Senin, 06 Oktober 2014

Menelisik Kekokohan dan Soliditas KMP dan Atek-anteknya

Jurnalis Independen: Banyak argument dikatakan politisi pendukung Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendasari sepak terjangnya terkait UU MD3, UU Pemilu Kada sementara yang paling gress adalah penguasaan dan bagi-bagi kursi di Gedung Parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Klaim KMP atas apa yang dilakukan pasca pilpres 2014, 9 Juli lalu, sepak terjangnya selalu mengatasnamakan keadilan, kesejahteraan Rakyat Indonesia. Namun sebenarnya, jika kita mau menelisik lebih dalam lagi, kita akan mengetahui hal yang sebenarnya terjadi di republik yang kita cintai ini. Republik dan NKRI ini pada kenyataannya, selalu dalam cengkeraman kekuatan konspirasi internasional.

Apa yang dilakukan KMP itu, terjadi bukan hanya lantaran kekalahan kandidat Prabowo – Hatta Rajasa (Prahara) sebagai Presiden 2014 yang diusung KMP. Namun lebih dari itu!

Secara kasat mata terlihat, konspirasi politisi hitam yang tergabung dalam KMP, jauh hari sebelumnya, telah merancang sebuah skenario besar. Skenario itu ditujukan untuk tetap melanggengkan penguasa Negara berada dalam kekuasan orang yang salah dan mudah didikte oleh konseptor yang menjadi dalang dan telah sukses mengeruk kekayaan Negara Indonesia, sejak ratusan tahun lalu.

Kiblat pilitisi hitam adalah sosok Presiden Era Orde Baru, yaitu Jenderal TNI (Purn) Soeharto. Sosok Soeharto lah yang menjadi Soko Guru, sekaligus inspirator kalangan politiis hitam yang kini lebih banyak bergabung dengan KMP. Tentu saja selain itu, dengan atau tanpa sengaja, banyak politisi, pengusaha, kalangan terdidik dan birokrat yang terperosok dalam cengkeraman kelompok kekuatan terselubung.

Pengusungan pecatan Danjen Kopassus Prabowo Subianto, merupakan bagian dari skenario besar yang dimainkan dengan melewati tahapan konstitusi. Majunya Gubernur DKI Joko Widodo melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi kandidat calon Presiden 2014- 2019, menjadi batu sandungan serius bagi konspirator pengangkang kekuasaan dan kekayaan Negara Indonesia yang mengusung Prabowo- Hatta Rajasa (Prahara).

Dalang konspirator, mulanya sudah memperhitungkan dengan pasti, jagonya yaitu Prabowo Subianto akan sukses menjadi Presiden Republik Indonesia 2014. Hal ini di dasari perjalanan sejarah yang menyangkut pribadi sang kandidat yang tidak menemui kendala berarti.

Sejak reformasi bergulir hingga tragedi Mei ’98, sang jago yang dielus dalang konspirator relatif mulus tanpa kendala berarti. Buktinya, Prabowo sempat naik panggung dan bursa pilpres 2009  berpasangan dengan Founding Mathers Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarno Putri. Kala itu teriakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) tak selantang keikutsertaannya pada pilpres 2014 ketika melawan Jokowi-JK.  
Pertanyaannya mengapa demikian? Jawaban paling sederhana adalah, inilah politik! Saat berteman, para politikus akan membungkus seluruh kesalahan dan pelanggaran hukum sahabatnya, sebaliknya jika berseberangan walau sebesar biji zarah, harus diungkap ke public. Itulah politik yang lumrah dipertunjukkan para politisi dimanapun, tidak hanya di negeri Pancasila ini.

Tanpa ada yang tahu, selepas reformasi kalangan konseptor pembuat Grand Design Internasional, kembali mereview cengkeramannya atas NKRI. Hilangnya rezim Soeharto membuat galau kalangan yang disebut diatas. Lantaran itu, mereka berpikir keras untuk kembali memantapkan pengaruhnya kepada para pemimpin, calon pemimpin negeri yang kaya akan sumber daya ini. Sebab penguasaan terhadap para pengusaha Indonesia telah dilakukan dan sukses secara gemilang dan menjadikan pengusaha sebagaimesin pemiskin rakyat yang efektif. Tidak kurang dari 90% pengusaha, atau konglomerat menjadi penyembah kelompok konseptor tersebut.

Kepemimpinan BJ Habibie menggantikan Presiden Soeharto yang dilengserkan oleh kekuatan reformasi sebagai presiden masa transisi, Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati membuat dalang keributan “diam sesaat”.

Walau diam sesaat, kekuatan tersembunyi itu tetap mengeruk kekayaan Republik dengan penipuan-penipuan kecil lewat perantara kaki tangannya. Buktinya, Megawati menjual Telkom, Indosat dan kapal tanker minyak milik Negara. Dalihnya, untuk membayar utang luar negeri yang ditinggalkan rezim otoriter Soeharto.

Semangat reformasi setelah kejatuhan rezim Soeharto yang kemudian mengutak atik dan mengamandemen UUD 1945, selain melapangkan, juga sedikit menyempitkan gerak kekuatan terselubung yang menjadi konseptor gelap. Salah satu yang menyempitkan gerak kekuatan terselubung tercermin dengan munculnya aturan pembatasan masa jabatan seorang Presiden Indonesia yang dibatasi hanya dua kali masa jabatan. Sementara akibat utak-atik dari amandemen itu salah satunya, sampai-sampai Negara tidak bisa lagi melakukan eksplorasi minyak mentah dari tambang sendiri. Hal ini justru melapangkan penguasaan oleh kekuatan tersembunyi.

Sepuluh tahun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kekuatan terselubung telah berbagi kenikmatan dalam menikmati kemolekan kekayaan Indonesia dengan pihak penguasa dan para loyalisnya.

Menjelang akhir masa jabatan SBY dan semakin dekatnya pergantian kekuasaan membuat panas dingin kelompok grand design. Terlebih dengan munculnya sosok Joko Widodo yang belum tersentuh virus “kekuatan jahat internasional”. Penggiringan opini public yang telah lama dilakukan agar mendukung pencapresan Anak Begawan Ekonomi era orde baru Soemitro Djoyohadikusumo, yaitu Prabowo Subianto menemui kerikil dan batu sandungan. Batu sandungan berupa sosok Jokowi yang kian moncer saat menjabat Gubernur DKI dengan gaya sederhana dan blusukan semakin serius. Terlebih saat penolakan Jokowi dijadikan sebagai patner atau orang kedua Prabowo.

Sosok kejujuran, sederhana, menentang arus, bersih dari korupsi, semakin mempesona masyarakat Indonesia pada Jokowi yang menjadi anak emas Megawati Soekarno Putri. Sisi lain, Prabowo semakin blingsatan. Bersama kekuatan hitam internasional, politik uang menjadi andalan memenangkan pertarungan 9 Juli 2014. Korupnya birokrasi dan Kabinet Pemerintah SBY, yang tentu saja menjatuhkan pilihan kepada Parbowo, terlebih yang menjadi pendamping sebagai calon Wakil Presiden Hatta Rajasa adalah besan pemegang kekausaan. Hal itu semakin membuat jumawa kelompok yang menamakan diri Koalisi Merah Putih.

Namun rakyat sudah muak melihat drama, sinetron dan lip service dari para badut politik anak asuh Soeharto. Walau mereka bersembunyi dengan menggunakan partai baru, seperti Demokrat, Gerindra, PPP yang ketuanya berhutang pada Prabowo, PKS dan PAN yang ketahuan belangnya menjadi reformis palsu, rakyat semakin solid mendukung calon Presiden Pilihan Rakyat Joko Widodo yang di dukung Jusuf Kalla yang juga dikenal istiqomah dan memegang amanah yang diberikan rakyat padanya. Sementara Golkar yang diketuai Abu Rizal Bakrie (ARB), tentu saja dengan suka cita memberikan dukungannya kepada mantan menantu “pemilik Partai Golkar”Soeharto.  

Para politisi, purnawirawan Jenderal yang masih memiliki hati nurani dan menjadi saksi arogansi, kegilaan, serta rakusnya Probadi Prabowo, merapatkan barisan ke kubu Indonesia hebat, mendukung Jokowi.

Sisi lain, konseptor pencengkeram republik, telah memperhitungkan jumlah dukungan yang di dapat dari politisi pecundang. Dengan melakukan penggabungan perolehan suara dan menyatu dalam KMP di parlemen, mengikrarkan koalisi permanen, menjadikan kelompok antek mafia migas, antek rezim Soeharto, dan menjadi kacung kekuatan hitam internasional sangat kuat. Dengan demikian akan dengan mudah mengganjal setiap kebijakan pemerintah Joko Widodo- jusuf Kalla, kantung-kantung maupun sumber pendapatan mereka yang telah mereka kuasai.

Penguasaan KMP hanya berbagi kekuasaan dengan sesama fraksi hitam parlemen terbukti beberapa saat kemudian.  Pada Sabtu 4 Oktober, mereka telah menyepakati memberikan kesempatan pada Partai Demokrat untuk memimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lima tahun ke depan.

Pada hari Seninnya 6/10/2014, Fadel Muhammad sebagao Wikil Ketua Umum Partai Golkar mengatakan," KMP telah bersepakat memberikan kursi Ketua MPR kepada Wakil Partai Demokrat, sedangkan Golkar, PAN, dan lain-lain mendapat jatah sebagai wakilnya".
Fadel menjelaskan, kesepakatan tersebut telah tercapai dalam rapat antara para Ketua Umum dari KMP dan perwakilan dari Partai Demokrat, Max Sopacua pada Sabtu (4/10) lalu. Walau saat itu, Demokrat masih belum menyodorkan nama yang akan duduk sebagai Ketua MPR, sebab masih dimintakan konfirmasi terkait Pimpinan MPR dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Apa yang direncanakan KMP menjadi lebih mudah lantaran jumlah anggota legeslatif mereka yang signifikan. Dari jumlah  560 anggota DPR, KMP memiliki jumlah suara 297, sedangkan Koalisi Indonesia Hebat hanya memiliki 202 suara gabungan dari suara PDIP, Hanura, PKB, dan Nasdem. Sementara anggota DPD memiliki anggota 132.

Dipastikan untuk mendapatkan kursi Pimpinan MPR, jumlah suara KMP yang 297 suara dan 132 anggota DPD, akan dengan mudah di dapat dan diberikan kepada Partai Demokrat. Sebelumnya, kubu KMP plus Partai Demokrat menyapu bersih lima kursi pimpinan DPR dalam Sidang Paripurna DPR pada 1 dan 2 Oktober 2014 dan pada saat itu, anggota DPR dari Partai Demokrat mendapat jatah satu kursi Wakil Ketua DPR.
     
Keinginan Jokowi-Jk sebagai pemegang mandate dan menjalankan roda pemerintahan seusai memenagkan pemilu 2014 dengan ketat, menjadi hal yang tidak mudah. Rencana menggyulug mafia migas yang digembar-gemborkan saat masa kampanye, menjadi hal sulit dilaksanakan. Pemberantasan korupsi yang meraja di era 10 tahun pemerintahan SBY oleh Pemerintah Indonesia Hebat, terancam gagal total.

Selain rencana pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Parlemen KMP yang kini sedang berkuasa di parlemen, keterlibatan keluarga besar Cikeas dan antek-anteknya menjadi kendala lain bagi pemerintah Jokowi-JK.
 
Penggagalan program kerja pemerintahan terpilih Jokowi-JK yang lebih pro rakyat, selain menjadi momok bagi politisi, pengusaha maupun birokrat hitam era SBY, rencana kerja Jokowi –Jk juga membuat miris kekuatan  internasional yang selama banyak ini menguasai, perekonomian, politik maupun budaya Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Munculnya Soekarno II (baca: Joko Widodo) bagi bangsa indonesia merupakan hambatan serius yang harus segera dilawan dan ditumbangkan bagi kelompok mereka.     

Sementara, apa kaitan, peran serta tujuan Prabowo Subianto dalam pencalonan sebagai pilpres hingga penguasaan KMP di legeslatif?

Prabowo Subianto memiliki beban pribadi yang tidak ringan. Selain membawa misi mengembalikan dinasti Soeharto yang tenggelam seiring musnahnya kekuasaan dan rezim Cendana, menyingkirkan TAP MPR yang berisi kejahatan berupa KKN selama pemerintahan Soeharto berkuasa. Sebab dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 itu, terkesan Soeharto sebagai “tertuduh melakukan KKN”.

Pada Pasal 4 TAP MPR No XI/MPR/1998 berbunyi: Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.

Selain membersihkan nama Soeharto dari tuduhan KKN sekaligus menyelamatkan harta peninggalan Soeharto yang sempat memunculkan TAP MPR No XI/MPR/1998, Prabowo juga berkewajiban memberikan gelar pahlawan nasional mantan mertuanya Soeharto. Hal itu juga menjadi syarat utama agar bisa kembali rujuk dengan Titiek Soeharto yang memberikannya seorang anak lelaki.

Sekarang bagaimana dengan tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Din Samsudin dan lainnya yang begitu getol mendukung Prabowo hinggga menjadi KMP sebagai koalisi permanen?

Ada “sinyalemen”, bahwa 10 tahun seusai reformasi, ada pertemuan-pertemuan dan negoisasi, termasuk apa yang telah disebutkan diatas, tentang pembatalan tuntutan mantan Presiden Orde baru Soeharto sebagai dalang KKN, serta pemberiam gelar Pahlawan. Mereka jika mau berjuang dan mengembalikan pemerintahan dan kekuasan kembali ke model orde baru, mendapatkan bagian harta kekayaan milik keluarga soehato yang tak terhitung jumlahnya. Lantaran kepincut harta yang dimiliki Keluarga Cendana, merekapun bergabung dan rela mengatakan jika reformasi adalah telah melenceng dari tujuan semula. Tidak itu saja, maka mereka berusaha mengembalikan pada system pemerintahan otoriter serta menyerahkan sumber-sumber kekayaan Negara kepada asing dengan melalui amandemen UUD 1945.

Maka kemenangan dalam Pilpres 2014, sebagai batu loncatan bagi pengkhianat bangsa untuk dengan mudah mengadakan perubahan mendasar menuju pemerintahan boneka. Sayangnya dalam Pilpres, jago mereka tidak terpilih oleh rakyat yang telah memiliki Satrio Piningit, yaitu Jokowi yang dikenal masyarakat sebagai sosok bersih, sederhana dan terlepas dari kaitan korupsi pihak manapun. Padahal dalam hitungan mereka, mereka kan menang dengan mudah lantaran banyaknya dukungan dari partai koalisi, sumber dana bahkan ada aliran dana dari mafia migas di luar luar negeri.

Namun rencana matang, membuat koalisi yang tergabung dalam KMP, tetap mantap, solid dan sukses menguasai parlemen. Dengan demikian akan dengan mudah mengamandemen (seperti merubah UUMD3, UU Pemilukada), membuat aturan yang sejalan dengan apa yang sudah mereka rencanakan jauh hari sebelum memasuki pilpres 2014.

Akhirnya, hanya ada tiga jalan bagi rakyat dan pemerintah Jokowi – Jk di masa akan datang.

Pertama, yaitu diam menuruti kehendak, tujuan politikus hitam yang kini menguasai parlemen yang berkolaborasi dengan pengusaha, birokrat hitam, serta membiarkan pemerintah Jokowi-JK menjadi boneka mereka.

Kedua, membiarkan Jokowi berjuang sendiri dengan partai pendukungnya yang juga akan berakhir dengan di jatuhkannya Jokowi seperti ketika Amien Rais menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid atau bahkan membunuh Jokowi ditengah tengah masa pemerintahannya.

Ketiga, rakyat memberikan perlawanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat DPR yang dipilihnya, dengan cara membubarkan DPR hasil pemilu legeslatif tahun 2014.JI           

TAP MPR No XI/MPR/1998 itu juga telah memakan korban. Presiden KH Abdurrahman Wahid, Presiden pertama RI yang terpilih secara demokratis, dituduh DPR telah melanggar Tap MPR No XI/MPR/ 1998 dan melanggar sumpah jabatan presiden, berkaitan dengan kasus penyalahgunaan dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 milyar. Secara yuridis, kasus yang melibatkan Abdurrahman Wahid itu tak pernah dibuktikan, meskipun pada saat-saat akhir Jaksa Agung Marzuki Darusman menyatakan tak cukup bukti adanya keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus Yanatera Bulog. Namun, secara politik, Abdurrahman Wahid telah dijatuhkan atau dicabut mandatnya oleh MPR.

Kalau pada awalnya DPR mengajukan Memorandum Pertama, Memorandum Kedua, dan berlanjut dengan permintaan SI MPR, pada saat pelaksanaan SI MPR alasan yang dipakai MPR untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid bukan lagi Tap MPR No XI/MPR/ 1998 dan pelanggaran Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), melainkan tindakan Abdurrahman Wahid yang menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dalam SI MPR dan tindakan Abdurrahman Wahid menerbitkan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001.

Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001 itu berbunyi, (1) membekukan MPR RI dan DPR RI; (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu dalam waktu satu tahun; dan (3) menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu putusan Mahkamah Agung. Akibat tindakannya itu, MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai penggantinya-yang saat itu menjabat wakil presiden.

Tap MPR No XI/MPR/1998 dan UU No 28/1999 ini juga sedikit banyak telah dipakai oleh Presiden Megawati Soekarnoputri untuk memberhentikan sementara tiga hakim yang menangani perkara Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI), Hasan Basri, Ch Kristi Purnamiwulan, dan Tjahjono, atas usul Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Meskipun ketiga hakim itu menilai keputusan pemberhentian sementara cacat prosedural.
       

     

Tidak ada komentar: