Kamis, 01 Desember 2011

Membongkar Borok Pemerintahan Sistem Parlementer


Jurnalis Independen: Senin 28/11, sebagian Warga Mesir terlihat mulai berduyun-duyun mengantri di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS). Mereka berbaris untuk memberikan suaranya dalam pemilu pertama sejak revolusi Mesir sekaligus membuka jalan demokrasi di negara Arab yang berpopulasi penduduk terbanyak.


Sepuluh bulan setelah berakhirnya kekuasaan rezim Mubarak selama 30 tahun akibat desakan demonstrasi dalam Revolusi Arab, sekitar 40 juta penduduk Mesir terdaftar dalam pemilu untuk memilih anggota parlemen. Namun akankah dengan Sistem Parlementer (Demokrasi), kelak Mesir akan tegak berdiri dalam kejayaan cahaya Islam?

Selepas Perang Dunia I, paham berhaluan Barat melakukan penetrasi cukup hebat di Mesir.

Kebangkitan nasionalisme di Dunia Islam mencapai puncaknya dengan penggulingan sistem Khilafah Islam Utsmaniyah di Turki oleh Kamal Attaturk. Fenomena ini berlangsung ketika Hasan Al Banna tengah belajar di Darul Ulum. Di dalam catatannya, ia mengekspresikan kebimbangannya,

“Hanya Allah yang mengetahui sudah berapa malam kami berbincang-bincang mengenai kondisi negara dan hubungannya dengan segenap lapangan hidup rakyat, apa dampak dari penyakit masyarakat dan bagaimana mengatasinya. Kami berbincang dengan penuh perasaan hingga meneteskan air mata. Sebelum mengambil satu keputusan, kami berbicara panjang lebar. Namun, alangkah terkejutnya kami ketika membandingkan keadaan ini dengan mereka yang tidak memikirkannya sama sekali, dan justru asyik bersenang-senang di kedai kopi.” (The Moslem Brethren, Ishak Musa Husaini)

Para ulama yang ada kurang berdaya menahan serangan kelompok modernis; atau—barangkali—baru sebatas melabeli mereka dengan kemurtadan. Lebih malang lagi, ada sekelompok orang yang digelari “ulama” demi memuaskan rezim penguasa terlalu mudah berkompromi dalam aspek prinsip-prinsip agama. Hingga sebagian “ulama” Kairo jatuh ke lembah kehinaan ketika menyetujui fatwa Syaikh Al-Azhar bahwa Raja Farouk layak memerintah dan layak digelari sebagai Khalifatul Mu'minin dengan alasan ia adalah seorang muslim dan termasuk keturunan Rasulullah.

Masih dalam catatan yang sama, Hasan Al Banna mengakui bahwa keputusan mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin adalah follow-up dari perhatiannya terhadap berbagai fenomena di atas yang begitu memprihatinkan.

Selepas belajar di Darul Ulum, Hasan Al Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin, tepatnya pada 1928. Ia bercita-cita untuk mendirikan satu harakah islamiah yang syumul (komprehensif), yang akan mempraktikkan prinsip-prinsip Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan sosial.

Setiap anggota IM diminta melakukan baiat atau sumpah setia. Mereka bersumpah untuk melindungi saudara-saudara IM sekalipun dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri, di samping meletakkan kepercayaan dan ketaatan dengan lapang dada terhadap pemimpin mereka, selama sejalan dengan Alquran dan Sunnah.

Hasan Al Banna mengetahui dengan rinci anggota-anggota yang aktif dan tsiqah (terpercaya). Mereka diminta untuk merekam amal yaumi mereka, termasuk hafalan Al-Qur'an, kehadiran dalam shalat berjamaah, serta berbagai pelajaran agama. Mereka pun diajari menggunakan bermacam-macam senjata dan pertolongan darurat. Pada akhir pengajaran, mereka akan dievaluasi.

IM menekankan pentingannya takwinul jama’ah (pembentukan jamaah) secara bertahap. Sebuah harakah perlu dukungan umat yang kuat sebelum dapat menggantikan penguasa yang ada. Khalayak mestilah diajari dengan cukup prinsip-prinsip perjuangan Islam. IM juga berpendapat bahwa kekuatan perlu digunakan ketika semua cara lain gagal. Namun, pada berbagai ucapan dan tulisannya, Hasan Al Banna memang sempat menafikan bahwa IM hendak melakukan revolusi berdarah.

Meski demikian, di antara ciri menonjol IM adalah penekanannya yang kontinyu akan urgensi jihad. Pada masa awal berdirinya, jihad yang diajarkan oleh IM ialah jihad yang dipahami oleh setiap muslim yang lurus pemahamannya, yaitu jihad yang dibangun atas dasar wala’ dan bara’; bukan konsep jihad yang direka-reka oleh kaum modernis-sekuler. IM menganggap bahwa ibadah dan amal saleh seorang muslim belum cukup berarti jika ia masih enggan untuk mengorbankan jiwanya demi mempertahankan Islam. Mestilah ia bersedia untuk syahid, semata-mata karena cinta Allah dan rindu akhirat.

IM memompa semangat jihad dengan cara menggalakkan pemuda Islam melakukan latihan olah fisik untuk persiapan perang. Akhirnya, mereka menumbuhkan unit tentara mereka sendiri untuk mempertahankan harakah apabila diperlukan. Ini sesuai dengan simbol jamaah mereka yang bertuliskan: Wa a’iddû (‘Dan persiapkanlah oleh kalian’), serta salah satu motto Jamaah: Syahid Asma’ Amanina (Syahid Cita-cita kami tertinggi’).

Berkali-kali Hasan Al Banna mengajak masyarakat agar berjihad menumpas penjajah Inggris dan mengusir mereka selama-lamanya dari Mesir. Ia menolak bekompromi dan tidak mempercayai pendapat dan pikiran bahwa masalah ini dapat diselesaikan melalui perundingan. Pada Perang Palestina 1948, pasukan sukarelawan IM adalah pasukan yang paling berani berperang di pihak Arab. Ketika PBB mengeluarkan akta kelahiran berdirinya negara Zionis di Palestina, Hasan Al Banna menyerukan kepada seluruh negara di Dunia Islam untuk meninggalkan PBB dan berjihad melawan Yahudi.

Sementara itu di dalam negeri, Hasan Al Banna dan para pengikutnya dengan lantang menyuarakan bahwa Islam sajalah solusi dari semua masalah yang dihadapi Mesir. IM mendeklarasikan diri akan mendirikan masyarakat dan Daulah Islamiah di mana Syariat Islam menjadi undang-undang negara. Hasan Al Banna berkata,

“Kita tidak akan berdiam diri dan bersenang hati atau berhenti hingga Al-Qur'an benar-benar menjadi perlembagaan negara. Kita akan hidup untuk mencapai tujuan ini atau mati dalam usaha melaksanakannya.”

Jadi memang tujuannya jelas, menegakkan Islam dalam pemerintahan. Tidak lagi malu-malu bahkan menghindari pembicaraan tentang sebuah Daulah Islamiyah. Entah khawatir dituduh teroris atau alih-alih menggabungkan Al Qur'an dengan konstitusi jahiliyah. Kenyataan mengambil setengah-setengah dalam perkara hukum ini pernah ia kecam dalam pidatonya.

"Setiap bangsa Islam mempunyai undang-undang yang sifatnya universal, yaitu al-Qur’an. Seharusnya mereka mengambil hukum-hukum negara dari sumber tersebut. Atau dengan kata lain setiap bangsa yang menggunakan undang-undang Islam, maka harus meletakkan bendel-bendel hukum lainnya sesuai dengan Islam juga. Dan setiap napas yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam wajib dibuang, sehingga tidak timbul kontradiksi di dalam undang-undang negara "(Pidato dan Surat-Surat Hasan Al-Banna, Penerbit Risalah hlm 142)

Salah satu statemen Hassan Al Banna tentang prinsip IM dalam bernegara adalah supaya undang-undang Islam dijalankan sepenuhnya di mana pemerintah dan rakyat tunduk kepada syariat Allah . Dalam soal ini, ia mengatakan,

“Al-Ikhwan Al-Muslimun memiliki sikap bahwa Islam mempunyai implikasi yang signifikan dan menyeluruh. Islam mengawal semua tingkah laku individu dan masyarakat. Segala sesuatu mesti tunduk di bawah undang-undang-Nya dan mengikuti ajaran-Nya. Siapa yang tunduk kepada Islam dari segi peribadatan saja tetapi meniru orang kafir dalam segala hal lain dapat dianggap sama derajatnya dengan orang kafir.”

Di dalam jawaban kepada salah seorang pemimpin politik di zamannya, Hasan Al Banna juga berkata, “Kami mengajak Anda kepada Islam, ajaran Islam, undang-undang Islam dan petunjuk Islam. Kalau ini Anda anggap politik, maka inilah politik yang kami perjuangkan.”

Bahkan, Al Banna berani menyerukan pembubaran segenap partai politik termasuk sistem parlemen, karena lebih menghasilkan keruntuhan moral dan perebutan kekuasaan daripada perbaikan. Al Banna dan para pengikutnya melihat bahwa tidak satu pun partai politik Mesir di zaman Raja Farouk benar-benar ingin melaksanakan syariat Islam. Adapun IM bercita-cita untuk mendirikan sebuah negara Islam Mesir yang kuat dan menggantikan segenap partai yang ada. Demikian tegas sikap IM pada masa awal berdirinya. Bahkan, jamaah ini mensyaratkan siapa saja yang ingin menjadi anggotanya untuk berhenti dari keanggotaan partai politik yang ada di Mesir pada era Raja Farouk. (Bandingkan dengan mereka yang menisbatkan diri kepada IM hari ini!)

Benih perjuangan pemikiran Hasan Al Banna itu tampaknya dilanjutkan secara serius oleh Sayyid Quthb. Ideolog kedua Ikhwan ini sangat menitikberatkan Syariat Islam dan Jihad sebagai jalan juang ketimbang mengagung-agungkan sistem parlementer. Bahkan Sayyid Quthb meminta umat Islam untuk mengintropeksi status keIslamannya jika ia masih saja menempuh jalan diluar Islam sebagai cara menegakkan Dienullah ini, seperti yang terjadi di Mesir saat ini. Dalam kitabnya Ma’alim Fiththariqh, ia menulis

“Tidaklah termasuk masyarakat Islami, masyarakat yang mewadahi orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai ‘kaum muslim’, sementara Syariat Islam tidak menjadi undang-undang (qanun) masyarakat tersebut meski mereka menunaikan shalat, puasa, dan haji ke baitullah…. Kita tidak akan mampu sampai pada konsepsi rabbani dan juga mencapai kehidupan rabbani, kecuali dengan cara menempuh manhaj pemikiran yang rabbani.”

Buku Ma’alim Fiththariqh sendiri pada akhirnya menjadi rujukan para ikhwan dalam hal al wala’ wal bara’ kepada pemerintah dan sistem parlementer. Mengenai hal ini, Abu Mushab As Suri memiliki pengalaman menarik untuk menguatkan thesis tersebut. Pada tahun 1989, pernah salah seorang instruktur Ikhwanul Muslimin Yordania di Amman bercerita kepadanya. Ketika IM Yordania memutuskan untuk masuk dalam parlemen dan kabinet, yang berarti kekuasaan legislatif dan eksekutif ada di sisi raja Hussein. Hal ini tentu membuat kegoncangan tersendiri pada diri Ikhwan tersebut karena selama ini Ikhwan telah menjadikan buku Sayyid Quthb sebagai rujukan yang memang tidak membuka peluang untuk mengakui sistem buatan manusia sebagai jalan perjuangan. Dengarlah penuturan instruktur Ikhwan tersebut kepada Abu Mushab.

“Saya bergabung dengan IM, pada awal tahun 1970-an. Saya diminta untuk meyakini bahwa Raja Hussein kafir karena ia memerintah dengan bukan hukum selain hukum yang diturunkan oleh Allah. Buku rujukan utama kami pada waktu itu adalah Ma’alim fiththariqh sebelumnya saya sudah membaca sebagian buku-buku tafsir. Disana saya menemukan pendapat sebagain tabi’in tentang masalah itu yang mengistilahkan kufr duna kufr (perbuatan kufr, tapi tidak mengeluarkan seseorang dari agama atau kufr kecil).

“Dengan dasar itu, saya pikir Raja Hussein tetap muslim, cuma fasik dan zalim, serta tidak kafir. Setelah pendapat saya diketahui Ikhwanul Muslimin, saya diadili oleh pengadilan Ikhwan. Mereka memberi tempo pada saya untuk mengubah pandangan saya akan tetap Islamnya status Raja Hussein. Atau jika saya tidak mau, saya dikeluarkan dari Ikhwan. Pada saat penantian itu, status keanggotaan saya dibekukan.

“Saya pun merenungkan hal itu, dan Allah tunjukkan diriku seperti pandangan mereka. Saya pun menyatakan kekafiran Raja Hussein dan status keanggotaan saya diaktifkan kembali. Selang beberapa tahun, saya menjadi instruktur Ikhwanul Muslimim dan saya ajarkan kepada para pemuda dalil-dalil kekafiran Raja Hussein, baik yang saya nukil dari buku Ma’alim Fiththariqh maupun buku-buku lain.” Subhanallah.

IM tak hendak berkuasa untuk kepentingan sendiri, bahkan mereka berjanji berulang kali untuk menyokong siapa yang memerintah, asalkan undang-undang Islam dijalankan. Namun, hal ini ditolak mentah oleh diktator militer yang baru berkuasa. Presiden Gamal Abdul Nasser pernah menyatakan,

“Saya telah bertemu dengan Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin yang telah mengajukan beberapa tuntutan kepada saya. Hal pertama yang ia kehendaki adalah semua wanita diwajibkan menutup aurat. Ia juga mendesak supaya semua bioskop dan tempat pementasan ditutup. Dengan kata lain, ia ingin agar hidup kita gelap dan mendung. Tentulah hal ini mustahil untuk kita laksanakan.”

Percobaan pembunuhan terhadap Nasser pada Desember 1954 menjadi alasan yang ditunggu-tunggu oleh pemerintah untuk memberangus IM. IM dituduh melakukan penembakan itu walaupun IM berkali-kali menafikannya. Beribu-ribu anggota IM ditangkap, dipenjara, dan enam orang digantung. Protes dari Dunia Islam tidak diladeni. Dua belas tahun selepas peristiwa itu, yaitu pada tahun 1961, IM sekali lagi dituduh sebagai penyebab kegagalan dan kemunduran negara. (pz/dbs)

Tidak ada komentar: