Jurnalis independen: Banyak argument
dikatakan politisi pendukung Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendasari sepak
terjangnya terkait UU MD3, UU Pemilu Kada sementara yang paling gress adalah
penguasaan dan bagi-bagi kursi di Gedung Parlemen Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI). KMP selalu mengatasnamakan keadilan, kesejahteraan
Rakyat Indonesia. Namun sebenarnya, jika kita mau, hal itu terjadi bukan
hanya lantaran kekalahan kandidat Prabowo – Hatta Rajasa (Prahara) yang diusung
KMP. Namun lebih dari itu!
Secara kasat mata terlihat,
konspirasi politisi hitam yang tergabung dalam KMP, jauh hari sebelumnya, telah
merancang sebuah skenario besar. Skenario itu ditujukan untuk tetap
melanggengkan penguasa Negara berada dalam kekuasan orang yang salah dan mudah
didikte oleh konseptor yang menjadi dalang dan telah sukses mengeruk kekayaan
Negara Indonesia, sejak ratusan tahun lalu.
Kiblat pilitisi hitam
adalah sosok Presiden Era Orde Baru, yaitu Jenderal TNI (Purn) Soeharto. Sosok
Soeharto lah yang menjadi Soko Guru, sekaligus inspirator kalangan politiis
hitam yang kini lebih banyak bergabung dengan KMP.
Pengusungan pecatan
Danjen Kopassus Prabowo Subianto, merupakan bagian dari skenario besar yang
dimainkan dengan melewati tahapan konstitusi. Majunya Gubernur DKI Joko Widodo
melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi kandidat calon
Presiden 2014- 2019, menjadi batu sandungan serius bagi konspirator pengangkang
kekuasaan dan kekayaan Negara Indonesia yang mengusung Prabowo- Hatta Rajasa
(Prahara).
Dalang konspirator,
mulanya sudah memperhitungkan dengan pasti, jagonya yaitu Prabowo Subianto akan
sukses menjadi Presiden Republik Indonesia 2014. Hal ini didasari perjalanan
sejarah yang menyangkut pribadi sang kandidat yang tidak menemui kendala
berarti.
Sejak reformasi
bergulir hingga tragedi Mei ’98, sang jago yang dielus dalang konspirator
relative mulus tanpa kendala berarti. Buktinya, Prabowo sempat naik panggung
dan bursa pilpres 2009 berpasangan
dengan Founding Mathers Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarno
Putri. Kala itu teriakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) tak selantang
keikutsertaannya pada pilpres 2014 ketika melawan Jokowi-JK.
Pertanyaannya mengapa
demikian? Jawaban paling sederhana adalah, inilah politik! Saat berteman, para
politikus akan membungkus seluruh kesalahan dan pelanggaran hukum sahabatnya,
sebaliknya jika berseberangan walau sebesar biji zarah, harus diungkap ke
public. Itulah politik yang lumrah dipertunjukkan para politisi dimanapun,
tidak hanya di negeri Pancasila ini.
Tanpa ada yang tahu,
selepas reformasi kalangan konseptor pembuat Grand Design Internasional,
kembali mereview cengkeramannya atas NKRI. Hilangnya rezim Soeharto membuat
galau kalangan yang disebut diatas. Lantaran itu, mereka berpikir keras untuk
kembali memantapkan pengaruhnya kepada para pemimpin, calon pemimpin negeri
yang kaya akan sumber daya ini.
Kepemimpinan BJ
Habibie menggantikan Presiden Soeharto yang dilengserkan oleh kekuatan
reformasi sebagai presiden masa transisi, Presiden Abdurrahman Wahid dan
Megawati membuat dalang keributan “diam sesaat”.
Walau diam sesaat,
kekuatan tersembunyi itu tetap mengeruk kekayaan Republik dengan
penipuan-penipuan kecil lewat perantara kaki tangannya. Buktinya, Megawati
menjual Telkom, Indosat dan kapal tanker minyak milik Negara. Dalihnya, untuk
membayar utang luar negeri yang ditinggalkan rezim otoriter Soeharto.
Semangat reformasi setelah
kejatuhan rezim Soeharto yang kemudian mengutak atik dan mengamandemen UUD
1945, selain melapangkan, juga sedikit menyempitkan gerak kekuatan terselubung
yang menjadi konseptor gelap. Salah satu yang menyempitkan gerak kekuatan
terselubung tercermin dengan munculnya aturan pembatasan masa jabatan seorang
Presiden Indonesia yang dibatasi hanya dua kali masa jabatan.
Sepuluh tahun masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kekuatan terselubung
telah berbagi kenikmatan dalam menikmati kemolekan kekayaan Indonesia dengan pihak
penguasa dan para loyalisnya.
Menjelang akhir masa
jabatan SBY dan semakin dekatnya pergantian kekuasaan membuat panas dingin
kelompok grand design. Terlebih dengan munculnya sosok Joko Widodo yang belum
tersentuh virus “kekuatan jahat internasional”. Penggiringan opini public yang
telah lam dilakukan agar mendukung pencapresan Anak Begawan Ekonomi era orde
baru Prabowo Subianto menemui kerikil dan batu sandungan. Batu sandungan berupa
sosok Jokowi yang kian moncer saat menjabat Gubernur DKI dengan gaya sederhana
dan blusukan semakin serius. Terlebih saat penolakan Jokowi dijadikan sebagai
patner atau orang kedua Prabowo.
Sosok kejujuran,
sederhana, menentang arus, bersih dari korupsi, semakin mempesona mempesona
masyarakat Indonesia pada Jokowi yang menjadi anak emas Megawati Soekarno
Putri. Sisi lain, Prabowo semakin blingsatan. Bersama kekuatan hitam
internasional, politik uang menjadi andalan memenangkan pertarungan 9 Juli
2014. Korupnya birokrasi dan Kabinet Pemerintah SBY, yang tentu saja menjatuhkan
pilihan kepada Parbowo, terlebih yang menjadi pendamping sebagai calon Wakil
Presiden Hatta Rajasa adalah besan pemegang kekausaan. Hal itu semakin membuat
jumawa kelompok yang menamakan diri Koalisi Merah Putih.
Namun rakyat sudah
muak melihat drama, sinetron dan lip service dari para badut politik anak asuh
Soeharto. Walau mereka bersembunyi dengan menggunakan partai baru, seperti
Demokrat, Gerindra, PPP yang ketuanya berhutang pada Prabowo, PKS dan PAN yang
ketahuan belangnya menjadi reformis palsu, rakyat semakin solid mendukung calon
Presiden Pilihan Rakyat Joko Widodo yang di dukung Jusuf Kalla yang juga
dikenal istiqomah dan memegang amanah yang diberikan rakyat padanya. Sementara
Golkar yang diketuai Abu Rizal Bakrie (ARB), tentu saja dengan suka cita
memberikan dukungannya kepada mantan menantu “pemilik Partai
Golkar”Soeharto.
Para politisi,
purnawirawan Jenderal yang masih memiliki hati nurani dan menjadi saksi arogansi,
kegilaan, serta rakusnya Probadi Prabowo, merapatkan barisan ke kubu Indonesia
hebat, mendukung Jokowi.
Sisi lain, konseptor
pencengkeram republic, telah memperhitungkan jumlah dukungan yang di dapat dari
politisi pecundang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar