Jurnalis Independen: Bagi Komnas Perempuan dan Penganut Kepercayaan, UU Adminduk produk hukum yang diskriminatif, sebab tidak mencakup keseluruhan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia, dengan dalih itu, Yuniyanti Chuzaifah menginginkan pembentukan agama-agama baru semudah pembentukan partai.
Komnas Perempuan Yuniyanti
Chuzaifah dan Agama Penghayat Kepercayaan (APK) bertameng Hak Asasi Manusia
(HAM) dan UUD 45 tolak UU Adminduk. Sidarto Danusubroto sebagai Ketua Majelis
Perwakilan Rakyat (MPR) mempersilahkan mengajukan Judicial Review.
Namun, menyarankan agar penghayat kepercayaan yang
diwakili oleh Komnas Perempuan untuk mengajukan Judicial Review terhadap
Undang-undang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Sebab, MPR tak punya
kewenangan untuk merevisi UU itu.
“Kalau agama kepercayaan yang
sudah ada di Indonesia sejak lama, jadi sekiranya suatu UU itu tabrakan dengan
UUD, Komnas Perempuan bisa ajukan uji materi ke MK bahwa ada benturan di
dalamnya,” ujar Sidarto saat menemui penghayat kepercayaan di Kompleks
Parlemen, Jakarta, Jumat (20/12).
Sidarto menyatakan, jika dirinya
sangat menghargai keberagaman agama yang ada di Indonesia. Termasuk aliran
Ahmadiyah yang dengan senang hati diterima untuk berdiskusi.
“Bagi saya sendiri, Syiah, Sunni,
Ahmadiyah saya terima di sini. Saya sudah cukup banyak mendengar mengenai HAM
ini. Mereka menyampaikan bahwa kita kurang memberikan perlindungan pada kaum
minoritas,” tutur dia.
Menyikapi persoalan ini, Sidarto
pun meminta agar negara tidak tinggal diam. Apalagi, UU yang menyangkut soal
kepercayaan masing-masing warga negara yang diatur dalam UUD 1945.
“Bagi saya, kita wajib melindungi
setiap warga negara, kita tidak melihat agama ini itu dan kepercayaan apa. Satu
orang pun kita harus lindungi mereka, ini perintah konstitusi,” tegas dia.
Sebelumnya, Komnas Perempuan dan
Penghayat Kepercayaan datang ke MPR untuk mengadukan UU Adminduk yang dinilai
diskriminatif.
Dalam salah satu pasalnya,
menyatakan bahwa bagi masyarakat yang memiliki keyakinan di luar 6 agama yang
diakui pemerintah, kolom agama di KTP dikosongkan. Sementara, banyak masyarakat
yang punya keyakinan di luar 6 agama yang diakui pemerintah yakni Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Aturan ini membuat masyarakat
yang punya kepercayaan di luar agama yang diakui merasa dikucilkan. Bahkan
anak-anak mereka kesulitan dalam mengenyam pendidikan agama karena aturan itu.
Terkait penolakan yang dilakukan
Komnas Perempuan atas “suruhan Agama Penganut Kepercayaan (APK)”, DPR telah
mengesahkan amandemen RUU Administrasi Kependudukan (Adminduk) akhir bulan
lalu. Namun UU tersebut, menuai pro dan kontra.
Khususnya dalam pasal yang
menyangkut diperbolehkannya kolom agama tak diisi jika memiliki kepercayaan di
luar yang diakui pemerintah. Diketahui, hanya enam agama yang diakui pemerintah
yakni, Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu.
Aliansi Nasional Bhineka Tunggal
Ika, Penghayat kepercayaan dan Komnas Perempuan pun protes tentang aturan itu.
Mereka pun mengadu dan meminta keadilan ke MPR.
Sekjen Aliansi Nasional Bhineka
Tunggal Ika Nia Syarifuddin menilai, UU tersebut sangat diskriminatif.
Sementara banyak agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, bahkan sudah ada
sebelum Tanah Air merdeka.
“Sangat disayangkan proses
amandemen rasanya sangat sepi tidak pernah melibatkan partisipasi penghayat
yang sesungguhnya jadi korban diskriminasi,” ujar Nia di depan pimpinan MPR di
Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (20/12).
Keluh kesah tentang UU Adminduk
juga diungkapkan oleh Pemeluk keyakinan Sunda Wiritan, Dewi Kanti. Dia
menceritakan, karena UU ini anak-anak di sekolah menjadi sulit mendapatkan
pelajaran tentang agama Sunda Wiritan.
“Guru di sekolah anak-anak kami
justru menjadi, ada ketidakberanian para guru untuk menerima soal-soal agama
yang kami ajukan. Sebetulnya 2 tahun terakhir kami bisa berikan soal agama
(Sunda Wiritan),” ungkap dia.
Dia menilai, UU Adminduk ini
justru tak menghormati keanekaragaman masyarakat Indonesia. Padahal, dalam UUD
1945 jelas, bahwa keyakinan adalah hak setiap warga negara.
“Gara-gara Adminduk daerah marah,
jadi langkah mundur saya pikir. Ini mengulang kegagalan tahun 1976. Saya
berharap, kami ingin memperjuangkan hak konstitusi kami. Saya berharap ada
kebijakan pemantauan khusus legislatif, saya pikir beliau (anggota DPR) sangat
kurang memahami kondisi masyarakat kami,” tegas dia.
Dalam pertemuan itu, penghayat
kepercayaan yang hadir dari berbagai daerah di tanah air ditemui langsung oleh
Ketua MPR Sidarto Danusubroto dan Wakil Ketua MPR Melani Leimena Suharli.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar