Sabtu, 04 Oktober 2014

Menelisik Kekokohan dan Soliditas KMP dan Atek-anteknya (1)

Jurnalis independen: Banyak argument dikatakan politisi pendukung Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendasari sepak terjangnya terkait UU MD3, UU Pemilu Kada sementara yang paling gress adalah penguasaan dan bagi-bagi kursi di Gedung Parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). KMP selalu mengatasnamakan keadilan, kesejahteraan Rakyat Indonesia. Namun sebenarnya, jika kita mau, hal itu terjadi bukan hanya lantaran kekalahan kandidat Prabowo – Hatta Rajasa (Prahara) yang diusung KMP. Namun lebih dari itu!


Secara kasat mata terlihat, konspirasi politisi hitam yang tergabung dalam KMP, jauh hari sebelumnya, telah merancang sebuah skenario besar. Skenario itu ditujukan untuk tetap melanggengkan penguasa Negara berada dalam kekuasan orang yang salah dan mudah didikte oleh konseptor yang menjadi dalang dan telah sukses mengeruk kekayaan Negara Indonesia, sejak ratusan tahun lalu.

Kiblat pilitisi hitam adalah sosok Presiden Era Orde Baru, yaitu Jenderal TNI (Purn) Soeharto. Sosok Soeharto lah yang menjadi Soko Guru, sekaligus inspirator kalangan politiis hitam yang kini lebih banyak bergabung dengan KMP.

Pengusungan pecatan Danjen Kopassus Prabowo Subianto, merupakan bagian dari skenario besar yang dimainkan dengan melewati tahapan konstitusi. Majunya Gubernur DKI Joko Widodo melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi kandidat calon Presiden 2014- 2019, menjadi batu sandungan serius bagi konspirator pengangkang kekuasaan dan kekayaan Negara Indonesia yang mengusung Prabowo- Hatta Rajasa (Prahara).

Dalang konspirator, mulanya sudah memperhitungkan dengan pasti, jagonya yaitu Prabowo Subianto akan sukses menjadi Presiden Republik Indonesia 2014. Hal ini didasari perjalanan sejarah yang menyangkut pribadi sang kandidat yang tidak menemui kendala berarti.

Sejak reformasi bergulir hingga tragedi Mei ’98, sang jago yang dielus dalang konspirator relative mulus tanpa kendala berarti. Buktinya, Prabowo sempat naik panggung dan bursa pilpres 2009  berpasangan dengan Founding Mathers Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarno Putri. Kala itu teriakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) tak selantang keikutsertaannya pada pilpres 2014 ketika melawan Jokowi-JK.  

Pertanyaannya mengapa demikian? Jawaban paling sederhana adalah, inilah politik! Saat berteman, para politikus akan membungkus seluruh kesalahan dan pelanggaran hukum sahabatnya, sebaliknya jika berseberangan walau sebesar biji zarah, harus diungkap ke public. Itulah politik yang lumrah dipertunjukkan para politisi dimanapun, tidak hanya di negeri Pancasila ini.

Tanpa ada yang tahu, selepas reformasi kalangan konseptor pembuat Grand Design Internasional, kembali mereview cengkeramannya atas NKRI. Hilangnya rezim Soeharto membuat galau kalangan yang disebut diatas. Lantaran itu, mereka berpikir keras untuk kembali memantapkan pengaruhnya kepada para pemimpin, calon pemimpin negeri yang kaya akan sumber daya ini.

Kepemimpinan BJ Habibie menggantikan Presiden Soeharto yang dilengserkan oleh kekuatan reformasi sebagai presiden masa transisi, Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati membuat dalang keributan “diam sesaat”.

Walau diam sesaat, kekuatan tersembunyi itu tetap mengeruk kekayaan Republik dengan penipuan-penipuan kecil lewat perantara kaki tangannya. Buktinya, Megawati menjual Telkom, Indosat dan kapal tanker minyak milik Negara. Dalihnya, untuk membayar utang luar negeri yang ditinggalkan rezim otoriter Soeharto.

Semangat reformasi setelah kejatuhan rezim Soeharto yang kemudian mengutak atik dan mengamandemen UUD 1945, selain melapangkan, juga sedikit menyempitkan gerak kekuatan terselubung yang menjadi konseptor gelap. Salah satu yang menyempitkan gerak kekuatan terselubung tercermin dengan munculnya aturan pembatasan masa jabatan seorang Presiden Indonesia yang dibatasi hanya dua kali masa jabatan.

Sepuluh tahun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kekuatan terselubung telah berbagi kenikmatan dalam menikmati kemolekan kekayaan Indonesia dengan pihak penguasa dan para loyalisnya.

Menjelang akhir masa jabatan SBY dan semakin dekatnya pergantian kekuasaan membuat panas dingin kelompok grand design. Terlebih dengan munculnya sosok Joko Widodo yang belum tersentuh virus “kekuatan jahat internasional”. Penggiringan opini public yang telah lam dilakukan agar mendukung pencapresan Anak Begawan Ekonomi era orde baru Prabowo Subianto menemui kerikil dan batu sandungan. Batu sandungan berupa sosok Jokowi yang kian moncer saat menjabat Gubernur DKI dengan gaya sederhana dan blusukan semakin serius. Terlebih saat penolakan Jokowi dijadikan sebagai patner atau orang kedua Prabowo.

Sosok kejujuran, sederhana, menentang arus, bersih dari korupsi, semakin mempesona mempesona masyarakat Indonesia pada Jokowi yang menjadi anak emas Megawati Soekarno Putri. Sisi lain, Prabowo semakin blingsatan. Bersama kekuatan hitam internasional, politik uang menjadi andalan memenangkan pertarungan 9 Juli 2014. Korupnya birokrasi dan Kabinet Pemerintah SBY, yang tentu saja menjatuhkan pilihan kepada Parbowo, terlebih yang menjadi pendamping sebagai calon Wakil Presiden Hatta Rajasa adalah besan pemegang kekausaan. Hal itu semakin membuat jumawa kelompok yang menamakan diri Koalisi Merah Putih.

Namun rakyat sudah muak melihat drama, sinetron dan lip service dari para badut politik anak asuh Soeharto. Walau mereka bersembunyi dengan menggunakan partai baru, seperti Demokrat, Gerindra, PPP yang ketuanya berhutang pada Prabowo, PKS dan PAN yang ketahuan belangnya menjadi reformis palsu, rakyat semakin solid mendukung calon Presiden Pilihan Rakyat Joko Widodo yang di dukung Jusuf Kalla yang juga dikenal istiqomah dan memegang amanah yang diberikan rakyat padanya. Sementara Golkar yang diketuai Abu Rizal Bakrie (ARB), tentu saja dengan suka cita memberikan dukungannya kepada mantan menantu “pemilik Partai Golkar”Soeharto.  

Para politisi, purnawirawan Jenderal yang masih memiliki hati nurani dan menjadi saksi arogansi, kegilaan, serta rakusnya Probadi Prabowo, merapatkan barisan ke kubu Indonesia hebat, mendukung Jokowi.

Sisi lain, konseptor pencengkeram republic, telah memperhitungkan jumlah dukungan yang di dapat dari politisi pecundang.   
         
 


     

Tidak ada komentar: