Rabu, 22 Oktober 2014

Idealisme Kepemimpinan Jokowi Ternyata dari Bantaran Kali

Jurnalis Independen: Sejujurnya, tidak banyak orang mengetahui dari mana Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia ke 7 mendapatkan teori kepemimpinan pemerintahan yang merakyat, jujur dan amanah.
Setelah menelisik, ternyata Tokoh menutupi kecerdasannya ini mengaku model kepemimpinannya terajut dari mozaik hidupnya mulai dari bantaran kali hingga menjadi pengusaha mebel.
 
Dalam berbagai resensi di buku karangan Alberthiene Endah ini mengulas sebuah memoar Jokowi tentang nilai hidup dan kepemimpinan.

Dalam buku ini, Jokowi mengungkapkan tak ada hal luar biasa yang telah dibuatnya. Ia hanya melaksanakan tugasnya. Melaksanakan segala sesuatu yang memang mesti dijalankannya.

Alur berliku hidupnya dari anak bantaran kali hingga menjadi pengusaha mebel, telah menyumbangkan mozaik pemikiran yang kemudian terpola menjadi idealisme. Itulah kemudian yang mengantarnya berani menyentuh ranah lain dari hidupnya, yaitu politik.

Bagi Jokowi, siapa pun yang memegang tampuk kepepimpinan, tugasnya jelas: bekerja untuk rakyat. Itu artinya, sebanyak mungkin membuat keputusan yang berpihak kepada rakyat.

Namun rupanya, bagi sementara orang, tugas sederhana ini sudah dianggap istimewa, bahkan langka. Mungkin karena idealismenya itu pula, rakyat Solo dan Jakarta begitu beramah hati mengajaknya memimpin kota mereka. Dan hingga mendapuknya menjadi Presiden periode 2014-2019 bersama Jusuf Kalla sebagai wakilnya.

Semua itu terangkum dalam sebuah buku berjudul Bagi Jokowi, buku ini adalah tuturan sederhana sejauh perjalanan hidup yang telah dilaluinya. Inginnya, tentu menjadi warisan nilai hidup dan kepemimpinan bagi generasi sekarang dan nanti. Agar buku ini menjadi inspirasi tanpa tepi. Juga semangat memajukan bangsa tanpa nadi.

Dan bagi Jokowi, tentu saja buku ini adalah persembahan spesialnya untuk Anda, seluruh rakyat Indonesia.

Dari Buku karangan Alberthiene Endah Menyentuh Pemikiran Jokowi
Sekedar mengingatkan pembaca, gebarakan awal Jokowi, adalah ketika di awal jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, dirinya datang di tengah-tengah kampung kumuh yang berbau dan panas, ia melantik Walikota Jakarta.

Ini tidak biasa dan luar biasa bagi kita. Pemimpin memang harus memberi keteladanan, melihat masalah, dan merasakan derita rakyat. “Sebuah kepemimpinan akan berhasil bila mampu melayani kalangan terbawah”, kalimat ini jadi pembuka—bagaimana Joko Widodo alias Jokowi memahami filosofi kepemimpinan.

Sejak saat itu, Jokowi menjadi buah bibir. Tak hanya pada tataran politik, di dunia perbukuan, Jokowi ternyata banyak dibicarakan dan ditulis mengenai kisah hidupnya, kinerjanya, sampai pelbagai keberhasilannya menata kota. dari kota-kota yang ada di Solo hingga ke kota Megapolitan (Jakarta) dengan beragam persoalan yang lebih kompleks.

Kisah mengenai pribadi, pemikiran, dan pelbagai gebrakan Jokowi saat memimpin kota Solo, dari kota terlupakan jadi kota yang membuka banyak “mata” baik nasional maupun internasional memang sudah banyak diberitakan.

Pada buku Jokowi; Memimpin Kota, Menyentuh Jakarta buah karya Alberthiene Endah (2012) kita dapat menelisik visi yang lebih jauh dari sosok yang sedang naik daun ini. Bagaimana pemikirannya mengenai Jakarta dan langkah apa saja yang jadi landasannya dalam membenahi Jakarta kelak. Apalagi ia telah dipercaya menahkodai “kapal besar” yang masih bergelut dengan badai (banjir, kemiskinan, korupsi, hedonisme, dll) di kota tua yang sekaligus ibukota itu.

Orang mungkin masih menyangsikan Jokowi akan berhasil memimpin Jakarta, yang konon memang merupakan kota peninggalan masa kolonial yang kerap jadi langganan banjir. Ia diragukan, tapi juga meyakinkan dengan berbagai kesuksesan yang ditorehkan semenjak menjadi Walikota Solo.

“Memimpin Solo bagi saya adalah belajar tentang kehidupan”, tutur Jokowi, meresapi hakikat hidup yang ia jalani sebagai pemimpin. Dan memang kehidupan adalah pengalaman bagi setiap orang dalam berproses, yang kata filsuf besar Nietzche, dalam wilayah mikrokosmos, manusia harus mencari werden (kemenjadiannya).

Jokowi sendiri menerangkan ke pembaca, “lewat buku ini, setelah saya dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, saya akan menjawab pertanyaan itu…Sesuatu yang bagi saya memang lazim dilakukan oleh seorang pemimpin” (Hal-9). Dari sinilah sebenarnya kejujuran seorang pemimpin dapat diketahui melalui kedalaman pemikiran dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang bakal menghadangnya didepan.

Disetiap kesulitan pasti ada harapan. Jokowi, sebagai sosok dengan paradigma kepemimpinan yang dipandang unik di masyarakat bahkan publik dunia seolah ingin membuktikan bahwa ia mampu menata Jakarta menjadi lebih baik dengan cara dan gayanya.

Keyakinan itu diteguhkannya, “Memimpin sebuah kota adalah juga memotivasi. Menggerakan rakyat untuk menggapai kehidupan lebih baik. Memacu kesanggupan dan kreativitas”, kata Jokowi sembari menebar tawa khas pada kover dalam buku ini dengan kepala tengadah (hal-164).

Namun ia juga menyadari bukanlah dewa yang sanggup mengubah segalanya dalam sekejab. Keterbatasan sebagai manusia ia sadari, tapi keyakinan besar menata dan mengelola kota bergelayut didalam dirinya.

Kerenyahan bahasa kentara disuguhkan Alberthiene yang juga seorang novelis. Saya yakin pembaca dapat menikmati buku ini dengan gaya santai dan asketis di tempat manapun tanpa dahi berkerut seperti membaca buku-buku berat.

Tentu inilah yang diharapkan, sebagaimana Albert Einstein, yang membuat rumus fisika yang konon rumit dan njelimet itu menjadi sebegitu sederhana dengan rumus terkenalnya: E=MC2-nya.

Penyajian foto-foto Jokowi baik saat-saat santai maupun resmi turut melengkapi memoar di buku ini sehingga cerita kian hidup. Penggunaan kata “saya” sebagai narasi cerita menjadikan kisah ini memiliki keintiman dan kedekatan tersendiri.

Aspek positif dari sosok Jowoki memang begitu ditonjolkan di buku ini. Narasi dari sang tokoh, yang mungkin dapat jadi refleksi kurang kentara. Ini yang barangkali kerap terjadi dan jadi cirikhas suatu memoar.

Buku ini tentu dapat digolongkan sebagai kisah inspiratif yang diambil dari realitas hidup yang ada dengan aspek kekinian. Beberapa keberhasilan di masa lalu sangat ditonjolkan. Ini yang barangkali membuat masyarakat Jakarta memutuskan memilih Jokowi sebagai Gubernurnya saat itu.

Harapan masyarakat kini dipikul Jokowi beserta jajarannya. Pemikiran dan gebrakannya ditunggu banyak kalangan untuk menata Republik Indonesia lebih disegani dunia dengan kemandirian rakyatnya dalam segala bidang kehidupan, termasuk moralitas bangsa, pejabat dan rakyatnya.

Sungguh ditengah kerumitan masalah masih menyisakan banyak harapan dan solusi yang membuat hidup makin ditempa dan bergairah.

Baik seperti di Solo, Jakarta bahkan Indonesia sekalipun yang penuh masalah itu, kini ditangani pemimpin yang benar-benar komitmen dan ingin membuktikan melalui tindakan-tindakan real, salah satunya melalui buku ini sebagai salam pembuka untuk Jakarta.

Di akhir isi, Jokowi, begitu memendar pengharapan, “Saya yakin seperti halnya Solo , Jakarta bisa dilembutkan dengan cara manusiawi. Kelembutan yang kokoh, penuh energi positif, dan berpengharapan”.

Kini kita tunggu saja sentuhan-sentuhan Presiden Jokowi dalam membenahi NKRI. Dan mnembuktikan jika semangatnya dengan dibantu Kabinet Trisakti yang akan diumumkan pada Rabu Wage, 22 Oktober 2014 dan seluruh komponen Rakyat Indonesia mampu dibenahi. Dan  Tidak sekadar menjadi mimpi belaka.

Tidak ada komentar: