"Kalaulah ada harta yang kami cintai lebih dari segala-galanya itu, ialah agama dan keimanan kami!" tegas M. Natsir.
Oleh: Artawijaya
Jurnalis Independen: Jakarta, 1 Syawal 1837 Hijriyah. Bertepatan dengan 1 Januari 1968.
Pagi masih basah, ketika ratusan kaum muslimin sejak pagi buta berkumpul
untuk melaksanakan shalat dan mendengarkan khutbah Idul Fitri di area
sekitar pusat perbelanjaan Proyek Senen, Jakarta Pusat. Maklum, sang
khatib pada hari itu bukanlah tokoh biasa. Dia adalah Allahyarham
Mohammad Natsir, pendiri sekaligus ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII).Massa datang berjejal, ingin mendengarkan khutbah dari tokoh yang sempat memimpin Partai Masyumi ini. Pada waktu itu, isu Kristenisasi begitu mencuat, bahkan sudah terjadi gesekan di lapangan antara kaum Muslimin dengan kelompok salibis.
Dari atas mimbar, Mohammad Natsir yang dikenal bersahaja dan berkarakter lembut menyampaikan khutbahnya. Hari itu, ia meminta kepada kelompok Kristen untuk tidak bermain api dengan akidah kaum Muslimin. "Isyhaduu bi annaa Muslimun! Saksikanlah (dan akuilah) bahwa kami ini adalah Muslimin! Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama. Agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas, yakni Islam. Janganlah identitas kami saudara ganggu. Jangan kita ganggu mengganggu dalam soal agama ini..." tegasnya.
Dengan tegas pula, di hadapan ratusan massa umat Islam, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia ini menyatakan, "Kita umat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kami untuk bersahabat dengan orang-orang yang mengganggu agama kami..." ujarnya.
Natsir melanjutkan, "Ada baiknya kita berbicara berpahit-pahit. Yakni, yang demikian tidak akan dapat kami lihatkan saja sambil berpangku tangan. Sebab kalaulah ada suatu harta yang kami cintai lebih dari segala-galanya itu, ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Harta ini kami diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjaga dan melindunginya, sampai dia selamat dan aman, dan jadilah agama itu karena Allah semata-mata.
Kalau bisa dengan teman bersama-sama, kalau tidak seorang diri sebatang kara..." Demikian khutbah Mohammad Natsir di tengah keprihatinan umat Islam dengan maraknya berbagai upaya Kristenisasi yang terjadi di tengah-tengah kaum Muslimin.
Jauh sebelum itu, pada Majalah Pandji Islam tahun 1938, Natsir yang juga tokoh Persatuan Islam (Persis) menulis tentang upaya-upaya misi Kristenisasi yang tak henti-hentinya menyasar umat Islam. Natsir menyatakan, zending Kristen akan bekerja habis-habisan, dengan dukungan zending internasional, mengkristenkan negeri-negeri Muslim.
Dalam artikel berjudul, "Suara Adzan dan Lonceng Geredja" Natsir menegaskan, jika kaum Muslimin berdiam diri dan berpangku tangan dengan gerak laju kristenisasi, maka bukan hal yang mustahil, di negeri yang mayoritas Muslim ini suara adzan akan dikalahkan dengan 'lonceng gereja'.
Dengan bahasa yang lirih, Natsir menuliskan keprihatinannya ke depan akan nasib kaum Muslimin kelak di Indonesia, jika misi kristenisasi semakin kuat dan menggurita. Ditambah lagi, upaya-upaya untuk menjauhkan para pemuda muslim dari agamanya dan perusakan moral begitu gencar.
"Sebagian kaum di golongan yang masih muda, sedang dilepaskan dari ikatan iman mereka yang asli, sehingga kesudahannya terdampar ke kanan dan ke kiri oleh gelombang penghidupan dan tidak pernah mengenal tujuan hidup yang lebih tinggi dan luhur.
Sudah bukan barang yang mustahil lagi apabila sekarang terjumpa anak-anak kita orang Islam yang telah sampai ke sekolah-sekolah menengah yang belum pernah membaca fatihah seumur hidupnya dan hanya belajar mengucapkan kalimat syahadat dengan bersusah payah di waktu akan mengakadkan nikah di muka penghulu..." terangnya.
Demikianlah ketegasan Mohammad Natsir sebagai tokoh umat Islam terhadap persoalan Kristenisasi. Ia tidak berdiam diri dan berpangku tangan, apalagi bersikap lunak dengan mengatasnamakan 'kerukunan beragama dan toleransi'. Dalam buku "Islam dan Kristen di Indonesia" yang ditulisnya, terlihat bahwa sejak masih muda, Natsir sudah berjibaku menghalau upaya-upaya Kristenisasi.
Dengan bahasa yang terang dan tegas, Natsir berpolemik dengan seorang pendeta. Ia juga terlibat langsung dalam mendirikan "Komite Pembela Islam", sebuah organisasi yang didirikan untuk menghadapi Kristenisasi dan segala penghinaan terhadap Islam dan kaum Muslimin pada era sebelum kemerdekaan.
Anehnya, saat ini ada orang yang mengaku sebagai pimpinan ormas terbesar di Indonesia, tetapi bermuka manis, bahkan berada di barisan kelompok Kristen yang berperkara dengan umat Islam. Al-wala'-nya diserahkan kepada kaum kafir, dan al-bara'-nya justru dilakukan terhadap umat Islam. Islam menghargai hak-hak kaum kafir, jika mereka juga menghargai hak-hak kaum Muslimin.
Jika kaum kafir, mencari perkara dan mengusik akidah kaum Muslimin, tak ada pilihan lain selain bersikap tegas dan melawan sekuat tenaga demi mempertahankan akidah kaum Muslimin. Isyhaduu bi anna Muslimun...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar