Kamis, 30 Oktober 2014

Sejarah Paket Capres dan Cawapres

Jurnalis Independen: DI tengah hiruk-pikuk 24 partai politik (parpol) mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengikuti pemilihan anggota legislatif awal April 2004, parpol-parpol besar khususnya kini juga bersiap meraih sukses dalam perebutan kursi presiden dan wakil presiden Oktober mendatang.
Mereka sibuk berkonsolidasi, baik internal maupun eksternal, untuk menetapkan paket calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) terbaiknya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 1 Mei 2004 sebagai dimulainya sejumlah parpol besar melaporkan pasangan capres-cawapresnya.

Pemilihan presiden beserta wakilnya tahun ini memang sangat istimewa. Sebab untuk pertama kalinya dalam sejarah NKRI mereka dipilih langsung oleh rakyat. Beda dari presiden dan wapres sebelumnya yang dipilih PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), dan MPR.

Sejak merdeka 17 Agustus 1945, Indonesia memiliki lima presiden, empat dari kalangan sipil (Soekarno, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati) dan satu berasal dari militer (Soeharto). Jika rentang waktunya dihitung, masa pemerintahan presiden sipil 28 tahun (1945-1967 dan 1998-2004), sedangkan militer 31 tahun (1967-1998).

Sementara itu, wapresnya sebanyak sembilan orang, enam dari sipil (Mohammad Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, BJ Habibie, Megawati, dan Hamzah Haz) dan tiga militer (Soedarmono, Umar Wirahadikusumah, dan Try Sutrisno). Dua wapres (Habibie dan Megawati) berhasil naik pangkat menduduki kursi presiden akibat pengunduran diri dan pemecatan (oleh MPR) presiden sebelumnya.

Dalam kurun waktu 57 tahun, tercatat Gus Dur dan Megawati betul-betul maju sampai pemilihan final di MPR sebagai capres (1999), sedangkan sebagai cawapres, cuma Hamzah Haz dan Akbar Tandjung (2001). Selebihnya dipilih secara aklamasi.

Terkait dengan isu Jawa-luar Jawa, dari lima presiden hanya satu yang berasal dari luar Jawa (Habibie, Sulawesi Selatan), sedangkan empat sisanya dari Jawa. Untuk wapres, dari sembilan wapres empat di antaranya dari luar Jawa (Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat) dengan masa kekuasaan sekitar 19 tahun. Selebihnya dari Jawa dengan masa kekuasaan 21 tahun. Selama sekitar 16 tahun (1956-1971 dan 1998-1999) RI tak mempunyai wapres.

Dari segi ideologi, Habibie dan Gus Dur tercatat mewakili sosok presiden religius, meski keduanya membungkus religiositasnya dalam tampilan nasionalis-religius. Selebihnya berideologi nasionalis murni. Di jajaran wapres, tripel H (Hatta, Habibie, dan Hamzah) mewakili sosok religius, baik puritan maupun setengah puritan. Sisanya nasionalis murni.

Dalam konteks itu, politik aliran sebagai pertimbangan parpol menetapkan capres-cawapresnya cukup menarik untuk diperhatikan. Barangkali yang paling getol mengangkat wacana paket capres-cawapres nasionalis religius adalah PDI- P dengan mencari cawapres dari kalangan nasionalis, religius saja, atau nasionalis-religius sekaligus.

Sementara itu, Partai Golkar mengedepankan konvensi nasional guna menjaring paket capres-cawapres dari bawah. Pola ini pernah digunakan Golkar pada era Orba, saat Harmoko menyatakan rakyat mencalonkan Soeharto sebagai capres tunggal melalui survei dua bulan pada 1997.

Polling Sugeng Sarjadi Syndicated dan Dr Arief Budiman Maret 2003 mengeluarkan sejumlah kalkulasi pemilihan capres dan cawapres 2004. Keduanya mencantumkan kriteria nasionalis-religius sebagai tolok ukur, baik di tingkat elite parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling. Dengan begitu, elite dan masyarakat seolah masih larut dalam paradigma lama bahwa ukuran kemenangan politik sipil ditentukan oleh gabungan dua aliran besar di Indonesia itu. Hal ini menunjukkan betapa teori sirkulasi elite belum berubah, setidaknya sejak 1959.

Intervensi pola sipil-militer dan militer-militer selama 31 tahun seakan tak berpengaruh apa-apa, di tengah isyarat makin kuatnya aspirasi kembali ke era Soeharto dan militer di kalangan masyarakat menengah ke bawah sekarang.

Paket capres-cawapres nasionalis religius tadi seakan mengasumsikan yang nasionalis bukan religius, sedangkan yang religius bukan nasionalis. Keduanya diposisikan diametral dan divergen/berbeda (Indra J Piliang, CSIS, 2003). Padahal perlu dibongkar kembali apakah nasionalisme itu aliran, paham ataukah ideologi yang pantas disandingkan dengan aliran religi demi tujuan-tujuan politik.

Apakah pakem ini merupakan tipikal signifikan dalam proses modernisasi sistem politik Indonesia, mengingat kalangan nasionalis-religius jauh dari kebijakan yang seharusnya diambil saat memerintah?

Di banyak negara luar, kalau ideologi itu mendikotomikan antara liberal dan sosialis, kelompok liberal dengan partai buruh, atau antara demokrat dan konservatif, pengaruhnya langsung tampak pada pengambilan kebijaksanaan. Di negara kita, berbagai kebijakan yang diambil juga bersentuhan dengan paham atau ideologi yang dianut, meski sering menonjolkan sisi personal, bukan basis ideologi parpol pendukungnya.

Presiden Habibie dikenal liberal dalam regulasi politiknya, termasuk dalam penyelesaian Timor Timur, dan kebiasaan peluk ciumnya. Gus Dur cenderung populis, terutama dalam pemberian otonomi khusus Aceh dan Papua. Soekarno terkenal antipasar bebas, sedangkan Soeharto proliberalisasi pasar.

Itu maksudnya, pada masa-masa tersebut setiap presiden mampu memengaruhi pilihan-pilihan kebijakan yang diambil, termasuk menyangkut hubungan luar negeri, meski bukan dalam arti paham atau ideologi yang dianut. Terkait dengan Islam, misalnya, Gus Dur membiarkan banyak kelompok Islam berdemo sampai ke Istana Negara. Adapun Megawati bersikap keras dengan melakukan penahanan, tapi faktor nasionalis-Islam terus diusung dengan simbol utama Hamzah Haz.

Walaupun menggabungkan dua kekuatan sekaligus (nasionalis-religius), rezim Megawati-Hamzah tak tampak bisa mengarahkan pemerintahannya selaras kriteria itu. Tipikal nasionalis tulen semacam Soekarno tak kelihatan di diri Megawati, khususnya di bidang ekonomi.

Sementara itu, ciri religiositas juga tak menonjol, baik dalam arti perhatian terhadap masyarakat marginal maupun dalam usaha meredam beragam kegiatan amoral seperti perjudian, pornografi, narkoba, sampai kebobrokan moral pengusaha dan pemerintah. Penerapan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam hanya meneruskan kebijakan Gus Dur.

Lantas, untuk menetapkan paket capres-cawapres oleh masing-masing parpol besar khususnya, model koalisi apa yang mesti dibangun? Sebaiknya, model politik aliran ditinggalkan. Begitu halnya pola dikotomi sipil-militer, Jawa-luar Jawa, serta jargon Orla-Orba-Reformasi.

Empat wapres yang dinilai cukup berhasil (Hatta, Sultan HB IX, Adam Malik, dan Habibie) berasal dari sipil. Keempatnya juga bukan mewakili unsur magis dan tradisional, melainkan unsur rasionalitas, pengetahuan, empirisme, dan profesionalisme.

Dikotomi Orla-Orba juga tak relevan. Sultan HB IX, misalnya, dapat menjaga jarak dari dua orde yang dekat dengannya dengan membenahi sektor sosial dan budaya kemasyarakatan. Adam Malik pernah berjasa dalam pembangunan hubungan politik luar negeri, khususnya di tingkat ASEAN, walau melintasi dua orde.

Kalangan sipil pun banyak berperan dalam membidani kelahiran NKRI. Bila dihitung nama per nama, itu bisa menjadi sebuah deretan panjang. Mulai dari Soekarno, Hatta, Moh Yamin, sampai Agus Salim dan Soedjatmoko.

Karena itu, penetapan capres-cawapres dengan hanya mematok dari kalangan parpol saja sangatlah tidak bijaksana. Indra J Piliang bahkan menyebutnya sebentuk arogansi. Meski UUD 1945 menegaskan capres-cawapres berasal dari parpol atau gabungan parpol, hal itu hanya sebagai perantara. Penjaringan capres-cawapres hendaknya terarah pada pemberian kesempatan bagi anak-anak bangsa terbaik untuk menyampaikan visi, misi, prestasi, keahlian hingga isu-isu human interest, sebagai bentuk pengumpulan collective idea dan collective power di tubuh nation state RI.

Model konvensi nasional yang ditempuh Partai Golkar untuk menjaring capres-cawapres terbaik 2004, barangkali model yang pas untuk menetapkan paket capres-cawapres yang ideal dan terbaik bagi parpol-parpol besar. Ke depan, tak ada salahnya kalau model konvensi nasional itu juga ditempuh parpol selain Golkar untuk menetapkan paket capres-cawapres terbaiknya.

Toh, Partai Demokrat dan Republik di Amerika Serikat, negeri yang acap kali dijadikan parameter kematangan praktik demokrasi, sama-sama menggelar konvensi nasional guna menetapkan pasangan capres-cawapres terbaiknya untuk memenangkan pemilihan presiden secara langsung yang digelar sekali dalam empat tahun itu. *Chusnan Maghribi, peminat masalah politik CIIS di Yogyakarta, 26 Januari 2004

Tidak ada komentar: