Penilaian itu, jelas dia, karena banyaknya keprihatinan yang terjadi
dan belum mendapatkan jawaban. Yang ada, kata dia, hanya sekadar
komentar saja
"Juga opini yang saling menyalahkan," ungkap Hasyim saat pembukaan acara 'Pekan Konstitusi UUD 1945, Amandeman, dan Masa Depan Bangsa, di Sekretariat ICIS, Jakarta, Senin (30/1).
Padahal, saran dia, jika para tokoh dan pemimpin bangsa mau duduk bersama, dengan niat tulus memperbaiki kondisi bangsa, ia optimis perubahan dapat terjadi.
Upaya itu, ia nilai juga dapat memberikan jalan keluar dari budaya transaksional yang kini menyeruak dengan sangat kentara. Pada budaya itu, jelas Hasyim, Indonesia dengan sendirinya kehilangan sosok pemimpin. "Karena semua berlomba mencari harta tanpa mementingkan pahala," ungkapnya.
Sebelumnya, mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Muzadi, juga membeberkan akar permasalahan yang dihadapi Bangsa Indonesia Yaitu ideologi dan dasar negara yang tidak nyambung dengan sistem yang berlaku saat ini.
Sistem pemerintah, ekonomi, politik yang dianut saat ini belum bisa melanjutkan nilai yang ada pada ideologi bangsa. "Sekarang kita lihat dari empat kali amandeman, apakah itu klop dengan ideologi bangsa," ujarnya di Jakarta, Senin (19/12).
Selain itu, leadership yang ada tidak nyambung dengan tata peraturan dan undang-undang. Sebab, Pancasila sebagai dasar negara kini semakin jauh ditinggalkan. "Sekarang, ketuhanan yang Maha Esa menjadi keuangan yang maha kuasa," ungkap Hasyim.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya kasus korupsi. Menurut Hasyim, mencari orang yang tidak korupsi jauh lebih sulit ketimbang mencari yang korupsi.
"Terlebih yang lebih sulit lagi justru pembuktian korupsinya. Kalau KPK mengangkat kasus korupsi berhadapan dengan kekusaan maka pembuktiannya akan menjadi sulit," tandas Hasyim.
Selain itu, Hasyim Muzadi juga mengingatkan tentang bahaya liberasasi agama yang perlu mendapatkan perhatian serius karena dapat mengakibatkan dampak buruk dalam kebangsaan.
"Liberalisasi agama memiliki dampak yang bahaya bagi Aqidah Islam terutama dikalangan kaum muda," kata Hasyim dalam acara 'Training of Trainers' Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia di Pesantren Al-Hikam, di Depok, Kamis (20/10).
Ia mengatakan liberalisasi agama telah menjadikan objek sasarannya pada dua ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Secara makro liberalisasi agama adalah bagian dari liberalisme ekonomi, liberalisme politik dan lainnya.
Menurut dia organisasi Jaringan Islam Liberal (JIL) meminta agar subsidi untuk minyak dicabut, sehingga menjadi pertanyaan kenapa liberalisasi agama dikaitkan dengan liberalisasi ekonomi. Dengan istilah segitiga liberal yaitu liberalisme agama, liberalisme politik dan ekonomi.
Hasyim Muzadi yang menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) International Conference of Islamic Scholar (ICIS) ini menilai Indonesia saat ini dipojokkan dan diganggu.
Dikatakannya demokrasi yang sudah berjalan saat ini mendapatkan ujian. Ibarat perahu, kita ini diombang-ambing di tengah laut lepas dibiarkan tanpa ada penunjuk arah.
Ia mengatakan salah satunya adalah melalui Islam yang moderat yaitu antara liberal dan radikal. Dengan kata lain, sambungnya, NU yang terkenal moderat bisa menjadi jalan tengah diantara dua gerakan tersebut.
Dikatakannya hal tersebut bisa melalui cara mengumpulkan khazanah pemikiran walisongo dan ulama untuk didokumentasikan secara baik.
Sementara itu, terkait gonjang-ganjing permasalahan agama, mantan Wakil Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Asad said Ali mengatakan liberalisasi agama membahayakan tatanan kehidupan, karena segala sesuatu dinilai berdasarkan dengan materi.
Dia mencontohkan dikalangan barat sering menggunakan istilah "Time is Money". Istilah tersebut, menjadikan segala sesuatu dinilai dari sisi materi saja. "Ini tentunya dapat mengikis dan membahayakan karakter budaya kitam" ujarnya.
Dikatakannya mengubah pola pikir melalui jati diri sendiri sebagai bangsa Indonesia dalam konteks kebangsaan. "Islam rahmatan lil alamin merupakan solusi," ujarnya.
"Juga opini yang saling menyalahkan," ungkap Hasyim saat pembukaan acara 'Pekan Konstitusi UUD 1945, Amandeman, dan Masa Depan Bangsa, di Sekretariat ICIS, Jakarta, Senin (30/1).
Padahal, saran dia, jika para tokoh dan pemimpin bangsa mau duduk bersama, dengan niat tulus memperbaiki kondisi bangsa, ia optimis perubahan dapat terjadi.
Upaya itu, ia nilai juga dapat memberikan jalan keluar dari budaya transaksional yang kini menyeruak dengan sangat kentara. Pada budaya itu, jelas Hasyim, Indonesia dengan sendirinya kehilangan sosok pemimpin. "Karena semua berlomba mencari harta tanpa mementingkan pahala," ungkapnya.
Sebelumnya, mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Muzadi, juga membeberkan akar permasalahan yang dihadapi Bangsa Indonesia Yaitu ideologi dan dasar negara yang tidak nyambung dengan sistem yang berlaku saat ini.
Sistem pemerintah, ekonomi, politik yang dianut saat ini belum bisa melanjutkan nilai yang ada pada ideologi bangsa. "Sekarang kita lihat dari empat kali amandeman, apakah itu klop dengan ideologi bangsa," ujarnya di Jakarta, Senin (19/12).
Selain itu, leadership yang ada tidak nyambung dengan tata peraturan dan undang-undang. Sebab, Pancasila sebagai dasar negara kini semakin jauh ditinggalkan. "Sekarang, ketuhanan yang Maha Esa menjadi keuangan yang maha kuasa," ungkap Hasyim.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya kasus korupsi. Menurut Hasyim, mencari orang yang tidak korupsi jauh lebih sulit ketimbang mencari yang korupsi.
"Terlebih yang lebih sulit lagi justru pembuktian korupsinya. Kalau KPK mengangkat kasus korupsi berhadapan dengan kekusaan maka pembuktiannya akan menjadi sulit," tandas Hasyim.
Selain itu, Hasyim Muzadi juga mengingatkan tentang bahaya liberasasi agama yang perlu mendapatkan perhatian serius karena dapat mengakibatkan dampak buruk dalam kebangsaan.
"Liberalisasi agama memiliki dampak yang bahaya bagi Aqidah Islam terutama dikalangan kaum muda," kata Hasyim dalam acara 'Training of Trainers' Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia di Pesantren Al-Hikam, di Depok, Kamis (20/10).
Ia mengatakan liberalisasi agama telah menjadikan objek sasarannya pada dua ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Secara makro liberalisasi agama adalah bagian dari liberalisme ekonomi, liberalisme politik dan lainnya.
Menurut dia organisasi Jaringan Islam Liberal (JIL) meminta agar subsidi untuk minyak dicabut, sehingga menjadi pertanyaan kenapa liberalisasi agama dikaitkan dengan liberalisasi ekonomi. Dengan istilah segitiga liberal yaitu liberalisme agama, liberalisme politik dan ekonomi.
Hasyim Muzadi yang menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) International Conference of Islamic Scholar (ICIS) ini menilai Indonesia saat ini dipojokkan dan diganggu.
Dikatakannya demokrasi yang sudah berjalan saat ini mendapatkan ujian. Ibarat perahu, kita ini diombang-ambing di tengah laut lepas dibiarkan tanpa ada penunjuk arah.
Ia mengatakan salah satunya adalah melalui Islam yang moderat yaitu antara liberal dan radikal. Dengan kata lain, sambungnya, NU yang terkenal moderat bisa menjadi jalan tengah diantara dua gerakan tersebut.
Dikatakannya hal tersebut bisa melalui cara mengumpulkan khazanah pemikiran walisongo dan ulama untuk didokumentasikan secara baik.
Sementara itu, terkait gonjang-ganjing permasalahan agama, mantan Wakil Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Asad said Ali mengatakan liberalisasi agama membahayakan tatanan kehidupan, karena segala sesuatu dinilai berdasarkan dengan materi.
Dia mencontohkan dikalangan barat sering menggunakan istilah "Time is Money". Istilah tersebut, menjadikan segala sesuatu dinilai dari sisi materi saja. "Ini tentunya dapat mengikis dan membahayakan karakter budaya kitam" ujarnya.
Dikatakannya mengubah pola pikir melalui jati diri sendiri sebagai bangsa Indonesia dalam konteks kebangsaan. "Islam rahmatan lil alamin merupakan solusi," ujarnya.
Terkait dekatnya pemilu Pilpres yang sudah mulai membuat aroma kebusukan partai yang ingin membeli suara rakyat, Muzadi menyindirnya, "Karena 'membeli' dengan jujur adalah sesuatu yang paradoksal," katanya
di Jakarta, Selasa (7/6).
Ia mengemukakan, adanya praktik politik uang,
maka hak pilih rakyat bukan disalurkan dengan kesadaran untuk
mendapatkan pemimpin yang baik, melainkan rakyat menjual suaranya, baik
karena faktor kemiskinan maupun kerusakan moral kebangsaan.
"Siapakah yang mampu membeli rakyat kemudian dengan jujur memimpin rakyat?" katanya. Ia mengemukakan, pembeli suara rakyat biasanya orang yang sebenarnya tidak memiliki kepercayaan dari rakyat, namun ingin jadi pemimpin melalui segala cara, termasuk menggunakan kekuatan uang.
"Kalau Indonesia berjalan seperti ini terus, pasti menjadi negara yang gagal," katanya.
Oleh karena itu, katanya, pembenahan berbagai peraturan yang masih membuka celah praktik politik uang harus dilakukan secara serius.
Upaya penyadaran publik terkait bahaya praktik politik uang dan perlunya menggunaan hak pilih secara bertanggung jawab, katanya, juga harus digencarkan mengingat berbagai survei menunjukkan bahwa publik begitu permisif terhadap praktik itu.
Ia mengatakan, rakyat harus menyadari bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang jujur, berani, kompeten, dan siap mengelola "Indonesia untuk Indonesia".
Siapapun yang memenuhi keempat syarat tersebut, katanya, pantas didukung bersama.
"Kekalutan demi kekalutan sosial yang kemudian didera dengan goncangan alam, karena sulitnya mendapatkan empat hal tersebut," kata Hasyim yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang dan Depok tersebut.(rep/mnt)
"Siapakah yang mampu membeli rakyat kemudian dengan jujur memimpin rakyat?" katanya. Ia mengemukakan, pembeli suara rakyat biasanya orang yang sebenarnya tidak memiliki kepercayaan dari rakyat, namun ingin jadi pemimpin melalui segala cara, termasuk menggunakan kekuatan uang.
"Kalau Indonesia berjalan seperti ini terus, pasti menjadi negara yang gagal," katanya.
Oleh karena itu, katanya, pembenahan berbagai peraturan yang masih membuka celah praktik politik uang harus dilakukan secara serius.
Upaya penyadaran publik terkait bahaya praktik politik uang dan perlunya menggunaan hak pilih secara bertanggung jawab, katanya, juga harus digencarkan mengingat berbagai survei menunjukkan bahwa publik begitu permisif terhadap praktik itu.
Ia mengatakan, rakyat harus menyadari bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang jujur, berani, kompeten, dan siap mengelola "Indonesia untuk Indonesia".
Siapapun yang memenuhi keempat syarat tersebut, katanya, pantas didukung bersama.
"Kekalutan demi kekalutan sosial yang kemudian didera dengan goncangan alam, karena sulitnya mendapatkan empat hal tersebut," kata Hasyim yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang dan Depok tersebut.(rep/mnt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar