Jumat, 23 Desember 2011

Refleksi Akhir Tahun



Jurnalis Independen: Tahun 2011 segera akan berlalu. Banyak peristiwa telah terjadi yang bisa menjadi catatan atas topik penting baik menyangkut ekonomi, politik maupun sosial budaya di sepanjang tahun 2011, Hizbut Tahrir Indonesia memberikan catatan tentang itu.

Rakyat Nganggur dan Miskin di Negeri Kaya
APBN-P 2011 sebesar Rp. 1.321 triliun meningkat Rp. 279 triliun. Namun utang Pemerintah juga meningkat. Menurut data statistic utang Kemenkeu per Oktober 2011, utang Pemerintah  mencapai Rp. 1.768 triliun. Maka 20% dari APBN(Rp.266,3 triliun)pun habis hanya untuk membayar utang dan bunganya.

Diperkirakan, tahun 2011 angka pertumbuhan 6,5% dan PDB mencapai US$752 miliar. Menurut majalah Forbes yang dirilis Nopember lalu, dari jumlah itu 11% atau US$85,1 miliar dimiliki hanya  oleh 40 orang terkaya di negeri ini. Hebatnya, tiga orang terkaya dari daftar tersebut tersebut memiliki total kekayaan US$32,5 miliar. Hal ini menunjukkan lebarnya kesenjangan dan buruknya distribusi kekayaan di negeri ini.

Di sisi lain, berdasarkan data BPS tahun 2011 terdapat 8,12 juta orang menganggur. Sementara data Kadin justru ada tambahan 1,3 juta penganggur tiap tahun. Dan lebih tragis lagi angka kemiskinan di negeri ini masih sangat tinggi. Menurut BPS penduduk miskin Indonesia tahun 2011, dengan pengeluaran kurang dari 230 ribu, mencapai 30 juta jiwa. Jika ditambahkan dengan penduduk ‘hampir miskin’ yang pengeluarannya antara Rp 233-280 ribu, jumlahnya meningkat menjadi 57 juta orang atau 24% dari total penduduk Indonesia.

Jumlah itu membengkak jika menggunakan standar kemiskinan internasional yakni kurang dari US$2 perhari. Menurut laporan Bank Dunia, pada tahun 2009, sebanyak 50,7%  atau lebih dari separuh dari penduduk negeri ini masih dalam kategori miskin (World Bank, World Development Indicators 2011).

Selain itu, potret rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia juga terlihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh UNDP. Posisi Indonesia berada pada urutan ke-124 dari 187 negara.

Posisi tersebut lebih rendah dari beberapa negara Afrika seperti Gabon, Bostwana dan Afrika Selatan. Indeks tersebut dianggap lebih peka memotret tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara dibandingkan dengan GDP. Ini karena indeks tersebut tidak hanya memotret tingkat pendapatan penduduk, namun juga aspek kesehatan dan akses mereka terhadap pendidikannya. Ini membuktikan bahwa meski Indonesia masuk ke dalam anggota G-20, kelompok negara-negara yang memiliki GDP terbesar dunia, namun tingkat kesejahteraan rakyatnya masih sangat rendah.

Fakta di atas jelas sangat ironis mengingat Indonesia adalah negeri yang memiliki kekayaan yang melimpah. Sekedar ilustrasi, Indonesia adalah negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Sementara itu cadangan gasnya mencapai 160 TSCF (triliun standard cubic feet) atau terbesar ke-11 dunia. Indonesia juga kaya batu bara atau terbesar ke-15 dunia dengan jumlah cadangan sebanyak 126 miliar ton pada 2009. Selain itu, negara ini juga kaya dengan barang tambang seperti: emas, perak, nikel, timah, tembaga dan biji besi. Belum lagi hutan dan lautnya yang memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.

Sayangnya, kekayaan alam tersebut justru lebih banyak dinikmati oleh negara lain dan segelintir investor swasta domestik. Berdasarkan data Neraca Energi Kementerian ESDM tahun 2009, dari 346 juta barrel minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri, 38% diekspor ke negara lain. Ironisnya pada saat yang sama Indonesia harus mengimpor minyak mentah 129 juta BOE, atau 35% dari total produksi dalam negeri. Ini karena 85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai oleh swasta termasuk swasta asing.

Di sisi lain, rakyat terus dibuat sengsara akibat harga minyak terus dinaikkan agar sesuai dengan harga internasional.

Demikian pula dengan gas alam Indonesia. Sudahlah produksinya dimonopoli swasta asing,  sebagian besar hasilnya justru dijual ke luar negeri dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Dari total produksi 459 juta BOE (barrel of oil equivalent) pada 2009, hampir 60% diekspor ke luar negeri yang terdiri dari gas alam (12%) dan LNG (48%). Sisanya dibagi-bagi untuk industri (19%), PLN (10%), dan lain-lain. Padahal dengan jumlah tersebut, kebutuhan domestik sangat tidak memadai. Sejumlah industri menjerit-jerit kekurangan pasokan gas. Hal yang sama dialami PLN. Akibat kekurangan gas, pembangkit listrik tenaga gas PLN terpaksa menggunakan BBM yang biayanya jauh lebih mahal. Padahal menurut catatan PLN, jika Januari-September 2011, PLTG yang ada menggunakan gas maka anggaran yang dapat dihemat setidaknya Rp 5 triliun.

Sumber energi lainnya seperti batubara juga sama, dimonopoli swasta. Dengan produksi sekitar 250 juta ton, 77 persen justru diekspor ke luar negeri. Kalaupun dijual ke dalam negeri termasuk kepada PLN, maka ia dijual dengan harga internasional. Mahal dan langkanya sumber energi tersebut membuat biaya listrik dan harga-harga barang menjadi lebih mahal. Ujung-ujungnya rakyat yang menanggung akibatnya. Demikian pula dengan barang tambang lainnya seperti emas, perak, tembaga, timah dan nikel juga dimonopoli swasta.

Sejumlah BUMN memang ikut menjamah kekayaan tersebut namun peran mereka makin terpinggirkan. Bahkan untuk menuntut kenaikan royalti dari perusahaan-perusahan tambang atau memiliki sebagian sahamnya saja seperti pada kasus kepemilikan 7% saham PT Newmont pemerintah tak berdaya. Padahal jika barang tambang tersebut dikelola pemerintah maka kontribusi terhadap pendapatan negara akan sangat besar. Selain tidak perlu berutang, negara ini dapat mengalokasikan dana yang jauh lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ketimpangan pendapatan, kemiskinan yang merajalela serta penguasaan kekayaan alam oleh segelintir orang jelas merupakan konsekuensi dari pemberlakuan sistem kapitalisme.  Dalam sistem tersebut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dianggap sebagai jalan menuju kesejahteraan. Tak peduli siapa yang menciptakan dan menikmati pertumbuhan itu. Asumsinya, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dapat diraih oleh suatu negara, semakin tinggi kesejahteraan yang dapat diciptakan.

Di samping itu, kebebasan atau liberalisasi ekonomi diberlakukan sebab dengan cara demikian produktivitas dan efisiensi dapat digenjot. Pihak swasta diberi ruang yang lebih dominan sementara peran negara diminimalkan.  Doktrin tersebut kemudian menjadi ruh berbagai peraturan perundangan di bidang ekonomi seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Sumber Daya Air dan UU Kelistrikan. Namun demikian, pada kenyataannya bukannya menguntungkan rakyat banyak, peraturan-peraturan tersebut justru membuat rakyat negeri ini makin merana sementara asing makin leluasa.

Jaminan Sosial Tanggung Jawab Siapa ?
Kesengsaraan rakyat tampaknya akan terus bertambah, apalagi setelah  DPR mensahkan UU BPJS.  Melalui UU ini, yang katanya hendak mengejawantahkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sesuai falsafah gotong royong dan terutama sila kelima dari Pancasila, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pada faktanya menurut  mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari,  yang kini menjadi anggota Wantimpres,  isinya jelas membebani rakyat karena sama saja dengan memaksa rakyat untuk ikut asuransi.

Kesalahan mendasar dari sistem jaminan sosial yang diadopsi Undang-undang SJSN ini adalah  negara tidak boleh ikut campur tangan dalam menangani urusan masyarakat termasuk dalam urusan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat seperti kesehatan, pendidikan maupun keamanan. Oleh karena itulah walaupun namanya  Sistem Jaminan Sosial Nasional, tapi  isinya adalah menarik iuran wajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin. Hal ini bisa  dilihat pada  Bab 5 pasal 17, ayat 1,2 dan 3 UU No. 40/2004 tentang SJSN dimana dalam Ayat 1 disebutkan bahwa  tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan % upah atas suatu jumlah nominal tertentu.

Sementara Ayat 2 menyatakan  pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS secara berkala. Dan Ayat 3 menyatakan besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.

Konsep jaminan sosial seperti ini merupakan kebijakan tambal sulam untuk menutupi kegagalan sistem kapitalis. Melalui konsep negara kesejahteraan (welfare state) maka negara yang sejatinya dalam sistem kapitalis tidak boleh campur tangan langsung dalam urusan sosial kemasyarakatan, akan tetapi untuk menutupinya kerusakan tersebut negara dapat menjalankan beberapa pelayanan sosial.
Tapi jaminan sosial itu dilakukan dengan memungut dana dari masyarakat. Rakyat diwajibkan terlibat dalam kepesertaan dengan cara membayar iuran atau premi secara reguler kepada pelaksana jaminans sosial dalam hal ini BPJS.

Dengan demikian, pengingkaran terhadap kewajiban tersebut bagi mereka yang dikategorikan mampu, dianggap sebagai pelanggaran hukum. Sebagaimana halnya pajak, pemilik perusahaan juga diwajibkan untuk menarik iuran kepada karyawannya melalui pemotongan gaji. Demikian pula para pekerja di sektor informal seperti petani, nelayan, buruh kasar yang dipandang tidak miskin, juga akan dipunguti iuran.  Kebijakan ini jelas akan semakin menambah kesengsaraan rakyat, terlebih lagi  kategorisasi miskin di negara ini sangat beragam. Ada garis kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah setiap tahun berdasarkan survei pengeluaran rumah tangga. Adapula pula standar kemiskinan Bank Dunia sebesar US$ 2 perhari. Selain itu, ada Survey Rumah Tangga Sasaran Penerima Bantuan Langung Tunai (BLT) yang menetapkan orang miskin berbeda dengan kriteria sebelumnya. Masing-masing standar tersebut, menghasilkan jumlah orang miskin yang berbeda.

Terlebih lagi dengan standar kemiskinan baru yang ditetapkan Standar Statistika  Negara  melalui Badan Pusat Statistik  menetapkan  standar kemiskinan baru untuk perkotaan semakin rendah dengan pengeluaraan sebesar Rp 7.000 per hari. Berarti angka kemiskinan akan turun drastis dan muncul orang kaya baru  karena orang yang berpenghasilan Rp 217.000 perbulan dengan asumsi satu bulan 31 hari tidak lagi masuk kategori miskin.  Padahal banyak pekerja di negeri ini termasuk di sektor formal sekalipun yang pendapatannya jauh di atas itu tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok yang layak.

Selain itu, akibat tingginya inflasi yang tidak dapat dikendalikan pemerintah, komersialisasi berbagai fasilitas publik dan perluasan pungutan pajak, membuat biaya hidup rakyat akan semakin tinggi. Jika mereka kembali dipaksa untuk membayar iuran jaminan sosial tersebut maka dapat dipastikan beban hidup rakyat akan semakit berat.

Sementara itu, meski pengelolaan dana jaminan sosial bersifat nirlaba, yakni keuntungannya dikembalikan kepada peserta, namun BPJS memiliki independensi dalam pengelolaan dana tersebut. Dalam UU BPJS pasal 8 (b) disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk “menempatkan  dana  jaminan  sosial  untuk  investasi  jangka  pendek  dan  jangka  panjang dengan  mempertimbangkan  aspek  likuiditas,  solvabilitas,  kehati-hatian,  keamanan  dana, dan hasil yang memadai.” Dengan demikian, BPJS berhak untuk mengelola dan mengembangkan dana tersebut pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap menguntungkan. Dana tersebut, seperti dana asuransi lainnya, dapat diinvestasikan pada berbagai portfolio investasi seperti saham, obligasi dan deposito perbankan.

Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen. Tidak boleh ada campur tangan pemerintah. Sangat boleh jadi, nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu termasuk perusahaan asing. Padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan akan terkumpul dana lebih dari Rp 190 triliun!
Oleh karena itu, wajarlah kalau UU SJSN dan UU BPJS sebagaimana halnya UU lain  sarat dengan intervensi asing.  Pembuatan UU tersebut merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002, di masa pemerintahan Megawati.

Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asia Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR). Dokumen tersebut antara lain disebutkan, “Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.” Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$.

Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat pula dimanfaatkan pemerintah untuk mem-bail-out sektor finansial jika terjadi krisis. Pada krisis 2008 misalnya, pemerintah Indonesia pernah memerintahkan beberapa BUMN untuk melakukan buy-back saham-saham di pasar modal untuk membantu mengangkat nilai IHSG yang melorot tajam akibat penarikan modal besar-besaran oleh investor asing.

Dengan demikian, yang diuntungkan dengan pemberlakukan UU tersebut nantinya adalah para investor dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor finansial. Inilah salah satu alasan mengapa pihak asing berambisi untuk mengegolkan UU ini.

Di sisi lain, dengan alasan agar dana yang dihimpun dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang, maka pembayaran klaim terhadap peserta asuransi seperti pelayanan kesehatan, santunan kepada para pensiunan akan bersifat minimalis. Bahkan yang lebih tragis, sebagaimana yang terjadi di negara lain, perusahaan-perusahaan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS dengan berbagai alasan, dapat meningkatkan klaim pembiayaan kepada BPJS. Konsekuensinya, biaya iuran yang dikenakan BPJS kepada para peserta akan ditingkatkan. Jika masih kurang, negara dipaksa untuk memberikan dana talangan.

Bagi sebagian kalangan, Jaminan Sosial ini dipandang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya penduduk miskin. Padahal kenyataannya tidak, karena jaminan sosial tidak dimaksudkan untuk menjamin seluruh kebutuhan dasar rakyat. Bahkan dalam UU SJSN jaminan tersebut hanya terbatas pada asuransi kesehatan, kecelakaan, hari tua dan kematian. Padahal problem utama penduduk miskin adalah tidak tercukupinya kebutuhan dasar mereka secara memadai khususnya pangan, sandang dan papan.
Bahkan di negara-negara yang dianggap maju sekalipun, sistem jaminan sosial, pada faktanya tidak mampu mencakup berbagai kebutuhan dasar rakyatnya. Buktinya, mengutip data ILO, pengangguran yang menerima jaminan sosial di negara-negara berpenghasilan tertinggi sekalipun hanya 39% dari total pengangguran yang ada. Di AS dan Kanada, pengeluaran biaya kesehatan masyarakat yang dapat di-cover oleh belanja pemerintah termasuk melalui jaminan sosial hanya 47%. Selebihnya masih ditanggung oleh publik (ILO, 2011).

Dalam sistem kapitalisme, pemenuhan kebutuhan dasar tersebut tidak menjadi tanggungjawab negara. Negara yang menganut sistem tersebut sebagaimana Indonesia,  tidak memiliki metode baku dalam mendistribusikan kekayaan kepada orang-orang yang tidak mampu. Negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan papan tetap menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri.

Memang di negara-negara kapitalisme, negara kadangkala melakukan intervensi dalam bentuk subsidi. Namun demikian berbagai subsidi tersebut tidak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyatnya. Di Indonesia misalnya, ada program penjualan beras miskin (raskin), Jamkesmas dan bantuan biaya pendidikan sebesar 20% dari APBN. Namun, tetap saja jumlah dan cakupannya sangat terbatas sehingga tidak mampu menjangkau seluruh penduduk yang terkategori miskin.

Penyebab utama dari masalah ini adalah kelemahan  kapitalisme dalam mendistribusikan kekayakan di tengah-tengah masyarakat. Fokus utama dari sistem ekonomi kapitalisi adalah pertumbuhan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai, semakin tinggi kesejahteraan yang dapat dicapai. Namun faktanya, kekayaan yang dihasilkan dari pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh mereka yang unggul dalam kegiatan ekonomi khususnya para pemodal. Sementara mereka yang tersisih dari kegiatan ekonomi, seperti orang jompo, orang cacat, pengangguran, tetap tidak dapat menikmati kekayaan tersebut.

Para pemikir dan pengambil kebijakan di negara-negara kapitalisme bukan tidak menyadari hal tersebut. Berbagai cara ditempuh untuk menambal ‘lubang besar’ sistem ini, termasuk pemberian subsidi dan program jaminan sosial. Namun kenyataannya, masalah tersebut tidak juga dapat terselesaikan. Kemiskinan, pengangguran, disparitas pendapatan yang tinggi, malnutrisi, akses kesehatan yang mahal tetap menjadi masalah yang tak dapat dipecahkan oleh sistem ini.

Dalam Islam,   jaminan kebutuhan dasar  yaitu jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan pokok berupa  kesehatan, pendidikan dan juga keamanan menjadi tanggung jawab Negara.  Secara praktis, hal ini telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan para khalifah sesudahnya. Bukan hanya ketika masih hidup, setelah seseorang meninggalpun jaminan itu masih berlaku. Nabi SAW bersabda :
«فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً فَلْيَرِثْهُ ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ»
Barang siapa yang mati dan meninggalkan harta maka harta tersebut untuk ahli warisnya akan tetapi barang siapa yang mati dan dia  meninggalkan utang atau orang-orang lemah maka datanglah kepadaku karena Akulah yang bertanggungjawab untuk mengurusnya.

KORUPSI MAKIN MENJADI-JADI 
Bukan hanya tanaman, korupsi juga tumbuh subur di Indonesia. Keberadaan lembaga ‘super body’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun seperti tak mampu menyelesaikan persoalan akut ini. Kepolisian dan kejaksaan pun setali tiga uang. Meski ada kasus-kasus yang mencuat ke publik dan sempat ditangani secara hukum, itu hanyalah sebagian kecil dari mega korupsi yang telah terlanjur menggurita.


Dan pemberantasan korupsi tampak berjalan di tempat. Tidak ada efek yang signifikan dari berbagai penanganan yang sudah dilakukan. Tak mengherankan jika nilai Indonesia dalam pemberantasan korupsi masih di bawah 5 dari rentang skor nol sampai 10 berdasarkan Corruption Perceptions Index (CPI) terhadap 183 negara yang diumumkan oleh Transparency International pada bulan Desember 2011. Indeks terakhir ini menunjukkan kenaikan 0,2 dibandingkan tahun lalu. Artinya tidak ada perubahan signifikan.

Menurut  Transparency International Indonesia, skor Indonesia dalam CPI adalah 3,0, bersama 11 negara lainnya. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Dua belas negara itu menempati posisi ke-100 dari 183 negara yang diukur indeksnya.  Di kawasan ASEAN, skor Indonesia di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Tapi Indonesia unggul atas Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar.
Sepanjang 10 tahun  menjadi obyek survei Transparancy International, pemberantasan korupsi tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Total peningkatan skor hanya 0,8. Saat ini misalnya, masyarakat hanya disuguhi kabar pemberantasan korupsi kelas teri. Sementara kasus korupsi kelas kakap seperti BLBI atau skandal Bank Century, jauh dari harapan. Banyak yang menguap.

Tak salah pula jika ada yang mengatakan bahwa korupsi seperti virus yang telah menjamah seluruh bagian negeri ini. Hasil survei KPK yang dipublikasikan akhir November 2011 mengungkapkan Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti. Peringkat terburuk selanjutnya adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

Nilai ketiga kementerian tersebut jauh di bawah standar integritas pusat yang mencapai 7,07. Angka indeks integritas pusat (IIP) Kementerian Agama hanya 5,37, Kemenakertrans 5,44, serta Kementerian Koperasi dan UKM 5,52. Rendahnya angka indeks integritas itu menunjukkan bahwa masih banyak praktik suap dan gratifikasi dalam pelayanan publik di lembaga pemerintah.

Temuan Transparancy International tersebut mengukuhkan apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. Partai politik dan legislatif sebagai lembaga yang pernah dicap sebagai lembaga terkorup ternyata tak melakukan pembenahan. Malah mereka memanfaatkan kedudukannya untuk mengeruk uang negara.

Kasus paling menghebohkan tahun 2011 adalah korupsi Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. Tak tanggung-tanggung, kasus ini melibatkan pejabat teras Partai Demokrat-partai pengusung dan ‘milik’ Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin terlibat di dalamnya. Ia sempat melarikan diri ke luar negeri selama tiga bulan sebelum akhirnya ditangkap di Kolombia.

Nazaruddin dalam pelariannya mengungkap bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya adalah perintah dari Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Selain itu, dana hasil korupsi ini dibagi-bagi kepada anggota DPR. Ia menyebut keterlibatan anggota DPR Angelina Sondakh, I Wayan Koster, dan Mirwan Amir.

Tiga anggota DPR ini hingga akhir 2011 ini belum ditetapkan sebagai terdakwa. Yang diseret ke meja hijau baru M Nazaruddin, Sesmenpora Wafid Muharam, Manajer Marketing PT Duta Graha Indah (DGI), Muhammad El Idris, dan Manajer Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang. Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, yang disebut juga oleh Nazaruddin masih aman. Dalam sidang perdana Muhammad El Idris, terungkap Nazaruddin mendapat jatah uang sebesar Rp 4,34 miliar.

Namun dalam pelariannya Nazaruddin mengatakan bahwa uang hasil korupsi itu masuk ke Partai Demokrat, langsung ke tangan Anas. Jumlahnya jauh dari yang terungkap di pengadilan. Miliaran rupiah itu mengalir ke Partai Demokrat. Termasuk ke kongres partai itu di Bandung, Jawa Barat tahun 2010.

Ternyata, korupsi Nazaruddin memang jauh lebih besar lagi. Ketua KPK Busyro Muqaddas mengungkapkan ada 35 kasus yang menjerat Bendahara Umum Partai Demokrat yang sudah dipecat itu. Total nilai semua kasus itu adalah Rp 6,037 triliun. Namun, hingga akhir tahun 2011, tak ada lagi kabar tentang penanganan kasus perampokan uang rakyat itu.

Di tengah penanganan kasus Nazaruddin, tiba-tiba mencuat kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Tiga orang ditangkap KPK. Mereka adalah Dharnawati (pengusaha swasta), Danong Irbarelawan (Kabag Perencanaan dan Evaluasi di Kemenakertrans) dan I Nyoman Suwisma (Sesditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi/P2KT).

Dhanawati tertangkap tangan sedang menyerahkan uang suap senilai Rp 1,5 miliar yang terbungkus kardus durian sesaat sebelum Lebaran tiba. Di persidangan terungkap uang Rp 1,5 miliar itu merupakan bagian dari commitment fee senilai Rp 7,3 miliar yang harus disetor ke Menakertrans.  Uang itu untuk memuluskan proyek percepatan pembangunan infrastruktur di daerah bidang transmigrasi di 19 kabupaten di seluruh Indonesia. Nilai dana pembangunan itu Rp 500 miliar.

Kasus ini pun menyeret Badan Anggaran DPR. Wakil rakyat itu diduga terlibat langsung dalam pengaturan proyek-proyek pemerintah. Bahkan anggota DPR Wa Ode Nurhayati menyebut bahwa badan tersebut mengutip 6-7 persen dari proyek-proyek di daerah.

Sayangnya, KPK  tidak kunjung segera menyeret pihak-pihak yang dianggap ikut menikmati dana haram tersebut, baik itu wakil rakyat hingga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta orang-orang di sekeliling menteri.

Tidak hanya kalangan eksekutif dan legislatif, korupsi telah menjalar pula ke kalangan yudikatif. Selama tahun 2011 tercatat beberapa hakim dan jaksa yang ditangkap KPK. Hakim terakhir yang ditangkap adalah Hakim ad hock Pengadilan Hubungan Industri (PHI) Bandung, Imas Dianasari. Ia diancam hukuman 20 tahun penjara karena menerima suap  total Rp352 juta dari Manager HRD PT Onamba Indonesia, Odih Juanda.

Sedangkan jaksa yang tertangkap di November 2011 adalah Sistoyo dari Kejaksaan Negeri  Cibinong, Jawa Barat. Menurut KPK, ia menerima suap senilai Rp 99,9 juta.

Sementara itu, penegak hukum terlihat tak berani menangani kasus korupsi kelas kakap dan menyerempet orang-orang penting di kekuasaan. Kasus korupsi Rp 6,7 triliun Century tak ada perkembangan. Demikian juga kasus yang melibatkan istri petinggi PKS Adang Darajatun, Nunun Nurbaeti. Sosialita ini pernah kabur ke luar negeri..

Di sisi lain, banyak koruptor yang diadili di pengadilan tindak pidana korupsi daerah yang bebas. Sedangkan para koruptor yang terjerat hukum pun, sejauh ini mendapat hukuman yang tergolong ringan. Hampir semuanya dihukum penjara di bawah lima tahun. Itu pun mereka mendapatkan remisi (pengurangan) hukuman dan perlakuan khusus saat di penjara. Sempat pemerintah di bawah Menteri Kehakiman dan HAM Amir Syamsudin mengeluarkan moratorium terhadap remisi para koruptor, tapi begitu dikecam oleh partai politik, kebijakan itu direvisi kembali. Kebijakan ini jelas tidak akan menjerakan orang untuk berbuat korupsi dan malah bisa menyuburkan korupsi itu sendiri. Tak heran jika korupsi menggurita di mana-mana.  Tak salah bila koran Singapura, The Strait Times, pernah menjuluki Indonesia sebagai The Anvelope Country.

SEA GAMES DAN PENGHAMBURAN UANG RAKYAT
Indonesia baru saja usai menjadi tuan rumah pesta olahraga Asia Tenggara (SEA Games) XXVI pada 11 - 22 November lalu. Di tengah kesulitan ekonomi yang melanda rakyat, pemerintah tetap saja menggelar acara itu secara spektakuler. Tidak hanya dari sisi pelaksanaan, tapi juga dari sisi infrastruktur. Tak mengherankan jika pesta olahraga 2 tahunan ini terasa lain karena menghabiskan banyak biaya.

Lebih dari Rp 3 triliun total dana yang dihabiskan untuk penyelenggaraan Sea Games lalu. Dana sebesar itu didapat dari APBN 2010 Rp 350 miliar rupiah  dan dari APBN 2011 senilai Rp 2,1 triliun. Itu pun belum cukup sehingga pemerintah menambah lagi Rp 1 triliun dari APBN termasuk Rp 600 miliar dari anggaran untuk sektor pendidikan dan sumbangan dana dari sponsor.

Dana itu digunakan untuk membangun sarana-sarana olah raga yang baru. Pembangunan Jaka Baring Sport Center saja membutuhkan dana lebih dari Rp 3 triliun rupiah. Itu untuk membangun venues olahraga beserta fasilitas pendukung, seperti jalan, jembatan, saluran, pintu-pintu air. Sementara pembukaan dan penutupan menelan dana sekitar Rp 150 miliar.

Tampak ada keinginan yang kuat dari pemerintah untuk meningkatkan citra Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Pembukaan dan penutupan dibuat sespektakuler mungkin dengan mendatangkan para ahli dari luar negeri agar acaranya mirip dengan pembukaan Olimpiade Beijing, China.

Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, SEA Games ini sangat membanggakan. Apalagi setelah Indonesia bisa menjadi juara umum. Ini kali pertama Indonesia juara umum setelah yang terakhir tahun 1997. Indonesia meraih 182 medali emas, 153 perak, 142 perunggu. Diikuti Thailand 108 emas, dan Vietnam 96 emas. Hasil ini lebih baik dibanding pada SEA Games sebelumnya di Vientiene, Laos. Saat itu, Indonesia hanya sampai peringkat ketiga.

Sebagai bentuk penghargaan kepada para atlet yang dianggap mengharumkan nama bangsa, pemerintah memberikan bonus sebesar Rp 200 juta per keping emas.  Demikian pula bagi peraih perak dan perunggu, mereka pun mendapatkan bonus kendati lebih kecil. Totalnya menghabiskan biaya lebih dari Rp 350 miliar.
Penghamburan uang rakyat itu terasa sangat menyesakkan rasa keadilan masyarakat. Banyak masyarakat yang terlunta-lunta kehidupannya tapi tidak pernah diurus karena dianggap tidak memberikan jasa kepada negara. Padahal banyak hal yang diberikan/dilakukan masyarakat secara langsung dalam membantu mengatasi persoalan di tengah masyarakat.

Peraihan prestasi para atlet olahraga sesungguhnya tak berdampak kepada kemajuan bangsa. Kalaupun memperoleh kehormatan, itu sifatnya sangat pribadi dan temporer. Paling banter yang menikmati ‘pujian’ itu adalah atlet itu sendiri dan pemerintah yang sedang berkuasa. Pengalaman negara Uni Sovyet yang sering menjadi juara umum dalam olimpiade internasional menunjukkan hal itu. Moncernya prestasi olahraga tak berpengaruh apa-apa. Negara itu tetap saja runtuh, dan olahraga tak mampu menopangnya.

Belum lagi dampak perhelatan olahraga ini memunculkan hal-hal negatif di tengah masyarakat. Olahraga senantiasa diiringi dengan perilaku seks bebas. Makanya, Komisi Penanggulangan AIDS Palembang sempat akan memasang ATM kondom di hampir 200 pojok kota. Dampak lainnya, masyarakat kecil dikorbankan kehidupannya/pencahariannya untuk menghormati pesta tersebut.  Dan yang paling menghebohkan, dana besar itu menjadi bancakan para koruptor. Mereka merampok uang rakyat itu atas nama pembangunan sarana olahraga.


GEJOLAK PAPUA DAN KISRUH FREEPORT
Sepanjang tahun 2011  bumi Papua terus bergejolak. Sebagiannya merupakan kelanjutan dari gejolak yang sudah lama berlangsung di sana. Berbagai gejolak di Papua sepanjang tahun 2011 itu dapat dikelompokkan menjadi empat: Pertama, yang bisa dikatakan sebagai fenomena baru, yakni gejolak yang terkait dengan perebutan kekuasaan dalam Pilkada. Misalnya, pada 31 Juli lalu terjadi konflik antar warga terkait pilkada di kawasan Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya. Akibatnya, 20 orang tewas.

Kedua, konflik terkait PT Freeport Indonesia (PTFI). Pada pertengahan bulan Maret 2011 terjadi aksi pemogokan oleh para karyawan PTFI. Mereka menuntut kenaikan upah.  Menejemen PTFI menolak tuntutan para karyawan tersebut.  Akibatnya, aksi mogok karyawan makin membesar dan meluas, hingga akhirnya para karyawan memblokade jalan masuk ke PTFI.  Suasana tambah panas setelah pada 10 Oktober  terjadi bentrok polisi dengan karyawan di daerah Gorong-Gorong Kelurahan Koperapoka, Distrik Mimika Baru dan mengakibatkan dua orang korban tewas (satu karyawan dan satu orang anggota Brimob) serta 8 orang lainnya terluka.  Hingga kini masalah ini belum tuntas.

Entah kebetulan atau tidak, semua itu terjadi disaat pemerintah berusaha melakukan renegosiasi dengan PTFI dimana pemerintah meminta PTFI menaikkan pembayaran royalti PTFI agar sesuai ketentuan PP No 45/2003, yaitu royalti emas 3,75 persen, tembaga 4 persen, dan perak 3,25 persen. Saat ini, royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1 %, untuk tembaga 1,5% (jika harga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% (jika harga US$ 1.1/pound) dan untuk perak 1,25 %. PTFI menolak permintaan pemerintah itu.

Ketiga, terjadinya berbagai kasus penembakan yang menyasar karyawan PTFI, karyawan kontraktor PTFI, pendulang emas, masyarakat umum dan aparat baik kepolisian maupun TNI.  Menurut data Kontras, sejak Juli 2009 hingga November 2011, telah terjadi 26 kali penembakan di Papua.   Rinciannya, pada 2009 terjadi 12 penembakan, 2010 terjadi satu penembakan, dan pada 2011 terjadi 13 kali penembakan. Dari jumlah itu sejak Oktober 2011 terjadi 11 kali penembakan dengan korban jiwa 9 orang, yaitu tujuh orang karyawan Freeport dan dua orang pendulang emas.

Kasus penembakan paling akhir terjadi pada 18 November di Mil 51. Tidak ada korban. Lalu 20 November  di Mil 51 terjadi lagi penembakan yang menewaskan Fery William Sanyakit (50) dan melukai dua orang polisi, dan pada 22 November  di Mil 51-52 yang melukai sopir bus PT KPI Abu Bakar Shidiq dan praka Tekad. Sejak juli 2009 terhitung ada 12 orang tewas dan 46 terluka karena rangkaian penembakan itu.  Namun dari semua itu belum ada satupun pelaku yang ditangkap.

Keempat, gejolak terkait upaya memerdekakan Papua dari NKRI.  Upaya itu dilakukan melalui tiga elemen yang bermain dalam satu tujuan yang sama dan berbagi tugas.

Pertama, elemen gerakan bersenjata yaitu TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka).  Selama ini TPN OPM inilah yang melakukan berbagai penyerangan dan kontak senjata di Papua, termasuk beberapa penyerangan pada akhir-akhir ini seperti yang diakui  oleh OPM sendiri.

Pada Juli 2011, 16 orang yang diduga OPM melakukan penyerangan di wilayah Paniai. Mereka melarang pembangunan menara televisi Papua. Terjadi lah baku tembak dengan polisi. Juga penyerangan di wilayah Nafri pada 1 Agustus. Sebuah mobil diserang oleh sejumlah orang dengan senjata tajam dan senjata api yang mengakibatkan empat orang tewas, tiga luka berat dan dua luka ringan.

Kedua, elemen diplomatik di luar negeri terutama dua organisasi yaitu ILWP (International Lawyer for West Papua) dan IPWP (International Parliament for West Papua).  Keduanya bermarkas di Eropa (Inggris) dan diinisiasi serta dimotori oleh organisasi yang dipimpin oleh Beny Wenda, yaitu FWPC (Free West Papua Campaign).  ILWP dan IPWP inilah yang diberi mandat TPN/OPM dan didukung oleh KNPB untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua melalui internasionalisasi masalah Papua dan mendorong PBB untuk membahasnya baik dalam Majelis Umum atau dalam Komite Kolonialisasi.

ILWP pada 1 Agustus 2011 mengadakan konferensi untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua di tingkat Internasional.  Konferensi itu  diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford dengan tema: “West Papua? The Road to Freedom“. Pembicaranya antara lain: John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku “Autonomy of Betrayal“, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, Clement Ronawery saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 dan Frances Raday anggota ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan; dan dua pembicara dari Papua melalui video-link yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman.

Ketiga, elemen politik dalam negeri baik LSM-LSM atau organisasi yang menguatkan tuntutan referendum baik melalui berbagai demonstrasi, seminar atau aktifitas lainnya. Diantaranya adalah aksi demontrasi pada 1 Agustus 2011 yang dimotori oleh KNPB (Komita Nasional Papua Barat) di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari guna mendukung kemerdekaan Papua dan dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP.

Pada 19 Oktober di gelar Kongres Rakyat Papua (KRP) III di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura.  KRP III itu digagas oleh Kepemimpinan Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat (KKNPB) beserta organisasi-organisasi di bawahnya, antara lain Presidium Dewan Papua, Yepena (Youth Papua National Authority), West Papua National for Leader Nation, dan Bintang 14 Melanesia Barat. KRP III diakhiri dengan pendeklarasian berdirinya Negara Federasi Papua Barat oleh Forkorus Yoboisembut, dengan Kepala Negera adalah Forkorus Yaboisembut sendiri dan Edison Waromi sebagai Perdana Menteri. KRP III ini akhirnya dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian dan TNI hingga menewaskan enam orang.

Aksi paling akhir adalah aksi di Manokwari, Papua Barat, pada Kamis (17/11) yang dimotori oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Dewan Rakyat Papua. Aksi itu menyerukan pemisahan Papua dari Indonesia dan membawa petisi berisi pernyataan rakyat. Tokoh masyarakat dan gereja Papua Barat, ML Wanma, mengatakan isi petisi itu antara lain mempertegas pernyataan kemerdekaan Papua (BBC, 17/11/2011).

Masalah di Papua itu menarik perhatian AS.  Sebab kepentingan nasional AS memang terkait dengan Papua.  Masalah Papua itu setidaknya disinggung tiga kali oleh pejabat tinggi AS.  Menhan AS Leon Panetta dalam kunjungan kehormatan kepada Presiden SBY di Nusa Dua, Bali, Senin (24/10/2011) menyinggung masalah Papua.  Berikutnya, menjelang kunjungan Obama, menlu AS Hillary Clinton angkat suara mengenai konflik di Papua. Hillary menyampaikan kekhawatiran akan kondisi HAM di Papua. Ia menyerukan adanya dialog untuk memenuhi aspirasi rakyat di wilayah konflik tersebut (AFP, 11/11). Dan Obama sendiri dalam pembicaraannya dengan Presiden SBY di Bali juga menyinggung masalah Papua.

Terkait  masalah di Papua, menurut studi yang dilakukan LIPI ada 4 akar masalah di Papua. Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia yang  bagi sebagian orang Papua dianggap belum benar.

Kedua, masalah operasi militer yang berlangsung sejak tahun 1965 menimbulkan trauma dan luka kolektif di masyarakat Papua tentang kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Ketiga, deskriminasi dan marjinalisasi masyarakat Papua oleh berbagai kebijakan yang dibuat Pemerintah.  Keempat, kegagalan pembangunan Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, dan ekonomi (Vivanews.com, 15/11).

Persoalan di Papua makin bertambah kerus setelah upaya Pemerintah Indonesia untuk mengubah isi kontrak karya dengan dua perusahaan tambang raksasa, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, menemui jalan buntu. Kedua perusahaan raksasa asal Amerika Serikat itu menolak mentah-mentah usul perubahan terhadap empat hal yang selama ini dianggap merugikan pemerintah Indonesia. Yakni  luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, dan kewajiban pengolahan dan pemurnian (Indopos, 6 Oktober 2011).

Khusus mengenai royalti, pemerintah Indonesia ingin menaikkan royalti emas di angka 3,75 %, tembaga 4 %, dan perak 3,25 % sesuai ketentuan PP No 45/2003. Saat ini, royalti yang diterima pemerintah dari Freeport hanya di kisaran 1 % untuk emas, 1,5-3,5 % untuk tembaga dan 1,25 % untuk perak. Akibat kecilnya royalti, pendapatan pemerintah sangat kecil dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh PT Freeport tiap tahun yang sangat besar (lihat tabel dibawah). Selama 5 tahun saja dari tahun 2004 -2008 pendapatan yang diperoleh Freeport sebesar 19.893 milyar US$ atau setara Rp 198 triliun. Sementara yang diterima pemerintah Indonesia dalam bentuk pajak dan royalti hanya   sekitar Rp 41 triliun selama 5 tahun itu. Tapi PTFI menolak ajuan pemerintah tersebut.
Produksi dan Pendapatan PT Freeport Tahun 2004-2008
Tahun
Produksi
Pendapatan
GP
Pajak
Royalti
Emas (RibuOns)
Tembaga (Juta tons)
Juta US$
Juta US$
Juta US$
Juta US$
2004
1.456,20
996,5
1.980
804
266.4
43,5
2005
2.789,40
1.445,90
4.012
2380
781
103,7
2006
1.732
1.201
4883
2929
950
126
2007
2.198
1.151
5315
3234
1326
133
2008
1.163
1.094
3703
1415
612
113

9.338,60
5.888,40
19.893,00
10.762,00
3.669,00
519,20
Sumber: Eramuslim (2010)
Protes juga dilakukan oleh ribuan karyawan PT Freeport yang menuntut kenaikan gaji. Sejak Kamis 15 September 2011 lalu, ribuan karyawan PT Freeport masih melakukan aksi mogok kerja. Mereka menuntut peningkatan kesejahteraan dan upah yang sebanding dengan risiko kerja yang sangat tinggi. Menurut para karyawan, apa yang mereka peroleh jauh dari memadai. Bahkan, dari seluruh perusahaan tambang di dunia, gaji karyawan Freeport Indonesia yang paling rendah dan jauh dari standar bahkan bila dibandingkan dengan gaji karyawan Frreport di negara lain  padahal tingkat risiko kerja sangat tinggi, yakni bekerja di ketinggian 4.200 meter, berkabut, curah hujan tinggi, suhu dingin yang sangat ekstrem.

Sebagai  perbandingan, tahun 2006 gaji pekerja tambang di Amerika Utara US$ 10-70 per jam, Amerika Selatan US$ 10-100 per jam dan Indonesia hanya US$ 0,98 - 2 per jam.  Tahun 2010 gaji pekerja tambang di Amerika Utara mencapai rata-rata US$ 66,432 per jam sedangkan Indonesia hanya US$ 4,421-7,356 perjam.

Diskriminasi bukan hanya terjadi antara gaji karyawan PTFI di Indonesia dan di negara lain, tapi di PTFI Indonesia sendiri terjadi diskriminasi yang mencolok antara karyawan Indonesia dan asing.  Di PTFI ini, karyawan lokal hanya dihargai bekerja dengan nominal Rp 30 ribu-50 ribu per jam, padahal karyawan asing (ekspatriat) di level sama rata-rata satu jam dibayar Rp 3 juta. (sumber: Batavia.com)
Akan tetapi baik tuntutan pemerintah maupun buruh tidak mendapat respon yang signifikan dari  PT Freeport.

Bila diperhatikan, munculnya masalah Freeport ini baik tuntutan pemerintah maupun tuntutan buruh sebenarnya disebabkan oleh 3 hal yang saling terkait, yaitu kontrak karya yang bermasalah, tekanan asing serta kebijakan ekonomi yang semakin liberal. Masalah kontrak karya, sejak Kontrak Karya (KK) I yang ditandatangani Soeharto sebagai Ketua Presidum Kabinet pada tanggal 7 April 1967 dan berlaku untuk Kuasa Pertambangan (KP) selama 30 tahun, isinya memang sangat merugikan negara.

Freeport mendapatkan berbagai keistimewaan sebagai perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia tetapi tidak terdaftar di Indonesia dan tidak tunduk dengan hukum Indonesia, mendapatkan tax holiday setelah tiga tahun berproduksi dan tanpa membayar royalti sampai tahun 1984 serta keistimewaann lainnya.  Ketika KK I berakhir, Freeport memperoleh kembali KK II selama 30 tahun sampai tahun 2021, bahkan bisa diperpanjang sampai tahun 2042 dengan kepemilikan saham tidak banyak berubah, yakni 81, 21  % dikuasai Freeport,  9,36 % milik pemerintah dan 9,36 % milik Indocooper Investama - sebuah perusahaan swasta lokal.

Keistimewaan dalam dalam KK ini diperoleh lewat tekanan asing dan kebijakan ekonomi neoliberal. Tekanan asing dilakukan oleh   pemerintah AS yang dianggap “berjasa besar” kepada pemerintah Soeharto dalam penumpasan G30S/PKI. Utang budi inilah yang digunakan sebagai “senjata” Freeport dan pemerintah AS untuk menekan Indonesia menerima begitu saja permohonan KP yang sangat merugikan itu.

Sementara kebijakan neoliberal sangat tampak baik pada KK I maupun KK II dimana esensinya tidak lain adalah menyerahkan pengelolaan tambang ini ke perusahaan swasta (asing). Bahkan anehnya, ketika KK II dilakukan, Pemerintah yang ditawari untuk memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat, dan justru menyerahkan opsi saham itu kepada  swasta lokal, yakni Aburizal Bakrie (Bakrie Grup) yang membeli sekitar 10 % saham.

Ketiga sumber masalah Freeport tersebut diatas, yaitu kontrak karya yang bermasalah, tekanan asing serta kebijakan ekonomi  neoliberal,  tidak akan terjadi andai kebijakan pengelolaan sumber daya alam di negeri ini dilakukan berdasarkan syariat Islam. Dalam pandangan syariat Islam pengelolaan kekayaan alam seperti  tambang Freeport dan tambang lainnya  diatur sebagai berikut:

Pertama, dari segi kepemilikan. Tambang tembaga, emas dan sumber-sumber mineral dan tambang lainnya yang memiliki deposit yang sangat besar dikategorikan sebagai milik umum (milkiyyah ‘âmmah). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abyadh bin Hamal al-Mazany dinyatakan bahwa:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقْطَعَهُ المِْلْحَ فَقَطَعَهُ فَلَمَّا وَلَّى قَاَل رَجُلٌ: أَتَدْرِيْ مَا أَقْطَعْتَهُ لَهُ؟ إِنَّمَا أَقْطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ: فَرَجَعَهُ مِنْهُ
Bahwa ia datang kepada Rasulullah saw meminta (tambang) garam, maka beliau pun memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah saw pun manarik kembali tambang itu darinya” (HR Abu Dawud).

Dalam hadits ini Rasulullah saw meminta kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abyadh bin Hamal setelah beliau tahu bahwa tambang garam itu depositnya sangat banyak. Ini menunjukkan bahwa ‘illah (sebab disyariahkannya suatu hukum) dari larangan tambang itu dimiliki secara pribadi adalah karena jumlahnya yang sangat banyak. Maka larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja. Cakupannya bersifat umum, meliputi semua barang tambang apa pun jenisnya yang depositnya melimpah laksana air mengalir.

Semua barang tambang seperti itu menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh atau diberikan kepada seseorang atau beberapa orang. Juga tidak boleh diberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya. Wajib ditetapkan sebagai milik umum atau milik masyarakat.
Kedua, pengelolaan barang milik umum tersebut sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah sebagai wakil rakyat dimana hasilnya harus dipergunakan untuk kemaslahatan seluruh rakyatnya. Jika dalam proses eksplorasi dan eksploitasinya membutuhkan bantuan pihak swasta, maka posisi mereka hanyalah sebatas pekerja (ajir) dengan kompensasi tertentu. Dengan demikian pemerintah tidak diboleh melakukan perjanjian dengan pihak swasta dalam pembagian kepemilikan saham dari aset milik umum itu.

Negara wajib melindungi milik umum. Negara harus mencegah individu atau perusahaan swasta memiliki aset-aset yang termasuk milik umum. Jika ada individu atau swasta yang sudah terlanjur menguasainya seperti dalam kasus Freepoort saat ini,  maka yang harus dilakukan oleh Negara bukan melakukan negosiasi untuk menaikkan royalti atau menaikkan prosentase kepemilikan saham tapi  negara harus mengambil alih.

Pabrik dan instalasi yang sudah dibangun perusahaan swasta itu pun harus diambil atau diganti dengan harga yang sepadan. Diriwayatkan dalam salah satu hadits bahwa ada dua orang yang bersengketa dan meminta Rasulullah saw memberikan keputusan. Yang menjadi penyebabnya, salah satu dari mereka menanam kurma di tanah milik yang lain. Terhadap kasus tersebut, Rasulullah saw memutuskan bahwa pemilik tanah berhak atas tanahnya, dan pemilik pohon kurma harus mencabut pohon itu. Dari Rafi’ bin Khudayj bahwa Rasulullah saw bersabda:

مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ وَلَهُ نَفْقَتَهُ
Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin, maka dia tidak berhak atas tanaman itu sama sekali, namun dia berhak atas biaya yang dikeluarkannya (HR Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi)

Dengan demikian, jika ada pihak swasta yang membangun pabrik kemudian memproduksi barang-barang dari aset yang termasuk kepemilikan umum, maka statusnya seperti orang yang menanam pohon di atas tanah orang lain tanpa izin. Maka, sebagaimana hadits di atas, perusahaan swasta yang mengelola kepemilikan umum itu harus mengambil semua asetnya atau menjualnya kepada negara yang secara syâr’i berhak mengelola aset milik umum tersebut

Adapun penyelesaian tuntas masalah Papua tersebut hanya bisa dilakukan dengan pembangunan yang merata dengan melibatkan masyarakat Papua.  Hal itu perlu kebijakan pendanaan yang tepat yaitu bagi tiap daerah diberi dana sesuai kebutuhan pembangunannya dan diutamakan terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti infrastruktur ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan dan  keamanan.  Dan itu hanya bisa diujudkan oleh sistem ekonomi Islam yang menjadikan distribusi kekayaan secara adil sebagai fokusnya.  Tidak bisa oleh  sistem ekonomi kapaitalisme seperti yang terjadi selama ini, yang fokus pada pertumbuhan dengan mengabaikan distribusi kekayaan  secara adil. Dan tidak kalah pentingnya adalah harus dilakukan peleburan masyarakat menjadi satu kesatuan masyarakat yang di dalamnya tidak ada diskriminasi dan marjinalisasi.  Semua itu hanya bisa diujudkan jika syariah Islam  diterapkan secara utuh.  Hanya itulah solusi tuntas bagi semua problem di Papua.


KEDATANGAN OBAMA DI  KTT ASEAN, BALI 2011: 


Mengokohkan Dominasi AS atas Asia Tenggara
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Bali 17-19 November 2011 telah berakhir. Obama telah kembali ke negaranya. Ia sukses membawa misi AS di KTT ini: makin menancapkan kukunya di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Obama juga pulang dengan meninggalkan sebuah pangkalan militer di Darwin, Australia.

Sejak awal, kunjungan Obama ke KTT itu memang direncanakan untuk kepentingan Amerika Serikat. Gedung Putih (Daniel Russel ) menyatakan kunjungan Presiden Barack Obama ke Asia sebagai kesempatan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan perdagangan, dan membuka pasar untuk barang-barang Amerika. Obama berkomitmen untuk menyeimbangkan kembali wilayah Asia, di mana demokrasi mulai muncul dan pengaruh Tiongkok yang semakin besar. Dia mengatakan rakyat Amerika ingin tahu apakah Amerika Serikat dapat menjadi tonggak stabilitas dan memproyeksikan kepentingannya di kawasan Pasifik. (http://www.voanews.com/indonesian/news/Lawatan_Obama_ke_Asia_Untuk_Penciptaan_Lapangan_Kerja.html ).

Sementara Indonesia sendiri sejak awal keterlibatan adalam acara ini tidak punya agenda jelas. Posisinya Indonesia seperti sebatas event organizer (EO) untuk melayani kepentingan AS.

Ada sembilan butir kesepatakan KTT dalam tersebut, yakni: 1). Langkah-langkah konkret guna memperkuat ketiga pilar Komunitas ASEAN, 2). Penguatan pertumbuhan ekonomi di kawasan. Indonesia terus mendorong langkah-langkah bersama bagi penguatan pertumbuhan ekonomi kawasan, 3). Mengambil peran utama dalam menata arsitektur kerja sama kawasan yang lebih efisien dan efektif, 4). Menjaga stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara, 5). Penguatan peran ASEAN secara global, 6). Upaya bersama untuk memperkuat ekonomi Asia Timur (Kawasan EAS), 7). Upaya bersama untuk membangun landasan dan tindakan nyata menangani food, water, and energy security serta climate change, 8). Upaya bersama untuk mengatasi non-traditional security challenges: natural disasters, terrorism, transnational crimes, 9). Upaya bersama untuk memelihara perdamaian, keamanan dan stabilitas dan ketertiban Kawasan Asia Timur.

Dari butir kesepakatan itu tampak kuatnya dominasi AS. Melalui KTT itu AS berusaha mengerem pengaruh China dengan cara mengikat semua sektor strategis khususnya pertahanan keamanan (militer) dan ekonomi.
Misalnya, AS dengan gamblang berencana menempatkan 2.500 personil tentaranya di pangkalan militer AS di Darwin, Australia.

Obama mengatakan pasukan itu ditujukan untuk penanggulangan keadaan darurat dan kemanusiaan. Pertanyaannya, keadaan darurat apa yang dimaksud? Pastinya bukan untuk bencana alam karena Australia bukan kawasan rawan bencana. Yang paling mungkin, kehadiran pasukan dengan kemampuan khusus itu adalah untuk (1) mengamankan dominasi AS di ASEAN di antaranya dari pengaruh China; (2) untuk menjaga ‘aset’  Freeport di Papua. Jarak antara pangkalan militer tersebut dengan wilayah RI hanya 820 km, dan dekat dengan Papua.

KTT Asia Timur ini memperlihatkan konflik yang menonjol antara China dan Amerika Serikat. AS berusaha melebarkan pengaruhnya di ASEAN dan mengurangi pengaruh China melalui pendekatan politik kawasan, yakni kepada sekutu-sekutunya di ASEAN. Sedangkan China menghendaki penyelesaian secara bilateral. Menlu Cina Wen Jibao juga menolak masuknya “pasukan luar” untuk terlibat dalam perselisihan di kawasan Laut China Selatan. China sendiri berusaha menancapkan pengaruhnya di antaranya dengan berencana memberikan dana 3 miliar yuan (US$ 473 miliar) untuk kerjasama industri maritim dengan negara-negara Asia Tenggara.

Kebijakan ini menunjukkan AS melihat ASEAN sebagai kawasan geopolitik yang amat strategis karena sebelumnya AS telah menempatkan militernya di Singapura, Korea Selatan, Guam dan Jepang.
KTT ini juga menghasilkan kesepakatan mengenai penanganan soal perubahan keamanan non-tradisional yakni terorisme, bencana alam, dan kejahatan internasional.  Lagi-lagi soal terorisme sangat menonjol.

Negara-negara di kawasan ini dituntut untuk mengimplementasikan ASEAN Convention on Counter-Terrorism (Konvensi ASEAN tentang kontra terorisme) dan ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime (Rencana Aksi ASEAN melawan Kejahatan Transnasional).

Pembahasan isu terorisme tidak pernah ketinggalan dibawa AS di manapun. Sejak tragedi WTC 11 September 2011, AS menjadikan isu ini untuk menggebuk siapa saja yang akan meruntuhkan hegemoninya meski itu dilakukan dengan jalan damai.

Khusus kepada Indonesia,  AS juga mengucurkan bantuan keuangan berupa hibah dan investasi. Sejumlah perusahaan AS berencana untuk menambah investasi ke Indonesia hingga sebesar 450 juta US$. Di antaranya adalah Freeport, yang bersama sejumlah perusahaan lain telah bertemu dengan SBY pada pertemuan KTT APEC di Honolulu, Hawaii, 14 Nopember lalu.

China tampaknya tidak ingin kalah dengan kampanye yang dilakukan oleh Obama. Sebelumnya Obama menggelar kampanye diplomatik dengan menegaskan bahwa Washington sebagai kekuatan Pasifik. Para pengamat menilai China tampaknya terganggu dengan rencana penempatan militer AS di Australia. Hanya berselang sepekan setelah KTT berakhir, Cina mengumumkan akan menggelar latihan perang Angkatan Laut di kawasan samudera tersebut.

Trans Pacific Partnership (TPP)
Seperti diketahui, pada KTT  APEC 2011 di Honolulu, Hawaii, Barack Obama, mempromosikan kerjasama baru bernama Trans Pacific Partnership (TPP). Beberapa negara ASEAN sudah bergabung dalam kerjasama perdagangan bebas baru itu.

TPP sendiri diprakarsai sembilan negara dimana empat negara di antaranya adalah anggota ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Otomatis empat negara tersebut sudah masuk menjadi anggota TPP. Sementara sejumlah negara Asia lain yang sudah siap bergabung yakni Jepang dan Thailand. Sedangkan dari Pasifik ada Kanada, AS, Meksiko, Selandia Baru, dan Australia.
Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya belum akan segera bergabung. Presiden SBY menegaskan, dirinya bukan mencurigai isu perdagangan bebas baru yang digagas AS-Australia itu. Tapi yang jauh lebih penting, menurutnya adalah terwujudnya perdagangan yang adil dan mendatangkan manfaat nyata bagi masyarakat.

Penolakan Indonesia terhadap ajakan Presiden AS Barack Obama bukan tanpa alasan kuat. Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan perdagangan bebas yang digagas AS itu bakal tumpang tindih dengan perjanjian perdagangan lainnya yang sudah ada khususnya di ASEAN. Apalagi menurutnya, konsep TPP juga belum jelas benar. Saat ini pemerintah akan lebih fokus membenahi ekonomi terlebih dahulu, termasuk soal daya saing.

Penolakan terhadap TPP mungkin menjadi satu langkah maju bagi Pemerintah Indonesia. Apakah penolakan TPP merupakan langkah awal kabinet SBY untuk melakukan koreksi atas berbagai FTA (Free Trade Agreement) yang sangat liberal?

Mengapa AS bergitu ngotot mengajak Indonesia bergabung dalam TPP? Semua itu tidak lepas ‘ada udang di balik batu’. Pemerintah AS tentu berkepentingan besar terhadap TPP tersebut. Dengan beban keuangan negara dan tekanan pengangguran yang sangat berat, serta terbatasnya pilihan kebijakan untuk menyelamatkan ekonomi, TPP memiliki arti sangat penting bagi AS. Apalagi AS menganggap TPP tidak hanya sebatas perdagangan bebas, tetapi menjadi model kerja sama ekonomi yang lebih luas. Ini tentu menjadi harapan baru bagi AS untuk menyelesaikan masalah pengangguran dan krisis ekonomi yang tengah melanda.

Sebagai pengembang ideologi kapitalisme, AS memang terus akan mendorong perdagangan bebas yang merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. Dalam liberalisasi ekonomi, peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi akan dihilangkan. Bahkan, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan).

OCCUPY WALL STREET DAN KERAPUHAN KAPITALISME
Pada September 2011, ribuan orang yang menamakan gerakannya Occupy Wall Street tumpah di distrik Wall Street, pusat keuangan AS. Aksi yang mulanya menggugat keserakahan Wall Street, dan kemudian berubah menjadi gerakan anti kapitalisme itu, kini terus berkembang dan menyebar ke berbagai negara di Eropa hingga Asia. Isi protes mereka antara lain: menentang ketidakadilan sosial dan ekonomi, pengangguran yang tinggi, keserakahan, korupsi, intervensi perusahaan-khususnya dari sektor jasa keuangan pada pemerintah dan sejumlah isu yang menjadi titik lemah kapitalisme selama ini.

Ketimpangan pendapatan negara-negara yang mempraktekkan kapitalisme memang sangat parah. Pada tahun 2007, 1% penduduk terkaya di Amerika Serikat memiliki 34,6% dari total kekayaan negara tersebut, dan 19% berikutnya menguasai 50,5%. Dengan kata lain, 20% golongan atas Amerika memiliki 85% kekayaan di negara tersebut. Sisanya, 80% populasi bawah hanya menguasai 15% dari kekayaan di AS (Forbes, 11/01/2011)

Selain itu, orang-orang kaya tersebut, khususnya mereka yang bekerja pada sektor keuangan, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap berbagai kebijakan pemerintah, bahkan ada diantaranya yang terlibat langsung dalam pemerintahan.(emi/mnt)

1 komentar:

Lady Jane mengatakan...

kabar baik!!!!

Hello All, nama saya Jane alice seorang wanita dari Indonesia, dan saya bekerja dengan kompensasi Asia yang bersatu, dengan cepat saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia yang mencari pinjaman Internet agar berhati-hati agar tidak jatuh ke tangan penipu. dan fraudstars banyak kreditor kredit palsu ada di sini di internet dan ada juga yang nyata dan nyata,

Saya ingin membagikan testimonial tentang bagaimana Tuhan menuntun saya kepada pemberi pinjaman sebenarnya dan dana pinjaman Real telah mengubah hidup saya dari rumput menjadi Grace, setelah saya tertipu oleh beberapa kreditor kredit di internet, saya kehilangan banyak uang untuk membayar pendaftaran. biaya. . , Biaya garansi, dan setelah pembayaran saya masih mendapatkan pinjaman saya.

Setelah berbulan-bulan berusaha mendapatkan pinjaman di internet dan jumlah uang yang dikeluarkan tanpa meminjam dari perusahaan mereka, saya menjadi sangat putus asa untuk mendapatkan pinjaman dari kreditor kredit genue online yang tidak akan meningkatkan rasa sakit saya jadi saya memutuskan untuk menghubungi teman saya. yang mendapatkan pinjaman onlinenya sendiri, kami mendiskusikan kesimpulan kami mengenai masalah ini dan dia bercerita tentang seorang pria bernama Mr. Dangote yang adalah CEO Dangote Loan Company.

Jadi saya mengajukan pinjaman sebesar Rp400.000.000 dengan tingkat bunga rendah 2%, tidak peduli berapa umur saya, karena saya mengatakan kepadanya apa yang saya inginkan adalah membangun bisnis saya dan pinjaman saya mudah disetujui. Tidak ada tekanan dan semua persiapan yang dilakukan dengan transfer kredit dan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah mendapatkan sertifikat yang diminta dikembalikan, maka uang pinjaman saya disimpan ke rekening bank saya dan mimpiku menjadi kenyataan. Jadi saya ingin menyarankan agar setiap orang segera melamar kepada Mr. Dangote Loan Company Via email (dangotegrouploandepartment@gmail.com) dan Anda juga bisa bertanya kepada Rhoda (ladyrhodaeny@gmail.com) dan Mr. jude (judeelnino@gmail.com) dan Juga Pak Nikky (nicksonchristian342@gmail.com) untuk pertanyaan lebih lanjut

Anda juga bisa menghubungi saya melalui email di ladyjanealice@gmail.com
Dan Anda bisa mengikuti Mr dangote on instagram untuk lebih jelasnya di dangoteloancompany