Jurnalis Independen: Banyak argument
dikatakan politisi pendukung Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendasari sepak
terjangnya terkait UU MD3, UU Pemilu Kada sementara yang paling gress adalah
penguasaan dan bagi-bagi kursi di Gedung Parlemen Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI).
Klaim KMP atas apa
yang dilakukan pasca pilpres 2014, 9 Juli lalu, sepak terjangnya selalu
mengatasnamakan keadilan, kesejahteraan Rakyat Indonesia. Namun sebenarnya,
jika kita mau menelisik lebih dalam lagi, kita akan mengetahui hal yang
sebenarnya terjadi di republik yang kita cintai ini. Republik dan NKRI ini pada
kenyataannya, selalu dalam cengkeraman kekuatan konspirasi internasional.
Apa yang dilakukan
KMP itu, terjadi bukan hanya lantaran kekalahan kandidat Prabowo – Hatta Rajasa
(Prahara) sebagai Presiden 2014 yang diusung KMP. Namun lebih dari itu!
Secara kasat mata terlihat,
konspirasi politisi hitam yang tergabung dalam KMP, jauh hari sebelumnya, telah
merancang sebuah skenario besar. Skenario itu ditujukan untuk tetap
melanggengkan penguasa Negara berada dalam kekuasan orang yang salah dan mudah
didikte oleh konseptor yang menjadi dalang dan telah sukses mengeruk kekayaan
Negara Indonesia, sejak ratusan tahun lalu.
Kiblat pilitisi hitam
adalah sosok Presiden Era Orde Baru, yaitu Jenderal TNI (Purn) Soeharto. Sosok
Soeharto lah yang menjadi Soko Guru, sekaligus inspirator kalangan politiis
hitam yang kini lebih banyak bergabung dengan KMP. Tentu saja selain itu, dengan
atau tanpa sengaja, banyak politisi, pengusaha, kalangan terdidik dan birokrat
yang terperosok dalam cengkeraman kelompok kekuatan terselubung.
Pengusungan pecatan
Danjen Kopassus Prabowo Subianto, merupakan bagian dari skenario besar yang
dimainkan dengan melewati tahapan konstitusi. Majunya Gubernur DKI Joko Widodo
melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi kandidat calon
Presiden 2014- 2019, menjadi batu sandungan serius bagi konspirator pengangkang
kekuasaan dan kekayaan Negara Indonesia yang mengusung Prabowo- Hatta Rajasa
(Prahara).
Dalang konspirator,
mulanya sudah memperhitungkan dengan pasti, jagonya yaitu Prabowo Subianto akan
sukses menjadi Presiden Republik Indonesia 2014. Hal ini di dasari perjalanan
sejarah yang menyangkut pribadi sang kandidat yang tidak menemui kendala
berarti.
Sejak reformasi
bergulir hingga tragedi Mei ’98, sang jago yang dielus dalang konspirator
relatif mulus tanpa kendala berarti. Buktinya, Prabowo sempat naik panggung dan
bursa pilpres 2009 berpasangan dengan
Founding Mathers Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarno Putri.
Kala itu teriakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) tak selantang
keikutsertaannya pada pilpres 2014 ketika melawan Jokowi-JK.
Pertanyaannya mengapa
demikian? Jawaban paling sederhana adalah, inilah politik! Saat berteman, para
politikus akan membungkus seluruh kesalahan dan pelanggaran hukum sahabatnya,
sebaliknya jika berseberangan walau sebesar biji zarah, harus diungkap ke
public. Itulah politik yang lumrah dipertunjukkan para politisi dimanapun,
tidak hanya di negeri Pancasila ini.
Tanpa ada yang tahu,
selepas reformasi kalangan konseptor pembuat Grand Design Internasional,
kembali mereview cengkeramannya atas NKRI. Hilangnya rezim Soeharto membuat
galau kalangan yang disebut diatas. Lantaran itu, mereka berpikir keras untuk
kembali memantapkan pengaruhnya kepada para pemimpin, calon pemimpin negeri
yang kaya akan sumber daya ini. Sebab penguasaan terhadap para pengusaha
Indonesia telah dilakukan dan sukses secara gemilang dan menjadikan pengusaha
sebagaimesin pemiskin rakyat yang efektif. Tidak kurang dari 90% pengusaha,
atau konglomerat menjadi penyembah kelompok konseptor tersebut.
Kepemimpinan BJ
Habibie menggantikan Presiden Soeharto yang dilengserkan oleh kekuatan
reformasi sebagai presiden masa transisi, Presiden Abdurrahman Wahid dan
Megawati membuat dalang keributan “diam sesaat”.
Walau diam sesaat,
kekuatan tersembunyi itu tetap mengeruk kekayaan Republik dengan
penipuan-penipuan kecil lewat perantara kaki tangannya. Buktinya, Megawati
menjual Telkom, Indosat dan kapal tanker minyak milik Negara. Dalihnya, untuk
membayar utang luar negeri yang ditinggalkan rezim otoriter Soeharto.
Semangat reformasi setelah
kejatuhan rezim Soeharto yang kemudian mengutak atik dan mengamandemen UUD
1945, selain melapangkan, juga sedikit menyempitkan gerak kekuatan terselubung
yang menjadi konseptor gelap. Salah satu yang menyempitkan gerak kekuatan
terselubung tercermin dengan munculnya aturan pembatasan masa jabatan seorang
Presiden Indonesia yang dibatasi hanya dua kali masa jabatan. Sementara akibat
utak-atik dari amandemen itu salah satunya, sampai-sampai Negara tidak bisa
lagi melakukan eksplorasi minyak mentah dari tambang sendiri. Hal ini justru
melapangkan penguasaan oleh kekuatan tersembunyi.
Sepuluh tahun masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kekuatan terselubung
telah berbagi kenikmatan dalam menikmati kemolekan kekayaan Indonesia dengan
pihak penguasa dan para loyalisnya.
Menjelang akhir masa
jabatan SBY dan semakin dekatnya pergantian kekuasaan membuat panas dingin
kelompok grand design. Terlebih dengan munculnya sosok Joko Widodo yang belum
tersentuh virus “kekuatan jahat internasional”. Penggiringan opini public yang
telah lama dilakukan agar mendukung pencapresan Anak Begawan Ekonomi era orde
baru Soemitro Djoyohadikusumo, yaitu Prabowo Subianto menemui kerikil dan batu
sandungan. Batu sandungan berupa sosok Jokowi yang kian moncer saat menjabat
Gubernur DKI dengan gaya sederhana dan blusukan semakin serius. Terlebih saat
penolakan Jokowi dijadikan sebagai patner atau orang kedua Prabowo.
Sosok kejujuran,
sederhana, menentang arus, bersih dari korupsi, semakin mempesona masyarakat
Indonesia pada Jokowi yang menjadi anak emas Megawati Soekarno Putri. Sisi
lain, Prabowo semakin blingsatan. Bersama kekuatan hitam internasional, politik
uang menjadi andalan memenangkan pertarungan 9 Juli 2014. Korupnya birokrasi
dan Kabinet Pemerintah SBY, yang tentu saja menjatuhkan pilihan kepada Parbowo,
terlebih yang menjadi pendamping sebagai calon Wakil Presiden Hatta Rajasa
adalah besan pemegang kekausaan. Hal itu semakin membuat jumawa kelompok yang
menamakan diri Koalisi Merah Putih.
Namun rakyat sudah
muak melihat drama, sinetron dan lip service dari para badut politik anak asuh
Soeharto. Walau mereka bersembunyi dengan menggunakan partai baru, seperti
Demokrat, Gerindra, PPP yang ketuanya berhutang pada Prabowo, PKS dan PAN yang
ketahuan belangnya menjadi reformis palsu, rakyat semakin solid mendukung calon
Presiden Pilihan Rakyat Joko Widodo yang di dukung Jusuf Kalla yang juga
dikenal istiqomah dan memegang amanah yang diberikan rakyat padanya. Sementara
Golkar yang diketuai Abu Rizal Bakrie (ARB), tentu saja dengan suka cita
memberikan dukungannya kepada mantan menantu “pemilik Partai
Golkar”Soeharto.
Para politisi,
purnawirawan Jenderal yang masih memiliki hati nurani dan menjadi saksi
arogansi, kegilaan, serta rakusnya Probadi Prabowo, merapatkan barisan ke kubu
Indonesia hebat, mendukung Jokowi.
Sisi lain, konseptor
pencengkeram republik, telah memperhitungkan jumlah dukungan yang di dapat dari
politisi pecundang. Dengan melakukan penggabungan perolehan suara dan menyatu
dalam KMP di parlemen, mengikrarkan koalisi permanen, menjadikan kelompok antek
mafia migas, antek rezim Soeharto, dan menjadi kacung kekuatan hitam
internasional sangat kuat. Dengan demikian akan dengan mudah mengganjal setiap
kebijakan pemerintah Joko Widodo- jusuf Kalla, kantung-kantung maupun sumber
pendapatan mereka yang telah mereka kuasai.
Penguasaan KMP hanya berbagi kekuasaan dengan sesama fraksi
hitam parlemen terbukti beberapa saat kemudian. Pada Sabtu 4 Oktober, mereka telah menyepakati
memberikan kesempatan pada Partai Demokrat untuk memimpin Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) lima tahun ke depan.
Pada hari Seninnya 6/10/2014, Fadel Muhammad sebagao
Wikil Ketua Umum Partai Golkar mengatakan," KMP telah bersepakat memberikan
kursi Ketua MPR kepada Wakil Partai Demokrat, sedangkan Golkar, PAN, dan
lain-lain mendapat jatah sebagai wakilnya".
Fadel menjelaskan, kesepakatan tersebut telah tercapai
dalam rapat antara para Ketua Umum dari KMP dan perwakilan dari Partai
Demokrat, Max Sopacua pada Sabtu (4/10) lalu. Walau saat itu, Demokrat masih
belum menyodorkan nama yang akan duduk sebagai Ketua MPR, sebab masih dimintakan
konfirmasi terkait Pimpinan MPR dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Apa yang direncanakan KMP menjadi lebih mudah lantaran
jumlah anggota legeslatif mereka yang signifikan. Dari jumlah 560 anggota DPR, KMP memiliki jumlah suara 297,
sedangkan Koalisi Indonesia Hebat hanya memiliki 202 suara gabungan dari suara
PDIP, Hanura, PKB, dan Nasdem. Sementara anggota DPD memiliki anggota 132.
Dipastikan untuk mendapatkan kursi Pimpinan MPR, jumlah
suara KMP yang 297 suara dan 132 anggota DPD, akan dengan mudah di dapat dan
diberikan kepada Partai Demokrat. Sebelumnya, kubu KMP plus Partai Demokrat
menyapu bersih lima kursi pimpinan DPR dalam Sidang Paripurna DPR pada 1 dan 2
Oktober 2014 dan pada saat itu, anggota DPR dari Partai Demokrat mendapat jatah
satu kursi Wakil Ketua DPR.
Keinginan Jokowi-Jk
sebagai pemegang mandate dan menjalankan roda pemerintahan seusai memenagkan
pemilu 2014 dengan ketat, menjadi hal yang tidak mudah. Rencana menggyulug
mafia migas yang digembar-gemborkan saat masa kampanye, menjadi hal sulit
dilaksanakan. Pemberantasan korupsi yang meraja di era 10 tahun pemerintahan
SBY oleh Pemerintah Indonesia Hebat, terancam gagal total.
Selain rencana
pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Parlemen KMP yang kini sedang
berkuasa di parlemen, keterlibatan keluarga besar Cikeas dan antek-anteknya
menjadi kendala lain bagi pemerintah Jokowi-JK.
Penggagalan program
kerja pemerintahan terpilih Jokowi-JK yang lebih pro rakyat, selain menjadi
momok bagi politisi, pengusaha maupun birokrat hitam era SBY, rencana kerja
Jokowi –Jk juga membuat miris kekuatan
internasional yang selama banyak ini menguasai, perekonomian, politik
maupun budaya Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Munculnya Soekarno II (baca:
Joko Widodo) bagi bangsa indonesia merupakan hambatan serius yang harus segera
dilawan dan ditumbangkan bagi kelompok mereka.
Sementara, apa
kaitan, peran serta tujuan Prabowo Subianto dalam pencalonan sebagai pilpres
hingga penguasaan KMP di legeslatif?
Prabowo Subianto memiliki beban pribadi yang
tidak ringan. Selain membawa misi mengembalikan dinasti Soeharto yang tenggelam
seiring musnahnya kekuasaan dan rezim Cendana, menyingkirkan TAP MPR yang berisi
kejahatan berupa KKN selama pemerintahan Soeharto berkuasa. Sebab dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 itu, terkesan Soeharto sebagai “tertuduh
melakukan KKN”.
Pada Pasal 4 TAP MPR No XI/MPR/1998 berbunyi: Upaya
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas
terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga,
dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto
dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi
manusia.
Selain membersihkan nama Soeharto dari tuduhan KKN
sekaligus menyelamatkan harta peninggalan Soeharto yang sempat memunculkan TAP MPR No XI/MPR/1998, Prabowo juga berkewajiban memberikan
gelar pahlawan nasional mantan mertuanya Soeharto. Hal itu juga menjadi syarat utama
agar bisa kembali rujuk dengan Titiek Soeharto yang memberikannya seorang anak
lelaki.
Sekarang bagaimana dengan tokoh-tokoh seperti
Amien Rais, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Din Samsudin dan lainnya yang begitu getol
mendukung Prabowo hinggga menjadi KMP sebagai koalisi permanen?
Ada “sinyalemen”, bahwa 10 tahun seusai
reformasi, ada pertemuan-pertemuan dan negoisasi, termasuk apa yang telah
disebutkan diatas, tentang pembatalan tuntutan mantan Presiden Orde baru Soeharto
sebagai dalang KKN, serta pemberiam gelar Pahlawan. Mereka jika mau berjuang
dan mengembalikan pemerintahan dan kekuasan kembali ke model orde baru, mendapatkan
bagian harta kekayaan milik keluarga soehato yang tak terhitung jumlahnya. Lantaran
kepincut harta yang dimiliki Keluarga Cendana, merekapun bergabung dan rela
mengatakan jika reformasi adalah telah melenceng dari tujuan semula. Tidak itu
saja, maka mereka berusaha mengembalikan pada system pemerintahan otoriter serta
menyerahkan sumber-sumber kekayaan Negara kepada asing dengan melalui amandemen
UUD 1945.
Maka kemenangan dalam Pilpres 2014, sebagai
batu loncatan bagi pengkhianat bangsa untuk dengan mudah mengadakan perubahan
mendasar menuju pemerintahan boneka. Sayangnya dalam Pilpres, jago mereka tidak
terpilih oleh rakyat yang telah memiliki Satrio Piningit, yaitu Jokowi yang
dikenal masyarakat sebagai sosok bersih, sederhana dan terlepas dari kaitan
korupsi pihak manapun. Padahal dalam hitungan mereka, mereka kan menang dengan
mudah lantaran banyaknya dukungan dari partai koalisi, sumber dana bahkan ada
aliran dana dari mafia migas di luar luar negeri.
Namun rencana matang, membuat koalisi yang
tergabung dalam KMP, tetap mantap, solid dan sukses menguasai parlemen. Dengan demikian
akan dengan mudah mengamandemen (seperti merubah UUMD3, UU Pemilukada), membuat
aturan yang sejalan dengan apa yang sudah mereka rencanakan jauh hari sebelum
memasuki pilpres 2014.
Akhirnya, hanya ada tiga jalan bagi rakyat dan
pemerintah Jokowi – Jk di masa akan datang.
Pertama, yaitu diam menuruti kehendak, tujuan
politikus hitam yang kini menguasai parlemen yang berkolaborasi dengan pengusaha,
birokrat hitam, serta membiarkan pemerintah Jokowi-JK menjadi boneka mereka.
Kedua, membiarkan Jokowi berjuang sendiri
dengan partai pendukungnya yang juga akan berakhir dengan di jatuhkannya Jokowi
seperti ketika Amien Rais menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid atau bahkan membunuh
Jokowi ditengah tengah masa pemerintahannya.
Ketiga, rakyat memberikan perlawanan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat DPR yang dipilihnya, dengan cara membubarkan DPR hasil pemilu
legeslatif tahun 2014.JI
TAP MPR No XI/MPR/1998 itu juga telah memakan korban.
Presiden KH Abdurrahman Wahid, Presiden pertama RI yang terpilih secara
demokratis, dituduh DPR telah melanggar Tap MPR No XI/MPR/ 1998 dan melanggar
sumpah jabatan presiden, berkaitan dengan kasus penyalahgunaan dana Yanatera
Bulog sebesar Rp 35 milyar. Secara yuridis, kasus yang melibatkan Abdurrahman
Wahid itu tak pernah dibuktikan, meskipun pada saat-saat akhir Jaksa Agung
Marzuki Darusman menyatakan tak cukup bukti adanya keterlibatan Presiden Abdurrahman
Wahid dalam kasus Yanatera Bulog. Namun, secara politik, Abdurrahman Wahid
telah dijatuhkan atau dicabut mandatnya oleh MPR.
Kalau pada awalnya DPR mengajukan Memorandum Pertama,
Memorandum Kedua, dan berlanjut dengan permintaan SI MPR, pada saat pelaksanaan
SI MPR alasan yang dipakai MPR untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid bukan lagi
Tap MPR No XI/MPR/ 1998 dan pelanggaran Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN),
melainkan tindakan Abdurrahman Wahid yang menolak untuk memberikan
pertanggungjawaban dalam SI MPR dan tindakan Abdurrahman Wahid menerbitkan
Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001.
Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001 itu berbunyi, (1)
membekukan MPR RI dan DPR RI; (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan
mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
pemilu dalam waktu satu tahun; dan (3) menyelamatkan gerakan reformasi total
dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil
menunggu putusan Mahkamah Agung. Akibat tindakannya itu, MPR memberhentikan
Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan mengangkat Megawati Soekarnoputri
sebagai penggantinya-yang saat itu menjabat wakil presiden.
Tap MPR No XI/MPR/1998 dan UU No 28/1999 ini juga sedikit
banyak telah dipakai oleh Presiden Megawati Soekarnoputri untuk memberhentikan
sementara tiga hakim yang menangani perkara Asuransi Jiwa Manulife Indonesia
(AJMI), Hasan Basri, Ch Kristi Purnamiwulan, dan Tjahjono, atas usul Menteri
Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Meskipun ketiga hakim itu menilai
keputusan pemberhentian sementara cacat prosedural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar