Sabtu, 25 Oktober 2014

SBY, "Politikus Kadal"

Jurnalis Independen: Tokoh ini, memang tergolong lihai dan handal dalam strategi berpolitik. Lempar batu sembunyi tangan, retorika, bermuka melas bahkan nangis sambil mengucap "Saya dizolimi". Sebagai presiden, merasa gajinya sangat kecil, padahal sejak menjadi presiden, kekayaan Cikeas semakin menggurita.
Menjelang pelantikan tersebut, muncul sinyal kuat menjegal pelantikan Jokowi-JK oleh partai Koalisi Merah Putih (KMP), yang sudah menguasai pimpinan DPR dan MPR.

Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disinyalir melakukan manuver untuk membatalkan pelantikan Jokowi-JK.

Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Universitas Indonesia Thamrin Amal Tamagola dalam konferensi pers di kantor Megawati Institute, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat pada Rabu (8/10).

Dalam konferensi pers tersebut hadir Koordinator Megawati Institute Arif Budimanta, ekonom Sri Adiningsih dan aktivis Fadjroel Rachman.

“SBY bisa saja melakukan manuver menjelang pelantikan Jokowi-JK sehingga pelantikan tersebut tidak jadi. Caranya dengan mendorong acara pelantikan pada tanggal 20 Oktober baru dimulai pukul 19.00 WIB, kemudian dimolor-molor sampai pukul 23.59 WIB.

Jika belum terjadi pelantikan sampai pukul 23.59 WIB, maka akan terjadi kekosongan pemimpin di Indonesia,” jelas Thamrin.

Dalam kondisi seperti itu, lanjutnya, SBY  dapat mengeluarkan dekrit dengan mangatakan bahwa negara dalam keadaan darurat karena tidak adanya Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian SBY dapat memperpanjang masa jabatannya.

“Inilah manuver buruk SBY yang kemungkinan besar didukung oleh KMP,” katanya.

Thamrin mengingatkan agar rakyat Indonesia berhati-hati dengan manuver SBY. Manurutnya, SBY susah dipercaya  dan telah sering kali  melakukan pembohongan.

Dia mencontohkan bagaimana kebohongan SBY ini terungkap dalam proses pengesahan UU Pilkada dan pemilihan pimpinan DPR dan MPR.

Jika skenario buruk SBY terjadi, maka hal yang  dapat dilakukan masyarakat  adalah meyakinkan publik bahwa Jokowi-JK adalah sah menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, sejak ada keputusan KPU.

Menurutnya, keputusan KPU nomor 535/KPTS/KPU/2014 telah memberikan legitimasi kepada Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.

“Keputusan KPU merupakan syarat hakiki atau yang dibutuhkan sebagai legitimasi bahwa Jokowi-JK sudah layak menjadi Presiden dan Wapres. Sedangkan pelantikan, hanya acara seremonial yang dapat dikategorikan sebagai syarat yang mencukupi untuk memastikan Jokowi-JK sebagai pemimpin bangsa Indonesia,” jelasnya.

Thamrin mengharapkan Jokowi-JK jangan terlalu cemas dengan manuver KMP dan SBY, karena Jokowi-JK memiliki tiga teman yang pasti akan selalu mendukungnya dan pengaruhnya sangat besar.

“Pertama, Mahkamah Konstitusi (MK) yang sangat obyektif dan setia pada Pancasila dan UUD 1945 dalam mengambili keputusan. Ke dua, KPK yang selama ini getol memberantas korupsi di parlemen dan eksekutif. Ke tiga adalah rakyat,  yang pasti tidak tinggal diam jika ada menjegal pelantikan dan program-program pro-rakyat  Jokowi-JK,” bebernya.  (YUS/L-8/SuaraPembaruan/ff)

Seharusnya kita, rakyat Indonesia pendukung pilkada langsung sadar bahwa ketika SBY melalui akun YouTube-nya, pada Minggu, 14 September 2014 menyatakan sikapnya bahwa dia (tentu saja otomatis Partai Demokrat) telah mengambil sikap untuk mempertahankan pilkada langsung, karena itulah yang sangat diinginkan rakyat. Sesungguhnya dia sedang mengulangi taktiknya membohongi parpol-parpol pendukung pilkada langsung (PDIP cs), dan terutama kita, rakyat Indonesia. Parpol-parpol sebesar PDIP saja bisa diperdayai, apalagi rakyat biasa.

Taktik Lama SBY

Taktik yang sama sebetulnya pernah SBY lancarkan ketika menjelang Pilpres 2014, yaitu dalam beberapa pernyataannya yang memberi indikasi kuat bahwa pihaknya tidak bakal mendukung dan memilih Prabowo-Hatta. Hal itu tercermin antara lain dengan pernyataannya bahwa dia tidak akan memilih calon presiden yang berbahaya bagi bangsa dan negara.

Meskipun tidak menyebutkan nama, jelas yang dimaksudnya adalah Prabowo Subianto. Karena ketika itu SBY menyampaikan pernyataannya itu disertai dengan sindirannya ada calon yang manifesto politik parpol-nya ingin UUD 1945 dikembalikan seperti sebelum amandemen, dan anti terhadap investor-investor asing yang dikatakan telah menguasai Republik ini. Hanya Gerindra-lah yang mempunyai manifesto politik sepert itu.

Di lain kesempatan SBY juga menyatakan bahwa Partai Demokrat memutuskan netral, artinya tidak berkoalisi dengan PDIP/Jokowi, maupun dengan Gerindra/Prabowo. Faktanya, para petinggi dan kader Demokrat dalam sikapnya berpihak kepada Gerindra/Prabowo, dan dibiarkan. Mungkin diam-diam diapun bersikap yang sama. Bahkan saat pencoblosan, mungkin SBY memilih Prabowo.

Mundur lagi ke belakang, putusnya hubungannya dengan Megawati, berawal dari ketidakjujuran SBY ketika ditanya Megawati yang waktu itu menjadi atasannya (Megawati presiden, SBY menteri), menjelang Pilpres 2004. Waktu itu lebih dari sekali Megawati meminta konfirmasi kepada SBY, apakah benar diaakan ikut mencalonkan diri sebagai presiden. SBY menjawabnya, tidak. Ternyata, diam-diam dia sedang menyusun strateginya untuk mencalonkan diri di Pilpres 2004, bersaing dan berhasil mengalahkan Megawati.

Ketika itu strategi yang dijalankan SBY adalah strategi mengambil hati rakyat Indonesia, yang dilakukan dengan menempatkan dirinya sebagai korban yang dizalimi Megawati. Mayoritas pemilih di Pilpres 2004 itu berhasail diperdayai, sehingga memilihnya, dan dia menang. Sejak itu SBY berkali-kali menggunakan strategi sebagai “korban yang zalimi”, sasaran teroris, dan lain-lain, untuk mendapat simpatik dari publik,  tetapi lama-kelamaan sudah tidak mempan lagi. Karena rakyat jenuh dan mulai muak dengan taktik yang terus diulang-ulang itu. Strategi itu menjadi bumerang baginya, setiap kali dia curhat ke publik, bukan simpatik yang didapat, melainkan antipati dan kecaman.

Saya pernah mengkritik sikap Megawati yang ngotot tidak mau berdamai dengan SBY, dari 2004 sampai sekarang, ternyata Megawati benar, saya keliru. SBY memang sosok yang tidak bisa dipercaya. Orangnya kelihatan saja lembut dan bijak di depan, tetapi di belakangnya sebaliknya.

Puncak dari sikapnya ini ditunjukkan menjelang akhir masa jabatannya sebagai Presiden. Dengan mewariskan kembalinya sebagian kekuatan Orde Baru melalui Pilkada tidak langsung.

Seharusnya memang sejak awal kita tidak percaya dengan SBY dalam hal RUU pilkada ini. Karena sejak awal, bukankah SBY-lah inisiator dari hasrat untuk mengubah sistem pilkada langsung oleh rakyat menjadi kembali pilkada oleh DPRD?

Karena Kader Demokrat Selalu Kalah di Pilkada

Inisiatif SBY itu berawal dari Juni 2012. Kemungkinan besar inisiatif SBY itu didasarkan kepada kekhawatirannya bahwa di hampir semua pilkada langsung, kader-kader Demokrat selalu kalah. Hal ini diyakini sebagai dampak dari tertangkapnya mantan bendahara DPP Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, pada 7 Agustus 2011, setelah dinyatakan buron oleh KPK sejak April 2011. Tertangkapnya Nazaruddin dengan “nyanyian mautnya” berhasil menyokot petinggi-petinggi lainnya di Demokrat. Satu persatu petinggi Demokrat, ditangkap dan dipenjarakan KPK. Akibatnya, kredibilitas Demokrat terjun bebas di mata rakyat. Dampaknya hampir di semua pilkada, kader (yang didukung) Demokrat kalah.

Semakin khawatir dengan fenomena ini, yang memunculkan ide SBY untuk berinisiatif mengajukan perubahan UU Pilkada tersebut. Dengan dasar pertimbangan, di pilkada langsung, semakin tipis kader Demokrat bisa menang, karena rakyat sudah tidak percaya lagi kepada mereka. Rakyat tidak bisa diatur. Tetapi, kalau di DPRD, pasti semua itu bisa diatur.

Ketika mengajukan inisiatif dan naskah akademik RUU Pilkada yang isinya pilkada diubah menjadi melalui DPRD, pada 6 Juni 2012, semua parpol, termasuk Gerindra cs menolaknya. Dalam rentang waktu pembahasan RUU tersebut selama dua tahun ini, pemerintah dua kali mengubah usulannya. Awalnya mengusulkan gubernur dipilih oleh DPRD, bupati/walikota dipilih langsung. Berubah menjadi sebaliknya, gubernur dipilih langsung, bupati/walikota dipilih oleh DPRD.

Setelah Prabowo kalah di Pilpres 2014, yang dikuatkan oleh MK pada 21 Agustus 2014, Gerindra dan parpol-parpol pendukungnya yang bergabung di Koalisi Merah Putih  tiba-tiba berubah sikapnya 180 derajat. Mereka segera memanfaatkan RUU Pilkada tersebut dengan mendukung semua kepala daerah harus dipilih oleh DPRD. Tentu saja dengan maksud dan strategi politik tersembunyi terhadap pemerintahan Jokowi-JK, mengepung Jokowi dari seluruh daerah, melemahkannya, bilamana perlu melengserkannya di tengah jalan. Amien Rais pernah mengutarakan agendanya untuk dalam satu tahun akan melengserkan Jokowi.

Strategi Licik SBY

SBY sebenarnya diam-diam sangat senang, karena KMP malah mendukung lebih dari apa yang diainginkan, yaitu bukan hanya gubernur, atau bukan hanya bupati/walikota, tetapi dua-duanya, yaitu gubernur dan  bupati/walikota harus dipilih oleh DPRD. Tetapi, seiring dengan itu pula, semakin besar pula penolakan dari rakyat terhadap pilkada tidak langsung. Tentu, SBY tidak berani terang-terangan menentang kehendak rakyat itu, mengingat citranya selama 10 tahun menjadi presiden relatif cukup baik. SBY adalah sosok yang sangat mementingkan pencitraan, dia tentu tak mau citranya rusak di mata rakyat, tetapi itulah yang kini terjadi.

SBY sangat pintar menyembunyikan perasaan sebenarnya, sambil diam-diam menyusun strategi baru, bagaimana caranya untuk tetap bisa tampil dengan pencitraan sebagai presiden yang perduli terhadap aspirasi rakyat banyak, tetapi bersamaan dengan itu mendukung pilkada tidak langsung.

Pada Minggu, 14 September 2014 itu dimulailah strategi dan sandiwara politik itu. Dengan memanfaatkan akun YouTube-nya, “Suara Demokrasi”, SBY menyatakan bahwa dia mendukung untuk mempertahankan Pilkada langsung oleh rakyat. Alasannya secara historis, pilkada langsung sudah sangat sesuai dengan aspirasi rakyat.

Sandiwara dilanjutkan oleh Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan, yang melalui konferensi persnya beberapa hari setelah pernyataan SBY itu, menyatakan mendukung sepenuhnya pilkada langsung, dengan embel-embel pilkada langsung dipertahankan dengan sepuluh perbaikan yang harus dilakukan.

Setelah itu, tibalah permainan sandiwara puncak digelar. Tempatnya di gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta Pusat, waktunya, Kamis, 25 September – 26 September 2014 dini hari, melalui penyampaian pendapat oleh fraksi-fraksi, perdebatan dan lobi-lobi yang alot dan melelahkan.

Dalam penyampaian pendapatnya, Partai Demokrat menyatakan mendukung mempertahankan pilkada langsung tetapi harus dengan syarat mutlak, yaitu DPR harus setuju dengan 10 syarat yang disebutkan itu. Padahal sebelumnya 10 syarat itu tidak pernah disinggung, apalagi sebagai syarat mutlak. Dengan usulan Demokrat itu, maka akan terdapat tiga opsi, yaitu opsi pilkada tetap langsung oleh rakyat, pilkada tidak langsung (oleh DPRD), dan ketiga pilkada langsung dengan 10 syarat mutlak yang disampaikan Demokrat itu.

Sangat gampang ditebak, Demokrat sengaja menyampaikan 10 syarat mutlak itu, karena mereka yakin, semua fraksi, termasuk PDIP cs, pasti menolaknya. Oleh karena itu ketika juru bicara Demokrat, Benny Kabur Harman menyampaikan pendapat dan usulanya itu, dan langsung didukung sepenuhnya oleh PDIP dan PKB, tanpa dapat dicegah, spontan Benny menunjukkan ekspresi terkejut. Dia kaget luar biasa, PDIP dan PKB malah mendukung usulannya yang diharapkan akan ditolak PDIP cs itu. Tetapi, Benny lega karena semua fraksi di KMP menolak opsi Demokrat itu – sesuatu yang sesuai dengan skenarionya.

Maka itulah, Benny kemudian melanjutkan sandiwara Demokrat. Dia menyatakan, “Sebagai partai yang menjunjung tinggi kesantunan, kami tidak ingin keberadaan kami menjadi persoalan. ... Dengan demikian, kami mengambil sikap netral dan walkout dari persidangan,” disambut dengan tepuk tangan riuh dari fraksi-fraksi di KMP.

Jelas sekali pernyataan Benny K Harman ini sangat kontradiksi. Bagaimana bisa dia mengatakan khawatir keberadaan Demokrat menjadi persoalan, kalau keberadaan mereka justru sangat penting dan dibutuhkan agar opsi pilkada langsung itulah yang menang? Jika Demokrat benar-benar konsisten dengan pernyataan SBY bahwa mereka mendukung pilkada langsung, tentu mereka akan rela mengesampingkan 10 syarat tersebut. Karena bukankah yang paling substantif itu adalah pilkada itu harus tetap dipertahankan dipilih oleh rakyat?

Kemungkinan besar, yang dimaksud Benny dengan “kerberadaan Demokrat bisa menjadi persoalan” itu ada;ah persoalan bagi KMP.

Lebih konyol lagi, ketika ditanya wartawan, seusai rapat paripurna itu, Benny menuduh pernyataan dukungan dari PDIP dan PKB terhadap opsi yang diajukan Demokrat itu hanya pura-pura, “lip service”, pemanis bibir saja. Dari mana sampai diabisa menarik kesimpulan atas tuduhannya itu? Jelas sekali, ini hanya alasan yang terlalu dicari-cara, yang semakin menujukkan belangnya Demokrat.

Hal ini diperkuat dengan tidak beraninya Syarif Hasan dan Ibas untuk melayani wawancara watawan. Kedua petinggi Demokrat itu memilih menghindar dari wartawan. Kalau tidak merasa bersalah, kenapa takut dengan wartawan? Ternyata Demokrat itu, berani berbuat, tetapi tidak berani bertanggung jawab. Sudah licik, pengecut pula!

SBY Selalu Berseberangan dengan KPK

Jelaslah sudah, di penghujung masa jabatannya sebagai presiden, SBY telah berperan penting untuk mengembalikan kekuatan Orde Baru kepada rakyat, yang dulu dengan mati-matian disingkirkan oleh rakyat pada Mei 1998. Hal ini tidak sepenuhnya mengherankan, karena bagaimana pun masih ada bibit-bibit Orde Baru pada dirinya, sama dengan tokoh-tokoh penting lainnya di KMP: Prabowo Subinato, Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie, dan juga Amien Rais, sang reformis bunglon.

Demikian juga semakin jelas sikap SBY dan Demokrat yang sesungguh selalu bertentangan sikap dengan KPK, cocok benar dengan sikap umumnya parpol-parpol di KMP, terutama PKS, yang sebenarnya sangat ingin KPK dibubarkan.

KPK secara nyata-nyata menentang pilkada tidak langsung, karena menurut KPK berdasarkan pengalaman mereka dalam melakukan berbagai penyidikan kasus korupsi, justru pilkada oleh DPRD-lah yang akan semakin menyuburkan korupsi. Yaitu melalui kongkalikong kepala daerah dengan DPRD. Karena setelah terpilih dan sepanjang menjadi kepala daerah, keterikatan dan hutang budi antara kepala daerah dengan DPRD itu tetap ada. Kepala daerah akan selalu tunduk pada apa maunya DPRD, kalau tidak ingin diganggu, atau dilengserkan oleh DPRD.

Sebelumnya akhirnya opsi pilkada tidak langsung yang menang, pada Kamis (25/9) malam, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai, argumentasi bahwa kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat cenderung melakukan korupsi tidaklah tepat. Bambang mengatakan, anggota DPRD yang terjerat korupsi selama ini justru lebih banyak daripada kepala daerah.

"Berdasarkan data Djohermansyah Johan (Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri), kepala daerah yang kena kasus korupsi 290 orang. Data kita, DPRD yang kena itu sudah 3.600-an. Waduh berarti 1 tahun 300 tuh dengan jumlah kabupaten dan kota yang sama. Artinya yang paling korup DPRD-nya dong?" kata Bambang.

"Kalau kekuasaan diberikan kepada orang korup itu dengan sistem pemilihan tak langsung, selesailah. Ketemulah dua kekorupannya," ujar Bambang.

Bambang menambahkan, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah cenderung terjadi setelah pilkada sehingga tidak berkaitan dengan proses pilkada langsung. Dia mencontohkan kasus penyuapan beberapa kepala daerah kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mokhtar untuk memenangi sengketa pilkada.

"Dari situ dapat kita simpulkan, korupsi kepala daerah tidak ada hubungannya dengan pemilihan langsung," ujarnya. (Kompas.com)

Perjuangan belum selesai, saya yakin RUU PIlkada dengan sistem pilkada tidak langsung itu pasti akan segera digugat ke Mahkamah Konstitusi setelah disahkan. Dan, saya percaya MK akan lebih mendengar aspirasi rakyat daripada DPR dan SBY.

Sebagai hukumannya, kita, rakyat pendukung pilkada langsung, harus lebih tegas dan total, untuk menghukum semua parpol pendukung pilkada tidak langsung itu, dengan tidak akan memilih mereka di pemilu 2019.

SBY pasti sedang berbohong, ketika dari Washington DC, Amerika Serikat,  menyampaikan kekecewaannya atas menangnya pilkada tidak langsung. Kalau sungguh-sungguh diakecewa, pasti sejak awal diatak akan pernah mengizinkan Demokrat walkout dari ruang sidang DPR itu, karena SBY pasti tahu dengan tindakan walkout itu justru memberi kemenangan kepada pilkada tidak langsung. Buktinya, SBY sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan walkout itu. Saya percaya, kalau dikatakan walkout itu sebenarnya merupakan bagian strategi kunci dari SBY sendiri.

Dari ulasan tersebut di atas, rasanya tidak berlebihan jika saya katakan, "SBY adalah presiden paling licik yang pernah dimiliki Indonesia".

SBY akan dicatat dalam sejarah Republik ini, sebagai presiden yang berperan penting berhasil mengembalikan sebagian kekuatan Orde Baru kepada rakyatnya melalui pilkada tidak langsung. SBY adalah “Bapak Pilkada Tidak Langsung”. ***

Tidak ada komentar: