Jumat, 20 Desember 2013

Komnas Perempuan Bikin Agama Seperti Partai

Jurnalis Independen: Bagi Komnas Perempuan dan Penganut Kepercayaan, UU Adminduk produk hukum yang diskriminatif, sebab tidak mencakup keseluruhan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia, dengan dalih itu, Yuniyanti Chuzaifah menginginkan pembentukan agama-agama baru semudah pembentukan partai.
Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah dan Agama Penghayat Kepercayaan (APK) bertameng Hak Asasi Manusia (HAM) dan UUD 45 tolak UU Adminduk. Sidarto Danusubroto sebagai Ketua Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) mempersilahkan mengajukan Judicial Review.

Namun,  menyarankan agar penghayat kepercayaan yang diwakili oleh Komnas Perempuan untuk mengajukan Judicial Review terhadap Undang-undang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Sebab, MPR tak punya kewenangan untuk merevisi UU itu.

“Kalau agama kepercayaan yang sudah ada di Indonesia sejak lama, jadi sekiranya suatu UU itu tabrakan dengan UUD, Komnas Perempuan bisa ajukan uji materi ke MK bahwa ada benturan di dalamnya,” ujar Sidarto saat menemui penghayat kepercayaan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (20/12).

Sidarto menyatakan, jika dirinya sangat menghargai keberagaman agama yang ada di Indonesia. Termasuk aliran Ahmadiyah yang dengan senang hati diterima untuk berdiskusi.

“Bagi saya sendiri, Syiah, Sunni, Ahmadiyah saya terima di sini. Saya sudah cukup banyak mendengar mengenai HAM ini. Mereka menyampaikan bahwa kita kurang memberikan perlindungan pada kaum minoritas,” tutur dia.

Menyikapi persoalan ini, Sidarto pun meminta agar negara tidak tinggal diam. Apalagi, UU yang menyangkut soal kepercayaan masing-masing warga negara yang diatur dalam UUD 1945.

“Bagi saya, kita wajib melindungi setiap warga negara, kita tidak melihat agama ini itu dan kepercayaan apa. Satu orang pun kita harus lindungi mereka, ini perintah konstitusi,” tegas dia.

Sebelumnya, Komnas Perempuan dan Penghayat Kepercayaan datang ke MPR untuk mengadukan UU Adminduk yang dinilai diskriminatif.

Dalam salah satu pasalnya, menyatakan bahwa bagi masyarakat yang memiliki keyakinan di luar 6 agama yang diakui pemerintah, kolom agama di KTP dikosongkan. Sementara, banyak masyarakat yang punya keyakinan di luar 6 agama yang diakui pemerintah yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Aturan ini membuat masyarakat yang punya kepercayaan di luar agama yang diakui merasa dikucilkan. Bahkan anak-anak mereka kesulitan dalam mengenyam pendidikan agama karena aturan itu.

Terkait penolakan yang dilakukan Komnas Perempuan atas “suruhan Agama Penganut Kepercayaan (APK)”, DPR telah mengesahkan amandemen RUU Administrasi Kependudukan (Adminduk) akhir bulan lalu. Namun UU tersebut, menuai pro dan kontra.

Khususnya dalam pasal yang menyangkut diperbolehkannya kolom agama tak diisi jika memiliki kepercayaan di luar yang diakui pemerintah. Diketahui, hanya enam agama yang diakui pemerintah yakni, Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu.

Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Penghayat kepercayaan dan Komnas Perempuan pun protes tentang aturan itu. Mereka pun mengadu dan meminta keadilan ke MPR.

Sekjen Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika Nia Syarifuddin menilai, UU tersebut sangat diskriminatif. Sementara banyak agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, bahkan sudah ada sebelum Tanah Air merdeka.

“Sangat disayangkan proses amandemen rasanya sangat sepi tidak pernah melibatkan partisipasi penghayat yang sesungguhnya jadi korban diskriminasi,” ujar Nia di depan pimpinan MPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (20/12).

Keluh kesah tentang UU Adminduk juga diungkapkan oleh Pemeluk keyakinan Sunda Wiritan, Dewi Kanti. Dia menceritakan, karena UU ini anak-anak di sekolah menjadi sulit mendapatkan pelajaran tentang agama Sunda Wiritan.

“Guru di sekolah anak-anak kami justru menjadi, ada ketidakberanian para guru untuk menerima soal-soal agama yang kami ajukan. Sebetulnya 2 tahun terakhir kami bisa berikan soal agama (Sunda Wiritan),” ungkap dia.

Dia menilai, UU Adminduk ini justru tak menghormati keanekaragaman masyarakat Indonesia. Padahal, dalam UUD 1945 jelas, bahwa keyakinan adalah hak setiap warga negara.

“Gara-gara Adminduk daerah marah, jadi langkah mundur saya pikir. Ini mengulang kegagalan tahun 1976. Saya berharap, kami ingin memperjuangkan hak konstitusi kami. Saya berharap ada kebijakan pemantauan khusus legislatif, saya pikir beliau (anggota DPR) sangat kurang memahami kondisi masyarakat kami,” tegas dia.

Dalam pertemuan itu, penghayat kepercayaan yang hadir dari berbagai daerah di tanah air ditemui langsung oleh Ketua MPR Sidarto Danusubroto dan Wakil Ketua MPR Melani Leimena Suharli.@


Tidak ada komentar: