Jurnalis Independen: Pemilihan umum (pemilu) dan
pemilihan presiden (pilpres) adalah perwujudan demokrasi dimana seluruh rakyat
yang sudah berhak sesuai ketentuan akan memilih para calon legislatif untuk
mewakilinya di DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Melalui pilpres,
rakyat akan memilih kandidat terbaik sebagai presiden Republik Indonesia.
Namun pelaksanaan pesta demokrasi
itu kerap dinodai kecurangan – kecurangan hingga rekayasa canggih segala cara
oleh pihak tertentu untuk dapat menangkan pemilu / pilpres dan meraih kekuasaan
di Indonesia. Berikut ini saya uraikan modus – modus yang pernah dilakukan
sebelumnya dan modus – modus yang akan diterapkan pada pemilu / pilpres 2014
mendatang
1. Mark up atau penggelembungan
jumlah pemilih yang tercantum dalam DPT (daftar pemilih tetap). Modus ini
sukses dilakukan pada pemilu / pilpres 2009. Saat itu oknum Pemerintah &
KPU menggelembungkan jumlah pemilih pada DPT sekitar 21-26 juta dari total 173
juta pemilih. Indikasinya sangat jelas yakni :
Pertama : beredarnya informasi
penerbitan 18 juta KTP palsu yg sempat mencuat namun tdk dapat dibuktikan.
Media massa diduga berperan besar menutupi isu tersebut dengan imbalan uang
suap atau kompensasi iklan menggiurkan.
Pembuktian adanya 18 juta KTP
palsu memang sangat sulit karena akses terhadap perusahaan pencetak blanko KTP
tidak bisa ditembus oleh masyarakat awam karena bersifat rahasia negara dan
hanya pejabat tertentu yang dapat mengaksesnya.
Kedua : jumlah 173 juta pemilih
2009 tidak mencerminkan jumlah sebenarnya. Perhitungan Badan Pusat Statistik
(BPS) menyebutkan jumlah WNI berhak memilih hanya sekitar 159 juta pemilih.
Prediksi BPS ini Terbukti ketika pastisipasi rakyat pada pemilu tercatat sangat
rendah yakni 71%. Bandingkan dengan pemilu /pilpres 2004 yang mencapai 90%.
Ketiga : penerbitan dan
pencatatan KTP fiktif juga dibuktikan dengan rendahnya partisipasi rate di
semua pilkada yang rata – rata hanya 55-70% saja. Dengan asumsi pemilih
absen/golput maksimum 10 – 15%, masih terdapat 25 – 30 % rakyat yang
indentitasnya tercatat sebagai pemilih namun secara faktual orangnya tidak ada.
Jika dicermati baik – baik dan
dianalisa, maka tingkat partisipasi pemilih di pilkada adalah refleksi dari
jumlah pemilih riel atau jumlah yg sebenarnya, setelah diperhitungkan jumlah
warga yang abstain /golput.
2. Disamping modus menerbitkan
KTP palsu, pemilih fiktif tambahan direkapitulasi dan dicatat indentitas
palsunya melalui data dari KTP asli dengan megubah nomor induk kependudukan
(NIK) yang tertera pada KTP asli.
3. Modus pencurangan pemilu
/pilpres dengan penyebaran 21-26 juta pemilih fiktif yang dilakukan dilakukan
proporsioal dan merata ke propinsi – propinsi di seluruh indonesia. Penyisipan
data pemilih palsu /fiktif yang menjadi tambahan suara itu sekitar 250 ribu s/d
1 juta per propinsi.
4. KPU menggunakan sarana
Informasi Teknologi Tabulasi Perhitungan Suara (ITTPS) yang sudah direkayasa
sebelum pemilu 2009 dilaksanakan. Sarana ITTPS awal yang digunakan adalah ITTPS
bekas, milik KPUD DKI Jakarta. Terbukti dari gambar logo di monitor ITTPS KPU
yang sempat muncul dahulu, pertama sekali saat perhitungan awal ditampilkan
pada monitor ITTPS Center yakni berlogo atau bergambar MONAS. Bukan logo atau
gambar burung Garuda Pancasila sebagaimana mestinya.
Sarana ITTPS yang berada di Hotel
Borobudur, Jakarta pada saat pertama sekali awal perhitungan suara ditampilkan
adalah sarana ITTPS lama ex milik KPUD DKI yang digunakan untuk pemilu tahun
2004, bukan sarana ITTPS baru, yang dibeli dengan harga ratusan miliar rupiah
melalui lelang yang diduga sarat KKN dan pernah rencananya akan diusut oleh
KPK. Namun, pengusutan dugaan KKN pada lelang pengadaan IT KPU 2009 tersebut
urung dilakukan dan Antasari Azhar keburu dijebloskan ke dalam penjara.
Fakta membuktikan ITTPS KPU di
Hotel Borobudur tersebut tiba – tiba ‘hang’ saat jumlah hasil perhitungan suara
dari daerah – daerah mulai masuk secara signifikan. Hanya karena masuk jutaan
hasil perhitungan suara dari daerah, ITTPS KPU bisa jebol. Anehkan?
Sesuai informasi yang kami
himpun, Sarana ITTPS ex milik KPUD DKI Jakarta itu memang kapasitasnya
terbatas, diseting hanya untuk keperluan Pemilu DKI (maksimum data untuk 7 juta
pemilih) dan sudah direkayasa sedemikian rupa agar ketika data suara masuk
melebihi kapasitas, ITTPS tersebut pasti jebol atau ‘hang’ !
Momentum kerusakan atau gangguan
sarana ITTPS KPU Centre di Hotel Borobudur memang sengaja diciptakan atau
sesuai rencana agar sarana ITTPS KPU tersebut diganti dengan sarana ITTPS KPU
yang baru, dimana ITTPS pengganti itu sudah diseting, direkayasa dan diprogram
sistem software -nya untuk menampilkan perhitungan suara yang TIDAK sebenarnya.
Yaitu perhitungan suara yang sudah direkayasa sesuai dengan input data palsu
yang sudah dilakukan sebelumnya.
Tampilan hasil perhitungan suara
pemilu 2004 pada monitor ITTPS KPU Center di Hotel Borobudur, Jakarta itu
adalah PALSU. Namun, celakanya hasil perhitungan palsu itulah yang dijadikan
dasar atau patokan perhitungan suara sah pada pemilu 2004 lalu.
5. Modus ke – 4 tidak akan sukses
jika tidak didukung supporting dokumen secara fisik, yakni dokumen hasil
perhitungan suara yang dikirim oleh KPUD – KPUD seluruh Indonesia. Sebab itu,
kelompok atau pihak penyabot hasil pemilu 2004 juga menyiapkan dokumen –
dokumen palsu yang disesuaikan dengan tampilan monitor pada ITTPS KPU Center
Hotel Boorbudur, Jakarta.
Keanehan besar yang terjadi saat
tampilan hasil perhitungan suara pada monitor ITTPS KPU Center 2009 lalu,
dimana sarana IT canggih bernilai ratusan miliar rupiah tersebut sangat lamban
memproses dan menampilkan data dari KPUD – KPUD tidak menjadi perhatian publik.
Kenapa ?
6. Pembuatan dokumen – dokumen
rekapitulasi suara palsu pengganti dokumen asli yang dikirim oleh KPUD
melibatkan ratusan hingga ribuan oknum aparat TNI khususnya TNI – AD yang
menguasai teritorial. Informasi ini kami dapatkan langsung dari otak pelaku
perekayasa dokumen rekapitulasi hasil perhitungan suara KPUD.
7. Untuk mengamankan rangkaian
kecurangan dan rekayasa penambahan suara fiktif, maka sistem IT KPU diseting
sedemikian rupa sehingga tidak mampu menampilkan layar multiscreen khususnya
saat dilakukan pemeriksaan silang data – data antar TPS. Dengan demikian, tidak
dapat diketahui apakah ada pemilih ganda atau suara rekayasa /fiktif hasil dari
KTP palsu.
8. KPU 2009 berkolusi dengan
oknum penguasa dengan menerbitkan peraturan KPU bahwa basis perhitungan suara
KPU Pusat adalah KPUD Kabupaten/Kota saja, bukan berbasis TPS seperti peraturan
KPU tahun 2004.
Peraturan KPU seperti ini
menyebabkan semua rangkaian penambahan belasan hingga puluhan juta suara fiktif
pada pemilu 2009 tidak dapat dideteksi oleh pengawas pemilu (Panwaslu) dan
rakyat Indonesia. Very smart !
9. Masih banyak lagi modus
pencurangan hasil pemilu / pilpres 2009 lalu dan modus pencurangan pemilu /
pilpres 2014 mendatang. Apa saja kah itu ? Nanti saya uraiankan satu per satu
secara detail dan lengkap setelah modus – modus yang sudah disampaikan tadi di
atas dapat dipahami, diresapi dan dimengerti. Sekian dan terima kasih.@radennur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar