Jumat, 17 Oktober 2014

UU Migas No 22 Tahun 2001 Dianggap Pro Maling!

Jurnalis independen: UU Migas No 22 Tahun 2001 memang sangat kontroversial, tak kurang dari 3 kali telah diajukan untuk uji materi di Mahkamah Konstitusi, terakhir pada bulan Maret 2012 lalu oleh PP Muhammadiyah dan beberapa organisasi Islam lainnya serta tokoh-tokoh penting negeri kembali mengajukan uji materi, khususnya pasal yang mengatur mengenai keberadaan BP Migas dan BPH Migas yang disinyalir sarat kepentingan asing.


Ada beberapa hal yang menyebabkan UU Migas No 22 Tahun 2001 dianggap sarat kepentingan asing, yang pertama adalah proses pembuatan UU ini dibiayai oleh USAID dengan tujuan agar sektor migas diliberalisasi dan terjadi internasionalisasi harga, yaitu harga-harga domestik migas disesuaikan dengan harga internasional. Selain itu juga agar pihak asing boleh masuk ke sektor hilir yang sangat menguntungkan, bahkan resikonya lebih kecil dibandingkan sektor hulu.

Pertama kali draft Rancangan Undang Undang ini diajukan oleh Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto pada masa pemerintahan Presiden Habibie, tetapi saat itu ditolak oleh DPR RI atas saran Rizal Ramli yang saat itu menjadi penasehat ekonomi di DPR RI untuk empat Fraksi, yaitu Fraksi Angkatan Bersenjata, Fraksi Golkar, Fraksi PPP dan Fraksi PDIP.

Kemudian selama pemerintahan Presiden Gus Dur, Rancangan Undang Undang ini nyaris tidak ada kemajuan karena pada saat itu ditolak oleh Kwik Kian Gie yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan.  Kemudian setelah Kwik Kian Gie menjadi Kepala Bappenas jabatan itu dilanjutkan oleh Rizal Ramli yang juga menolak draft RUU tersebut.  Bulan Juli 2001, pemerintahan Gus Dur jatuh, berganti dengan pemerintahan Presiden Megawati, Rancangan Undang Undang ini kemudian diajukan kembali ke DPR RI dengan sangat cepat oleh Boediono dan Purnomo Yusgiantoro dan selesai pada bulan November 2001.

Setelah itu, Kedutaan Besar Amerika dan USAID mengirim laporan ke Washington DC bahwa UU Migas No 22 Tahun 2001 telah berhasil diselesaikan, hal ini penting untuk kepentingan bisnis Amerika di sektor migas di Indonesia. Pembuatan undang-undang yang dibiayai oleh asing biasanya banyak prasyarat dan conditionalities nya, dan sering diiming-imingi dengan pinjaman, yang dikenal sebagai “loan-tied-law” atau undang-undang yang dikaitkan dengan pinjaman.

Dalam sejarah legislasi di Indonesia, pembuatan undang-undang dengan model “loan-tied-law” ini sangat sering terjadi, misalnya saat ADB menawarkan U$300.000.000,00 dengan syarat Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Privatisasi BUMN.  Lalu Undang-Undang Privatisasi Air dipesan oleh Bank Dunia dengan memberikan pinjaman U$400.000.000,00. padahal air yang didalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan sebagai dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat pun mau diswastanisasikan.

Undang-Undang Migas pun merupakan undang-undang yang termasuk dalam kriteria itu, oleh karenanya tidak mungkin tujuannya benar-benar untuk mensejahterakan rakyat. Sudah pasti ada kepentingan strategis, kepentingan bisnis di belakangnya yang ikut mendompleng persyaratan daripada undang-undang tersebut.

Kebanyakan produk legislasi dengan model “loan-tied-law” ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena merupakan pintu masuk dari proses liberalisasi dan neoliberalisasi dibidang ekonomi. Seharusnya, pembuatan undang-undang tidak boleh diintervensi dan dibiayai oleh pihak asing, harus dibiayai sendiri oleh APBN, sehingga undang-undang tersebut benar-benar dapat melindungi kepentingan rakyat. Tidak mungkin pihak asing mau membiayai pembuatan undang-undang tanpa melibatkan kepentingan strategis mereka.

Selain itu juga mengenai standarisasi harga migas yang dalam UU Migas No 22 Tahun 2001 harus mengikuti standar internasional. Negara-negara di Asia yang berhasil mengejar ketinggalannya dari barat, tidak langsung menyesuaikan harga migas mereka dengan harga internasional, tapi terlebih dahulu mendorong dan memacu pertumbuhan ekonomi di atas 10%, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, baru kemudian harga-harga produk disesuaikan. Ada perbedaan mendasar dengan apa yang dilakukan di Indonesia dengan di negara-negara lain yang berhasil memakmurkan rakyatnya dan mengejar ketinggalannya dari Barat. Sementara negara kita menganggap bawah satu-satunya solusi agar bisa mengejar ketinggalan dengan negara lain adalah menyesuaikan harga dengan harga internasional dan berhutang.

Internasionalisasi harga tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, terutama untuk komoditi-komoditi yang strategis, seperti migas, pendidikan, dan kesehatan. Lain halnya jika menyangkut mobil, elektronik, dan lain-lain, mungkin tidak ada masalah dan bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Tetapi jika menyangkut kepentingan yang strategis, negara berhak menentukan dan melakukan intervensi agar harga tidak selalu sesuai dengan harga internasional. Selama 20 tahun terakhir, harga internasional bukanlah mencerminkan “supply and demand” tetapi merupakan harga para spekulator keuangan yang mempermainkan harga-harga komoditi dunia. Sebagian besar dari pembentukan harga itu adalah permainan para spekulator, bukan hukum “supply and demand”.  Jika Indonesia sekedar ikut-ikutan harga internasional, maka sebetulnya kita menyerahkan nasib kita kepada para spekulator internasional.

Tabel yang diajukan oleh Pembela tentang “pemaknaan Pasal 33 UUD 1945 hanya menyangkut pengaturan kebijakan, pengelolaan, pengurusan, pengawasan, dikuasai oleh negara. Tidak ada istilah dimiliki karena yang paling penting sebetulnya pemiliknya, walaupun di dalam Undang- Undang Dasar 1945 kita sendiri dikatakan manfaatnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya siapa pemiliknya? Ya rakyat, secara tidak langsung, kalau tidak, buat apa digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi sesungguhnya didalam Pasal 33 itu secara implisit sudah ada kata “dimiliki” walaupun tidak eksplisit, sehingga sumber daya alam tersebut sebetulnya milik rakyat.

Pada sidang yang terakhir, mantan Dirjen Migas yang bertindak sebagai saksi ahli Pemerintah mengatakan “Pemerintah tidak memberikan apapun kepada asing karena semua regulasi dikelola oleh pemerintah, yang diberikan hanya “economic-right” saja”.  Padahal “economic-right” itu justru yang paling berharga, kalau tidak ada “economic-right” maka menjadi tidak ada nilainya dan yang paling berharga itulah yang diserahkan ke pihak asing, sungguh merupakan interpretasi yang sangat berbahaya dari seseorang yang seharusnya menguasai substansi undang-undang sebagai wakil dari Pemerintah Indonesia. Contoh yang paling sederhana di sektor mineral banyak sekali dan juga berlaku di sektor Migas.

Banyak perusahaan-perusahaan tambang besar dunia, salah satunya BHP Billiton dari Australia memiliki tambang batubara di Kalimanatan Tengah yang kadar batubaranya sangat tinggi(cooking coal) untuk industri baja. Puluhan tahun konsesi mereka tidak bikin apa-apa karena mereka punya bisnis di tempat yang lain lebih menarik. Tetapi aset tersebut ada didalam portofolio Billiton, dan itu masuk didalam “contingency asset” mereka.

Dengan itu mereka bisa cari uang karena tambang tersebut sudah ada valuasinya, tambang tersebut sudah dieksplorasi tetapi tidak dikerjakan. Sudah ada nilainya, tinggal dikalikan saja berapa dollar per ton dan dimasukkan kedalam “contingency asset” untuk mencari pinjaman, dan kemudian hasil pinjamaan itu dipakai untuk investasi bisnis di luar Indonesia. Kasus-kasus seperti ini banyak sekali terjadi di sektor Migas.

Kemudian ada hal-hal lain yang cukup penting di Pasal 3 Undang-Undang Migas No 22 Tahun 2001, penyelenggaraan harus accountable dan diselenggarakan dengan mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.  Hal ini adalah cara dan mekanisme, padahal yang paling penting itu prinsip dan tujuan yang ada di Pasal 33 ayat (2), “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Prinsip dan tujuannya yang paling penting, tetapi kok didalam undang-undang itu mekanismenya malah yang lebih diutamakan. Di sinilah virus dari neoliberalisme itu masuk.

Kemudian menyangkut modus kerja sama, Indonesia menganut sistem Production Sharing Agreement. Sebetulnya PSA bukan satu-satunya modus, ada kerja sama operasi (Joint Operation), ada kepemilikan langsung (Ownership). Negara-negara yang berhasil di sektor migas terutama di negara-negara Arab dan Latin Amerika itu tidak memakai model PSA, tetapi memakai konsep kepemilikan langsung.  Seperti Aramco yang dikuasai oleh Pemerintah Saudi Arabia dalam bentuk kepemilikan saham mayoritas, sementara pihak asingnya minoritas. Sistem kepemilikan mayoritas ini jauh lebih efektif dibandingkan PSA karena cost-control nya bisa dilakukan secara internal, wakil dari pemerintah duduk didalam manajemen, ikut melakukan kontrol manajemen, ikut melakukan kontrol keuangan dan proses alih teknologi juga dapat berjalan dengan baik.

Jadi, PSA bukan satu-satunya opsi yang paling baik yang selama ini oleh pejabat kita selalu dibanggakan sebagai yang paling hebat, paling dahsyat, dan sebagainya, justru model PSA ini sangat rawan terhadap potensi mark-up biaya-biaya, hampir semua biaya yang cenderung tidak penting, seperti menyogok pejabat Indonesia dan biaya entertainment itu terkadang dimasukkan kedalam recovery cost.

Dan yang kedua adalah data mengenai produksi yang anjlok dari 1.300.000 barrel per hari menjadi hanya 850-an barrel per hari, tetapi recovery cost nya naik hampir dua kali lipat, sementara dari pihak yang seharusnya menjelaskan tidak pernah ada penjelasan yang transparan.

Sedangkan yang ketiga adalah budaya birokratis, semua mau dikontrol, semua mau diperiksa, tapi kultur kontrol di Indonesia sebagian besar identik dengan pemerasan. Semakin banyak kontrolnya, semakin banyak diperiksanya, semakin banyak yang harus diservis pejabatnya, sehingga jangan diartikan kontrol oleh negara itu hebat dan dahsyat karena cara kontrolnya ternyata tidak canggih, misalnya dalam mengawasi biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan minyak on-share vs off-share, sesungguhnya tinggal menghitung kedalaman sumur yang digali itu berapa, sederhana saja, tidak perlu sampai detail.

Sehingga tidak aneh jika pemerintah Indonesia sejak 8 tahun terakhir telah memberikan ratusan konsensi di sektor minyak bumi dan gas, tapi tingkat eksplorasi sangat rendah. Penemuan cadangan baru nyaris tidak ada.  Menurut info para investor asing maupun pengusaha migas dalam negeri, birokrasi kita ternyata sangat ruwet, iklim investasi migas di Indonesia tidak fleksibel karena terlalu banyak kontrol terhadap hal-hal yang tidak penting, seharusnya cost-controling dilakukan lebih cermat, bukan kontrol terhadap hal yang tidak substansial.

Kemudian ada Pasal 10 di Undang-Undang Migas No 22 Tahun 2001 yang berbunyi  “Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan kegiatan usaha hilir.”  Pasal itu bagus, supaya tidak ada monopoli vertikal. Tetapi dalam prakteknya, Shell atau Beyond Petroleum misalnya, mudah sekali membuat perusahaan migas sektor hilir, walaupuncore business nya tetap di hulu.  Kalimat-kalimat di pasal itu, multi-interpretasi, sangat sumir. Dalam prakteknya, tetap terjadi integrasi vertikal.

Yang juga penting adalah pasal mengenai penyelesaian masalah antara pemerintah dengan kontraktor asing jika terjadi dispute melalui arbitrase internasional.  Menurut hasil penelitian Prof. Joseph Stiglitz, pemenang Nobel dunia, diperoleh data bahwa 99% dari hasil arbitrase internasional itu sangat merugikan negara negara berkembang dan selalu menguntungkan negara-negara maju, banyak hal yang menyebabkan itu terjadi, misalnya adanya lack of language, lack of knowledge, dan lain-lain. Oleh karena itu, pada tahun 2007, Stiglitz datang ke Jakarta, bertemu dengan Presiden SBY, meminta agar arbitrase internasional ini dihapuskan dari rencana Undang-Undang Investasi.  Apa yang terjadi? tetap saja klausul itu ada didalam undang-undang investasi.

Sumber : Transkrip Dr. Rizal Ramli - Saksi Ahli Perkara Nomor 36/PUU-X/2012 Pengujian UU Migas No 22 Tahun 2001 pada tanggal 18 Juli 2012.

Tidak ada komentar: