Jurnalis Independen: Selama beberapa dasawarsa Indonesia belum
mampu menemukan solusi politik untuk pemberontakan separatis
kecil-kecilan di provinsi Papua yang bergolak. Pemerintah di Jakarta
mengatakan telah memberi status daerah otonomi serupa dengan yang
diberikan kepada Aceh tahun 2005 yang menyelesaikan pemberontakan yang
terjadi lama di sana. Tapi
ada perbedaan penting antara Aceh dan Papua.
Pendukung OPM
melakukan upacara bendera di Panjai, Papua tahun 2008 lalu. Status
Otonomi yang diberikan pada Papua belum mampu menyelesaikan persoalan
pemberontakan di sana.
Mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, adalah perantara
perjanjian daerah otonomi Aceh tahun 2005. Namun, ia memperingatkan agar
jangan berharap ia akan memainkan peran serupa di Papua, yang
memperoleh status daerah otonomi tahun 2001 setelah negosiasi yang
melibatkan tiga presiden di Indonesia.
Ia mengatakan, "Papua sudah mendapatkan kesepakatan sepuluh tahun lalu. Jadi sudah begitu banyak diskusi dan dialog. Ketika itu Soeharto, Habibie dan Gus Dur menjadi presiden, dan akhirnya kita sepakat untuk memberi status daerah otonomi khusus."
Namun, pemberontakan separatis Papua masih belum reda. Bulan Oktober, para aktivis merilis video tindakan keras polisi dalam sebuah rapat gerakan separatis Papua yang berlangsung damai. Polisi itu termasuk dalam pasukan yang terdiri dari 30.000 polisi dan tentara yang ditempatkan di Papua.
Meskipun polisi setempat kini menjaga keamanan di Aceh, pasukan keamanan dari luar Papua tampak menegakkan keamanan di provinsi Papua dan dipandang oleh banyak orang sebagai kekuatan pendudukan.
Andreas Harsono, seorang peneliti untuk Human Rights Watch mengatakan pemerintah Indonesia mempertegas kesan itu dengan membatasi kegiatan partai-partai politik lokal.
"Salah satu perbedaan utama adalah Aceh memiliki partai-partai politik lokal. Di Papua tidak ada. Jika ada partai politik lokal, penduduk dapat memberdayakan diri mereka sendiri dengan mengendalikan para politisi mereka. Di Papua, hal itu tidak ada," ujar Harsono.
Meskipun Jusuf Kalla berpandangan Papua merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia, seperti kebanyakan rakyat Indonesia lainnya, ia berbicara tentang penduduk Papua yang memiliki budaya berbeda, di mana etos kerjanya buruk dan membuat mereka tergantung pada bantuan dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Ia mengatakan, "Karena semua yang mereka perlukan berasal dari luar daerah. Mereka membutuhkan jalan, mereka mendapat kontraktor dari Jawa atau Sulawesi, sekolah-sekolah dibangun oleh orang Bugis, beras dan barang-barang toko semuanya berasal dari luar."
Ia mengatakan ini menjelaskan mengapa Papua memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Harsono dari organisasi Human Rights Watch tidak sependapat dan mengajukan argumen bahwa aksi pemogokan buruh di tambang emas dan tembaga terbesar di dunia sebagai gambaran bagaimana Papua tidak memperoleh bagian kekayaan dari sumber daya alam mereka. Ia mengatakan stereotip yang mengatakan penduduk Papua malas tidak hanya salah, tapi tidak manusiawi.(bri/voa/mnt)
Ia mengatakan, "Papua sudah mendapatkan kesepakatan sepuluh tahun lalu. Jadi sudah begitu banyak diskusi dan dialog. Ketika itu Soeharto, Habibie dan Gus Dur menjadi presiden, dan akhirnya kita sepakat untuk memberi status daerah otonomi khusus."
Namun, pemberontakan separatis Papua masih belum reda. Bulan Oktober, para aktivis merilis video tindakan keras polisi dalam sebuah rapat gerakan separatis Papua yang berlangsung damai. Polisi itu termasuk dalam pasukan yang terdiri dari 30.000 polisi dan tentara yang ditempatkan di Papua.
Meskipun polisi setempat kini menjaga keamanan di Aceh, pasukan keamanan dari luar Papua tampak menegakkan keamanan di provinsi Papua dan dipandang oleh banyak orang sebagai kekuatan pendudukan.
Andreas Harsono, seorang peneliti untuk Human Rights Watch mengatakan pemerintah Indonesia mempertegas kesan itu dengan membatasi kegiatan partai-partai politik lokal.
"Salah satu perbedaan utama adalah Aceh memiliki partai-partai politik lokal. Di Papua tidak ada. Jika ada partai politik lokal, penduduk dapat memberdayakan diri mereka sendiri dengan mengendalikan para politisi mereka. Di Papua, hal itu tidak ada," ujar Harsono.
Meskipun Jusuf Kalla berpandangan Papua merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia, seperti kebanyakan rakyat Indonesia lainnya, ia berbicara tentang penduduk Papua yang memiliki budaya berbeda, di mana etos kerjanya buruk dan membuat mereka tergantung pada bantuan dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Ia mengatakan, "Karena semua yang mereka perlukan berasal dari luar daerah. Mereka membutuhkan jalan, mereka mendapat kontraktor dari Jawa atau Sulawesi, sekolah-sekolah dibangun oleh orang Bugis, beras dan barang-barang toko semuanya berasal dari luar."
Ia mengatakan ini menjelaskan mengapa Papua memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Harsono dari organisasi Human Rights Watch tidak sependapat dan mengajukan argumen bahwa aksi pemogokan buruh di tambang emas dan tembaga terbesar di dunia sebagai gambaran bagaimana Papua tidak memperoleh bagian kekayaan dari sumber daya alam mereka. Ia mengatakan stereotip yang mengatakan penduduk Papua malas tidak hanya salah, tapi tidak manusiawi.(bri/voa/mnt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar