Jurnalis Independen: Di tengah penyusunan kabinet, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memastikan akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada tanggal 31 Oktober 2014. Dengan begitu, harga baru BBM berlaku mulai 1 November.
Jelas ini "kado" pahit dari pemerintah baru pimpinan Jokowi-Kalla. Sumber Kontan yang mengetahui rencana tersebut mengatakan, Jokowi-JK akan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 3.000 per liter. "Ini seperti rencana semula, naik Rp 3.000 per liter," ujar sumber tersebut, Kamis (23/10/2014). Ini artinya, BBM bersubsidi akan naik 46,1 persen, dari Rp 6.500 menjadi Rp 9.500 per liter. Kenaikan ini akan menghemat anggaran Rp 20 triliun.
Bersamaan dengan kenaikan harga BBM, pemerintah akan memberikan bantuan ke masyarakat miskin. Ada 20 juta keluarga miskin yang akan mendapatkan "guyuran" dana dari pemerintah. Jumlah ini naik dari jumlah orang miskin penerima kompensasi kenaikan harga BBM dua tahun lalu yang hanya 15,5 juta kepala keluarga.
Berkaca pada masa itu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan bantuan langsung sementara sebesar Rp 150.000 per bulan per rumah tangga miskin. Dengan kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter, bantuan berlangsung selama empat bulan kepada 15,5 juta orang. Dengan skema sama, pemerintah baru harus menyediakan dana bantuan sosial Rp 9,3 triliun. Padahal, APBN-P 2014 cuma mengalokasikan dana Rp 5 triliun untuk cadangan sebagai antisipasi kenaikan BBM.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani mengatakan, APBN-P 2014 tak bisa memberikan bantuan seperti 2013 jika harga BBM naik Rp 3.000 per liter. "Dana yang ada hanya bisa memberikan kompensasi 2-3 bulan saja," kata Askolani, Rabu (22/10/2014).
Dengan penerima bantuan lebih besar, dapat dipastikan dana kompensasi harus bertambah. Pemerintah Jokowi harus meminta tambahan anggaran baru ke parlemen. Ini belum tentu mulus, mengingat kubu oposisi menguasai parlemen. Di DPR, Koalisi Merah Putih menguasai 353 kursi atau 63 persen suara, sedangkan Jokowi-JK yang didukung Koalisi Indonesia Hebat hanya 207 kursi atau 37 persen. KIH pasti harus menyerah jika harus voting untuk menambah dana kompensasi.
Ecky Awal Mucharam, anggota DPR dari Fraksi PKS (anggota KMP) menegaskan, partainya sejak awal menolak kenaikan harga BBM karena ini akan mendorong inflasi dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Satya Yudha, anggota DPR dari Partai Golkar, mengatakan, kenaikan harga BBM hak pemerintah. Namun, pemerintahan Jokowi harus cermat menghitung penghematan anggaran dan alokasinya untuk kegiatan produktif. (Asep Munazat Zatnika, Jane Aprilyani, Margareta Engge Kharismawati, Umar Idris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar