Penggiat lingkungan dan masyarakat di Bali bergerak. Mereka meminta Yudhoyono mencabut peraturan itu lantaran secara vulgar mengadopsi rencana reklamasi telah dirancang oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Awal Agustus lalu mereka berdemontrasi menolak peraturan presiden nomor 51 tahun 2014 di depan monumen perjuangan rakyat Bali dan kantor Gubernur.
"Peraturan presiden itu vulgar. Coba lihat pasal 101 ayat a angka 6," kata penggiat lingkungan Wahana Lingkungan Hidup sekaligus Koordinator For Bali Wayan Gendo Suardana melalui telepon selulernya semalam. For Bali merupakan gerakan berisi seniman, musisi, serta elemen masyarakat Bali menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.
Penolakan itu bukan tanpa sebab. Sebelum peraturan presiden nomor 51 tahun 2014 diterbitkan, Sabha Desa, Desa Pekraman Tanjung Benoa menyatakan penolakan terhadap rencana reklamasi di kawasan Teluk Benoa.
Mereka menolak reklamasi lantaran Gubernur Mangku Pastika melegalkan reklamasi melalui surat keputusan nomor 2138 tahun 2012. Surat penolakan seluruh rencana reklamasi nomor 01/SD-TB/VIII/2013 ditandatangani oleh Sabha Desa, empat Klian Banjar, empat Kepala Lingkungan, empat Kertha Desa, Organisasi Kepemudaan, Lurah Tanjung Benoa, Ketua LPM, dan Bendahara Desa Adat Tanjung Benoa.
Melalui surat keputusan nomor 2138/02-C/HK/2012, Mangku Made Pastika memberikan izin pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa kepada PT Tirta Wahana Bali Internasional. Rencananya Teluk Benoa bakal direklamasi seluas 838 hektare. Di atas teluk akan diuruk itu bakal disulap menjadi pulau-pulau kecil terbagi dalam tiga areal. Sebagian besar akan dimanfaatkan menjadi taman atau wahana bermain disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat Bali.
Dalam surat bertanggal 26 Desember 2012 itu, Mangku Pastika memberikan izin pemanfaatan lahan selama tiga dasawarsa. Selanjutnya pemanfaatan ini bisa diperpanjang dua dekade lagi. Keluarnya surat keputusan gubernur Bali itu membuat murka masyarakat Bali dari berbagai kalangan. Alasannya, keputusan itu melanggar peraturan presiden nomor 45 tahun 2011 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Sarbagita.
For Bali lantas melaporkan gubernur Bali dan DPRD atas dugaan kesalahan administrasi dengan keluarnya surat keputusan soal reklamasi Tanjung Benoa. "Itu jelas melanggar karena SK itu dikeluarkan sebelum akhirnya terbit Perpres nomor 51," kata Gendo.
Karena diduga melanggar, Made Mangku Pastika akhirnya mencabut surat keputusan nomor 2138 dan kemudian mengeluarkan surat keputusan baru bernomor 1727/01-B/HK/2013 tentang izin studi kelayakan rencana pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa, serta mendorong supaya kajian kelayakan sebagai bagian dari usaha reklamasi diteruskan.
Dalam keputusan baru itu Mangku Pastika memberikan izin studi kelayakan kepada PT TWBI. Studi kelayakan itu mencakup wilayah perairan Teluk Benoa, sebagian Kecamatan Denpasar, Kota Denpasar, dan sebagian Kecamatan Kuta Selatan.
Padahal pada 20 Agustus 2014, empat hari setelah surat keputusan nomor 1727 keluar, rapat koordinasi tim pengulas kelayakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana menyatakan hasilnya tidak layak.
Hasil rapat Senat Universitas Udayana di kampus Bukit, Jimbaran, Bali, juga mengatakan reklamasi Teluk Benoa tidak layak dilakukan dilihat dari empat aspek, yakni lingkungan, teknis, budaya, ekonomi finansial. "Universitas Udayana tidak membuka hasil studi kelayakan. Mereka bilang tidak layak karena empat aspek itu," tutur Gendo.
Jurnalis Independen: Mereka juga menuntut Perpres 51 Tahun 2014 yang mengatur tentang perubahan tata ruang di kawasan Teluk Benoa dibatalkan.
Sejumlah aktivis menggelar aksi unjuk rasa dengan membawa payung bertuliskan "Bali Tolak Reklamasi" di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (21/9). Dalam aksinya tersebut mereka menolak keras proses pembuatan daratan baru pembangunan obyek wisata di sekitar Teluk Benoa, serta meminta Peraturan Presiden nomor 51 Tahun 2014 dibatalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar