Kamis, 26 Desember 2013

Analisa Kecurangan Pemilu 2009

Jurnalis Independen: Pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan presiden (pilpres) adalah perwujudan demokrasi dimana seluruh rakyat yang sudah berhak sesuai ketentuan akan memilih para calon legislatif untuk mewakilinya di DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Melalui pilpres, rakyat akan memilih kandidat terbaik sebagai presiden Republik Indonesia.


Namun pelaksanaan pesta demokrasi itu kerap dinodai kecurangan – kecurangan hingga rekayasa canggih segala cara oleh pihak tertentu untuk dapat menangkan pemilu / pilpres dan meraih kekuasaan di Indonesia. Berikut ini saya uraikan modus – modus yang pernah dilakukan sebelumnya dan modus – modus yang akan diterapkan pada pemilu / pilpres 2014 mendatang

1. Mark up atau penggelembungan jumlah pemilih yang tercantum dalam DPT (daftar pemilih tetap). Modus ini sukses dilakukan pada pemilu / pilpres 2009. Saat itu oknum Pemerintah & KPU menggelembungkan jumlah pemilih pada DPT sekitar 21-26 juta dari total 173 juta pemilih. Indikasinya sangat jelas yakni :

Pertama : beredarnya informasi penerbitan 18 juta KTP palsu yg sempat mencuat namun tdk dapat dibuktikan. Media massa diduga berperan besar menutupi isu tersebut dengan imbalan uang suap atau kompensasi iklan menggiurkan.

Pembuktian adanya 18 juta KTP palsu memang sangat sulit karena akses terhadap perusahaan pencetak blanko KTP tidak bisa ditembus oleh masyarakat awam karena bersifat rahasia negara dan hanya pejabat tertentu yang dapat mengaksesnya.

Kedua : jumlah 173 juta pemilih 2009 tidak mencerminkan jumlah sebenarnya. Perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah WNI berhak memilih hanya sekitar 159 juta pemilih. Prediksi BPS ini Terbukti ketika pastisipasi rakyat pada pemilu tercatat sangat rendah yakni 71%. Bandingkan dengan pemilu /pilpres 2004 yang mencapai 90%.

Ketiga : penerbitan dan pencatatan KTP fiktif juga dibuktikan dengan rendahnya partisipasi rate di semua pilkada yang rata – rata hanya 55-70% saja. Dengan asumsi pemilih absen/golput maksimum 10 – 15%, masih terdapat 25 – 30 % rakyat yang indentitasnya tercatat sebagai pemilih namun secara faktual orangnya tidak ada.

Jika dicermati baik – baik dan dianalisa, maka tingkat partisipasi pemilih di pilkada adalah refleksi dari jumlah pemilih riel atau jumlah yg sebenarnya, setelah diperhitungkan jumlah warga yang abstain /golput.

2. Disamping modus menerbitkan KTP palsu, pemilih fiktif tambahan direkapitulasi dan dicatat indentitas palsunya melalui data dari KTP asli dengan megubah nomor induk kependudukan (NIK) yang tertera pada KTP asli.

3. Modus pencurangan pemilu /pilpres dengan penyebaran 21-26 juta pemilih fiktif yang dilakukan dilakukan proporsioal dan merata ke propinsi – propinsi di seluruh indonesia. Penyisipan data pemilih palsu /fiktif yang menjadi tambahan suara itu sekitar 250 ribu s/d 1 juta per propinsi.

4. KPU menggunakan sarana Informasi Teknologi Tabulasi Perhitungan Suara (ITTPS) yang sudah direkayasa sebelum pemilu 2009 dilaksanakan. Sarana ITTPS awal yang digunakan adalah ITTPS bekas, milik KPUD DKI Jakarta. Terbukti dari gambar logo di monitor ITTPS KPU yang sempat muncul dahulu, pertama sekali saat perhitungan awal ditampilkan pada monitor ITTPS Center yakni berlogo atau bergambar MONAS. Bukan logo atau gambar burung Garuda Pancasila sebagaimana mestinya.

Sarana ITTPS yang berada di Hotel Borobudur, Jakarta pada saat pertama sekali awal perhitungan suara ditampilkan adalah sarana ITTPS lama ex milik KPUD DKI yang digunakan untuk pemilu tahun 2004, bukan sarana ITTPS baru, yang dibeli dengan harga ratusan miliar rupiah melalui lelang yang diduga sarat KKN dan pernah rencananya akan diusut oleh KPK. Namun, pengusutan dugaan KKN pada lelang pengadaan IT KPU 2009 tersebut urung dilakukan dan Antasari Azhar keburu dijebloskan ke dalam penjara.

Fakta membuktikan ITTPS KPU di Hotel Borobudur tersebut tiba – tiba ‘hang’ saat jumlah hasil perhitungan suara dari daerah – daerah mulai masuk secara signifikan. Hanya karena masuk jutaan hasil perhitungan suara dari daerah, ITTPS KPU bisa jebol. Anehkan?

Sesuai informasi yang kami himpun, Sarana ITTPS ex milik KPUD DKI Jakarta itu memang kapasitasnya terbatas, diseting hanya untuk keperluan Pemilu DKI (maksimum data untuk 7 juta pemilih) dan sudah direkayasa sedemikian rupa agar ketika data suara masuk melebihi kapasitas, ITTPS tersebut pasti jebol atau ‘hang’ !

Momentum kerusakan atau gangguan sarana ITTPS KPU Centre di Hotel Borobudur memang sengaja diciptakan atau sesuai rencana agar sarana ITTPS KPU tersebut diganti dengan sarana ITTPS KPU yang baru, dimana ITTPS pengganti itu sudah diseting, direkayasa dan diprogram sistem software -nya untuk menampilkan perhitungan suara yang TIDAK sebenarnya. Yaitu perhitungan suara yang sudah direkayasa sesuai dengan input data palsu yang sudah dilakukan sebelumnya.

Tampilan hasil perhitungan suara pemilu 2004 pada monitor ITTPS KPU Center di Hotel Borobudur, Jakarta itu adalah PALSU. Namun, celakanya hasil perhitungan palsu itulah yang dijadikan dasar atau patokan perhitungan suara sah pada pemilu 2004 lalu.

5. Modus ke – 4 tidak akan sukses jika tidak didukung supporting dokumen secara fisik, yakni dokumen hasil perhitungan suara yang dikirim oleh KPUD – KPUD seluruh Indonesia. Sebab itu, kelompok atau pihak penyabot hasil pemilu 2004 juga menyiapkan dokumen – dokumen palsu yang disesuaikan dengan tampilan monitor pada ITTPS KPU Center Hotel Boorbudur, Jakarta.

Keanehan besar yang terjadi saat tampilan hasil perhitungan suara pada monitor ITTPS KPU Center 2009 lalu, dimana sarana IT canggih bernilai ratusan miliar rupiah tersebut sangat lamban memproses dan menampilkan data dari KPUD – KPUD tidak menjadi perhatian publik. Kenapa ?

6. Pembuatan dokumen – dokumen rekapitulasi suara palsu pengganti dokumen asli yang dikirim oleh KPUD melibatkan ratusan hingga ribuan oknum aparat TNI khususnya TNI – AD yang menguasai teritorial. Informasi ini kami dapatkan langsung dari otak pelaku perekayasa dokumen rekapitulasi hasil perhitungan suara KPUD.

7. Untuk mengamankan rangkaian kecurangan dan rekayasa penambahan suara fiktif, maka sistem IT KPU diseting sedemikian rupa sehingga tidak mampu menampilkan layar multiscreen khususnya saat dilakukan pemeriksaan silang data – data antar TPS. Dengan demikian, tidak dapat diketahui apakah ada pemilih ganda atau suara rekayasa /fiktif hasil dari KTP palsu.

8. KPU 2009 berkolusi dengan oknum penguasa dengan menerbitkan peraturan KPU bahwa basis perhitungan suara KPU Pusat adalah KPUD Kabupaten/Kota saja, bukan berbasis TPS seperti peraturan KPU tahun 2004.

Peraturan KPU seperti ini menyebabkan semua rangkaian penambahan belasan hingga puluhan juta suara fiktif pada pemilu 2009 tidak dapat dideteksi oleh pengawas pemilu (Panwaslu) dan rakyat Indonesia. Very smart !

9. Masih banyak lagi modus pencurangan hasil pemilu / pilpres 2009 lalu dan modus pencurangan pemilu / pilpres 2014 mendatang. Apa saja kah itu ? Nanti saya uraiankan satu per satu secara detail dan lengkap setelah modus – modus yang sudah disampaikan tadi di atas dapat dipahami, diresapi dan dimengerti. Sekian dan terima kasih.@radennur


Tidak ada komentar: