Jurnalis Independen: Seharusnya setiap warga Negara Indonesia mengetahui dari sejarah bangsa ini, bahwa pada masa pembebasan dari penjajahan terutama jaman Belanda bercokol di negeri selama 350 tahun. Setiap sosok tokoh negeri ini yang mendapat pujian dari kolonial Belanda adalah merupakan kaki tangan, antek imperialis. Karenanya, bagi mereka yang mau membantu pemerintah kolonial, maka sebuah anugerah berupa jabatan, harta ataupun sekedar pujian tak segan kolonial berikan kepada pengkhianat bangsanya sendiri.
Selain itu, untuk setiap muslim yang mau membaca tentang Protokol Zionis, dalam buku itu diterangkan Pemimpin Zionis akan memberikan hadiah, ucapan selamat dan penghargaan kepada para anggota Freemasonry yang berjasa dan memberikan dukungan pada perjuangan dan keuntungan Zionis.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat pujian dari mantan menteri luar negeri AS semasa presiden George W Bush, Condoleeza Rice. Pujian itu dia tuangkan dalam buku biografi terbarunya yang berjudul No Higher Honor: A Memoir of My Years in Washington. Buku ini baru terbit 1 November lalu. Rice adalah menlu perempuan kulit hitam pertama AS.
Seperti yang diberitakan Republika (16/12/2011) Rice mengatakan Pilpres 2004 yang dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono membawa era baru bagi Indonesia."Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden Indonesia membawa era baru stabilitas demokrasi di negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia itu," kata Rice dalam bukunya.
Rice menilai SBY mampu membawa Indonesia pulih dari jurang kehancuran pascakrisis ekonomi dan krisis politik. Presiden SBY juga dipuji sebagai pendukung kuat kebijakan luar negeri Amerika. Kebijakannya pada antiterorisme sangat baik. “Dia adalah mitra yang sangat baik dalam program kontraterorisme," kata Rice.
Rice lantas mencermati karier militer SBY yang memang pernah disekolahkan ke Amerika."SBY adalah perwira militer yang pernah berlatih di AS. SBY adalah personifikasi dari keberhasilan AS mendidik perwira-perwira lewat program International Military Education and Training Program," kata dia.
Seperti diketahui dalam kariernya Presiden SBY pernah dua kali disekolahkan ke AS. Yang pertama pada 1975 mengikuti kursus Airborne and Ranger Courses di Fort Benning. Kedua pada awal 1980an hingga 1983. SBY disekolahkan ke sekolah Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning dan berlatih bersama dengan Divisi 82nd Airborne. Lainnya, SBY juga sempat sekolah gerilya hutan di Panama.
Racun Dibalik Pujian
Pujian elit politik Barat terhadap pemimpin negara lain tentu bukan
tanpa maksud. Demikian juga pemberian hadiah atau penghargaan atas nama
lembaga internasional semuanya memiliki motif politik. Pujian itu tidak
lain untuk memperkuat citra posisi sang tokoh di dunia internasional
ataupun tingkat lokal. Tokoh yang di-blow-up tentunya yang sejalan dengan kepentingan Barat.Untuk memperkuat posisi Obama di dunia internasional misalnya, presiden Amerika ini diberikan hadiah nobel perdamaian. Ironisnya hadiah diberikan justru hanya enam hari setelah dia memerintahkan tambahan 30.000 tentaranya di Afghanistan untuk meningkatkan pembunuhan di negeri Muslim tersebut. Pemberian nobel ini merupakan upaya busuk barat untuk membuat citra baik para pelaku kejahatan.
Obama pun diprotes. Para aktivis perdamaian mengusung peti mati palsu di New York Mereka berjalan dari luar gedung PBB menuju kantor rekrutmen militer di Times Square, Manhattan. Jumlah mereka sekitar 50 orang. “Barack Obama tidak pantas menerima Nobel Peace Prize, khususnya setelah pengumuman dia belum lama ini bahwa dia akan menggencarkan perang di Afghanistan,” kata Will Travers seperti dilansir AFP, Jumat (11/12/2009).
Beberapa penjahat perang juga diberikan hadiah nobel. Diantaranya mantan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, dan Presiden Israel Shimon Peres. Dua orang yang dikenal sebagai pembantai umat Islam di Palestina. Presiden Peres terlibat dalam kejahatan perang di Gaza tahun 2008-2009 yang menewaskan ribuan umat Islam.
Tokoh-tokoh yang menyerukan ide-ide Barat seperti pluralisme, emansipasi, sekulerisme dan liberalisme pun banjir pujian. Salah seorang pentolan liberal seperti Musda Mulia yang kerap menyerang Islam dan menyerukan kesesatan kerap kali mendapat penghargaan. Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia menganugerahkan penghargaan Yap Thiam Hien 2008 kepada Musdah Mulia.
Dalam draft Countre Legal Kompilasi Hukum Islam (CKHI), Musda dengan pendekatan jender, hak asasi manusia, dan demokrasi menyerang ajaran syariah Islam yang agung. Menurutnya, Pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul bukan rukun nikah, dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri.
Musda juga diberikan penghargaan karena pandangannya yang melegalkan homoseksual dan lesbian yang jelas-jelas haram dalam Islam. Dalam pandangan sesatnya, semua laki-laki dan perempuan sama, tak peduli etnis, kekayaan, posisi-posisi sosial, bahkan orientasi seksualnya.
“Tidak ada perbedaan antara lesbian dan tidak lesbian. Dalam pandangan Allah, orang-orang dihargai didasarkan pada keimanan mereka,” katanya.
Mirip dengan SBY, Rice juga pernah memberikan penghargaan terhadap Musdah. Pada Hari Perempuan Dunia 8 Maret 2007, Musdah Mulia menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di Washington. Ia dianggap wanita Asia ‘pemberani’. Saat itu pun dia mengaku siap dikatakan sebagai ‘antek Amerika’.
Pemerintah Amerika juga habis-habisan memuji Husni Mubarak sebagai mitra dekat Amerika di Timur Tengah. Padahal Mubarak dikenal sebagai diktator yang represif, yang kemudian ditumbangkan rakyatnya sendiri. Ketika berkunjung ke Mesir (3/6/2009) tidak lama setelah pelantikannya sebagai presiden Amerika, Obama memuji Presiden Hosni Mubarak karena keramahtamahannya.
Saat itu Obama nyaris tidak menyinggung sikap represif Mubarak. Bahkan ketika rakyat Mesir mulai bergerak menuntut mundurnya Mubarak, Amerika masih bersikeras untuk tidak menyatakan Mubarak adalah diktator. Saat itu Amerika masih berharap Mubarak masih bisa menjamin kepentingan penjajahan negara itu di Mesir.
Maka bisa dimengerti kenapa Rice memuji SBY sebagai anak didikan Amerika yang berhasil. Presiden Indonesia ini memang sangat akomodatif terhadap kepentingan Amerika. SBY sendiri memang sangat kagum terhadap Amerika, sampai-sampai mengatakan Amerika adalah negara keduanya. Harian aljazeera (4/7/2004) mengutip pernyataan SBY yang mengatakan: “I Love United States with all its faults. I consider it my second country (Saya cinta Amerika Serikat dengan segala kesalahannya, saya menganggapnya negeri kedua Saya)”.
Seperti yang dikatakan Rice, salah satu kesuksesan SBY adalah dalam perang melawan terorisme. SBY menurutnya merupakan mitra Amerika yang baik dalam perang melawan terorisme. Perang yang sarat dengan kepentingan Amerika Serikat. Perang kontra terorisme ala Amerika ini juga telah menjadikan Islam dan umat Islam menjadi target yang ingin dihancurkan.
Dalam perang ala Amerika ini, ajaran-ajaran Islam yang mulia seperti syariah Islam, Khilafah dan jihad justru dikriminalkan. Para Mujahidin yang ingin membebaskan negerinya dari penjajahan Amerika justru dituding teroris. Dalam perang ini Amerika juga tidak perduli terhadap HAM. Orang-orang yang dituding sepihak sebagai teroris diperlakukan dengan keji, disika hingga dibunuh. Seperti yang dipraktikkan negara itu di penjara Guantanamo. Presiden SBY ironisnya membebek saja terhadap Amerika.
Di bawah pemerintahan SBY dan rezim liberal sebelumnya, kepentingan penjajahan ekonomi Amerika di Indonesa pun dijamin undang-undang. Sejak reformasi, berbagai produk UU yang sangat liberal bermunculan seperti UU Migas, Kelistrikan, Sumber Daya Air, Penanaman modal, yang semuanya itu tentu saja sangat menguntungkan negara-negera Kapitalis termasuk Amerika Serikat. Rice juga sukses memastikan Blok Cepu ada ditangan Exxon Mobile, tidak lama setelah SBY menyambut dengan ramah kedatangan Condeeliza saat menjadi Menlu negara Adi Daya itu.
Dalam konteks ini pujian terhadap keberhasilan SBY dalam ekonomi bisa dimengerti. Namun pujian kesuksesan ekonomi ini menjadi ‘sampah’, ketika dalam kenyataannya justru rakyat semakin menderita. Angka kemiskinan pun tetap tinggi. Berdasarkan Data BPS tahun 2011 di negeri ini ada 30 juta orang miskin dengan standar kemiskinan yaitu pengeluarannya kurang dari 230 ribu/bulan. Jika ditambahkan dengan yang ‘hampir miskin’ (pengeluarannya Rp 233-280 ribu/bulan), jumlahnya menjadi 57 juta orang atau 24% dari penduduk negeri ini. Apalagi kalau menggunakan standar Bank Dunia (pengeluaran kurang dari US$ 2 per hari) maka ada lebih dari 100 juta orang miskin di negeri ini.
Diperkirakan, tahun 2011 angka pertumbuhan 6,5% dan PDB mencapai US$ 752 miliar. Menurut Majalah Forbes yang dirilis November lalu, dari jumlah itu 11 % atau US$ 85,1 miliar dimiliki hanya oleh 40 orang terkaya di negeri ini. Hal ini menunjukkan lebarnya kesenjangan dan buruknya distribusi kekayaan di negeri ini.Di sisi lain, berdasarkan data BPS tahun 2011 terdapat 8,12 juta orang menganggur. Sementara data Kadin, justru ada tambahan 1,3 juta penganggur tiap tahun. Sebab tambahan lapangan kerja hanya 1,61 juta sementara tambahan tenaga kerja baru mencapai 2,91 juta orang.
Kekayaan alam begitu melimpah di negeri ini. Tapi sebagian besarnya dikuasai asing. Tentu hasilnya lebih banyak dinikmati asing. Contohnya, Freeport yang sudah bercokol 40 tahun di bumi Papua, antara tahun 2004 -2008 pendapatannya US$ 19,893 milyar (sekitar Rp 198 triliun). Sementara pemerintah selama 5 tahun itu hanya menerima Rp 41 triliun. Ironis memang.
Tetapi itulah kenyataan kerja dari seorang Pengkhianat, Komprador dan komparator antek Imperialis-Kapitalis. Menguntungkan bangsa lain, menghancurkan bangsa dan negaranya sendiri, membunuh saudara setanah airnya dan bila di negeri tempat ia tinggal dan berkuasa telah luluh lantak ia akan pergi menuju negara keduanya, meminta perlindungan ke induk semangnya. Sungguh perbuatan yang sangat menjijikan dan tidak bisa diampuni oleh siapapun dari ummat manapun di dunia ini.(emi/mnt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar