Jumat, 20 Januari 2012

Nikmatnya Jalan Jihad Ibnu Taimiyah

“Seseorang tidak takut kepada selain Allah, kecuali ada penyakit dalam hatinya. Ada seorang lelaki yang mengadu kepada Ahmad bin Hambal tentang ketakutannya pada sebagian penguasa. Maka Ahmad bin Hambal mengatakan, ‘Jika hatimu sehat, kamu tidak akan takut selamanya’.” Itulah ucapan seorang ulama besar sekaligus mujahid agung, Syaikh Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah, atau yang biasa disebut dengan Ibnu Taimiyah. Ia lahir di Kota Harran daerah Damaskus, pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 Hijriyah.

Sejak kecil, ulama yang hidup dalam keluarga ulama ini, sudah menunjukkan tanda-tanda kemuliaannya. Ibnu Taimiyah kecil tidak seperti anak-anak lain yang biasa bermain dan bersenang-senang. Hampir tidak ada hari yang berlalu, kecuali bersamanya sebuah kitab karya ulama besar di zamannya. Tidak heran jika Ibnu Taimiyah lebih senang ke perpustakaan daripada ke tempat-tempat permainan.

Suatu hari, ketika Ibnu Taimiyah kecil ini sedang dalam perjalanan menuju perpustakaan, ada seorang Yahudi yang mengganggu. Tapi, setiap kalimat gangguan itu dijawab Ibnu Taimiyah dengan kata-kata hikmah yang berbobot tinggi.

Keesokan harinya, si Yahudi itu pun mengulanginya lagi. Ia mengira bisa mendapatkan hiburan gratis berupa rengekan atau ketakutan khas anak kecil ketika diganggu dengan kata-kata yang tidak mengenakkan. Tapi, lagi-lagi, si Yahudi mendapatkan balasan kalimat-kalimat indah yang begitu berbobot.

Pembicaraan pun akhirnya menyangkut pada nilai-nilai agama. Yahudi ingin menaklukkan Ibnu Taimiyah dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang memang bukan kelas anak seusianya. Tapi, ternyata perkiraan si Yahudi itu salah. Bukan hanya pertanyaannya terjawab, bahkan si Yahudi begitu asyik menikmati nasihat-nasihat Ibnu Taimiyah tentang Tauhid.

Dengan izin Allah swt., dengan dialog-dialog tauhid dengan Ibnu Taimiyah kecil, si Yahudi itu akhirnya masuk Islam. Ia pun menjadi seorang mukmin yang saleh, sebuah akhir yang di luar dugaannya.

Keluarga Ibnu Taimiyah sendiri kadang terheran-heran dengan perilaku ketidakkanak-kanakannya. Suatu kali, keluarganya mengajaknya pergi berwisata. Ibnu Taimiyah kecil menolak. Ia tetap menolak, walaupun keluarganya memaksa. Dan ia pun ditinggal pergi.

Ketika pulang, saudara-saudaranya menceritakan pengalaman indahnya ketika berwisata kepada Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah kecil ini pun mengatakan, aku tidak merasa rugi dengan kepergian kalian. Karena selama kalian pergi, aku berhasil menghafal satu jilid kitab Jannah An-Nazhir wa Jannah Al-Manazhir.

Sedemikian cinta dan hausnya Ibnu Taimiyah dengan ilmu, ratusan guru telah ia datangi untuk menimba ilmu. Hampir seluruh usia remajanya habis untuk ilmu dan ibadah. Tidak heran jika di usia 17 tahun, Ibnu Taimiyah sudah mampu mengeluarkan fatwa kepada umat.

Umat di zamannya begitu mengagumi keilmuan Ibnu Taimiyah saat beliau masih muda. Salah seorang murid beliau, Ibnu Katsir, mengungkapkan, “Ibnu Taimiyah lebih mengetahui fikih mazhab-mazhab daripada para pengikut mazhab-mazhab itu sendiri. Ia begitu menguasai ilmu ushul, furu’, nahwu, ilmu naqli dan aqli.

Sehingga, tidak pernah ada seorang pun yang membantahnya dalam setiap majelis yang ia pimpin.”
Ibnu Taimiyah pun terkenal dengan kefakihannya dalam ilmu hadits. “Ibnu Taimiyah begitu mahir membedakan mana hadits shahih dan dhaif, mengetahui para perawi dan menguasai semua itu dengan penguasaan yang luar biasa!”

Seseorang pernah membangga-banggakan Ibnu Sina yang selalu merujuk pada para filusuf. Tapi, Ibnu Taimiyah mampu membongkar di mana ketidakberesan ilmu para filusuf itu.

Usia mudanya tidak jauh dari belajar ke ratusan guru, mengajarkan kepada umat, melakukan penelitian, menulis karya-karya ilmiah tentang hadits, tafsir, ushul, fikih, dan lain-lain. Dan, satu hal yang sudah menjadi bagian hidup Ibnu Taimiyah selain ilmu, yaitu jihad atau berperang di jalan Allah.

Hampir tidak pernah terpikir oleh mujahid muda ini tentang busana bagus, rumah indah, hobi, uang, kekuasaan, dan perempuan.

Tidak heran jika di semua tulisan tentang biografinya, menunjukkan kalau Ibnu Taimiyah belum menikah. Hal ini karena seperti yang ia sampaikan kepada ibunya sebagai permohonan maafnya, kesibukan di dunia ilmu dan jihad telah menjadikannya tidak berpikir tentang pernikahan. (Min A'lam as-Salaf, Syaikh Ahmad Farid)

“Sungguh aku telah berjanji kepada Allah, untuk tidak mengambil upah dari Alquran!”

Itulah ucapan Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah ketika masih sangat belia. Ucapan itu sebagai jawaban dari hadiah yang diberikan guru Alqurannya karena Ibnu Taimiyah telah begitu tekun menekuni ilmu Alquran.

Hadiah berupa uang sebesar empat puluh dirham itu sedianya akan diberikan rutin tiap bulan. Dan uang tersebut sebenarnya berasal dari ayah Ibnu Taimiyah sendiri yang menitipkan hadiah itu kepada gurunya.
Dunia begitu hina dalam pandangan Ibnu Taimiyah, bahkan sejak beliau masih sangat belia.

Allah telah menyingkapkan baginya tirai kehinaan hiasan dunia. Walau itu sangat mungkin, tak pernah sekali pun hasrat duniawi itu terlontar dari Ibnu Taimiyah.

Malam-malam baginya merupakan momen yang paling indah untuk bisa bercengkerama dalam cinta bersama Yang Maha Sayang, Allah swt. Hampir seisi malam tak luput bagi guru Ibnul Qayyim Al-Jauziyah ini untuk shalat, zikir, dan membaca Alquran.

Salah satu kebiasaan Ibnu Taimiyah usai shalat Subuh berjamaah adalah zikir panjangnya yang ia lakukan sendirian. Dengan suara yang hanya ia dengar, ia terus menikmati zikir hingga datang waktu dhuha. Dan itulah yang didapati Ibnul Qayyim dalam keseharian gurunya.

“Aku tidak meninggalkan zikir, kecuali untuk istirahat agar jiwaku bisa segar kembali untuk melakukan zikir selanjutnya,” ucap Ibnu Taimiyah ketika muridnya itu menghampiri.

Selain ibadah dan zikirnya yang luar biasa, tawadhunya pun sudah menjadi kekaguman tersendiri bagi murid-murid Ibnu Taimiyah. Al-Bazzar pernah mengungkapkan kesaksian dari rekannya, “Ketika Ibnu Taimiyah keluar rumah untuk menemui murid-muridnya yang sudah menunggu di majelis ilmu, tak seorang pun muridnya yang boleh membawakan kitab-kitab referensi beliau. Semua ia bawa sendiri.

“Aku pernah minta maaf karena tidak membawakan sebagian kitab itu. Tapi, Ibnu Taimiyah justru mengatakan, ‘Seharusnya, kitab-kitab ini aku letakkan di atas kepalaku, aku hanya ingin membawa lembaran tulisan yang di dalamnya terdapat sabda-sabda Rasulullah saw.”

Begitulah Ibnu Taimiyah. Ia duduk dalam majelis di tempat sebagaimana hadirin duduk. Tidak ada tempat istimewa. Tidak ada kursi khusus, karpet indah dan sebagainya.

Al-Bazzar menambahkan, Ibnu Taimiyah juga begitu hormat dengan murid-murid yang belajar bersamanya. Tak ada kata-kata kasar, sombong, dan lainnya. Ia begitu serius mendengarkan pertanyaan, dan menjawabnya dengan wawasan yang jauh lebih luas dari masalah yang ditanyakan. Sehingga orang-orang seringkali mendapatkan ilmu yang jauh lebih berharga dari jawaban yang diinginkan.

Begitu pun dengan kedermawanannya. Suatu kali, ketika melewati suatu jalan, seorang fakir berteriak-teriak memanggil nama Ibnu Taimiyah. Beliau paham betul maksud panggilan itu. Ketika menghampiri, Ibnu Taimiyah langsung mengatakan, Saudaraku, aku memahami maksud panggilanmu. Aku tidak punya uang untuk kuberikan kepadamu. Ambillah pakaian luarku ini. Silakan kau jual berapa pun, untuk kau ambil uangnya.

Satu hal lagi, selain ilmu dan ibadah, yang sulit lepas dari Ibnu Taimiyah adalah perang di jalan Allah. Inilah kekhasan beliau yang jarang dimiliki ulama-ulama lain sezamannya. Ia bukan hanya berani, tapi juga begitu terampil memainkan senjata dan strategi perang.
Suatu kali, dalam Perang Syaqhab, melawan pasukan kafir yang telah menaklukkan Damaskus, Ibnu Taimiyah menghampiri panglima perang muslim. “Bawa aku seperti kau membawa orang mati ke depan sana,” ucapnya. Padahal, pasukan musuh yang begitu banyak sudah tampak mengalir seperti aliran banjir bah.

Sang panglima pun terperanjat. “Ini akan mengantarkanmu pada kematian. Sebaiknya jangan!” Tapi, Ibnu Taimiyah tetap memaksa. Setelah di depan, sang panglima melihat Ibnu Taimiyah menengadah ke langit sambil berucap sesuatu. Ia pun bangkit dan maju ke medan perang.

“Aku tidak melihatnya lagi, sampai Allah memberikan kemenangan pada umat Islam yang berhasil masuk ke kota Damaskus!” ucap sang panglima muslim.

Tidak heran jika para perwira tentara muslim kerap menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai rujukan strategi perang ketika berada di medan pertempuran. Ibnu Taimiyah juga begitu sibuk memberikan semangat kepada prajurit yang mulai lelah dan gentar dengan jumlah dan persenjataan musuh.

“Seseorang tidak takut kepada selain Allah, kecuali ada penyakit dalam hatinya. Ada seorang lelaki yang mengadu kepada Ahmad bin Hambal tentang ketakutannya pada sebagian penguasa. Maka Ahmad bin Hambal mengatakan, ‘Jika hatimu sehat, kamu tidak akan takut selamanya,” ucap guru Ibnu Katsir ini suatu kali.




فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ ﴿٥٥﴾
“Sesungguhnya orang-orang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” (QS. Al-Qamar: 54-55)

Itulah bacaan Alquran terakhir yang dilantunkan Ibnu Taimiyah sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada malam Senin, tanggal 20 Dzulqa’dah tahun 728 Hijriyah. Penulis Kitab Majmu’ Al-Fatawa ini meninggal dunia dalam usia 67 tahun di sebuah penjara dalam benteng Damaskus.

Sebelumnya, begitu banyak ujian yang dialami Ibnu Taimiyah yang kerap berujung di hinaan dan penjara penguasa. Tapi semua itu, sedikit pun tidak mengubah keteguhan dan kesabaran beliau untuk selalu menyatakan yang benar adalah benar, dan yang batil adalah batil. Walaupun, hal tersebut harus ia sampaikan kepada para pembesar dan penguasa saat itu.

Pada tahun 705 Hijriyah, Sultan Mesir waktu itu, memindahkan paksa Ibnu Taimiyah dari Iskandariyah menuju Kairo. Masyarakat waktu itu begitu sedih karena harus kehilangan tokoh panutan yang senantiasa sabar membimbing mereka kepada jalan kebenaran Al-Islam.

Ibnu Taimiyah sendiri tidak paham maksud pemindahan dirinya ke Kairo. Setibanya di tempat tujuan, di benteng Shalahuddin, ternyata Ibnu Taimiyah dihadirkan dalam sebuah majelis para fuqaha dan penguasa yang akan mengadili Ibnu Taimiyah. Mereka secara bergantian mencerca Ibnu Taimiyah tanpa sedikit pun memberikan kesempatan kepada beliau untuk menjawab.

Ketika ada kesempatan Ibnu Taimiyah untuk memberikan jawaban, si pembawa acara langsung menegaskan, “Kamu hanya boleh menjawab singkat, bukan berceramah!”

Tidak puas dengan acara penghakiman itu, para pejabat pun memenjarakan Ibnu Taimiyah di suatu menara. Lalu, pada malam Idul Fitri, Ibnu Taimiyah dipindahkan ke sebuah penjara yang bernama Al-Jubb. Ia dipenjara selama delapan belas bulan.

Pada bulan Rabiul Awal tahun 707 H, ada seorang raja Arab yang bernama Hasamuddin Mahna bin Isa datang ke Mesir. Ia meninjau beberapa penjara, termasuk penjara di mana Ibnu Taimiyah tinggal. Saat itu, Ibnu Taimiyah pun dilepas atas permintaan raja Arab tersebut.

Ibnu Taimiyah kembali bermukim di Kairo. Beliau membuka majelis ta’lim yang diikuti begitu banyak murid. Umat Islam akhirnya bisa kembali mereguk keluasan ilmu penulis 18 kitab besar yang di antaranya Muqaddimah fi ‘Ilm At-Tafsir.

Beberapa hari pun berlalu seiring dengan kesibukan Ibnu Taimiyah mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada umat di Mesir waktu itu. Tiba-tiba, ada aliran sufi yang mengadukan Ibnu Taimiyah kepada hakim. Mereka menuduh Ibnu Taimiyah telah menghina Ibnu Arabi dan ulama tasawuf lainnya.

Hakim pun akhirnya memutuskan untuk memberikan dua pilihan kepada Ibnu Taimiyah: pindah ke Damaskus dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Atau, masuk penjara. Tanpa banyak pertimbangan, Ibnu Taimiyah langsung memilih masuk penjara.

Keputusan ini pun langsung dihalangi oleh orang-orang terdekat Ibnu Taimiyah. Mereka memohon agar Ibnu Taimiyah lebih memilih pindah ke Damaskus daripada masuk penjara. Ibnu Taimiyah pun akhirnya setuju.

Sayangnya, orang-orang yang memang tidak suka dengan perjuangan Ibnu Taimiyah langsung melobi penguasa untuk tidak membiarkan Ibnu Taimiyah pergi ke Damaskus. Benar saja, keesokan harinya, Ibnu Taimiyah akhirnya dikembalikan ke Kairo. Kemudian, beliau dimasukkan ke penjara Mahkamah.

Waktu itu, Mesir di bawah kekuasaan Raja Al-Muzhaffar Baibras Al-Jasynakir, salah seorang murid tokoh sufi, Nashr Al-Munbaji yang juga fanatik dengan Ibnu Arabi.

Keputusan tidak mengenakkan lainnya pun menyusul. Ibnu Taimiyah diasingkan di Iskandaria pada malam terakhir dari bulan Shafar tahun 709 H.

Suatu kali, ketika masuk ke sebuah penjara, Ibnu Taimiyah mendapati banyak para tahanan yang bermain catur dan dadu, serta berbagai permainan lainnya. Sementara, shalat mereka tidak terurus.

Ibnu Taimiyah pun langsung meluruskan penyimpangan yang mereka lakukan. Dan, mengajak mereka untuk shalat, berdzikir, memperbanyak amal shaleh, istighar, dan doa. Ibnu Taimiyah pun mengajarkan kepada mereka ilmu Alquran dan Sunnah.

Menariknya, hanya dalam waktu singkat, penjara yang semula penuh dengan kelalaian, berubah menjadi majelis ilmu. Para penghuni penjara begitu sibuk dengan kajian, hafalan, tilawah, zikir, dan lain-lain. Bahkan, mereka yang sudah diperbolehkan untuk bebas, lebih memilih untuk berada dalam penjara karena ingin menimba ilmu lebih banyak dari Ibnu Taimiyah.

Ketika Sultan Nashir memimpin Mesir, kebijakan utamanya adalah membebaskan Ibnu Taimiyah dari penjara. Sultan memberikan kebebasan kepada Ibnu Taimiyah untuk mengajar ilmu di tempat mana saja yang ia pilih. Ibnu Taimiyah pun dipersilakan berkunjung ke mana pun. Masyarakat pun menyambut kebijakan Sultan dengan begitu gembira.

Suatu hari, Ibnu Taimiyah mendaftar sebagai tentara relawan untuk bergabung dengan tentara Mesir dalam berjihad melawan pasukan Tartar. Dalam kesempatan itu, beliau mampir ke Baitul Maqdis dan berangkat menuju Damaskus. Ibnu Taimiyah tiba di Damaskus pada awal Dzulqa’dah tahun 712 H.

Ibnu Taimiyah pun pergi menuju Syam, di tempat ini, beliau kembali mengajar, menulis kitab, dan menyampaikan beberapa fatwa kepada umat. Di luar dugaan, salah satu fatwa tersebut ternyata tidak disukai beberapa tokoh dan penguasa.

Ibnu Taimiyah pun dihadapkan dalam sebuah majelis yang dihadiri banyak tokoh, dan penguasa. Di situ, beliau dihakimi, dicerca, dan akhirnya dimasukkan kedalam penjara. Pada tanggal 24 Rajab 720 H, atas perintah Sultan, Ibnu Taimiyah dikeluarkan dari penjara yang telah mengurungnya selama lima bulan.

Keluarnya Ibnu Taimiyah dari penjara, ternyata kembali menyulut ketidaksukaan tokoh-tokoh dan para pejabat saat itu. Mereka pun kembali melobi raja untuk kembali menjebloskan Ibnu Taimiyah kedalam penjara.

Pada tanggal 7 Sya’ban 726 H, keluarlah perintah raja untuk memenjarakan Ibnu Taimiyah di benteng Damaskus. Bukan itu saja, murid-murid utama beliau pun ikut ditangkap. Mereka disiksa dan dipertontonkan kepada masyarakat. Termasuk di antara mereka, Ibnul Qayyim.

Walau dipenjara, Ibnu Taimiyah memanfaatkan momen itu untuk menulis kitab dan fatwa-fatwa kepada masyarakat yang kemudian disebarkan melalui orang-orang yang menjenguk beliau di penjara.

Hal inilah yang membuat geram penguasa waktu itu. Akhirnya, pada tanggal 9 Jumadil Akhir 728 H, dikeluarkan kebijakan baru untuk melarang apa pun yang keluar dari penjara. Ibnu Taimiyah pun dilarang membaca dan menulis.

Hal yang bisa dilakukan Ibnu Taimiyah adalah berdzikir dan melantunkan tilawah Alquran yang memang sudah melekat dalam hafalannya. Tidak kurang selama setiap sepuluh hari, beliau mengkhatamkan tilawahnya. Selama dua tahun beberapa bulan dalam penjara, sudah 81 kali Ibnu Taimiyah mengkhatamkan tilawah Alquran.

Di penjara tesebut, Ibnu Taimiyah sakit. Seorang menteri minta izin untuk menjenguk beliau. Dalam pertemuan itu, sang menteri memohon maaf atas ketidakmampuannya mengeluarkan Ibnu Taimiyah dari penjara. Tapi, Ibnu Taimiyah langsung mengatakan bahwa semua ini bukan karena kesalahan sang menteri. Dan beliau memaklumi posisi menteri tersebut.

Ibnu Taimiyah pun mengatakan, “Aku telah memaafkan orang-orang yang telah berbuat salah kepadaku, kecuali mereka yang telah menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya.”

Salah seorang murid beliau, Ibnu Katsir, menuturkan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah meninggal dunia pada malam Senin, tanggal 20 Dzulqa’dah 728 H di dalam penjara. Dan kalimat terakhir yang diucapkan adalah tilawahnya di Surah Al-Qamar ayat 54-55.

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ ﴿٥٤﴾
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ ﴿٥٥﴾
“Sesungguhnya orang-orang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.”
(muhammadnuh@eramuslim.com/Min A'lam As-Salaf/Syaikh Ahmad Farid)

Tidak ada komentar: