengenai kewajiban pemurnian di dalam negeri. Untuk memuluskan niatan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) tersebut, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra bakal kembali dipanggil.

Hal itu disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Dia mengatakan, saran pakar hukum diperlukan untuk memberi landasan kokoh bagi kebijakan pemerintah yang rentan dianggap bertentangan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 soal mineral dan batu bara (Minerba).

"Nanti (Yusril) akan diundang. PP ini masih akan dimatangkan," ujarnya selepas rapat di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (27/12).

Pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil Yusril ke Istana Negara. Dia dimintai saran bagaimana agar penerapan UU Minerba yang mensyaratkan hilirisasi bisa mulus dijalankan. Apalagi, muncul penolakan keras terkait tafsir beleid bahwa perusahaan wajib membangun smelter atau mengolah bahan mineral mereka 100 persen di dalam negeri.

Salah satu poin utama dari aturan ini adalah penentuan definisi bahan mentah. Nantinya, yang tidak boleh diekspor perusahaan tambang di Indonesia adalah ore, alias mineral sama sekali belum diolah.

Sedangkan hasil produksi Freeport dan Newmont, dua perusahaan paling gigih menolak hilirisasi serta kewajiban membangun smelter, masuk kategori konsentrat. Tembaga atau emas yang ditambang perusahaan Amerika Serikat itu sudah diolah, tapi tak mencapai 100 persen nilai tambah.

"Soal kadar konsentrat, PP akan mengaturnya lebih detail," kata Jero.

Pemerintah mengakui salah satu alasan perubahan sikap dalam menafsirkan UU Minerba karena ada ancaman pemecatan karyawan seperti dilontarkan Freeport, Newmont, dan sebagian perusahaan batu bara.

Meski demikian, Jero berkukuh langkah pemerintah tidak bertentangan dengan hilirisasi, sebab ore tetap dilarang diekspor pada 12 Januari 2014.

"Pemerintah akan lakukan UU Minerba secara konsisten," klaimnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Bidang Pemberdayaan Daerah Tertinggal Kadin Natsir Mansyur mengatakan akibat aturan hilirisasi Freeport akan memecat 100.000 karyawannya. Bukan hanya Freeport, Newmont juga dikabarkan akan memecat 30.000 karyawannya secara langsung dan tidak langsung.

"Freeport itu 100.000 yang akan di PHK bersentuhan langsung dan tidak langsung. Newmont 30.000 itu langsung operasional itu. Belum lagi yang tidak terlibat langsung," ucap Natsir.

Menurut Natsir, untuk keseluruhan perusahaan tambang yang dilarang ekspor tambang akan memecat 800.000 karyawannya. Ini terdiri dari 5 KK (Kontrak Karya), 600 IUP dan 1.300 IPR atau pertambangan rakyat. Natsir menyayangkan nasib 800.000 karyawan yang terancam di PHK masal.

"Itu akan menganggur kalau di stop ekspor. Itu masih dari segi aspek PHK. Bea keluar, pajak. Menganggu kepada penerimaan negara. Masuk ke APBN lho," tegasnya.

Natsir meminta kepada pemerintah beserta DPR agar mencari jalan lain selain menghentikan ekspor. Menghentikan ekspor akan sangat menyiksa pengusaha tambang baik kecil maupun besar.

"Kasihan pengusaha tambang, infrastruktur masih lemah dan tiba tiba ditutup," tandasnya.



Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) secara resmi akan berlaku 12 Januari 2014 mendatang. Beleid itu akan mengubah potret pengelolaan barang tambang mineral di negeri ini.

Ketika resmi berlaku, maka terdapat beberapa konsekuensi logis yang harus diterima oleh setiap pengusaha tambang mineral. Jika dulu mereka bisa mengambil keuntungan sangat besar hanya dengan mengekspor mineral mentah tanpa proses pengolahan, kini mereka harus gigit jari. Penyebabnya, salah satu konsekuensi tersebut adalah larangan ekspor mineral mentah, yang tentu membuat para pengusaha kehilangan keuntungan besarnya.

Pemerintah pun melalui beleid tersebut menginginkan agar mineral mentah sepenuhnya diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Tetapi, tempat pengolahan dan pemurnian (smelter) itu tidak banyak ada di Indonesia. Maka, pemerintah pun mewajibkan semua perusahaan tambang untuk membangun smelter.

Keputusan itu membuat para pelaku industri pertambangan kelabakan. Mereka terhentak, lantaran pemerintah tampak tegas memberlakukan larangan ini.

Sejumlah perusahaan tambang tidak menyukai hal ini. Mereka kemudian berusaha menekan pemerintah dengan mengancam akan hengkang dari Indonesia jika UU Minerba benar-benar dijalankan. Dua perusahaan asal Amerika Serikat, Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara merupakan pihak yang paling lantang mengeluarkan ancaman tersebut.

Freeport dan Newmont membandel terhadap larangan tersebut. Keduanya meminta agar pemerintah memberikan dispensasi agar mereka masih diizinkan melakukan ekspor, sembari menjalankan komitmen untuk membangun smelter di dalam negeri.

"Kami masih mencoba menyampaikan kepada Menteri ESDM untuk memberikan semacam dispensasi," kata Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik Boedioro Soetjipto, di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (22/10).

Rozik mengatakan, Freeport sudah bekerja sama dengan pihak ketiga untuk membangun smelter. Salah satunya adalah Indo Smelter dan Indovasi Mineral Indonesia. Tahap studi kelayakan baru akan selesai pada awal tahun depan.

"Ada tiga lokasi yang kita pelajari. Di Jawa Timur ada dua, Gresik dan Tuban, satu lagi di Papua. Nanti hasilnya kira-kira Januari. Dan akan kita lihat, oleh karena itu kita minta dispensasi. Karena kita sendiri bukan yang ahli di bidang itu,"

Sementara itu, Presiden Direktur Newmont Martiono Hadianto menyatakan, pihaknya tidak akan membangun smelter di Indonesia. Ini lantaran Newmont merupakan perusahaan yang hanya berpengalaman di bidang penambangan, sedangkan smelter sudah masuk ranah industri.

Tetapi, Martiono berdalih, Newmont bersedia menjalankan larangan ekspor tersebut. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, Newmont menggandeng Nusantara Smelting Corporation (NSC) dan Indonesia Smelting dengan mengadakan perjanjian penjualan bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement/CPSA) konsentrat tembaga.

"Kami ingin menunjukkan komitmen kami dalam mendukung kebijakan pemerintah dengan menjadi pemasok konsentrat tembaga bagi smelter dalam negeri yang akan dibangun," kata Martiono beberapa waktu yang lalu.

Hal itu ternyata membuat sikap pemerintah melunak. Pemerintah tampak hendak mengabulkan dispensasi yang diajukan oleh kedua perusahaan tersebut dengan hanya berdasar pada progres pembangunan smelter yang masih sekitar 30 persen.

"Kalau Newmont, Freeport, baru 30 persen (progres smelter), ini yang perlu diatur, walau UU tidak mengatur, tapi kan mereka sudah ada rencana," terang Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa awal November lalu.

Pemerintah kemudian melempar bola panas terkait keputusan dispensasi tersebut ke DPR. Untuk memastikan hal itu berjalan mulus, Menteri ESDM Jero Wacik mendapat tugas untuk membicarakannya dengan DPR.

"(Kelonggaran buat Freeport dan Newmont) belum diputuskan, karena ini menyangkut UU minerba, tidak bisa kami saja yang melakukannya, harus konsultasi dengan DPR," terang Jero.

Pembahasan inipun berlanjut ke meja Komisi VII DPR RI. Usai menjalani reses, DPR kemudian mengadakan rapat koordinasi dengan Menteri ESDM dan menghasilkan keputusan bulat, tidak boleh ada lagi ekspor bahan mineral mentah setelah UU Minerba berlaku.

"Semua perusahaan tidak boleh mengekspor bahan mineral mentah," ujar Ketua Komisi VII DPR RI Sutan Bhatoegana.

Namun demikian, kedua perusahaan tersebut ternyata masih juga membandel. Mereka tetap meminta pemerintah memberikan kelonggaran agar Freeport dan Newmont tidak berhenti berproduksi lantaran adanya larangan ekspor.

"Kami sih inginnya tetap bisa beroperasi," kata juru bicara Newmont Rubi Purnomo.

Bahkan, perusahaan asing itu mengumumkan kemungkinan langkah pemecatan senyampang beleid hilirisasi berlaku efektif. Pelaku tambang lokal sebagian ada yang menyokong rencana tersebut.

Wakil Ketua Umum Bidang Pemberdayaan Daerah Tertinggal Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Natsir Mansyur, dua pekan lalu mengatakan seiring dengan diterapkannya UU Minerba No 4 Tahun 2009, Freeport akan memecat 100.000 karyawannya. Sementara Newmont juga dikabarkan akan memecat 30.000 karyawannya secara langsung dan tidak langsung.

"Freeport itu 100.000 yang akan di PHK bersentuhan langsung dan tidak langsung. Newmont 30.000 itu langsung operasional itu. Belum lagi yang tidak terlibat langsung," ucap Natsir di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (19/12).

Natsir menyebutkan, secara keseluruhan, jumlah karyawan perusahaan pertambangan yang kemungkinan bakal kehilangan pekerjaan mencapai 800.000. Ini terdiri dari 5 KK (Kontrak Karya), 600 IUP dan 1.300 IPR atau pertambangan rakyat. Natsir menyayangkan nasib 800.000 karyawan yang terancam di PHK masal.

Pemerintah beberapa kali menyampaikan gestur menyerah terhadap tuntutan pemain tambang besar lewat pernyataan para pejabat terkait, misalnya Menteri ESDM Jero Wacik.

Rencananya, sebelum pergantian tahun, Wakil Presiden Boediono bakal menggelar rapat bersama menteri-menteri bidang perekonomian soal strategi menjalankan hilirisasi.

"Di pemerintah sendiri masih berpikir kan ada dampak pengangguran, terutama di wilayah timur Indonesia, kan tambang banyak di sana. Itu gede lho," kata Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di Jakarta (24/12), menjelaskan kemungkinan agenda pertemuan di kantor wapres.

Tak kurang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung meminta saran pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra buat mencari celah revisi UU Minerba. Intinya, pemerintah sudah bersiap melunak, jika memang itu satu-satunya cara supaya hilirisasi diterima oleh para pemain tambang besar. Ancaman pemecatan pegawai dianggap sangat menakutkan, dibanding berkukuh memaksa korporasi tambang memurnikan bahan mentah di dalam negeri.

"Artinya bagaimana sedikit bisa melunakkan atau melonggarkan aturan itu sehingga tidak terjadi kerugian yang lebih besar bagi negara kita, baik dari segi pemasukan negara dan juga perusahaan-perusahaan itu," kata Yusril selepas bertemu SBY di Istana Negara pekan lalu.@


Tidak ada komentar: