Selasa, 17 Desember 2013

Bung Karno di Film Hanung Bramantyo

Jurnalis Independen: Kayaknya nggak sama tuh dengan di film, pantes keluarganya marah! Dulunya bernama Koesno Sosrodihardjo. Tubuhnya kurus dan sering sakit-sakitan. Oleh bapaknya 'Raden Soekemi Sosrodihardjo ' nama tersebut diganti dengan 'karno', nama Karno diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.

Diatas kereta kuda, Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto berwejang kepada Karno, "Manusia itu sama misteriusnya dengan alam, tapi jika kau bisa menggenggam hatinya, mereka akan mengikutimu". 

Besar harapan sang bapak setelah mengganti nama 'Karno', untuk menjelma menjadi kesatria layaknya tokoh pewayangan - Adipati Karno. Alhasil harapan bapaknya terwujud, ketika 'Karno' berusia 24 tahun, ia berhasil mengguncang podium , dan berteriak : "KITA HARUS MERDEKA SEKARANG"

Akibat pidatonya tersebut, ia harus masuk penjara di Yogyakarta dan dipindahkan ke Bandung. Dituduh menghasut dan memberontak. Tapi keberanian  Soekarno tidak pernah padam.
Setelah keluar dari penjara Soekarno pun bersama istri 'Inggit Garnasih' dan beserta anak angkatnya, mereka dipindahkan ke pembuangan di Ende, lalu ke Bengkulu.

Di Bengkulu, Soekarno istirahat sejenak dari politik. Namun hatinya tertambat pada gadis muda bernama Fatmawati. Ketika itu Soekarno masih menjadi suami 'Inggit Garnasih', perempuan yang usainya lebih tua 12 tahun dari Soekarno dan selalu menjadi 'perisai' baginya ketika dipenjara maupun dalam pengasingan. Inggit pun harus rela melihat sang suami jatuh cinta dengan Fatmawati. Ditengah kemelut gonjang-ganjing rumah tangganya, Jepang pun datang mengobarkan perang Asia Timur Raya, dan Soekarno pun kembali ke dunia politik.

Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memerhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.

Mohahmmad Hatta dan Sutan Syahrir, rival politik Soekarno, mengingatkan bahwa Jepang tidak kalah bengisnya dibanding Belanda. pemerintahan pendudukan Jepang memerhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia.

Dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan lain-lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, Namun Soekarno punya keyakinan, "jika kita cerdik, kita bisa memanfaatkan Jepang untuk meraih kemerdekaan," meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah yang berbahaya. Bahkan Kelompok pemuda pengikut Sutan Syahrir mencemooh Soekarno dan Hatta sebagai kolaborator, namun Soekarna tak goyah.

Ketika tahun 1943, Perdana Mentri Jepang 'Hideki Tojo' mengundang tokoh Indonesia ke Jepang, tokoh tersebut yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo dan diterima langsung oleh kaisar Hirohito.  Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok.

Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang.

Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.@


Tidak ada komentar: