Jurnalis Independen: Salah satu ide kufur yang
menggrogoti umat Islam adalah buah dari ide sekulerisme. Ide sekulerisme ini
pula lah yang kemudian melahirkan kembali (reborn) demokrasi dari alam kubur
nya pada akhir abad ke 18 Masehi setelah
sekian abad lamanya terpendam sejak 27
Sebelum Masehi.
Ide sekulerisme menjadikan
syariah islam diabaikan ini karena demokrasi
yang merupakan anak kandung dari sekulerisme telah menetapkan dengan
garis tegas bahwa agama tidak boleh terlibat dalam mengatur masalah publik.
Imbasnya berakibat kaum muslimin
tidak menjalankan Syari’ah Islam secara kaffah. Islam seolah hanya sebagai
sebuah agama yang hanya mengatur urusan ibadah mahdah saja, sama seperti
agama-agama lain seperti agama masehi (agama kristen), Hindu, Budha, yahudi dan
agama lainnya. Padhal Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur urusan
masalah ibadah mahdah namun juga ghairu mahdah semisal dalam maslalah mu’amalah
dan ‘uqubat.
Ironisnya adalah terlihat ketika
kaum muslimin beraktivitas. Ketika mereka sholat, kaum muslimin menjadikan
ka’bah sebagai arah kiblat. Namun ketika mereka melakukan aktivitas mu’amalah
dan ‘uqubat, mereka berkiblat kepada barat, bukan berkiblat kepada ka’bah.
Lihatlah, dalam masalah interaksi
antar sesama manusia, dasar pijakan yang dijadikan dasar adalah maslahat,
padahal dalam Islam, pijakan nya adalah halal dan haram.
Cara berpakaian sebagian kaum
muslimin pun (khususnya kaum muslimah) mereka berkiblat ke barat. Contohnya di
Mesir tahun 1338 M, Huda Asy-Sya’rawi adalah wanita muslimah Mesir pertama kali
yang menanggalkan hijab.
Di Aljazair kondisinya lebih
parah lagi sebagaimana dalam kitab At-Targhib fi Al-Fikri wa As-Siyasah wa
Al-Iqtishad (Westernisasi dalam bidang Pemikiran, Politik dan Ekonomi) halaman
133-139 disebutkan sebuah kisah yang memilukan, yaitu: pada tanggal 13 Mei 1958
M pemerintah memerintahkan seorang khatib Jum’at untuk menyampaikan materi
tentang larangan hijab dalam khutbahnya. Maka khatib inipun melaksanakannya,
dan setelah selesai shalat, salah seorang wanita Aljazair berdiri memegang
mikrofon mengajak teman-temannya untuk melepas hijab, lalu dia melepas hijabnya
dan diikuti oleh wanita yang lainnya. Dan kejadian serupa juga terjadi di
beberapa kota di Aljazair bahkan di ibu kota Aljazair sendiri. Peristiwa inipun
didukung oleh pers dengan meliputnya secara besar-besaran, Nas’alulloha
Al-’Afwa Wal ‘Afiyah.
Dalam bidang ‘uqubat, negeri ini
misalnya, walaupun mayoritas beragama Islam, namun hukum yang dijadikan
bukanlah hukum Islam, melainkan hukum barat yakni peninggalan penjajah
Belanda. Hal ini juga disampaikan oleh Ketua
MK yakni M mahfudz MD bahwa Sebanyak 80 persen undang-undang di Indonesia masih
peninggalan Belanda yang hingga kini belum diubah. Demikian dipaparkan dalam
pidato nya saat dulu beliau memberikan pidato ilmiah pengukuhan guru besar
Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej), Kamis (25/10).
Dalam masalah ekonomipun sungguh sangat ironis, Indonesia yang
merupakan negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia menghalalkan riba.
Padahal riba merupakan sesuatu yang sangat diharamkan di dalam Islam.
Berislam Secara Kaffah
Sebagai muslim, seharusnya kita
meyakini bahwa Islam adalah ajaran agama yang kaffah, hal ini juga telah
ditegaskan oleh Allah swt dalam firman nya
“ … Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untukmu agama-mu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa’idah: 3]
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat Allah Azza wa
Jalla terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah menyempurnakan
agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi
lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para
Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang
halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang
diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang
dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada
pertentangan sama sekali. “
Asbath mengatakan, dari as-Suddi,
“Ayat ini turun pada hari ‘Arafah, dan setelah itu tidak ada lagi ayat yang
turun, yang menyangkut halal dan haram. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kembali dan setelah itu beliau wafat.”
Ibnu Jarir dan beberapa ulama
lainnya mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia
setelah hari ‘Arafah, yaitu setelah 81 hari.” Keduanya telah diriwayatkan Ibnu
Jarir. Selanjutnya ia menceritakan, Sufyan bin Waki’ menceritakan kepada kami,
Ibnu Fudhail menceritakan kepada kami, dari Harun bin Antarah, dari ayahnya, ia
berkata, “Ketika turun ayat: “al-yauma akmaltu lakum diinakumĂș “Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” Yaitu pada haji akbar (besar), maka ‘Umar
Radhiyallahu ‘anhu menangis, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“Apa yang menyebabkan engkau menangis?” ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku
menangis disebabkan selama ini kita berada dalam penambahan agama kita. Tetapi
jika telah sempurna, maka tidak ada sesuatu yang sempurna melainkan akan
berkurang.” Kemudian beliau Shallallahu ‘allahi wa sallam bersabda, “Engkau
benar.”
Ini artinya Islam adalah agama
sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sistem hidup dan sistem hukum meliputi
segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia. Firman Allah Swt:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” (TQS. An-Nahl [16]: 89)
Ini berarti, perkara apapun ada
hukumnya, dan problematika apa saja, atau apapun tantangan yang dihadapi kaum
Muslim, akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam.
Dengan kesempurnaan agama Islam
tersebut Allah memerintahkan agar manusia yang mengaku beriman kepadaNya agar
masuk ke dalam Islam secara kaffah.
“Wahai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu semuanya kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya dia itu musuh yang nyata bagimu.”
(Qs. al-Baqarah 2:208)
Dan dilarang untuk beriman dengan
cara memilah dan memilih dalam mengerjakan perintah Allah swt.
Allah swt berfirman : Apakah kamu
beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang
lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
(QS Al-Baqarah 85)
Oleh karena nya, sungguh
dipertanyakan keimanan orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah swt,
mengerjakan ibadah mahdah dengan tuntunanNya, namun dalam perkara ibadah ghairu
mahdah tidak menggunakan tuntunanNya. Sebagaimana contoh di atas, ketika sholat
menghadap kiblat nya menghadap ke ka’bah, namun dalam urusan mu’amalah dan
‘uqubat kiblatnya adalah ke barat.
Padahal Allah swt berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
[Q.S. An Nisaa': 65]
Sebab turunnya ayat ini
berhubungan dengan peristiwa sebagai berikut: sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Bukhari, Muslim dan perawi-perawi lain, mereka menceritakan bahwa Zubair
bin ‘Awwam mengadukan seorang laki-laki dari kaum Ansar kepada Rasulullah saw
dalam suatu persengketaan tentang pembahagian air untuk kebun kurma. Rasulullah
memberi putusan seraya berkata kepada Zubair: “Airilah kebunmu itu lebih dahulu
kemudian alirkanlah air itu kepada kebun tetanggamu”. Maka laki-laki itu
berkata: “Apakah karena dia anak bibimu hai Rasulullah ?” Maka berubahlah muka
Rasulullah karena mendengar tuduhan tentang itu, Rasulullah berkata lagi (untuk
menguatkan putusannya) “Airilah hai Zubair, kebunmu itu sehingga air itu
meratainya, kemudian alirkanlah kepada kebun tetanggamu”. Maka turunlah ayat
ini. Wallahu A’lam bisshowab.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar