Jurnalis Independen: Kasus pembantaian Mesuji yang melibatkan oknum aparat kepolisian,
yang membuat warga setempat trauma dan takut terhadap aparat kepolisian.
Karena setiap warga mengadu kepada aparat kepolisian tentang adanya
intimidasi, justru warga bersangkutan yang terancam jiwanya, sehingga
warga mencari perlindungan kepada LSM.
Hal ini terungkap saat para korban dan petani Mesuji melaporkan pembunuhan massal di Megoupak, Mesuji, Lampung, ke Komnas HAM, Jakarta pada Kamis (15/12). Sebelumnya, mereka juga mendatangi Komisi III DPR RI. Dalam pengaduannya, juga diputar video kebiadaban oknum aparat Brimob yang menyembelih kepala warga, tak ubahnya menyembelih hewan qurban, sehingga DPR meminta kasus Pembantaian yang terjadi di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumsel segera diproses hukum. Dugaan pelanggaran HAM semakin kuat di sana karena ada perampasan hak seseorang untuk hidup dan bertempat tinggal.
Para korban kekejian aparat tersebut didampingi oleh Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab beserta Badan Hukum Front (BHF) dan Laskar FPI, juga Ketua Tim Advokasi Lembaga Adat Megoupak, Bob Hasan, mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat (Aster KASAD) Mayor Jenderal (purn) Saurip Kadi dan sejumlah aktivis HAM lainnya.
Salah seorang advokat BHF FPI, Ahmad Hanafi SH menuturkan bahwa para korban Mesuji saat ini ditampung di Wisma FPI, di Jalan Petamburan III. “Sudah seminggu mereka, bermalam di wisma dekat markaz FPI. Mereka betul-betul meminta perlindungan, karena itu kami sediakan tempat di sana,” tutur Ahmad.
Warga sekitar beberapa kali digusur karena tiadanya kejelasan tanah yang mereka tempati. Penyerobotan tanah bukan hanya terjadi di Mesuji, tapi juga di Tulang Bawang dan Sodong.
Perusahaan itu berniat memperluas lahan usahanya. Namun masyarakat di sana yang sebagian besar petani menolak perusahaan karena mereka adalah pemilik lahan. Kemudian pihak perusahaan membentuk Pam Swakarsa untuk membenturkan rakyat dengan rakyat yang dibekingi aparat. Saat rakyat berniat melaporkan kejadian ini, aparat tak pernah menindaklanjuti. Masyarakat baru melaporkan insiden ini kepada DPR 10 bulan kemudian.
Bob Hasan mengaku telah mendampingi keluarga korban, dalam kurun waktu tiga tahun antara 2008 hingga 2011. Sebanyak 33 orang tewas di Lampung. Sebagian besar korban merupakan petani yang terlibat sengketa tanah dengan perusahaan. “Dari 2008 sampai 2011, total yang tewas 30 orang. Kalau yang mengalami cacat fisik sampai stress mencapai 90 orang,” kata Bob.
Wayan, Agung, warga Desa Simpang Pematang, Kabupaten Mesuji, Lampung, membenarkan pembantaian tersebut. Pada November 2010, seorang petani tewas diterjang timah panas petugas karena terlibat konflik. “Yang mati ditembak polisi itu warga Desa Sri Tanjung, Kabupaten Mesuji, Lampung, ujarnya.
Dalam peristiwa yang dipicu konflik lahan sawit antara warga Mesuji, Lampung, dan PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) ini, seorang warga Tanjung Raya, Mesuji, tewas tertembak peluru aparat. Enam lainnya luka-luka akibat tertembak peluru tajam aparat Brimob Polda Lampung yang berjaga mengamankan asset PT. BSMI.
Menurut Komnas HAM yang telah melakukan investigasi, peristiwa itu bukan hanya di Lampung, tapi juga di Sumatera Selatan. Kasus tersebut terjadi di dua provinsi, yakni Lampung dan Sumatera Selatan.
Kasus di Mesuji, Lampung, terjadi karena ada perseteruan warga dengan perusahaan sawit. Sedankan di Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan terjadi perseteruan antara masyarakat dengan PT. Inhutani. Kasus kekerasan yang terjadi di Lampung dan Sumatera Selatan tersebut sangat rumit, sebab, perusahaan bersikukuh untuk mempertahankan diri sehingga kekerasan tak terhindarkan.
Di Lampung, kerumitan muncul karena perusahaan membentuk semacam Pam Swakarsa dari karyawan perusahaan yang dibantu aparat. Sehingga kekerasan muncul dari aparat ke masyarakat. Kekerasan juga dilakukan masyarakat. Pemerintah cenderung memihak perusahaan dalam kasus kekerasan ini. Dikatakan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, apa yang terjadi di Lampung dan Sumatera Selatan sudah masuk kategori pelanggaran berat HAM.
Karena kejinya kasus ini membuat SBY memerintahkan Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Kapolri Jendral Timur Pradopo untuk melakukan pembuktian fakta atas kasus pembantaian terhadap warga Mesuji di perbatasan Provinsi Lampung dan Sumatra Selatan.
Juru bicara Presiden, Julian Aldri Pasha, mengatakan perintah Presiden itu disampaikan kepada Menko Polhukam dan Kapolri pada Rabu (14/12). “Intinya, Menko Polhukam dan Kapolri diminta melakukan suatu pembuktian fakta dan pembenaran atas kasus Mesuji itu,” tutur Julian di Bina Graha, Jakarta, Kamis (15/12), seperti dikutip setkab.go.id.
Presiden juga memerintahkan jajaran pemerintah mencari solusi terkait kasus tersebut dengan melibatkan semua unsur, termasuk Komisi Nasional HAM, warga, pihak perusahaan, dan tokoh masyarakat. Presiden berpesan agar semua pihak yang terbukti bersalah ditindak berdasarkan hukum yang berlaku. (mzs)
Hal ini terungkap saat para korban dan petani Mesuji melaporkan pembunuhan massal di Megoupak, Mesuji, Lampung, ke Komnas HAM, Jakarta pada Kamis (15/12). Sebelumnya, mereka juga mendatangi Komisi III DPR RI. Dalam pengaduannya, juga diputar video kebiadaban oknum aparat Brimob yang menyembelih kepala warga, tak ubahnya menyembelih hewan qurban, sehingga DPR meminta kasus Pembantaian yang terjadi di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumsel segera diproses hukum. Dugaan pelanggaran HAM semakin kuat di sana karena ada perampasan hak seseorang untuk hidup dan bertempat tinggal.
Para korban kekejian aparat tersebut didampingi oleh Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab beserta Badan Hukum Front (BHF) dan Laskar FPI, juga Ketua Tim Advokasi Lembaga Adat Megoupak, Bob Hasan, mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat (Aster KASAD) Mayor Jenderal (purn) Saurip Kadi dan sejumlah aktivis HAM lainnya.
Salah seorang advokat BHF FPI, Ahmad Hanafi SH menuturkan bahwa para korban Mesuji saat ini ditampung di Wisma FPI, di Jalan Petamburan III. “Sudah seminggu mereka, bermalam di wisma dekat markaz FPI. Mereka betul-betul meminta perlindungan, karena itu kami sediakan tempat di sana,” tutur Ahmad.
Diserobot Perusahaan Kelapa Sawit
Menurut Ketua Tim Advokasi Lembaga Adat Megoupak, Bob Hasan,
Pembantaian yang terjadi pada 21 April 2011 tersebut, berawal dari
perluasan lahan oleh sebuah perusahaan kelapa sawit, PT. Barat Selatan
Makmur Investindo (BSMI), sejak tahun 2003. Perusahaan (milik Malaysia)
yang berdiri tahun 1997 itu, menyerobot lahan warga untuk ditanami
kelapa sawit dan karet.Warga sekitar beberapa kali digusur karena tiadanya kejelasan tanah yang mereka tempati. Penyerobotan tanah bukan hanya terjadi di Mesuji, tapi juga di Tulang Bawang dan Sodong.
Perusahaan itu berniat memperluas lahan usahanya. Namun masyarakat di sana yang sebagian besar petani menolak perusahaan karena mereka adalah pemilik lahan. Kemudian pihak perusahaan membentuk Pam Swakarsa untuk membenturkan rakyat dengan rakyat yang dibekingi aparat. Saat rakyat berniat melaporkan kejadian ini, aparat tak pernah menindaklanjuti. Masyarakat baru melaporkan insiden ini kepada DPR 10 bulan kemudian.
Bob Hasan mengaku telah mendampingi keluarga korban, dalam kurun waktu tiga tahun antara 2008 hingga 2011. Sebanyak 33 orang tewas di Lampung. Sebagian besar korban merupakan petani yang terlibat sengketa tanah dengan perusahaan. “Dari 2008 sampai 2011, total yang tewas 30 orang. Kalau yang mengalami cacat fisik sampai stress mencapai 90 orang,” kata Bob.
Wayan, Agung, warga Desa Simpang Pematang, Kabupaten Mesuji, Lampung, membenarkan pembantaian tersebut. Pada November 2010, seorang petani tewas diterjang timah panas petugas karena terlibat konflik. “Yang mati ditembak polisi itu warga Desa Sri Tanjung, Kabupaten Mesuji, Lampung, ujarnya.
Dalam peristiwa yang dipicu konflik lahan sawit antara warga Mesuji, Lampung, dan PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) ini, seorang warga Tanjung Raya, Mesuji, tewas tertembak peluru aparat. Enam lainnya luka-luka akibat tertembak peluru tajam aparat Brimob Polda Lampung yang berjaga mengamankan asset PT. BSMI.
Menurut Komnas HAM yang telah melakukan investigasi, peristiwa itu bukan hanya di Lampung, tapi juga di Sumatera Selatan. Kasus tersebut terjadi di dua provinsi, yakni Lampung dan Sumatera Selatan.
Kasus di Mesuji, Lampung, terjadi karena ada perseteruan warga dengan perusahaan sawit. Sedankan di Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan terjadi perseteruan antara masyarakat dengan PT. Inhutani. Kasus kekerasan yang terjadi di Lampung dan Sumatera Selatan tersebut sangat rumit, sebab, perusahaan bersikukuh untuk mempertahankan diri sehingga kekerasan tak terhindarkan.
Di Lampung, kerumitan muncul karena perusahaan membentuk semacam Pam Swakarsa dari karyawan perusahaan yang dibantu aparat. Sehingga kekerasan muncul dari aparat ke masyarakat. Kekerasan juga dilakukan masyarakat. Pemerintah cenderung memihak perusahaan dalam kasus kekerasan ini. Dikatakan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, apa yang terjadi di Lampung dan Sumatera Selatan sudah masuk kategori pelanggaran berat HAM.
Karena kejinya kasus ini membuat SBY memerintahkan Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Kapolri Jendral Timur Pradopo untuk melakukan pembuktian fakta atas kasus pembantaian terhadap warga Mesuji di perbatasan Provinsi Lampung dan Sumatra Selatan.
Juru bicara Presiden, Julian Aldri Pasha, mengatakan perintah Presiden itu disampaikan kepada Menko Polhukam dan Kapolri pada Rabu (14/12). “Intinya, Menko Polhukam dan Kapolri diminta melakukan suatu pembuktian fakta dan pembenaran atas kasus Mesuji itu,” tutur Julian di Bina Graha, Jakarta, Kamis (15/12), seperti dikutip setkab.go.id.
Presiden juga memerintahkan jajaran pemerintah mencari solusi terkait kasus tersebut dengan melibatkan semua unsur, termasuk Komisi Nasional HAM, warga, pihak perusahaan, dan tokoh masyarakat. Presiden berpesan agar semua pihak yang terbukti bersalah ditindak berdasarkan hukum yang berlaku. (mzs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar