Jumat, 30 Desember 2011

Terkait Pembantaian Warga Bima: Julukan Pemerintah SBY-BUD Menjadi Rezim Pembantai


Jurnalis Independen-Jakarta: Tindakan represif polisi dalam membubarkan massa yang menduduki pelabuhan Sape, Bima, bukanlah pengendalian tapi sudah penyerbuan dan pembantaian. Polisi telah memperlakukan rakyat sebagai musuh yang harus dibasmi.


Jika sebelumnya rezim ini dikenal dengan rezim dua muka, yaitu rezim pembohong dan rezim korupsi, kini gelar itu makin lengkap menjadi rezim pembantai.

Demikian mengemuka dalam diskusi rutin yang diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0 bertajuk
“Pencanangan 2012 sebagai Tahun Perubahan” pada Selasa (27/12)di Jakarta. Diskusi menghadirkan Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan Rizal Ramli, pakar hukum tata negara Irman Putrasidin, dan Wakil Ketua Komisi I DPR Mayjen (Purn) Tb Hasanuddin.

“Apa yang dilakukan Brimob di Bima bukanlah pengendalian, tapi sudah tergolong sebagai penyerbuan yang berujung pada pembantaian. Saudara-saudara lihat sendiri, ada segaris pasukan Brimob dengan senjata terkokang dan menghadap ke atas. Lalu mereka maju dan mengarahkan tembakan ke arah massa setinggi pinggang.

Setelah itu beberapa demonstran ditangkap oleh dua atau lebih polisi dan diseret sambil dipukuli, ditendang, dan dipopor senjata. Ini jelas penyerbuan,” ujar Hasanuddin yang juga mantan Sekretaris Militer Presiden Megawati.

Dalam pertempuran saja, lanjut dia, tawanan perang hanya boleh diajukan dua pertanyaan. Yaitu pangkat dan nomer register. Tawanan tidak boleh telanjangi. Tapi di televisi, polisi menelanjangi massa yang sudah ditangkap dan disiksa. Ini secara jelas menunjukkan Polisi sudah menempatkan rakyat sebagai musuh.

“Pada kasus Bima, misalnya, negara justru mengatakan tindakan polisi sudah sesuai dengan prosedur tetap (Protap) dan terukur. Bahkan di Bima Wakapolri menyatakan tindakan polisi sudah sesuai dengan Undang-undang. Bayangkan, negara bisa menyatakan pembantaian terhadap rakyatnya sendiri sudah sesuai dengan Protap dan terukur. Bahkan atas nama UU, negara boleh membunuh rakyatnya sendiri.

Kalau sudah begini, maka terlaknatlah negara ini,” tukas Hasanuddin dengan geram.

Rezim Pembantai Rakyat
Berkaitan dengan hal itu, tokoh nasional perubahan Rizal Ramli mengatakan negara seringkali tidak hadir ketika rakyat memerlukan perlindungan. Bahkan, negara cenderung terlalu berpihak kepada pemodal ketika terjadi konflik dengan rakyat. Inilah yang terjadi di Mesuji, Bima, Riau, Kalimantan, dan banyak daerah lain.

“Saat Gus Dur menjadi Presiden, polisi dipisahkan dari tentara dengan maksud agar polisi kita seperti polisi Inggris yang berwibawa dan dihormati rakyatnya. Di sana polisi hanya menggunakan pentungan, bukan senjata. Tapi apa yang dilakukan Brimob sungguh sangat brutal.

Di Papua, Brimob membakar desa dan membantai warga. Begitu juga di Aceh, Riau, Kalimantan, dan di banyak daerah lain. Rezim sekarang tidak hanya rezim pembohong dan rezim korup, tetapi juga rezim pembantai. Ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut,” papar Rizal Ramli yang pernah menjabat Menko Perekonomian.

Sehubungan dengan itu, Rizal Ramli yakin bahwa tahun 2012 akan terjadi perubahan. Setidaknya ada empat faktor bahwa perubahan akan terjadi tahun depan. Pertama, tidak mungkin krisis di Eropa tidak berdampak ke Indonesia. Agar mampu bertahan, secara moneter dan fiskal Eropa akan mengetatkan likuiditas, yang akan berdampak penurunan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan suku bunga.

Untuk itu, mereka akan terpaksa menarik likuiditasnya dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jumlah uang panas saat ini sekitar 6 kali lipat dibandingkan tahun 1998. Dampak krisis Eropa akan mulai terasa pada kwartal pertama 2012.

Kedua, ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah sudah semakin besar, suasana yang nyaris sama menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada akhir 1997. Ketiga, kenaikan harga pangan yang makin tidak terkendali. Harga beras yang pada 2010 hanya Rp 6.000/kg, kini sudah hampir Rp 9.000/kg. Keempat, gerakan pemuda dan mahasiswa sudah semakin meluas ke daerah-daerah. Pada aksi hari antikorupsi sedunia 9 Desember silam, aksi terjadi di 56 kota seluruh Indonesia.

“Dengan fakta-fakta seperti itu, saya optimistis fajar perubahan akan segera terbit. Pergolakan di banyak daerah adalah isyarat nyata bahwa ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah sudah sangat merata. Tinggal tunggu waktu saja. Kalau ada yang mempertanyakan konsititusional tidaknya gerakan perubahan itu, nanti kita selenggarakan Pemilu yang dipercepat. Gitu aja kok repot?” ujar Rizal Ramli meniru Gus Dur. (emi/mnt)

Tidak ada komentar: