Kamis, 19 Desember 2013

Krisis Kepemimpinan Nasional

Oleh H.Veri Muhlis Arifuzzaman
Jurnalis Independen: Saat ini krisis kepemimpinan menjadi salah satu persoalan mendasar bangsa Indonesia. Kurang lebih satu dekade, mayoritas pemimpin yang tampil ke permukaan gagal merepresentasikan cita-cita reformasi. Berbagai indikasi seperti minimnya visi kebangsaan, pudarnya rasa tanggung jawab, maraknya kasus pelanggaran hukum jadi bukti tak terbantahkan.


Fenomena tersebut hampir merata di semua tingkat kepemimpinan mulai pusat hingga daerah. Bahkan pemimpin yang mengusung serta lahir dari rahim reformasi pun mengalami nasib serupa. Masih segar di ingatan kita sejumlah politisi nasional yang terjerat korupsi, baik berlatar partai nasionalis maupun religius-islamis

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa realitas kepemimpinan nasional belum sepenuhnya berubah dari potret buram Orde Baru. Pemimpin tetap bermental korup dan lebih mendahulukan kepentingan pribadi. Lingkaran kepentingan terangkum secara laten dalam tiga term: harta, tahta, dan wanita. Term yang sudah lama kita kenal ini seolah-olah abadi sepanjang masa.

Padahal semestinya, dengan diterapkannya sistem demokrasi langsung, kemungkinan lahirnya pemimpin berkualitas sangat besar. Rakyat bisa memilih calon pemimpin sesuai dengan yang dikehendaki. Tak peduli keturunan raja atau rakyat jelata, setiap warga negara punya hak untuk memilih dan dipilih. Kekuatan sekaligus kelebihan demokrasi langsung terletak pada kehendak rakyat dalam suatu ikatan kontraktual.

Namun demikian, sebagai sistem yang mengedepankan kehendak rakyat, demokrasi tidak bisa berjalan begitu saja. Keberadaannya perlu dikawal agar tidak terciderai praktik-praktik non-demokrasi. Praktik politik seperti penyalahgunaan kekuasaan, pembajakan instrumen hukum, money politic, intimidasi hak pemilih, termasuk pembodohan pemilih dengan embel-embel tertentu harus dieleminasi.

Selain merugikan demokrasi, praktik semacam itu potensial melahirkan pemimpin di luar idealitas bersama. Yakni, pemimpin yang dipilih bukan karena pandangan visioner atau integritas, melainkan karena lihai memainkan propaganda serta punya kekuatan modal membeli suara. Pemimpin model ini lebih tepat disebut “pemimpin massa”.

Tipologi pemimpin massa tidak punya visi kebangsaan yang mengakar. Suara rakyat hanya dianggap bungkusan produk murahan belaka. Prinsipnya, setelah suara dibeli maka tidak ada kewajiban apapun yang harus diperjuangkan. Terminologi “rakyat” digeser ke posisi “massa” untuk melegitimasi kekuasaan. Sedangkan massa tidak lain adalah sekumpulan orang yang sengaja dikondisikan tanpa kebajikan murni berjangka panjang.

Sosok Negarawan
Berbeda dengan pemimpin massa, tipologi negarawan lebih mengutamakan kepentingan rakyat keseluruhan. Sosok ini mampu berdiri di tengah perbedaan serta menjadi pemersatu semua kalangan. Keberanian menentang hasrat segelintir orang, termasuk hasrat pribadi, senantiasa melekat dalam setiap keadaan. Baginya, kekuasaan merupakan panggilan tugas dan tanggung jawab kepemimpinan sebagai wujud pengabdian.

Di zaman dahulu, pemimpin dengan sosok negarawan terdapat pada figur Soekarno dan Hatta. Dengan keahlian masing-masing, kedua pemimpin ini berhasil mengisi pos kenegaraan sesuai tuntutan dasar kebangsaan. Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia membagi kepemimpinan—di masa kemerdekaan dan sesudah revolusi—ke dalam dua tipe: solidarity maker dan problem solver. Tipikal pertama melekat pada sosok Soekarno (Soekarnoisme), sedang kedua pada Hatta (Hattaisme).

Solidarity maker dijabarkan Feith sebagai “… the leadership of revolution, however, were men of skill of another type. The revolution needed leaders with may be called integrative skill, skill in culture mediation, symbol manipulation, and mass organization… These person we shall call them ‘solidarity makers’”. Sedang tipikal problem solver dijelaskan sebagai “… for people we shall call ‘administrator’, men with administrative, legal, technical, and foreign language skills, such required for running of modern state”.

Meski tipologi kepemimpinan tersebut dibuat Feith pada tahun 60an, keduanya tetap dibutuhkan di era sekarang. Berbagai persoalan bangsa menuntut hadirnya pemimpin demikian, sehingga solidaritas nasional semakin kuat dan berbagai persoalan pemerintahan mampu teratasi.
Tentu saja, pemimpin dengan sosok negarawan mesti memiliki integritas moral. Sebab, posisi dirinya bukan sebatas pejabat, melainkan sebagai teladan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sosok inilah yang kita harapkan dengan terus membuka ruang bagi lahirnya pemimpin baru sembari mengapresiasi prestasi pemimpin yang sudah ada.@H.Veri Muhlis Arifuzzaman Ketua GEMA ORMAS MKGR Banten dan Ketua Perhimpunan Menata Tangsel


Tidak ada komentar: