Oleh H.Veri Muhlis Arifuzzaman
Jurnalis Independen: Saat ini krisis
kepemimpinan menjadi salah satu persoalan mendasar bangsa Indonesia. Kurang
lebih satu dekade, mayoritas pemimpin yang tampil ke permukaan gagal
merepresentasikan cita-cita reformasi. Berbagai indikasi seperti minimnya visi
kebangsaan, pudarnya rasa tanggung jawab, maraknya kasus pelanggaran hukum jadi
bukti tak terbantahkan.
Fenomena tersebut hampir merata di semua tingkat
kepemimpinan mulai pusat hingga daerah. Bahkan pemimpin yang mengusung serta
lahir dari rahim reformasi pun mengalami nasib serupa. Masih segar di ingatan
kita sejumlah politisi nasional yang terjerat korupsi, baik berlatar partai
nasionalis maupun religius-islamis
Kenyataan di
atas menunjukkan bahwa realitas kepemimpinan nasional belum sepenuhnya berubah
dari potret buram Orde Baru. Pemimpin tetap bermental korup dan lebih
mendahulukan kepentingan pribadi. Lingkaran kepentingan terangkum secara laten
dalam tiga term: harta, tahta, dan wanita. Term yang sudah lama kita kenal ini
seolah-olah abadi sepanjang masa.
Padahal semestinya, dengan diterapkannya sistem
demokrasi langsung, kemungkinan lahirnya pemimpin berkualitas sangat besar.
Rakyat bisa memilih calon pemimpin sesuai dengan yang dikehendaki. Tak peduli
keturunan raja atau rakyat jelata, setiap warga negara punya hak untuk memilih
dan dipilih. Kekuatan sekaligus kelebihan demokrasi langsung terletak pada
kehendak rakyat dalam suatu ikatan kontraktual.
Namun demikian, sebagai sistem yang mengedepankan
kehendak rakyat, demokrasi tidak bisa berjalan begitu saja. Keberadaannya perlu
dikawal agar tidak terciderai praktik-praktik non-demokrasi. Praktik politik
seperti penyalahgunaan kekuasaan, pembajakan instrumen hukum, money politic,
intimidasi hak pemilih, termasuk pembodohan pemilih dengan embel-embel tertentu
harus dieleminasi.
Selain merugikan demokrasi, praktik semacam itu
potensial melahirkan pemimpin di luar idealitas bersama. Yakni, pemimpin yang
dipilih bukan karena pandangan visioner atau integritas, melainkan karena lihai
memainkan propaganda serta punya kekuatan modal membeli suara. Pemimpin model
ini lebih tepat disebut “pemimpin massa”.
Tipologi pemimpin massa tidak punya visi kebangsaan
yang mengakar. Suara rakyat hanya dianggap bungkusan produk murahan belaka.
Prinsipnya, setelah suara dibeli maka tidak ada kewajiban apapun yang harus
diperjuangkan. Terminologi “rakyat” digeser ke posisi “massa” untuk
melegitimasi kekuasaan. Sedangkan massa tidak lain adalah sekumpulan orang yang
sengaja dikondisikan tanpa kebajikan murni berjangka panjang.
Sosok Negarawan
Berbeda dengan pemimpin massa, tipologi negarawan
lebih mengutamakan kepentingan rakyat keseluruhan. Sosok ini mampu berdiri di
tengah perbedaan serta menjadi pemersatu semua kalangan. Keberanian menentang
hasrat segelintir orang, termasuk hasrat pribadi, senantiasa melekat dalam
setiap keadaan. Baginya, kekuasaan merupakan panggilan tugas dan tanggung jawab
kepemimpinan sebagai wujud pengabdian.
Di zaman dahulu, pemimpin dengan sosok negarawan
terdapat pada figur Soekarno dan Hatta. Dengan keahlian masing-masing, kedua
pemimpin ini berhasil mengisi pos kenegaraan sesuai tuntutan dasar kebangsaan.
Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
membagi kepemimpinan—di masa kemerdekaan dan sesudah revolusi—ke dalam dua
tipe: solidarity maker dan problem solver. Tipikal pertama
melekat pada sosok Soekarno (Soekarnoisme), sedang kedua pada Hatta
(Hattaisme).
Solidarity maker dijabarkan Feith sebagai “… the
leadership of revolution, however, were men of skill of another type. The
revolution needed leaders with may be called integrative skill, skill in
culture mediation, symbol manipulation, and mass organization… These person we
shall call them ‘solidarity makers’”. Sedang tipikal problem solver
dijelaskan sebagai “… for people we shall call ‘administrator’, men with
administrative, legal, technical, and foreign language skills, such required
for running of modern state”.
Meski tipologi kepemimpinan tersebut dibuat Feith pada
tahun 60an, keduanya tetap dibutuhkan di era sekarang. Berbagai persoalan
bangsa menuntut hadirnya pemimpin demikian, sehingga solidaritas nasional
semakin kuat dan berbagai persoalan pemerintahan mampu teratasi.
Tentu saja, pemimpin dengan sosok negarawan mesti
memiliki integritas moral. Sebab, posisi dirinya bukan sebatas pejabat,
melainkan sebagai teladan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sosok inilah
yang kita harapkan dengan terus membuka ruang bagi lahirnya pemimpin baru
sembari mengapresiasi prestasi pemimpin yang sudah ada.@ H.Veri Muhlis Arifuzzaman Ketua GEMA ORMAS MKGR Banten dan Ketua Perhimpunan Menata Tangsel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar