Kamis, 30 Oktober 2014

Pilpres Setelah Runtuhnya Orde Baru


Di Balik Mundurnya Yusril Sebagai Capres 1999
Jurnalis Independen: Yusril Ihza Mahendra pada pemilihan Presiden di sidang MPR 20 Oktober 1999 secara dramatis mengundurkan diri sebagai capres. Tersisa dua kandidat, Megawati Soekarno Putri dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.


Banyak analisa, mundurnya Yusril adalah skenario Poros Tengah yang digagas Amien Rais untuk menghadang Megawati.

Ternyata, ada kisah berbeda, seperti diceritakan Yusril dalam diskusi Inilah Demokrasi dengan tema, 'PBB Dan Masa Depan Politik Neo-Masyumi' di Kantor INILAH.COM, Jl Rimba Buntu, Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (24/11/2013).

Yusril membongkar kisah di balik pengunduran dirinya. Berbeda dari pemahaman kebanyakan orang.

Yusril menegaskan, Partai Bulan Bintang (PBB) yang saat 1999 dia adalah Ketua Umum DPP, tidak tergabung dalam Poros Tengah. Yusril dan PBB tidak sepakat hingga akhir Poros Tengah itu. Bahkan, sampai wacana itu muncul lagi, Yusril dan PBB yang dipimpin MS Ka'ban, tidak tertarik dengan isu Poros Tengah jilid II.

Pada 7 Oktober 1999, Amien Rais sudah mengumumkan Poros Tengah mendukung Gus Dur. Hingga pada pidato pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie 19 Oktober 1999, MPR menolaknya.

Pada 20 Oktober 1999, dilakukan pemilihan Presiden melalui sidang MPR. Saat itu belum pemilu langsung.

Beberapa kejadian pada dini hari 20 Oktober 1999, diceritakan oleh Yusril. Berkumpul di kediaman BJ Habibie sekitar pukul 00.30 Wib. Habibie berdebat hebat dengan Marwah Daud. Marwah tetap meminta Habibie jadi Presiden. Habibie dengan tegas tidak mau apalagi pertanggungjawabannya ditolak.

Tokoh lainnya seperti Ketua Umum DPP Golkar Akbar Tanjung tidak bersedia. Ginanjar Kartasasmita juga sama. Hamzah Haz mengaku tidak enak dengan Gus Dur. Praktis, hanya Yusril yang bersedia dan sudah melengkapi persyaratan capres seperti tertara dalam TAP MPR.

"Ketika pak Habibie ditolak pertanggungjawabannya, saya sudah siap berkas-berkasnya pencalonan Presiden. Saya lengkapi komplit semuanya. Peta politik tiba-tiba berubah drastis malam itu," kenang Yusril.

Dalam pertemuan itu, Amien Rais dipanggil. Amien baru datang jam 04.00 Wib, masih pada 20 Oktober 1999 subuh. Amien tidak bersedia menjadi Presiden karena sudah mengusung Gus Dur. Tapi dia meminta waktu bertemu Gus Dur.

Pagi harinya sekitar pukul 06.00 Wib, dari kediaman Habibie, Yusril memilih untuk ke MPR, menyerahkan berkas pencalonan. Habibie juga sudah yakin Yusril yang maju.

Dengan memeluk Yusril, Habibie menyatakan siap mendukung Yusril dan mengarahkan kekuatannya di Golkar dan Fraksi TNI serta utusan daerah, mendukung Yusril.

"Waktu itu dia (BJ Habibie) bilang kalau kau maju saya akan perintahkan TNI, perintahkan Golkar, alihkan dukungan pada saya. Tapi saudara akan mengalami problema. Saudara harus terima Wiranto sebagai wakil anda (Wapres). Itu omongannya Habibie,".

Yusril meluncur ke gedung MPR/DPR/DPD di senayan. Pukul 06.30 Wib, Yusril telah menyerahkan berkas. Dia yang pertama. Batas akhir sesuai TAP MPR adalah pukul 07.00 Wib atau masih ada 30 menit lagi.

Hingga waktu yang ditentukan, tidak ada yang masuk. Berkas Gus Dur dan Megawati tidak masuk. Yusril dan timnya yakin hanya ada capres tunggal dan otomatis secara aklamasi akan ditetapkan.

Namun, beberapa saat sebelum sidang paripurna MPR tersebut, Yusril terus di desak mundur. Yusril sudah curiga saat itu, di pagi 20 Oktober 1999 sebelum sidang pemilihan Presiden.

Yusril didesak untuk mundur. Bahkan, sampai terpojok ke dinding. Bahkan, termasuk oleh sejumlah politisi PBB sendiri.

"Waktu itu ada Fuad Bawazir (PAN, sekarang di Hanura), AM Fatwa (PAN sekarang anggota DPD). Termasuk dalam partai saya sendiri Hartono Marjono yang ngotot kalau you tidak mundur saya akan umumkan PBB pecah. Saya Sumargono dan lain-lain yang akan tarik (dukungan ke PBB),".

Hanya beberapa menit waktu untuk berpikir. Sebab, sidang paripurna akan segera dibuka. Dia dihadapkan pada keputusan sulit apakah memilih tetap maju dan yakin menang atau PBB terpecah.

Yusril kembali memikirkan pernyataan Habibie. Dia kalkulasi dukungan itu, dia yakin menang untuk maju ke putaran kedua.

"Saya hitung memang lumayan besar. Saya dapat 232, Gus Dur 185, Mega 306. Jadi kalau babak pertama, Gus Dur pasti out. Kalau saya berdua dengan Mega (maju putaran kedua, red), terserah bagaimana,".

Hingga akhirnya, dia menafikkan hitung-hitungan itu. Walau dirinya mengaku heran karena harusnya calon tunggal sebab tidak ada berkas Megawati dan Gus Dur dalam pencalonan. Namun, Amien Rais menyebut dalam sidang MPR itu, ada tiga calon.

"Saya sudah buka di MPR. Pagi itu kan jam 9 ada 3 (capres). Saya buka file. Gus Dur sama Mega enggak ada syarat-syarat menjadi Presiden. Itu TAP MPR. Saya komplit semua dan dua (Gus Dur dan Megawati) itu tidak. Sebenarnya kalau jujur, saat itu calonnya cuma satu. Dan menurut TAP MPR waktu itu harus disahkan dan dianggap aklamasi. Nanti dibukalah file-file. Dan nanti ditanya pada Amien Rais mengapa anda bisa berdusta,".

Hingga, sebelum Amien Rais membuka sidang, Ketua Umum DPP PAN itu mempersilahkan Yusril berbicara. Saat itu juga, Yusril mengumumkan pengunduran dirinya dan menyerahkan suaranya untuk Gus Dur. (gus


Paket Capres dan Cawapres

Oleh: Chusnan Maghribi


Di tengah hiruk-pikuk 24 partai politik (parpol) mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengikuti pemilihan anggota legislatif awal April 2004, parpol-parpol besar khususnya kini juga bersiap meraih sukses dalam perebutan kursi presiden dan wakil presiden Oktober mendatang.

Mereka sibuk berkonsolidasi, baik internal maupun eksternal, untuk menetapkan paket calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) terbaiknya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 1 Mei 2004 sebagai dimulainya sejumlah parpol besar melaporkan pasangan capres-cawapresnya.

Pemilihan presiden beserta wakilnya tahun ini memang sangat istimewa. Sebab untuk pertama kalinya dalam sejarah NKRI mereka dipilih langsung oleh rakyat. Beda dari presiden dan wapres sebelumnya yang dipilih PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), dan MPR.

Sejak merdeka 17 Agustus 1945, Indonesia memiliki lima presiden, empat dari kalangan sipil (Soekarno, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati) dan satu berasal dari militer (Soeharto). Jika rentang waktunya dihitung, masa pemerintahan presiden sipil 28 tahun (1945-1967 dan 1998-2004), sedangkan militer 31 tahun (1967-1998).

Sementara itu, wapresnya sebanyak sembilan orang, enam dari sipil (Mohammad Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, BJ Habibie, Megawati, dan Hamzah Haz) dan tiga militer (Soedarmono, Umar Wirahadikusumah, dan Try Sutrisno). Dua wapres (Habibie dan Megawati) berhasil naik pangkat menduduki kursi presiden akibat pengunduran diri dan pemecatan (oleh MPR) presiden sebelumnya.

Dalam kurun waktu 57 tahun, tercatat Gus Dur dan Megawati betul-betul maju sampai pemilihan final di MPR sebagai capres (1999), sedangkan sebagai cawapres, cuma Hamzah Haz dan Akbar Tandjung (2001). Selebihnya dipilih secara aklamasi.

Terkait dengan isu Jawa-luar Jawa, dari lima presiden hanya satu yang berasal dari luar Jawa (Habibie, Sulawesi Selatan), sedangkan empat sisanya dari Jawa. Untuk wapres, dari sembilan wapres empat di antaranya dari luar Jawa (Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat) dengan masa kekuasaan sekitar 19 tahun. Selebihnya dari Jawa dengan masa kekuasaan 21 tahun. Selama sekitar 16 tahun (1956-1971 dan 1998-1999) RI tak mempunyai wapres.

Dari segi ideologi, Habibie dan Gus Dur tercatat mewakili sosok presiden religius, meski keduanya membungkus religiositasnya dalam tampilan nasionalis-religius. Selebihnya berideologi nasionalis murni. Di jajaran wapres, tripel H (Hatta, Habibie, dan Hamzah) mewakili sosok religius, baik puritan maupun setengah puritan. Sisanya nasionalis murni.

Dalam konteks itu, politik aliran sebagai pertimbangan parpol menetapkan capres-cawapresnya cukup menarik untuk diperhatikan. Barangkali yang paling getol mengangkat wacana paket capres-cawapres nasionalis religius adalah PDI- P dengan mencari cawapres dari kalangan nasionalis, religius saja, atau nasionalis-religius sekaligus.

Sementara itu, Partai Golkar mengedepankan konvensi nasional guna menjaring paket capres-cawapres dari bawah. Pola ini pernah digunakan Golkar pada era Orba, saat Harmoko menyatakan rakyat mencalonkan Soeharto sebagai capres tunggal melalui survei dua bulan pada 1997.

Polling Sugeng Sarjadi Syndicated dan Dr Arief Budiman Maret 2003 mengeluarkan sejumlah kalkulasi pemilihan capres dan cawapres 2004. Keduanya mencantumkan kriteria nasionalis-religius sebagai tolok ukur, baik di tingkat elite parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling. Dengan begitu, elite dan masyarakat seolah masih larut dalam paradigma lama bahwa ukuran kemenangan politik sipil ditentukan oleh gabungan dua aliran besar di Indonesia itu. Hal ini menunjukkan betapa teori sirkulasi elite belum berubah, setidaknya sejak 1959.

Intervensi pola sipil-militer dan militer-militer selama 31 tahun seakan tak berpengaruh apa-apa, di tengah isyarat makin kuatnya aspirasi kembali ke era Soeharto dan militer di kalangan masyarakat menengah ke bawah sekarang.

Paket capres-cawapres nasionalis religius tadi seakan mengasumsikan yang nasionalis bukan religius, sedangkan yang religius bukan nasionalis. Keduanya diposisikan diametral dan divergen/berbeda (Indra J Piliang, CSIS, 2003). Padahal perlu dibongkar kembali apakah nasionalisme itu aliran, paham ataukah ideologi yang pantas disandingkan dengan aliran religi demi tujuan-tujuan politik.

Apakah pakem ini merupakan tipikal signifikan dalam proses modernisasi sistem politik Indonesia, mengingat kalangan nasionalis-religius jauh dari kebijakan yang seharusnya diambil saat memerintah?

Di banyak negara luar, kalau ideologi itu mendikotomikan antara liberal dan sosialis, kelompok liberal dengan partai buruh, atau antara demokrat dan konservatif, pengaruhnya langsung tampak pada pengambilan kebijaksanaan. Di negara kita, berbagai kebijakan yang diambil juga bersentuhan dengan paham atau ideologi yang dianut, meski sering menonjolkan sisi personal, bukan basis ideologi parpol pendukungnya.

Presiden Habibie dikenal liberal dalam regulasi politiknya, termasuk dalam penyelesaian Timor Timur, dan kebiasaan peluk ciumnya. Gus Dur cenderung populis, terutama dalam pemberian otonomi khusus Aceh dan Papua. Soekarno terkenal antipasar bebas, sedangkan Soeharto proliberalisasi pasar.

Itu maksudnya, pada masa-masa tersebut setiap presiden mampu memengaruhi pilihan-pilihan kebijakan yang diambil, termasuk menyangkut hubungan luar negeri, meski bukan dalam arti paham atau ideologi yang dianut. Terkait dengan Islam, misalnya, Gus Dur membiarkan banyak kelompok Islam berdemo sampai ke Istana Negara. Adapun Megawati bersikap keras dengan melakukan penahanan, tapi faktor nasionalis-Islam terus diusung dengan simbol utama Hamzah Haz.

Walaupun menggabungkan dua kekuatan sekaligus (nasionalis-religius), rezim Megawati-Hamzah tak tampak bisa mengarahkan pemerintahannya selaras kriteria itu. Tipikal nasionalis tulen semacam Soekarno tak kelihatan di diri Megawati, khususnya di bidang ekonomi.

Sementara itu, ciri religiositas juga tak menonjol, baik dalam arti perhatian terhadap masyarakat marginal maupun dalam usaha meredam beragam kegiatan amoral seperti perjudian, pornografi, narkoba, sampai kebobrokan moral pengusaha dan pemerintah. Penerapan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam hanya meneruskan kebijakan Gus Dur.

Lantas, untuk menetapkan paket capres-cawapres oleh masing-masing parpol besar khususnya, model koalisi apa yang mesti dibangun? Sebaiknya, model politik aliran ditinggalkan. Begitu halnya pola dikotomi sipil-militer, Jawa-luar Jawa, serta jargon Orla-Orba-Reformasi.

Empat wapres yang dinilai cukup berhasil (Hatta, Sultan HB IX, Adam Malik, dan Habibie) berasal dari sipil. Keempatnya juga bukan mewakili unsur magis dan tradisional, melainkan unsur rasionalitas, pengetahuan, empirisme, dan profesionalisme.

Dikotomi Orla-Orba juga tak relevan. Sultan HB IX, misalnya, dapat menjaga jarak dari dua orde yang dekat dengannya dengan membenahi sektor sosial dan budaya kemasyarakatan. Adam Malik pernah berjasa dalam pembangunan hubungan politik luar negeri, khususnya di tingkat ASEAN, walau melintasi dua orde.

Kalangan sipil pun banyak berperan dalam membidani kelahiran NKRI. Bila dihitung nama per nama, itu bisa menjadi sebuah deretan panjang. Mulai dari Soekarno, Hatta, Moh Yamin, sampai Agus Salim dan Soedjatmoko.

Karena itu, penetapan capres-cawapres dengan hanya mematok dari kalangan parpol saja sangatlah tidak bijaksana. Indra J Piliang bahkan menyebutnya sebentuk arogansi. Meski UUD 1945 menegaskan capres-cawapres berasal dari parpol atau gabungan parpol, hal itu hanya sebagai perantara. Penjaringan capres-cawapres hendaknya terarah pada pemberian kesempatan bagi anak-anak bangsa terbaik untuk menyampaikan visi, misi, prestasi, keahlian hingga isu-isu human interest, sebagai bentuk pengumpulan collective idea dan collective power di tubuh nation state RI.

Model konvensi nasional yang ditempuh Partai Golkar untuk menjaring capres-cawapres terbaik 2004, barangkali model yang pas untuk menetapkan paket capres-cawapres yang ideal dan terbaik bagi parpol-parpol besar. Ke depan, tak ada salahnya kalau model konvensi nasional itu juga ditempuh parpol selain Golkar untuk menetapkan paket capres-cawapres terbaiknya.

Toh, Partai Demokrat dan Republik di Amerika Serikat, negeri yang acap kali dijadikan parameter kematangan praktik demokrasi, sama-sama menggelar konvensi nasional guna menetapkan pasangan capres-cawapres terbaiknya untuk memenangkan pemilihan presiden secara langsung yang digelar sekali dalam empat tahun itu. *Chusnan Maghribi, peminat masalah politik CIIS di Yogyakarta


Capres-Cawapres Pada Pemilu 2009
Sabtu, 30 Mei 2009

Pengundian nomor urut pada pemilu presiden 2009 telah dilaksanakan . Pasangan Megawati Soekarno Putri mendapat nomor urut 1, sedangkan pasangan Capres cawapres Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mendapatkan nomor urut 2 dan nomor urut ke 3 didapat pasangan capres dan cawapres M. Jusuf Kalla dan Wiranto.

Apakah terdapat makna dari urutan nomor tersebut ??? tentunya mereka mengatakan bahwa nomor urut yang mereka dapatkan saat ini akan memberikan keberuntungan pada pemilu presiden 8 juli mendatang. Apapun maknanya dari urutan tersebut.

Sedikit uraian tentang makna dari angka tersebut antara lain Angka satu bisa dimaknai satu rasa, manunggal, punya pendirian. Angka dua, dari sisi positifnya juga mengandung kebaikannya sendiri. Dua ibarat hakikat kehidupan ini, ada laki dan perempuan, ada siang dan malam, ada kebaikan dan kejahatan. Jadi dua seolah sempurna.

Angka tiga juga tidak kalah bagusnya. Tiga ibarat timbangan; ada yang di tengah sebagai penyeimbang dan dua di sisi kanan kirinya. Mendapat anugerah angka tiga, bisa dimaknai akan mampu membawa keadilan. Demikian pula untuk angka-angka berikutnya; empat, lima, dan seterusnya punya kebaikan masing-masing.

Membicarakan kemungkinan-kemungkinan di balik angka tidak akan ada habisnya. Bahkan akan mendorong munculnya perdebatan seru. Namun yang pasti setiap angka tetaplah membawa keberuntungan bagi masing-masing orang.

Contohnya angka 13. Meski saat ini banyak yang menyakini angka tersebut pembawa sial, tapi bagi orang-orang tertentu, angka tersebut katanya justru membawa keberuntungan.
Persoalan angka, lagi-lagi menjadi perbincangan menarik menyusul penetapan nomor urut partai politik peserta Pemilu (Pemilihan Umum) dan pasangan calon peserta Pilpres (Pemilihan Presiden).

Dulu, Wiranto yang partai Hanura-nya mendapat nomor satu, menyatakan beruntung karena nomor satu akan mudah diingat. Sementara PKB yang mendapat nomor urut 13 tidak khawatir akan mendapat masalah. Partai ini justru menyatakan angka tersebut akan membuat mereka beruntung.

Demikian pula partai-partai lain, meski dalam hati kecil pengurusnya ada yang tidak sreg (nyaman) dengan angka urutannya, namun ekspresi mereka tetap menyatakan keoptimisannya dengan angka yang mereka peroleh. Mau tidak mau mereka harus menerima angka yang sudah dipilihnya, dan menyakininya ada sisi-sisi keberuntungan yang dibawa angka-angka tersebut.

Soal nomor urut, Jumat (29/5/09), menjadi penantian dan perhatian utama bangsa Indonesia. Dalam rapat pleno terbukanya, KPU (Komisi Pemilihan Umum) menetapkan nomor urut 3 pasang calon Presiden RI dan wakilnya. Ketiga pasangan itu bakal berebut ratusan juta suara masyarakat.

Pasangan Mega-Pro mendapat nomor 1. Pasangan yang sering diplesetkan sebagai jenis sepeda motor ini akankah secepat dan setangguh motor tersebut dalam menangguk suara hingga jadi nomor satu?

Incumbent SBY yang memilih Boediono menjadi pasangannya mendapat nomor urut 2. Mungkinkah angka dua yang berarti di tengah-tengah bakal menguntungkan pasangan ini. Angka di tengah katanya bisa jadi “penyimbang” (keadilan) bagi warga pemilih…

Sedangkan pasangan JK-WIN yang juga sering diplesetkan sebagai jenis sepeda motor mendapat nomor urut 3. Pasangan ini berbau kata-kata “Menang” (win). Mungkinkah nomor urut 3 akan membuat nasibnya seberuntung “win”? Waktu nanti yang akan membuktikannya.@@@



KPU Tetapkan Nomor Urut Pasangan Capres-Cawapres Pemilu 2014

Jurnalis Independen: Tanggal : 01 Jun 2014. Pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta dan Pasangan Capres-Cawapres Jokowi-JK berfoto bersama usai mengikuti proses pengambilan nomor urut dalam Pilpres 2014, 9 Juli mendatang

Jakarta, kpu.go.id- Hasil pengundian pasangan Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Cawapres) dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Tahun 2014 yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Minggu (1/6), menetapkan, pasangan Prabowo Subianto- Hatta Rajasa sebagai pasangan Capres dan Cawapres nomor  urut 1 (satu) dan pasangan Joko Widodo-Yusuf Kalla sebagai pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 2 (dua).

Hasil tersebut secara resmi ditetapkan oleh KPU RI melalui Keputusan KPU Nomor 454/Kpts/KPU/TAHUN 2014 Tentang Penetapan Daftar Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pada Pemilihan Umum Tahun 2014, sebagaimana dibacakan oleh Ketua KPU Husni Kamil Manik, di kantor KPU Jl Imam Bonjol No. 29 Jakarta.

Dengan ditetapkannya kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tersebut, Ketua KPU secara khusus menghimbau kepada kedua pasangan capres dan cawapres dan tim sukses masing-masing pasangan untuk tidak melakukan kegiatan kampanye sebelum masa kampanye yaitu pada tanggal 4 Juni 2014 sampai dengan 5 Juli 2014 dimulai.

“Kita masih menyisakan dua hari ke depan sebelum masa kampanye dimulai. Untuk itu, kami (KPU) berharap kedua pasangan capres dan cawapres dan tim sukses masing-masing pasangan untuk tidak melakukan kegiatan kamapanye,” tegas Husni.

Ia juga mengharapkan agar masa kampanye tersebut dimanfaatkan secara baik, dan tidak melakukan kegiatan kampanye yang mendiskreditkan atau memojokkan salah satu pasangan capres dan cawapres.
“Mari kita bersama-sama menyelenggarakan tahapan pemilu yang tersisa dan kegiatan kampanye dengan penuh tanggung jawab, serta menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasil, sehingga dapat memberikan pendidikan politik yang baik dan beretika kepada masyarakat Indonesia” ujarnya. (ris/red. FOTO KPU/dosen/Hupmas)

Tidak ada komentar: