Jumat, 06 Desember 2013

Pemerintah Grogi lawan keangkuhan dan tipu muslihat PT Freeport dan Newmont asal Amerika Serikat.

Jurnalis Independen: Pemerintah Grogi lawan keangkuhan dan tipu muslihat PT Freeport dan Newmont asal Amerika Serikat. 


Pengelolaan kekayaan alam Indonesia khususnya sektor energi hampir seluruhnya didominasi oleh perusahaan asing. Imbal balik ke negara seperti diantaranya dalam bentuk royalti maupun divestasi sangatlah kecil. Mayoritas hasil energi bumi pertiwi dibawa lari keluar negeri.

Padahal, dengan melihat gambaran secara kasar saja, jika Indonesia mendapat bagi hasil secara proporsional maka pemerintah mempunyai cukup dana untuk membiayai pembangunan secara masif. Hal inilah yang mendasari pemerintah mengajukan renegosiasi kontrak karya (KK) melalui UU Nomor 4 Tahun 2009.

Kini, mayoritas perusahaan di bidang mineral dan tambang disebut-sebut telah menyepakati klausul renegosiasi KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP). Namun tidak demikian dengan dua perusahaan tambang besar yakni PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Dua perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini masih ngotot meminta dispensasi pada pemerintah untuk mengizinkan mereka mengekspor bahan mentah pada 2014. Kedua perusahaan mengaku keberatan jika harus membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter di Indonesia. Alasannya, pengolahan bahan tambang di dalam negeri tidak mendatangkan keuntungan, bahkan cenderung merugikan perusahaan. Bukannya mendesak, pemerintah justru membela Freeport dan Newmont.

Direktur Jenderal Mineral dan Bahan Tambang Kementerian ESDM Thamrin Sihite sempat menyatakan tidak ada sanksi tegas bagi Freeport dan Newmont jika belum melaksanakan proses hilirisasi bahan mentah tambang di dalam negeri di 2014.

Bahkan, pemerintah membuka kemungkinan memberi kebijakan khusus. Freeport bakal diberi keleluasaan jika terbukti tak mampu mengolah tembaga dan emas mereka di dalam negeri. "Ada fleksibilitas lah, tapi selalu dasar saya undang-undang," kata Thamrin beberapa waktu lalu.

Benar saja, pemerintah membuktikan janjinya pada Freeport dan Newmont. Di saat perusahaan tambang lain ditekan untuk tunduk pada UU Minerba, namun tidak pada Freeport dan Newmont. Dibentangkanlah 'karpet merah' pada dua perusahaan tersebut.

Dengan dalih Undang-Undang, Menteri ESDM Jero Wacik menuturkan, permintaan dispensasi dari Freeport dan Newmont harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "(Kelonggaran buat Freeport dan Newmont) belum diputuskan, karena ini menyangkut UU minerba, tidak bisa kami saja yang melakukannya, harus konsultasi dengan DPR," ujarnya di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, sebulan lalu.

Satu bulan berlalu. Kemarin, pemerintah harus tertunduk lesu. Pasalnya, pihak DPR menolak permintaan dispensasi untuk Freeport dan Newmont. Jero Wacik bercerita bahwa seluruh fraksi mendukung pelaksanaan UU ini dengan tanpa pengecualian.

"Tadi Komisi VII meminta menteri melaksanakan UU itu secara konsekuen mulai Januari 2014. Semua fraksi menyatakan sudah setuju," ujar Jero di Komplek Gedung DPR, Jakarta.

Jero Wacik menyadari penerapan UU ini akan menimbulkan sedikit kegaduhan di kalangan pengusaha. Dia meminta saran pada DPR apakah akan memberikan alternatif pilihan atau tidak.

"DPR menyatakan tidak perlu ada pilihan, nanti pengusaha akan menyesuaikan sendiri," ungkap Jero.

Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan, jika terdapat pengecualian atas penerapan larangan itu, maka hal itu sama saja dengan pelanggaran terhadap UU.

"Saya disumpah menjadi anggota DPR, akan menjalankan peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya," klaim Bambang.

Menurutnya, UU ini merupakan langkah progresif setelah Indonesia tidak memiliki UU baru selain UU Pertambangan Umum yang dibuat tahun 1967. Menurutnya, progresivitas UU ini terletak pada mekanisme pengelolaan dari kontrak karya menjadi perizinan.

"UU Nomor 4 Tahun 2009 itu dibuat dengan diskusi yang amat panjang, butuh waktu hampir 4 tahun, terutama dalam beberapa pasal penting, karena itu mengubah dari rezim kontrak menjadi rezim perizinan," jelasnya.

DPR pun 'menggulung' kembali karpet merah itu.



Tidak ada komentar: