Kamis, 09 Oktober 2014

Para Politisi dan Partai Politik, Termasuk Jokowi, Megawati dan PDIP Di Buli Media Massa

Jurnalis Independen: Keadaan serba tidak menentu, saling sikat, saling sikut nafsu berkuasa, iri juga sakit hati para politisi, partai maupun birokrat menambah semakin carut marutnya Wajah Ibu Pertiwi. Media massa, berperan besar dalam memanasi permusuhan KMP dan KIH.


Ketua Dewan Pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri menilai yang seharusnya memimpin Indonesia pada lima tahun mendatang dari Koalisi Merah Putih. Pasalnya ia menilai, kemenangan Jokowi-JK tak lepas dari campur tangan pihak asing.

"Megawati sendiri sudah antek kapitalis. Sudah jelas antek-antek kapitalis semua kok ini, mereka kuasai semua," kata Rachma di gedung DPR, Jakarta, Kamis (9/10/2014).

Menurut Rachma, Koalisi Merah Putih lebih memikirkan rakyat dan akan lebih membela rakyat. Dirinya pun bersyukur parlemen dikuasai oleh Koalisi Merah Putih yang dapat mengkritisi pemerintahan.
"Saya harap DPR juga dapat segera membentuk pansus Pilpres untuk membongkar kecurangan Pilpres," tuturnya.

Rachma pun menyarankan kepada presiden terpilih 2014-2019 Jokowi untuk mengklarifikasi dugaan korupsi yang membawa-bawa nama mantan Wali Kota Solo itu. Dirinya pun telah menyampaikan dugaan korupsi yang menyeret Jokowi ke aparat penegak hukum yakni KPK dan Kejaksaan Agung.

"Itu seharusnya diklarifikasi dulu (oleh Jokowi). Mau jadi apa muka Indonesia di internasional jika tak diklarifikasi," ujarnya.
-------
Jimly: Lebih Sulit Pecat Jokowi Daripada Ubah UUD

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jimly Asshiddiqie, mengatakan masyarakat tak perlu risau dengan isu pemakzulan presiden terpilih Joko Widodo meski parlemen dikuasai koalisi Prabowo Subianto.

Menurut dia, lebih sulit memakzulkan Jokowi daripada mengubah Undang-Undang Dasar 1945. "Impeachment (pemakzulan) membutuhkan persetujuan 3/4 anggota MPR," kata Jimly kepada Tempo, Jumat, 10 Oktober 2014.

Ihwal pembuatan undang undang, kata Jimly, posisi tawar Jokowi lebih kuat dibandingkan Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat. Obama tak bisa ikut campur saat pembahasan rancangan undang undang, berbeda dengan presiden Indonesia. Hak veto Presiden Abang Sam itu juga tak berdaya ketika aturan yang dibuat legislator ternyata disetujui oleh senator. (Baca: PDIP: Koalisi Prabowo Tak Bisa Makzulkan Jokowi)

Berbeda dengan presiden Indonesia, kata Jimly, undang undang bisa berlaku bila mendapatkan persetujuan antara eksekutif dan legislatif, sesuai Pasal 20 Ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945. "Presiden yang diwakili menteri saat pengesahan di paripurna bisa mengatakan kalau pemerintah tak menyetujui pasal tertentu, maka dengan ini tidak memberi persetujuan," kata Jimly.

Jimly menceritakan contoh undang undang yang batal diberlakukan karena tak disetujui presiden. Misalnya, RUU Free Trade Zone atau RUU Kawasan Perdagangan Bebas di Batam, Kepulauan Riau, yang telah disahkan oleh DPR di era kepemimpinan Akbar Tandjung. Belakangan beleid tersebut tidak diundangkan, karena tak disetujui oleh Megawati Soekarnoputri, presiden periode (2001-2004).

Kekhawatiran pemakzulan Jokowi berasal dari koalisi pendukungnya yang ada di parlemen. Politikus Partai NasDem Ferry Mursyidan Baldan menilai pengesahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD memang sengaja dipersiapkan oleh Koalisi Prabowo untuk menguasai Dewan Perwakilan Rakyat. Apalagi, kata Ferry, setelah Joko Widodo terpilih sebagai presiden saat pilpres.

Menurut Ferry dengan Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji materi UU MD3 yang dilayangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, nantinya DPR bisa saja dengan semena-mena menggunakan hak interpelasi untuk menghambat dan menyandera pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bentuknya, kata Ferry, bermacam-macam, bahkan sampai upaya pemakzulan.
-----------
Bantah Jokowi, KSAD Pamer Leopard Tak Rusak Jalan

TEMPO.CO, Surabaya - Kehadiran main battle tank (MBT) Leopard akan menjadi salah satu perlengkapan baru pertahanan TNI Angkatan Darat. Pengadaan tank Leopard sempat disebut-sebut akan dikaji ulang oleh tim pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebab, tank seberat 63 ton itu dianggap bisa merusak jalan.

Namun pendapat itu dibantah Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo. "Buktinya, enggak rusak kan jalannya," katanya saat ditemui wartawan seusai syukuran dan pameran alat utama sistem persenjataan di Markas Komando Daerah Militer V/Brawijaya, Rabu, 8 Oktober 2014.

Dalam debat calon presiden pada 22 Juni lalu, Jokowi mengatakan tidak setuju dengan pengadaan tank Leopard. Sebab, menurut Jokowi, tank Leopard bisa merusak jalan lantaran beratnya mencapai 62 ton.

Setelah pembukaan pameran alutsista, Gatot bersama Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf menaiki tank Leopard. Ketiganya seolah ingin menunjukkan kenyamanan tank yang dibeli dari Jerman pada Desember 2012 itu.

Tank Leopard yang berjumlah delapan itu dibawa ke Makodam V/Brawijaya untuk dijajal masyarakat umum. Selain tank Leopard, ada pula 15 panser Anoa, 21 tank Scorpion, 10 tank Tarantula, 5 tank M113-A1, 4 tank BMP 3F TNI AL, dan 4 tank LV 7 TNI AL yang dipamerkan dan membawa warga Surabaya berkeliling.

Menurut Gatot, dia sengaja mencoba menaiki tank dan berkeliling. Gatot ingin membuktikan bahwa tank tersebut tidak merusak jalan dan aman untuk dinaiki warga umum.

Gatot pun berencana menggelar kegiatan serupa setiap tahun. Setelah melihat antusiasme warga, Gatot tidak keberatan untuk membawa tank-tank agar bisa dinikmati masyarakat. Apalagi peralatan perang itu dibeli TNI dari uang rakyat.

Sekitar 96 personel TNI dan 30 ribu warga dilibatkan dalam acara syukuran dan pameran alutsista di Makodam V/Brawijaya, Rabu, 8 Oktober 2014. Secara bergantian, warga berfoto dan menumpang tank tanpa rasa takut.
----------
Akbar Faizal: Mereka Menyesal jika Jegal Jokowi

TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, Akbar Faizal, menanggapi berembusnya isu penjegalan pelantikan presiden terpilih Jokowi pada 20 Oktober 2014. "Jika itu memang benar, maka mereka akan sangat menyesal," kata Akbar yang juga anggota DPR dari Partai Nasional Demokrat ini ketika dihubungi Tempo, Kamis, 9 Oktober 2014.

Akbar mengingatkan negara memiliki tata aturan di mana pelantikan presiden itu bukan seenaknya diatur satu kelompok kepentingan saja. Ada sistem ketatanegaraan yang mengaturnya. Ratusan juta rakyat Indonesia akan menjadi saksi semua upaya penggulingan pemerintahan yang baru saja dilantik. (Baca: Jimly: Pemakzulan Jokowi Nyaris Mustahil)

"Anda perlu tahu rakyat Indonesia saat ini bahu-membahu sedang memasang jaring, memasang berbagai kemungkinan untuk berdiri mengawal di belakang Jokowi JK. Saya ingin memastikan ke Anda soal itu," kata Akbar.

Masyarakat, kata Akbar, akan menyesal memilih Prabowo-Hatta pada pemilihan presiden yang lalu. Dan ini, menurut Akbar, akan membuat dukungan kepada Jokowi menjadi berlipat-lipat. "Saya berbicara tentang 2019 lho," kata Akbar merujuk pada pemilihan presiden lima tahun mendatang. (Baca: Pelantikan Jokowi Tidak Lancar, Netizen Bereaksi)

Selain itu, Akbar juga menanggapi rencana Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo untuk menggunakan hak voting di Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilihan sekitar 100 posisi penting kenegaraan. Misalnya, posisi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

"Jika itu dikatakan setelah presiden Jokowi dilantik, maka itu bisa dikatakan makar dan dia bisa ditangkap," kata Akbar.
----------------
Ilmuwan Desak DPR Kembalikan Hak Pilih Rakyat

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah ilmuwan yang tergabung dalam Aliansi Ilmuwan Indonesia mendesak Dewan Perwakilan Rakyat agar mengembalikan hak politik rakyat tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. Mereka menilai sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tak sejalan dengan proses berdemokrasi.

”Kami mendesak pemulihan terhadap cacat perumusan produk legislasi dan pemulihan hak politik langsung seluruh warga negara,” ujar dosen filsafat Universitas Indonesia, Karlina Leksono Supelli, ketika membacakan pernyataan sikap seruan moral ilmuwan Indonesia di Kampus UI Salemba, Kamis, 9 Oktober 2014.

Karlina menjelaskan bahwa UU Pemilukada yang baru saja disahkan, yakni memilih kepala daerah melalui DPRD, merupakan tragedi politik. Keputusan itu menjadi cemin kemunduran proses berdemokrasi yang telah diperjuangkan sejak era Reformasi. ”Tragedi 98 sudah cukup menyobek nurani kita. Masa depan Indonesia tak boleh lagi ditentukan oleh sistem pemerintahan otoriter,” ujarnya. (Baca: RUU Pilkada, Partai Pro-Prabowo Mestinya Dengarkan Konstituen)

Menurut dia, rumusan undang-undang tersebut tak terlepas dari konstelasi politik yang digagas koalisi partai pendukung Prabowo Subianto setelah kekalahan mereka dalam ajang pemilihan presiden. Sejak itu, layar publik kerap dipertontonkan polarisasi kepentingan yang jauh dari tujuan berbangsa dan bernegara. ”Parlemen dalam bahaya oligarki politik,” katanya. (Baca: LSM Nilai Indonesia Alami Darurat Demokrasi)

Karlina menilai kubu Prabowo menerapkan politik bumi hangus lewat prosedur hukum sehingga mereka meraih kursi pimpinan di DPR dan MPR. Hal yang terlihat kemudian, menurut dia, adalah pemindahan kekuasaan ke parlemen. ”Kami menolak perilaku yang merusak tatanan kenegaraan dalam sistem presidensial,” ujarnya. (Berita Foto: Mahasiswa bersama Seniman Berunjuk Rasa Tolak UU Pilkada)

Tri Ratnawati, bekas peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan bahwa kekacauan sistem pemilihan kepala daerah perlu diluruskan guna menjamin hak politik rakyat. ”DPR harus mendengar aspirasi rakyat. Jika tidak, peristiwa 98 bisa kembali terulang,” katanya.

Dosen Fakultas Hukum UI, Sulistyowati Irianto, mengatakan bahwa pernyataan sikap ini lahir dari diskusi panjang sekitar 350 akademikus dan ilmuwan dari berbagai kampus di Tanah Air. Mereka risih dengan perkembangan peta politik nasional yang memperlihatkan polarisasi kepentingan.

Mereka ingin menggugah kesadaran para elite politik agar mau mendengar apa yang menjadi keinginan rakyat. Sulistyowati mengatakan polarisasi kepentingan para elite begitu terlihat dan jauh dari kehendak baik serta bagi kepentingan bangsa dan negara. ”Suara yang kami percayakan kepada mereka disalahgunakan," ujarnya. (Berita Foto: Poster-poster di Demo Dukung Pilkada Langsung)
------------
Ilmuwan Kecam Politik Bumi Hangus Koalisi Prabowo

TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pendidik yang tergabung dalam Aliansi Ilmuwan Indonesia mengecam strategi bumi hangus yang dilakukan koalisi partai pendukung Prabowo. Strategi itu terindikasi dari manuver mereka menguasai kursi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Pemusyawaratan Rakyat. (Baca : Fahri: Tak Ada Rencana Veto 100 Posisi Strategis)

"Cara-cara bumi hangus dan kudeta parlemen dengan taktik menguasai kepemimpinan DPR dan MPR demi kepentingan elite perlu dikoreksi," ujar doktor filsafat dari Universitas Indonesia, Karlina Leksono Supelli, saat membacakan pernyataan sikapnya di Kampus UI Salemba, Kamis, 9 Oktober 2014. (Baca : Jimly: Pemakzulan Jokowi Nyaris Mustahil)

Karlina menjelaskan, konstelasi di parlemen yang berkembang belakangan ini mengabaikan akal sehat dan penuh manipulasi dari elite yang haus kekuasaan. "Mereka memanipulasi kepentingan lewat jalur prosedur hukum dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat," katanya. (Baca : Kubu Prabowo Dianggap Pentingkan Kepuasan Sendiri)

Hal itu terlihat dari pengesahan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD serta Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Agenda yang disodorkan koalisi pro-Prabowo dalam UU Pilakda, kata Karlina, merupakan tragedi politik yang merampas hak rakyat untuk memilih kepala daerah mereka masing-masing. "Pemilihan kepala daerah lewat DPRD adalah kemunduran berpikir dan menolak proses bangsa untuk berdemokrasi," ujarnya.

Bahkan, pandangan yang diperlihatkan kubu Prabowo juga merusak tatanan kenegaraan dalam sistem presidensial. Wacana amendemen yang mereka gagas justru memindahkan kekuasaan sepenuhnya ke tangan DPR. "Tata kelola negara kini berada di tangan oligarki politik dan membahayakan penguasaan sumber daya demi kepentingan elite," katanya.

Dosen Fakultas Hukum UI, Sulistyowati Irianto, menjelaskan, pernyataan sikap itu lahir dari diskusi panjang sekitar 350 kelompok akademikus dan ilmuwan dari berbagai kampus di Tanah Air. Mereka risih atas perkembangan peta politik nasional yang memperlihatkan polarisasi kepentingan.

"Kami menggugah kesadaran para elite agar mau mendengar apa yang menjadi keinginan rakyat. Polarisasi kepentingan yang saat ini terlihat begitu telanjang, namun jauh dari kehendak baik bagi kepentingan bangsa dan bernegara. Suara yang kami percayakan kepada mereka disalahgunakan," ujarnya.
------------
Nazar: Ibas Banyak Main Proyek di Mana-mana

TEMPO.CO, Jakarta - Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mengaku telah memberi bukti aliran uang US$ 450 ribu untuk Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Menurut Nazaruddin, aliran duit kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal Partai Demokrat itu berasal dari PT Duta Graha Indah, perusahaan milik Nazar, yang berhasil memenangkan tender di proyek Wisma Atlet Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. (Baca: Nazaruddin: Ibas Terima Duit Korupsi Wisma Atlet)

"Saya jelaskan ke KPK berdasarkan bukti. Saya tak pernah bohong, yang pasti Mas Ibas itu banyak main proyek, banyak terima anggaran dari mana-mana," kata Nazar di KPK, Kamis, 9 Oktober 2014. Dia mengatakan duit diserahkan ke Ibas di Hotel Kempinski, Jakarta. (Baca juga di: Ibas Akan Gugat Nazaruddin Secara Perdata)

Kamis, 9 Oktober 2014, Nazar kembali diperiksa penyidik KPK terkait kasus korupsi Wisma Atlet, melanjutkan 11 jam pemeriksaan sehari sebelumnya. "Kemungkinan ditanya tentang siapa saja penerima uang Wisma Atlet. Salah satu yang menerima Mas Ibas." (Baca: 3 Tudingan Miring Anas kepada Keluarga SBY)

Nazar merupakan salah satu terpidana kasus Wisma Atlet. Dia menceritakan, pada awalnya perusahaan miliknya gagal mendapatkan proyek Hambalang. Sehingga diupayakan mendapat proyek lain, dan dapat proyek Wisma Atlet. "Nilainya hampir Rp 20 miliar," katanya.

Dari duit yang didapat itu, selain ke Ibas, mengalir Rp 1 miliar ke Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Dua anggota DPR dari Demokrat yaitu Mirwan Amir dan Mahyuddin. Dua politikus PDIP, Wayan Koster dan Olly Dondokambey, juga menerima fulus terkait korupsi Wisma Atlet. (Baca: Ajudan Nazar Akui Pernah Antarkan Uang buat Ibas)

Selain duit dari proyek Wisma Atlet, Nazar juga menyebutkan Ibas menerima duit dari proyek lain. Grup Permai, perusahaan Nazar, menyetorkan duit US$ 200 ribu ke Ibas. "Diserahkan ke Mas Ibas di ruangannya di DPR," kata Nazar.

Tuduhan untuk Ibas itu sebelumnya juga pernah Nazar katakan di muka persidangan, ketika menjadi saksi dalam perkara dugaan korupsi dalam proyek Hambalang, dengan terdakwa bekas kolega Nazar di Demokrat, Anas Urbaningrum. (Baca: Nazar Sebut Ibas Terima Uang US$ 200 Ribu di DPR)

Selain dari proyek Wisma Atlet dan Hambalang, Nazar mengatakan Ibas menerima US$ 150 ribu dari proyek di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. "PT Saipem itu miliknya Mas Ibas, yang banyak ikut tender di SKK Migas" katanya.

"Mas Ibas pernah memarahi Sutan Bhatoegana (bekas Ketua Komisi Energi DPR dari Fraksi Demokrat) gara-gara Saipem," kata Nazar. Sutan Bhatoegana sendiri sudah menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi SKK Migas. (Baca: Ibas Menjawab Tudingan Terima Duit Hambalang)

PT Saipem pernah disebut dalam persidangan dengan terdakwa Rudi Rubiandini, bekas Kepala SKK Migas, yang ketika itu didakwa menerima suap.

Saipem disebut sebagai perusahaan yang protes ke SKK Migas karena kalah di tender Indonesia proyek Deepwater Development. Yang menang tender adalah PT Timas Suplindo. Di persidangan kasus yang sama, Direktur Utama PT Pertamina Galaila Karen Agustiawan mengatakan Timas dibekingi oleh Sutan Bhatoegana. (Baca: Nazar Sebut Ibas Terima US$ 200 Ribu di DPR)
------------
Adik Prabowo Sebut Hasil Wawancaranya Dipelintir

TEMPO.CO, Jakarta - Adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, menyatakan hasil wawancaranya dengan The Wall Street Journal dipelintir oleh sejumlah media lokal. "Terjemahan ke bahasa Indonesia dipelintir oleh sejumlah media dalam negeri. Saya tidak pernah mengatakan bahwa kami akan menghambat," ujar Hashim melalui pesan pendek, Kamis, 9 Oktober 2014.

Menurut Hashim, koalisi Prabowo baru mungkin menghambat kebijakan Jokowi jika ada alasan yang sangat kuat. "Misalnya, referendum untuk Papua atau legalisasi PKI, tentu akan kami lawan," kata Hashim. Lebih lanjut, Hashim mengatakan, pemilihan Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, dan Panglima TNI merupakan hak prerogatif presiden sehingga tak bisa diganggu oleh parlemen. (Baca: Koalisi Prabowo Siap Ajukan Veto untuk 100 Posisi)

Dalam wawancara yang dirilis The Wall Street Journal, Hashim menyatakan koalisi partai pendukung Prabowo akan mengajukan kekuatan veto atas seratus posisi yang berada dalam kewenangan presiden. Posisi tersebut di antaranya Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia, serta para anggota Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Wawancara itu dirilis pada Selasa, 7 Oktober 2014. “Kami berpengaruh dalam menentukan siapa yang akan duduk di dalam posisi-posisi tersebut," ujar Hashim. (Baca: Usai Geger MPR, Mega-SBY Kunci Stabilitas Politik)

Saat ini persekutuan partai-partai penyokong Prabowo itu dapat mengendalikan agenda DPR, kepemimpinan kepanitiaan, dan sebagainya. Mereka berhasil menggiring lima dari sepuluh partai untuk berkoalisi dengan mereka. Dengan dukungan partai keenam, koalisi itu mendapatkan 63 persen kursi di DPR.
------
Dijegal DPR, Jokowi Tak Segan Keluarkan Hak Veto

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden terpilih Joko Widodo tak segan mengeluarkan hak veto menghadapi dominasi koalisi Prabowo Subianto-Aburizal Bakrie di parlemen. Hak ini dikeluarkan bila rancangan undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat tak sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negara. (Baca : Relawan Khawatir MPR Jegal Pelantikan Jokowi)

"Kalau RUU-nya memang tak bagus, konstitusi mengizinkan presiden mengambil langkah itu, kenapa tidak?" kata Jokowi saat di Balai Kota Jakarta, Kamis, 9 Oktober 2014. Hak veto adalah hak untuk membatalkan ketetapan rancangan peraturan dan undang-undang. (Baca: Relawan Jokowi Akan Kawal Pelantikan Presiden)

Jokowi mengatakan koalisi Prabowo-Aburizal boleh saja mengubah undang-undang karena parlemen memang punya kewenangan itu. Tapi semangat untuk mengubah undang-undang tersebut harus bukan demi kekuasaan sesaat, tapi untuk rakyat. Jokowi berjanji akan mendukung penuh rancangan undang-undang itu bila diciptakan demi kesejahteraan rakyat dan memperbaiki negara.

Ihwal ancaman pemakzulan, Jokowi yakin itu tak akan terjadi karena sistem di Indonesia adalah presidensial, bukan parlementer. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, syarat pemakzulan harus disetujui dua pertiga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat atau minimal 462 dari 692 orang. Adapun koalisi pendukung Jokowi saja sudah terdiri atas 246 orang.

Tak hanya soal hak veto, Jokowi mengatakan mempunyai strategi untuk menghadapi dominasi koalisi Prabowo-Aburizal di parlemen. Namun dia menolak membeberkan strategi itu lebih lanjut. "Strategi masak diceritakan," katanya.
-------------
Soal Veto 100 Posisi, Hashim Dianggap Tak Paham UU

TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, tidak paham hukum tata negara. Zainal mengatakan walaupun DPR bisa menolak sejumlah nama untuk mengisi posisi di lembaga atau institusi strategis, tetap yang mengajukan nama untuk posisi itu adalah presiden. "Dia harus baca undang-undang dulu," ujar Zainal kepada Tempo, Jumat, 10 Oktober 2014.

Dalam wawancaranya dengan harian The Wall Street Journal yang diterbitkan Kamis, 9 Oktober 2014, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu mengatakan siap menggagalkan agenda pemerintahan Jokowi. Bahkan, ia menegaskan koalisi pendukung Prabowo akan mengajukan kekuatan veto atas seratus posisi yang berada dalam kewenangan Presiden Jokowi, di antaranya kepala Kepolisian Republik Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia, para anggota Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. (Baca: Adik Prabowo Sebut Hasil Wawancaranya Dipelintir)

Keyakinan Hashim yang ingin menggagalkan pemerintahan Jokowi bermula dari keberhasilan Prabowo dan para sekutunya membentuk koalisi yang menjadi suara mayoritas di DPR dan MPR. Prabowo dan Hashim sukses menggiring lima dari sepuluh partai untuk berkoalisi dengan mereka. Dengan dukungan partai keenam, koalisi itu mendapat 63 persen kursi di DPR. Salah satu kemenangan pertama mereka adalah diloloskannya Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah yang akan mengakhiri pemilihan umum kepala daerah langsung. (Baca: Koalisi Prabowo Siap Ajukan Veto untuk 100 Posisi)

Zainal menjelaskan koalisi Prabowo kecil kemungkinan meloloskan nama-nama calonnya kepada presiden. "Kalau presiden mengajukan si A, kan, DPR tak mungkin minta si E kalau memang tak diajukan," katanya. Apalagi untuk posisi komisi nasional, kata Zainal, pemilihannya melalui tim seleksi, kemudian DPR harus memilih dari beberapa nama yang disodorkan.

"Kalau yang diusulkan A,B,C,D, kan, tidak mungkin DPR memilih E,F,G," ujarnya. Namun, ia mengatakan DPR mungkin saja melakukan hal itu untuk Kepala Polisi RI, Badan Pemeriksa Keuangan, dan tiga hakim konstitusi dan hakim agung. "Itu mungkin diblok, tapi kalau presiden tak mencalonkan orang yang mereka inginkan, ya tidak bisa terpilih," ujarnya. JI

Tidak ada komentar: