Kamis, 30 Oktober 2014

Kesaksian Nezar Patria Seputar Kasus Penculikannya

Pengantar Saya Nezar Patria.
Jurnalis Independen: Dilahirkan di Sigli, DI Aceh , pada 5 Oktober 1970. Saya lulus dari Fakultas Filsafat UGM pada Agustus 1997. Selama menjadi mahasiswa saya aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Jamaah Shalahuddin UGM (1990-1991), Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (1992-1996) dan terakhir sebagai Sekretaris Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada 1996. Keterlibatan saya di SMID dimotivasi oleh realitas kehidupan sosial dan politik Indonesia yang sangat jauh dari standar negara modern yang demokratis.



Perlakuan politik Orde Baru yang penuh dengan penindasan hak azasi manusia, ketidakadilan politik dan ekonomi membuat saya mengambil sikap yang kritis terhadap praktik kediktatoran Orde Baru. Lewat kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang intensif dan melelahkan namun tak merubah keadaan, akhirnya saya memutuskan untuk aktif dalam aksi-aksi protes mahasiswa dan advokasi kasus-kasus rakyat yang hak-haknya dirampas, ditindas secara ekonomi dan politik oleh Rezim Orde Baru.

Agaknya sudah menjadi takdir bagi seluruh aktivis prodemokrasi yang berjuang melawan politik kediktatoran Orde Baru untuk bersiap menghadapi penjara, intimidasi, teror dan berbagai bentuk penindasan lain yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Salah satunya adalah apa yang saya alami pada 13 Maret 1998, dua hari setelah Sidang Umum 1988 yang penuh kepalsuan, menjelang bangkitnya gemuruh perlawanan rakyat yang mengakhiri episode kediktatoran Orde Baru.

1 . Tamu tak dikenal pada Jumat Malam, 13 Maret 1998
Saya dan tiga orang kawan lainnya (Mugiyanto, Bimo Petrus dan Aan Rusdianto) tinggal di Rumah Susun Klender. Kami adalah penghuni baru disana, baru sekitar sepuluh hari. Tepatnya mulai 28 Februari 1998. Kami semua adalah anggota SMID, yang setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hidup dalam perburuan aparat kediktatoran Orde Baru. Setelah gagal menuding PRD sebagai “dalang” peristiwa 27 Juli 1996 itu, kediktatoran tetap mempersalahkan PRD sebagai organisasi yang tidak sah karena tidak menggunakan Pancasila sebagai asas, melainkan Sosial-Demokrasi Kerakyatan.

Walaupun tak ada maksud sedikitpun dari PRD untuk anti Pancasila–justru memberikan tekanan khusus dari orientasi nilai Pancasila pada azas Sosial-Demokrasi Kerakyatan, namun kediktatoran tetap saja memenjarakan para pimpinan PRD serta setahun kemudian melarang PRD dan juga SMID sebagai salah satu organisasi yang berafiliasi dengannya. Dalam kondisi seperti itu, kami para anggota SMID tetap bergerak walau dalam kondisi yang sangat terbatas. Sebagian besar anggota kami kembali ke kampus dan yang lainnya dengan setia masuk ke basis-basis komunitas rakyat yang tertindas.

Pada 13 Maret 1998, sekitar pukul 19.00 saya baru pulang dari Depok. Saya adalah orang yang pertama pulang pada malam itu. Rumah ini memang sepi kalau siang hari. Kami rata-rata punya aktivitas di luar rumah penuh seharian. Bukan cuma aktivitas yang berkaitan dengan politik (kami tetap menjaga kontak dengan komunitas mahasiswa dan sektor rakyat lainnya dalam rangka pengorganisiran), namun juga melakukan pekerjaan untuk dukungan finansial (menterjemahkan dan menulis artikel).

Sepuluh menit kemudian, Aan pulang. Kami menjerang air untuk membuat minuman. Saat itulah terdengar pintu diketuk oleh orang.
Aan membuka pintu. Empat orang bertubuh tegap dan menggunakan penutup kepala dari wol berdiri di depan pintu. Aan memanggil saya yang masih berada di dapur, karena tamu itu tak dikenal olehnya. Saya melihat salah seorang langsung masuk ke dalam dan memegang lengan Aan. Saya bertanya mereka siapa dan ada keperluan apa. Jawabannya adalah sebuah bentakan “Jangan banyak tanya, mari ikut kami!”. Aan dicengkeram oleh dua orang yang langsung menggiringnya keluar.

Demikian juga saya. Saya mencoba meronta, tapi seseorang mengapit di sebelah kanan saya langsung mencabut pistol jenis semi otomatis. Ia berjaket hitam, bercelana jins, dan menggunakan penutup kepala (seperti topi wol pendaki gunung warna hijau). Pistol itu ditodongkan ke perut saya. Sementara, seseorang yang mengapit di sebelah kiri saya (tak sempat saya identifikasi ciri-cirinya) langsung memborgol kedua tangan saya. Mereka menggiring kami dengan paksa menuruni tangga rumah susun (rumah kami di lantai dua). Mereka bekerja begitu cepat. Tak sampai semenit kami sudah dimasukkan ke dalam sebuah mobil Jip yang telah menungu diluar. Saya juga sempat melihat mobil jip lainnya, kelihatannya juga satu kelompok dengan mereka, parkir persis di belakang mobil yang kami dipaksa naik ke dalamnya.

Di dalam mobil, mata saya dan Aan langsung ditutup dengan kain hitam dan ditambah lagi dengan penutup kepala dari wol hitam. Kami berdua duduk di tengah. Sementara di kedua sisi diapit oleh dua orang. Masing-masing tangan kami diborgol bergandengan. Tangan kanan saya dengan tangan kiri Aan diborgol jadi satu, sementara kedua tangan kami yang lainnya diborgol bersama dengan tangan orang-orang tak dikenal itu. Mobil itu ber-AC. Sebelum mata saya ditutup, saya sempat melihat dua orang duduk di depan, seorang berfungsi sebagai supir dan seorang lagi duduk disampingnya. Mobil langsung meluncur dengan kecepatan tinggi. Semua kaca mobil tertutup rapat. Musik diputar cukup keras, sehingga saya tak mendengar suara bising lalu lintas di sepanjang perjalanan.

Di dalam Jip itu seseorang menanyakan nama saya dan apa aktivitas saya selama ini. Setelah saya menyebut nama dan kegiatan saya, seseorang menyela “Aktivis SMID, kita nggak salah tangkap!”. Tak ada percakapan lagi setelah itu. Saya berpikir keras menduga siapa yang menangkap saya. Jelas, mereka bukan orang biasa. Mereka cukup profesional dan sikapnya keras serta dingin. Saya berdoa dan berdzikir, Saya tak bisa menerka arah dan jalur mana yang ditempuh oleh mereka. Namun, saya mencermati selama perjalanan itu, kaset musik sempat berganti side. Jadi kurang lebih satu jam. Setelah itu saya merasa mobil berhenti di satu tempat, dan terdengar seseorang melakukan komunikasi dengan radio.

Terdengar tanda panggil “Merpati, Merpati!” Namun saya tak mendengar balasannya. Kelihatannya mereka telah tiba di tempat tujuan, dan sedang menunggu konfirmasi izin untuk masuk. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, mobil meluncur ke sebuah bangunan. Saya dan Aan diturunkan dengan mata tertutup dan tangan terborgol. Kaki saya yang telanjang terasa menginjak rumput, lalu tanah berpasir dan kemudian lantai tegel. Kami digiring masuk ke sebuah ruangan.

2 . Suara sepatu lars yang berderap-derap
Ketika masuk ke dalam ruangan yang ber-AC itu, kami langsung dipisah, walaupun masih dalam satu ruangan. Saya merasa banyak orang yang berada dalam ruangan tersebut mengelilingi saya dan juga Aan. Celana saya dibuka dengan paksa sehingga tinggal celana dalam dan baju kaos saja. Saya langsung didudukan pada sebuah kursi lipat, borgol dibuka namun sebelah tangan saya diborgol pada besi kursi.

Saya merasa berhadapan dengan sebuah meja dan ada seseorang diseberang sana melontarkan pertanyaan dengan cukup keras “Sebagai Sekjen SMID kamu pasti tahu dimana Andi Arief. Katakan segera dimana dia sekarang!”. Saya menjawab, tidak tahu persis dimna Andi Arief berada, karena saya bertemu terakhir dengan dia di Yogyakarta sekitar setengah tahun sebelumnya. Mendengar jawaban itu mereka segera menghajar saya.

“Bangsat, pembohong!” kata salah seorang. Lalu saya merasakan sebuah pukulan keras di rahang saya dan diikuti dengan puluhan pukulan lain. Mereka mengulangi pertanyaannya, dan saya jawab tidak tahu. Lalu saya mendengar ada suara perintah untuk mengambil alat setrum. Sebuah benda terasa menempel di betis dan paha saya, dan sebuah aliran listrik yang cukup kuat menyentak seluruh sendi tubuh saya. Saya berteriak “Allahu akbar!” sambil menahan rasa sakit yang luar biasa.

Aliran listrik itu menyerang bertubi-tubi, sehingga tubuh dan kursi yang saya duduki bergeletar. Saya merasa sebuah tendangan keras menghantam dada saya hingga saya terjengkang ke belakang dan kursi lipat tempat saya duduk jadi ringsek.. Setelah mengganti kursi yang lebih kuat, mereka kembali mengulang pertanyaan tersebut. Saya dalam keadaan setengah sadar, lalu mengatakan bahwa Andi Arief berada di Lampung. Tempat persisinya saya tidak tahu, mungkin saja di rumah orang tuanya.

Setelah itu saya dibaringkan di sebuah velbed. Kedua kaki saya diikat kencang pada tepi velbed, dan kedua tangan saya diborgol juga pada tepi velbed. Mereka menanyai tentang aktivitas politik yang pernah saya lakukan, dan selalu saja entah menjawab atau tidak saya disetrum berkali-kali. Mereka menanyakan apakah saya mengenal Waluyo Djati, Faisol Reza, dan Herman. Mereka juga menanyakan apakah saya mengenal Desmond dan Pius. Saya juga disuruh menceritakan apa saja aktivitas mereka. Lalu mereka menanyakan apakah saya pernah bertemu dengan Megawati dan Amien Rais. Dan apakah PRD atau SMID pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi.

Saya menjawab tidak pernah bertemu dengan ketiga orang tokoh tersebut. Secara politik PRD memang mendukung Amien Rais dan Megawati . Namun PRD atau SMID tak pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi, dan saya jelaskan secara politik posisi kepentingan PRD dan Sofyan Wanandi sangat berseberangan. Jadi, tak mungkin kami mau berhubungan dengan dia apalagi menerima bantuan dari dia. Setelah pertanyaan ini sejenak mereka menghentikan penyiksaannya terhadap saya.

Samar-samar saya mendengar Aan yang sedang ditanyai oleh sejumlah orang. Posisi dia tak jauh dari saya dan kami masih berada dalam satu ruangan. Tak lama kemudian suasana menjadi sepi dan hening. Dan saya kaget ketika terdengar langkah-langkah sepatu yang baru saja masuk. Lalu, saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan seseorang yang juga sedang disiksa dan diinterogasi di ruang yang sama. Saya mengenal persis suara itu sebagai suara Mugiyanto.

Kemudian kami bertiga diberi makan nasi bungkus dengan lauk ikan. Selama makan kami tetap di velbed dengan posisi duduk serta tangan kiri terborgol dan mata tertutup. Selesai makan pertanyaan berlanjut tentang riwayat hidup saya dan pengalaman aktivitas politik saya. Sepanjang malam itu sampai dengan subuh kami tetap terus disetrum dan diteror dengan suara alarm yang sangat memekakkan (bunyinya mirip dengan alarm mobil). AC dihidupkan dengan sangat kencang, sehingga tubuh saya yang setengah telanjang menggigil.

Lalu seorang petugas datang mendekat memeriksa tubuh saya (kelihatannya tenaga medis) dan lewat suaranya samar-samar saya dengar bahwa ia melarang untuk menyetrum daerah perut dan dada. Lalu saya dan kawan-kawan dipakaikan kembali celana panjang kami. Kami tak bisa tidur sampai pagi hari, sampai para petugas penjaga berganti regu. Karena mata tertutup kami sepertinya kehilangan orientasi waktu. Petugas yang baru masuk juga mengulangi pertanyaan seperti regu sebelumnya. Siksaan terus kami alami sepanjang hari.

Saya berpikir dan coba menduga siapa mereka. Namun sangat sulit, karena mereka tak penrnah menyapa sesamanya dengan panggilan nama. Ruangan itu juga kedap suara. Namun, pada pagi hari itu terdengar samar-samar suara derap sepatu lars di luar. Saya menduga karena pintu agak terbuka sedikit, sehingga suara-suara di luar merambat ke dalam ruangan X itu.

Kedengarannya seperti sekelompok serdadu yang sedang senam militer dan berlari-lari kecil secara serempak. Juga terdengar mereka menyanyikan lagu-lagu pembangkit semangat serta yel-yel yang tak jelas benar kata-katanya.

Keesokannya (hari kedua) posisi kami masih tetap di velbed dan masih dalam ruangan tersebut. Pagi-pagi saya ditanyai tentang biodata. Saya kemudian dipaksa untuk mencari cara menangkap Andi Arief, dengan menanyakan watak, kebiasaan dan tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh Andi. Saya tak dapat menjawabnya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Saya disetrum lagi dan dipukuli. Saya juga ditanya tentang struktur PRD setelah Budiman Sujatmiko, Ketua PRD, di penjara. Mereka juga menyakan jaringan gerakan prodemokrasi yang lainnya.

Kemudian para interogator itu menanyakan program politik PRD saat ini. Dan juga mereka menanyakan tentang kenapa PRD mendukung referendum bagi rakyat Timor-timur. Saya menjawab, bahwa persoalan Timor-timur telah menjadi bumerang yang merugikan citra bangsa Indonesia di pergaulan internasional. Selain itu, perang yang berkepanjangan telah membawa banyak korban baik dari serdadu Indonesia maupun juga rakyat Timor-timur. Referendum adalah jalan yang adil dan demokratis bagi Timor-timur untuk menentukan sikap. Terjadi “diskusi” disini antara kami bertiga dan para interogator. Mereka mengaku cukup lama bertugas di Timor-timur dan juga Aceh. Untuk beberapa jam tidak ada siksaan yang kami alami selama “diskusi ” tersebut.

Saya minta izin untuk ke toilet karena ingin buang air kecil. Mereka kemudian melepaskan borgol saya, dan dengan mata tertutup lalu sebelah tangan saya diborgol ke tangan seorang petugas yang mengantarkan saya ke toilet. Saya berjalan melintasi ruang ber-AC tersebut dan begitu keluar menuju toilet saya kembali mendengar suara sepatu lars yang sedang berdarap-derap serempak. Kali ini lebih jelas suara itu berasal dari mereka yang sedang latihan berlari-lari kecil dan serempak. Namun saya tak tahu lagu apa yang dinyanyikan dan juga bunyi yel-yel yang mereka teriakkan.

Setelah makan pagi , kami ditanyai lagi oleh kelompok petugas yang berbeda. Siksaan berupa setrum dan pukulan serta tendangan kembali saya rasakan. Bahkan ketika mereka minta saya menyebut secara persis alamat teman-teman Andi Arief di Lampung, mereka memposisikan velbed saya secara terbalik. Kepala saya di bawah sementara kaki di atas, dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Seseorang bahkan membungkam mulut saya dengan tumit sepatu sampai bibir saya pecah, karena saya berteriak keras “Allahu akbar” ketika aliran listrik itu begitu gencar seperti meluluhlantakkan sendi-sendi tulang saya. Sampai dengan malam hari terus-menerus terjadi interograsi. Terkadang pertanyaannnya mengulang-ulang dan kadangkala pertanyaan diajukan berdasarkan data yang didapat dari kedua kawan yang lain.

Besoknya, (tanggal 15/3) saya digiring ke toilet oleh dua orang petugas. Mata saya tetap tertutup dan kedua tangan terborgol. Mereka membuka borgol dan kedua mata saya ketika berada di toilet. Saya melihat dua orang petugas itu memakai topeng dari wol hitam. Hanya matanya saja yang terlihat. Saya dipotret di sana dengan kamera otomatis langsung jadi. Toilet itu kelihatan bersih, ada wastafel dan cermin. Keramiknya warna biru muda dan lantainya warna merah bata. Dinding warna krem. Setelah selesai mata saya kembali ditutup, sebelumnya saya dizinkan cuci muka. Saya kembali ke ruangan semula dimana saya dibaringkan kembali ke velbed. Lalu seorang petugas mengatakan bahwa kami bertiga sebenarnya bukan target mereka, dan karena itu kami akan dibawa ke suatu tempat. Namun walaupun begitu mereka akan tetap mengawasi kami dimanapun kami berada, dan adalah persoalan yang gampang untuk menyelesaikan kami bertiga jika kami membuat ulah yang tak menyenangkan mereka.

3 . Menuju Polda Metro Jaya
Sekitar tengah hari, lalu kami di bawa ke suatu tempat. Masing-masing kami diangkut dengan satu mobil. Saya dibawa dengan mobil Jip jenis Jimni. Perjalanan sekitar 1,5 jam, sebelum akhirnya saya tiba di sebuah tempat. Dalam perjalanan mata saya tetap ditutup dan tangan diborgol ke belakang. Kami kemudian dibawa turun dan berjalan memasuki sebuah gedung. Saya merasa menaiki anak tangga untuk bangunan bertingkat. Sampai di sebuah ruangan mata saya dan borgol dibuka. Saya melihat ada sejumlah petugas berpakaian preman dan menggunakan HT berada di depan saya. Saya lalu dipersilahkan duduk dan diberi makan. Ruangan itu cuma 2×2 M dan di pintu saya sempat melihat tulisan dari karton putih yang di tempelkan di daun pintu. Kalau tak salah ingat bunyi tulisan tersebut adalah “Koladaops 05″. Seorang petugas lalu melakukan proses verbal terhadap saya melalui pertanyaan-pertanyaan seperti layaknya berkas acara pemeriksaan (BAP). Saya juga disuruh menandatangani sebuah surat (surat penangkapan?) yang kopnya telah dihapus. Jadi saya tak tahu institusi formal mana yang melakukan proses verbal tersebut.

Tak lama kemudian, mata saya ditutup lagi. Kelihatannya ada petugas lain yang menjemput. Kami bertiga lalu dinaikkan ke sebuah mobil Kijang . Mobil itu membawa kami ke suatu tempat, yang setelah sampai disana kami ketahui sebgai Polda Metro Jaya. Mata kami dibuka, borgol juga dilepas. Lalu kami dibawa ke sebuah ruang dan diperiksa. Setelah itu menandatangai surat penahanan dengan dugaan bahwa kami melakukan tindak pidana Subversi. Sebelum mendapat penangguhan penahanan, kami ditahan dan diisolasi (1sel untuk 1 orang) selama lebih kurang tiga bulan. Selama dalam tahanan Polda Metro Jaya kami sempat dipanggil oleh tiga orang perwira dari Puspom ABRI. Mereka menanyakan proses penangkapan kami oleh orang-orang tak dikenal itu.
Jakarta, 7 Juni 1998
Nezar Patria

Tidak ada komentar: