Jurnalis Independen: Kesan tentang
Partai Demokrat ternyata merupakan sarang koruptor, hal itu diungkapkan oleh Peneliti
Senior Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, dengan gaya bahasa
berbeda.
Kenyataan itu, terbukti dengan
adanya kasus korupsi SKK Migas, Hambalang, penjebolan BNI maupun Bank Century
yang diduga banyak melibatkan politikus berlambang Mercy asuhan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan, sebagian telah menjadi tersangka dan “ngandang”
dalam penjara.
"Jika dilihat pola korupsi
yang terjadi di SKK Migas, dimana telah diduga melibatkan beberapa kader Partai
Demokrat, bisa jadi SKK Migas akan dijadikan lumbung logistik alias mesin ATM
untuk menggalang dana partai politik," kata Karyono di Jakarta, Rabu
(4/12).
Menurut Karyono, pola semacam itu
sudah sering terjadi sejak era orde baru, hingga saat ini dimana ada korelasi
antara perilaku korupsi dengan kepentingan politik. Seperti beberapa kasus, penjebolan
Bank BNI menjelang pemilu 2004 dan Bank Century menjelang pemilu 2009 juga
diduga kuat berkorelasi dengan kepentingan politik.
"Jadi, bukan tidak mungkin,
hal itu juga terjadi di SKK Migas dan di tempat lain. Hal itu disebabkan karena
biaya politik untuk memenangkan pemilu sangat mahal," pungkasnya.
Oleh karena itu, sambung Karyono
mereka tergoda untuk menggunakan kekuasaan untuk memperoleh logistik politik.
Meski demikian, berapapun mahalnya biaya politik akan ditebus demi memperoleh
kekuasaan. "Mungkin karena kekuasaan itu nikmat meskipun sesaat,"
sergahnya.
Sementara itu, dalam kasus Korupsi
SKK Migas setidaknya sejumlah nama disebut-sebut terlibat, seperti anggota
Komisi VII DPR Tri Yulianto, Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana, Menteri
ESDM Jero Wacik, ketiga orang tersebut, selain Tri Yulianto sudah pernah
diperiksa sebagai saksi.
KPK juga telah melakukan
pencegahan terhadap sejumlah nama yakni ajudan Menteri ESDM I Gusti Putu Ade
Pranjaya, seorang konsultan sekaligus utusan khusus, staf khusus Sartono Hutomo
sepupu presiden SBY Eka Putera dan Direktur Utama PT Rajawali Swiber Cakrawala
(Oil &Energy Industry).
Namun anehnya, semua kasus
korupsi yang merugikan keuangan Negara hingga trilyunan rupiah, jika
terindikasi mencomot nama kerajaan Cikeas, selalu mentah dan KPK seakan menjadi
“bergidik” untuk melanjutkan penyelidikan.
Dugaan keengganan KPK, ternyata dirasakan
oleh Anggota Komisi III DPR Nudirman
Munir. Nudirman Munir mengatakan sangat penting bagi Pihak KPK untuk memeriksa
Sylviana Soleha alias Bu Pur. Sebab nama ini sering tampil pada hampir setiap
kasus korupsi di negeri ini dan diduga menjadi kepanjangan tangan Kerajaan
Cikeas.
Menurut Nudirman Munir,
seharusnya penegakkan hukum tidak pandang bulu. Tak peduli dia dari latar
belakang apa dan kelompok mana, sekalipun terduga adalah penguasa atau orang
dekatnya.
"Ya harus diperiksa. Apa
saja yang dia tahu soal Hambalang," katanya, Rabu (4/12) di gedung DPR RI,
Senayan, Jakarta Selatan.
Namun karena lambatnya penuntasan
kasus ini, Nudirman Munir merasa ada yang tidak beres di lembaga yang dipimpin
Abraham Sammad.
"Kenapa kalau ada kasus yang
berhubungan dengan Cikeas, “KPK melempem” menindaklanjuti," kata Nudirman
setengah bertanya.
Seharusnya KPK lebih tegas dalam
penindakan korupsi, dan tak perlu merasa tak enak hati walau terhadap “orang” penguasa.
"Sepertinya KPK ini ada rasa
tidak enak, sungkan dan ewuh pakewuh. Itu tidak perlu," pungkasnya.
Tercatat pada kasus itu,
nama-nama seperti Menteri ESDM, Jero Wacik, Sutan Batoegana, Tri Yulianto, Eka
Putra, Iryanto Muchyi sampai Putra Susilo Bambang Yudhoyono, Edhie Baskoro
Yudhoyono disebut-sebut juga terlibat.
Menanggapi hal tersebut, anggota
Komisi III DPR, Nudirman Munir meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
membongkar dugaan keterlibatan tersebut.
"Tri Yulianto perlu dikejar
(untuk diperiksa). Kebenarannya perlu diungkapkan," ujar dia, di Gedung
DPR, Jakarta, Rabu (4/12).
Menurut politisi partai Golkar
tersebut, KPK harus memperlakukan kasus SKK seperti kasus Hambalang.
"Menurut saya itu perlu untuk
dituntaskan. Sama seperti Century dan Hambalang," kata dia.
Sebelumnya, dalam persidangan
mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini mengaku ada anggota Komisi VII DPR
yang meminta uang THR. Rudi pun mengaku memenuhi permintaan tersebut dengan
mengeluarkan USD$200.000 dan diberikan kepada Tri Yulianto.
Sutan sendiri, dalam berita acara
pemeriksaan (BAP) Rudi Rubiandini, disebut meminta THR.
Tak hanya itu, Tri Yulianto
diduga kuat mendapat 10 persen dari Kernel Oil. Hal itu terungkap dari catatan
kertas yang dibawa Deviardi bersama dengan uang sebesar USD 300 ribu.
Sementara nama Edi Baskoro Yudhoyono sendiri muncul dalam berita
pemeriksaan Deviardi. Bahkan dalam persidangan, Deviardi menyatakan hubungan
antara bos Kernel Oil Singapura, Widodo Ratanachaitong dengan Kepala SKK Migas
nonaktif, Rudi Rubiandini, salah satunya untuk membuat senang Ibas.
Namun karena lambatnya penuntasan
kasus ini, Nudirman Munir merasa ada yang tidak beres di lembaga yang dipimpin
Abraham Sammad.
"Kenapa kalau ada kasus yang
berhubungan dengan Cikeas, “KPK melempem” menindaklanjuti," kata Nudirman
setengah bertanya.
Seharusnya KPK lebih tegas dalam
penindakan korupsi, dan tak perlu merasa tak enak hati walau terhadap “orang” penguasa.
"Sepertinya KPK ini ada rasa
tidak enak, sungkan dan ewuh pakewuh. Itu tidak perlu," pungkasnya.
Tercatat pada kasus itu,
nama-nama seperti Menteri ESDM, Jero Wacik, Sutan Batoegana, Tri Yulianto, Eka
Putra, Iryanto Muchyi sampai Putra Susilo Bambang Yudhoyono, Edhie Baskoro
Yudhoyono disebut-sebut juga terlibat.
Menanggapi hal tersebut, anggota
Komisi III DPR, Nudirman Munir meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
membongkar dugaan keterlibatan tersebut.
"Tri Yulianto perlu dikejar
(untuk diperiksa). Kebenarannya perlu diungkapkan," ujar dia, di Gedung
DPR, Jakarta, Rabu (4/12).
Menurut politisi partai Golkar
tersebut, KPK harus memperlakukan kasus SKK seperti kasus Hambalang.
"Menurut saya itu perlu untuk
dituntaskan. Sama seperti Century dan Hambalang," kata dia.
Diketahui, dalam persidangan
mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini mengaku ada anggota Komisi VII DPR
yang meminta uang THR. Rudi pun mengaku memenuhi permintaan tersebut dengan
mengeluarkan USD$200.000 dan diberikan kepada Tri Yulianto.
Sutan sendiri, dalam berita acara
pemeriksaan (BAP) Rudi Rubiandini, disebut meminta THR.
Tak hanya itu, Tri Yulianto
diduga kuat mendapat 10 persen dari Kernel Oil. Hal itu terungkap dari catatan
kertas yang dibawa Deviardi bersama dengan uang sebesar USD 300 ribu.
Sementara nama Edi Baskoro Yudhoyono sendiri muncul dalam berita
pemeriksaan Deviardi. Bahkan dalam persidangan, Deviardi menyatakan hubungan
antara bos Kernel Oil Singapura, Widodo Ratanachaitong dengan Kepala SKK Migas
nonaktif, Rudi Rubiandini, salah satunya untuk membuat senang Ibas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar