Kolonialisme Dan Misi Kristen Dalam Sejarah Indonesia (bagian 1)
Jurnalis Independen: Kolonialisme dan misi Kristen mempunyai hubungan sangat erat. Di negara-negara Muslim, keduanya sering dibantu oleh orientalisme sehingga menjadi gerakan bersama Barat untuk menghadapi Islam. Fakta sejarah pun menunjukkan bahwa gerakan kolonialisme selalui disertai oleh kegiatan misionaris Kristen dan orientalis[1]. Banyak sarjana, baik dari kalangan Muslim maupun Barat, mengakui hal itu.
Dari kalangan Muslim misalnya Muhammad Al-Ghazali [2], Musthafa
Khalidi, Umar Farukh[3], Abdurrahman Habanakah Al-Maidani[4], Anwar
Al-Jundi[5], Muhammad Natsir[6], dan H.M. Rasyidi[7]. Adapun dari
kalangan sarjana Barat antara lain Robert Delavignette[8] , Stephen
Neill [9], Katie Geneva Cannon [10], Livingstone M. Huff [11], Horst
Gründer [12], dan Edward W. Said [13].
Seperti negara Muslim lain yang pernah dijajah oleh bangsa Barat,
Indonesia mempunyai pengalaman sejarah mengenai hubungan erat antara
kolonialisme dan misi Kristen. Sejarah menunjukkan bahwa Kristenisasi
merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekspansi kolonialisme. Agama
Kristen datang dan menyebar seiring dengan datang dan menyebarnya
kolonialisme Barat. Portugis maupun Belanda sama-sama datang dengan
membawa misi Kristen. Di dalam Encyclopædie van Nederlandsch-Indië disebutkan,
"Mengenai sikapnya terhadap perkara agama di kepulauan ini
(Nusantara), orang Belanda berdasarkan contoh sama dengan orang
Portugis. Di mana pun dia tinggal dan menjumpai pribumi Kristen, keadaan
mereka itu tidak disia-siakannya. Sebaliknya, di mana pun belum ada
pribumi Kristen, dia berusaha menyebarkan Kristen di tengah-tengah
mereka." [14]
Namun demikian, sebagian sarjana Kristen mengingkari adanya hubungan
saling menguntungkan antara kolonialisme dan misi Kristen. W.B.
Sidjabat, misalnya, berusaha mengelak bahwa kekuasaan kolonial Belanda
ikut membantu penyebaran agama Kristen di Indonesia. Menurutnya, kaum
misionaris sama sekali tidak ada kaitannya dengan ambisi duniawi kaum
kolonialis. Penyebaran agama Kristen lebih disebabkan oleh kuasa
Al-Kitab dan bukan terutama disebabkan oleh upaya orang-orang Kristen.
[15] Sarjana Kristen lain yang menolak asumsi di atas adalah Chris
Hartono dan Adolf Heuken SJ.
Menurut Chris Hartono, pernyataan bahwa meluasnya penjajahan dan
kemajuan karya zending sama-sama merupakan wadah ekspansi Barat adalah
tidak benar, sekurang-kurangnya tidak tepat, karena di antara keduanya
terdapat perbedaan yang hakiki. [16] Sementara itu, Adolf Heuken SJ
menyatakan bahwa tidak selamanya pemerintah kolonial memberikan bantuan
dan perlindungan kepada misi Kristen. Menurutnya, pemerintah kolonial
juga sering menghambat upaya penyebaran Kristen sampai 1942. Lebih
lanjut, dia mengatakan, “Tuduhan bahwa misi dimanja oleh pemerintah kolonial merupakan fitnah yang tak pernah disertai data (yang memang tidak ada).” [17]
Kedatangan Bangsa Barat dan Penyebaran Agama Kristen
Beberapa sarjana Kristen berpendapat bahwa pengkabaran Injil ke
beberapa tempat di Indonesia ini sudah dimulai pada zaman Patristik,
pada masa sebelum kedatangan Islam. Diduga bahwa orang-orang Kristen
Nestorian dari Mesir dan Persia sempat singgah di beberapa tempat di
Indonesia dalam perjalanan mereka ke Tiongkok pada abad V.
Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang timbulnya Kerajaan
Sriwijaya. [18] Namun demikian, nasib agama Kristen untuk jangka waktu
yang lama tidak begitu jelas setelah periode ini dan tidak meninggalkan
bekas. Tidak ada data sejarah yang dapat menjelaskan perkembangan
Kristen Nestorian itu.
Baru pada awal abad XVI agama Kristen mulai berkembang dan menyebar
dengan kedatangan bangsa Barat ke Indonesia. Pada masa itu, Spanyol dan
Portugis memelopori bangsa Eropa dalam ekspedisi pelayaran keliling
dunia. Orang-orang Spanyol melakukan pelayaran ke arah barat, sedangkan
orang-orang Portugis melakukan pelayaran ke arah timur hingga tiba di
Indonesia. Ekspansi Portugis dan Spanyol mendapatkan restu dari Paus
Alexander VI.
Pada 4 Mei 1493, dia membagi dunia baru antara Portugis dan Spanyol.
Salah satu syaratnya adalah raja atau negara harus memajukan misi
Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka itu. [19]
Paus Alexander VI juga mengajarkan bahwa bangsa-bangsa di luar Negara
Gereja Vatikan yang tidak beragama Katolik, dinilai sebagai bangsa
biadab. Negara atau wilayahnya dinilai sebagai terra nullius (wilayah
kosong tanpa pemilik). [20]
Semangat Perang Salib sangat kuat mendorong ekspansi Portugis. Mereka
memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus
diperangi. [21] Oleh karena itulah ketika Alfonso d'Albuquerque berhasil
menduduki Malaka pada 1511, dia berpidato,
"Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam
mengusir orang-orang Moor dari negara ini dan memadamkan api Sekte
Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini... Saya yakin, jika
kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka
(orang-orang Moor), Kairo dan Mekah akan hancur total dan Venesia tidak
akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi dan
membelinya di Portugis." [22]
Portugis datang ke Malaka, kemudian ke Nusantara, dengan membawa para
misionaris. Penyebaran agama Kristen Katolik menjadi tujuan utama
mereka, bukan pekerjaan sambil lalu saja. Di setiap wilayah yang
ditaklukkan Portugis, misi Katolik segera masuk dan mengkonversi
penduduk dengan cara paksa dan tidak mengenal toleransi beragama.
Para misionaris Portugis tidak menghiraukan agama Islam yang telah
dianut oleh penduduk di Maluku. Portugis mengadu domba penduduk yang
telah berhasil dikristenkan untuk bermusuhan dengan orang-orang Islam.
Malah mereka dipakai sebagai senjata untuk memerangi orang-orang Islam,
seperti yang pernah terjadi dengan orang-orang Hatiwe yang digunakan
tenaganya untuk memerangi Hitu. Agresi-agresi Portugis dengan
Kristenisasinya telah memaksa mereka yang tidak rela meninggalkan agama
Islam untuk lari meluputkan diri meninggalkan kampung halamannya,
mencari tempat yang aman dari incaran Portugis.
Penyebaran Kristen Katolik oleh para misionaris Portugis di
wilayah-wilayah Islam terkadang dilaksanakan pada hari Jum’at tepat
waktu shalat. Pada waktu itu semua orang laki-laki berada di masjid,
sedangkan wanita dan anak-anak berada di rumah. Mereka yang dapat
meloloskan diri dari kepungan Portugis terpaksa lari meninggalkan
keluarganya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi di wilayah-wilayah
Islam di pulau Ambon, seperti Negeri Lama (Pasolama), Suli, Wai dan
lain-lain. [23]
Misionaris Portugis paling sukses dalam menyebarkan Kristen Katolik
di Maluku adalah Franciscus Xaverius. Dia tiba di Ambon pada Februari
1546. Setelah tiga bulan bekerja di sana, dia mengunjungi Ternate,
Halmahera dan Morotai, lalu pulang lagi beberapa waktu ke Ternate dan
Ambon, kemudian kembali ke Malaka. Selama 15 bulan bekerja di Maluku,
Xaverius berhasil membaptis ribuan orang. [24] Xaverius pernah menulis, ”Jika
setiap tahunnya selusin saja pendeta datang ke sini dari Eropa, maka
gerakan Islam tidak akan dapat bertahan lama dan semua penduduk
kepulauan ini akan menjadi pengikut agama Kristen.” [25]. (Bersambung)
Catatan Kaki
1. Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) Institut Studi Islam Darussalam, 2008), hlm. 44–45.
2. Lihat Muhammad Al-Ghazali, Al-Isti‘mâr; Ahqâd wa Athmâ‘, (Iskandariah: Syirkah Nahdhah, 2005).
Menurut Al-Ghazali, kolonialisme mempunyai dendam agama dan ambisi
duniawi. Oleh karena itu, pemerintah kolonial tidak hanya
mengeksploitasi sumber daya alam negeri-negeri Muslim yang menjadi
daerah koloni mereka, namun juga menyebarkan agama Kristen untuk
menghadapi dan merusak Islam.
3. Lihat Mushtafa Khalidi dan Umar Farukh, At-Tabsyîr wa Al-Isti‘mâr fi Al-Bilâd Al-‘Arabiyah,
(Beirut:
Mansyurat Al-Maktabah Al-‘Ashriyah, 1986). Menurut kedua penulis ini,
misi Kristen menjadi faktor penting dalam menghancurkan persatuan Islam.
Sebab, misi Kristen berusaha menggambarkan orang-orang Eropa sebagai
pembawa pencerahan baru dan bukan dalam bentuk sebagai penjajah. Apabila
mereka berhasil melakukannya, maka hal ini akan mengendurkan dan
memecah belah perlawanan umat Islam. (hlm. 37)
4. Lihat Abdurrahman Habanakah Al-Maidani, Ajnihah Al-Makr Ats-Tsalâtsah,
(Damaskus: Dar Al-Qalam, 2000). Dalam buku ini, penulisnya memaparkan
bahwa misi Kristen, orientalisme, dan kolonialisme adalah gerakan
bersama untuk menghancurkan Islam. Ketiganya bertemu dalam tujuan dan
proyek bersama. Titik pertemuan itu antara lain adalah dalam kebencian
dan dendam terhadap kaum Muslim, eksploitasi ekonomi, memerangi Islam
dan upaya penerapannya, serta upaya memisahkan antara Islam dan
pemeluknya. (hlm. 187–206)
5. Lihat Anwar Al-Jundi, Al-‘Âlam Al-Islâmî wa Al-Isti‘mâr As-Siyâsî wa Al-Ijtima‘î wa Ats-Tsaqafî,
(Beirut: Dâr Al-Kutub Al-Lubnânî, 1983). Menurutnya, pemerintah
kolonial yang mencengkeram negeri-negeri Islam menekankan pada dua
aktivitas mendasar.
Pertama, berusaha untuk membangun opini publik bahwa apa yang
dilakukan kolonial merupakan aktivitas yang berkaitan dengan misi
pengadaban dan kemanusiaan yang bertujuan untuk memajukan umat manusia.
Mereka berasumsi bahwa orang kulit putih adalah pemilik peradaban yang
bertanggungjawab terhadap kemajuan peradaban orang kulit berwarna.
Kedua, mengubah intelektualitas Islam dari konsep dasarnya dan
membangkitkan kesamaran seputar unsur-unsur pemikiran Islam. Hal itu
dilakukan sebagai permulaan untuk mengasosiasikannya ke dalam pemikiran
Barat yang diasumsikan sebagai pemikiran universal yang dominan. Dengan
cara ini, umat Islam akan kehilangan nilai-nilai prinsipilnya, kemudian
menerima nilai-nilai peradaban Barat dan takluk seperti kuda jinak di
tangan mereka.
Untuk melaksanakan kedua hal di atas, pemerintah kolonial mengirimkan
misionaris yang memiliki peran besar dalam menciptakan orang-orang yang
menerima dan membela pemikiran Barat. Mereka tidak memusuhi
kolonialisme, tetapi malah mendukung dan menghormatinya. Oleh karena
itu, pemerintah kolonial membantu sekolah-sekolah, rumah sakit, dan
organisasi-organisasi yang didirikan oleh misionaris. (hlm. 415–416)
6. Lihat Muhammad Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia,
(Bandung: Diponegoro, 1969). Buku ini berisi tulisan-tulisan Natsir yang
mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang cenderung memberi
bantuan dan perlindungan kepada misi Kristen.
8. Lihat Robert Delavignette, Christianity and Colonialism.
Menurutnya, ada beberapa posisi agama Kristen dalam kolonisasi. Antara
lain melakukan evangelisasi atau Kristenisasi dan pengajaran gereja
9. Lihat Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions,
(London: Lutterworth Press, 1966). Neill menyatakan bahwa kolonialisme
cenderung ditafsirkan dalam istilah serangan. Serangan itu meliputi
bidang politik, ekonomi, sosial, pemikiran, dan bentuk serangan yang
paling berbahaya adalah serangan misi Kristen. (hlm. 12)
10. Lihat Katie Geneva Cannon, “Christian Imperialism and The Transatlantic Slave Trade”, dalam Journal of Feminist Studies in Religion, Volume 24, Number 1 (2008), hlm. 127–134.
11. Lihat Livingstone M. Huff, “The Crusader and Colonial Imperialism: Some Historical Considerations Concerning Christian-Muslim Interaction and Dialogue”, dalam Missiology; An International Review,
Volume 32, Number 2 (April 2004), hlm. 141–148. Dalam artikel ini, Huff
menyatakan bahwa imperialisme kolonial yang dilakukan oleh
negara-negara Barat adalah salah satu aspek sejarah yang mempengaruhi
dan membentuk kesalahpahaman antara orang Muslim dan orang Kristen.
12. Lihat Horst Gründer, “Christian Mission and Colonial Expansion-Historical and Structural Connections”, dalam Mission Studies, Volume 12, Number 1 (1995), hlm. 18–20.
13. Lihat Edward W. Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka,
2001), hlm. 131–132. Menurut Said, mengkolonisasi pada mulanya berarti
identifikasi –bahkan penciptaan— kepentingan-kepentingan, yang bisa
bersifat komersial, komunikasi, agama, militer ataupun budaya.
Umpamanya, berkenaan dengan Islam dan kawasan-kawasan Islam, Inggris
sebagai kekuatan Kristen merasa memiliki kepentingan-kepentingan
legitimatis yang harus dilindungi. Beberapa organisasi misi berkembang
untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Misalnya: Baptist
Missionary Society (1792), Church Missionary Society (1799), British and
Foreign Bible Society (1804), dan London Society for Promoting
Christianity Among the Jews (1808). Misi-misi ini terang-terangan ikut
serta dalam ekspansi Eropa.
14. Joh. F. Snelleman, Encyclopædie van Nederlandsch-Indië, Jilid IV (Leiden: Martinus Nijhoff, 1905), hlm. 829.
15. W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), hlm. 24.
16. Chris Hartono, “Kehadiran Zending di Zaman Kolonial Belanda; Suatu Tinjauan Historis-Teologis”, dalam F.W. Raintung (ed), Tahun Rahmat dan Kemerdekaan; Perenungan Perjalanan Lima Puluh Tahun Republik Indonesia, (Surakarta: Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial, 1995), hlm. 21.
17. Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja, Jilid 5, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 10.
18. W.B. Sidjabat, Panggilan Kita, hlm. 16-17. Lihat juga Th. van den End, Ragi Carita 1; Sejarah
Gereja di Indonesia 1500-1860, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 19–20.
19. H. Berkhof, Sedjarah Geredja, Jilid II, (Jakarta: Badan
Penerbit Kristen, 1952), hlm. 86. Lihat juga Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2006), hlm. 20–21.
20. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid I, (Bandung: Salamadani, 2009), hlm. 158.
21. Bernard H. M. Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 97.
22. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 372.
23. Maryam RL Lestaluhu, Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam Terhadap Imperialisme di Daerah Maluku, (Bandung: Al-Ma'arif, 1988), hlm. 40–42.
24.H. Berkhof, Sedjarah Geredja, Jilid II, hlm. 86.
25. Alwi Shihab, Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia,
Kolonialisme Dan Misi Kristen Dalam Sejarah Indonesia (2)
Selain di Maluku, Kristen Katolik juga menyebar di Nusa Tenggara
Timur mulai tahun 1556 serta di Sulawesi Utara dan kepulauan
Sangir-Talaud mulai tahun 1560-an. Akan tetapi, mereka gagal menyebarkan
Kristen Katolik di wilayah barat Indonesia. Portugis sempat melakukan
Kristenisasi di ujung timur pulau Jawa, tepatnya di Blambangan dan
Panarukan pada 1585-1598. Mereka membaptis sejumlah orang, termasuk dari
kalangan keluarga raja Blambangan.
Pada akhir abad XVI, penyebaran Kristen Katolik berakhir ketika
Blambangan diserang dan diislamkan dari jurusan Pasuruan dan Surabaya. [26]
Semenjak itu, tidak ada komunitas Kristen di pulau Jawa hingga datang
orang-orang Belanda dalam beberapa gelombang memasuki abad XVII.
Pada 1595 orang-orang Belanda mulai datang ke Indonesia. Angkatan
pertama ini segera disusul oleh beberapa angkatan berikutnya sehingga
jumlah mereka semakin banyak. Tujuan kedatangan mereka itu adalah ikut
serta berdagang. Untuk menyatukan orang-orang Belanda yang mengadakan
pelayaran dan perdagangan di negeri seberang, pada 1602 dibentuklah
organisasi dagang swasta yang bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Selain mengejar keuntungan ekonomis dan ikut membangun imperium
Belanda, VOC juga mempunyai tugas untuk menyebarkan agama Kristen. VOC
mengatur dan menetapkan bahwa di kapal-kapal dan wilayah-wilayah yang
mereka kuasai harus diselenggarakan pemeliharaan ruhani meskipun sangat
sederhana. VOC juga harus memelihara orang-orang Kristen yang merupakan
warisan Portugis di daerah-daerah yang baru saja ditaklukkannya. Selain
itu, sebagai pemerintah Kristen, VOC mempunyai tugas untuk menyebarkan
Kristen kepada penduduk-penduduk kafir dan Islam. [27]
Sebagaimana Portugis yang mendapatkan mandat dari Paus Alexander VI
untuk menyebarkan Kristen di daerah yang ditaklukkan, VOC juga
mendapatkan mandat dari Gereja Protestan Belanda (Gereformeerde Kerk),
yang waktu itu berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan
Kristen, sesuai dengan isi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561,
yang antara lain berbunyi, "Juga jabatan itu (maksudnya tugas
pemerintah) meliputi: mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus,
memberantas dan memusnahkan seluruh penyembahan berhala dan agama palsu,
menjatuhkan kerajaan Anti-Kristus, dan berikhtiar supaya kerajaan Yesus
Kristus berkembang." [28]
Akan tetapi, selama 200 tahun menguasai beberapa wilayah di
Indonesia, pertumbuhan agama Kristen pada zaman VOC mempunyai hasil
minim. VOC hanya memprioritaskan daerah-daerah bekas koloni Portugis dan
Spanyol, seperti Maluku, Minahasa dan lainnya. Kegiatan para pendeta
terbatas pada melayani orang-orang Eropa dan orang-orang pribumi yang
telah masuk Kristen. Orang-orang Maluku yang sudah beragama Katolik
dipaksa untuk berpindah ke Protestan aliran Calvinisme. [29]
VOC lebih memedulikan keamanan keuntungan komersial yang diraih
daripada mengonversikan orang-orang Indonesia. Upaya-upaya konversi
terhadap pribumi, terutama di Jawa, dihindari karena mereka takut akan
pengaruh negatifnya terhadap perolehan keuntungan ekonomi. [30]
Setelah VOC runtuh pada 1799, Indonesia tidak lagi milik suatu badan
perdagangan, tetapi menjadi wilayah jajahan negara Belanda. Sejak 1795,
Belanda diduduki oleh tentara Perancis. Hal ini mendorong pemerintah
Inggris menginvasi Jawa dan mengambil alih kekuasaan dari tangan
pemerintah Belanda. Masa peralihan sementara ini berlangsung dari 1811
hingga 1816. Di bawah Thomas Stamford Raffles, Gubernur Inggris yang
ditunjuk untuk memerintah di Indonesia, agama Kristen –khususnya Kristen
Protestan– mulai bisa menghirup udara segar. Orang-orang Kristen
Inggris memainkan peran menonjol dalam kerja-kerja misionaris, dan
Masyarakat Misionaris London (London Missionary Society) kemudian
mendirikan Gereja Baptis Inggris pertama di Batavia (kini Jakarta). [31]
Dengan berakhirnya pelbagai perang yang disulut Napoleon, Indonesia
kembali jatuh ke tangan pemerintah Belanda. Sejak saat itu dan
selanjutnya, agama Kristen mulai mengakar di Indonesia. Memang pada abad
XIX, misi Kristen Protestan kepada kaum Muslim mulai digalakkan secara
serius dengan bangkitnya gerakan evangelis. [32]
Sekembalinya pemerintah Belanda ke Indonesia pada 1816, Raja William I
dari Belanda mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa para misionaris
akan diutus ke Indonesia oleh pemerintah. Pada 1835 dan 1840, dekrit
lain dikeluarkan yang menyatakan bahwa administrasi gereja di Hindia
Belanda ditempatkan di bawah naungan Gubernur Jenderal pemerintah
kolonial di Indonesia. Pada 1854, sebuah dekrit lain dikeluarkan, yang
mencerminkan bahwa kedua badan di atas saling berkaitan. Dekrit itu
menyebutkan bahwa administrasi gereja antara lain berfungsi
mempertahankan doktrin agama Kristen. Oleh karena itu, sejumlah
fasilitas diberikan kepada para misionaris, termasuk subsidi dan
sumbangan finansial serta keringanan pajak. [33]
Berbagai lembaga misionaris juga dibentuk dan berlomba-lomba
mengembangkan agama Kristen di kalangan pribumi. Lembaga misionaris itu
tidak hanya berasal dari negara Belanda, namun juga dari negara-negara
Eropa lainnya. Menurut Stephen Neill, lembaga misionaris dari negara
Eropa lain memang sengaja datang untuk membantu lembaga-lembaga
misionaris Belanda. Pertimbangannya adalah karena Belanda negeri kecil,
sedangkan Indonesia negeri yang sangat besar. Apabila Indonesia ingin
dikristenkan, maka usaha ini tidak akan dapat dicapai oleh Belanda saja. [34]
Di antara lembaga misionaris tersebut, misalnya, adalah sebagai berikut:
- Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG). Dibentuk pada
1797 di Belanda. Organisasi ini menyebarkan Kristen di Tanah Karo
(Sumatra Utara), Jawa Timur, Poso (Sulawesi Tengah), dan Bolaang
Mongondow.
- Nederlandsche Bijbelgenootschap. Dibentuk pada 1814. Organisasi ini menyebarkan dan menerjemahkan Bibel ke dalam berbagai macam bahasa di Indonesia.
- Nederlandsche Zendings Vereeniging. Dibentuk pada 1858.
Organisasi ini menyebarkan Kristen di kalangan kaum Muslim dan penganut
agama suku di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
- Het Rijnsche Zendingsgenootschap te Barmen. Dibentuk pada
1829. Organisasi ini menyebarkan Kristen di Tapanuli (Tanah Batak dan
Nias), pulau Enggano, kepulauan Mentawai, Simalungun, dan Tanah Karo.
- De Utrechtsche Zendingsvereeniging. Berdiri pada 1859 dan menyebarkan Kristen di Maluku.
- De Indische Advent Gemeente menyebarkan Kristen kepada keturunan Cina di Jawa, Tapanuli, dan Ambon.
- The Missionary Society of the Metodhist Episcopal Church menyebarkan Kristen di Palembang dan Sumatra Selatan.
Penduduk pribumi yang masuk Kristen mendapatkan hak-hak istimewa dari
pemerintah Hindia Belanda. Menurut Ketetapan Umum Perundang-undangan (Algemeene Bepaling van Wetgeving)
tahun 1849, golongan Kristen termasuk kategori Eropa, sehingga penduduk
pribumi yang beragama Kristen menikmati hak hukum yang sama dengan
saudara-saudara mereka seagama dari kalangan bangsa Eropa.
Walaupun
posisi anak mas ini segera ditarik kembali dan peraturan pemerintah (Regeeringsreglement)
tahun 1854 menempatkan posisi hukum mereka dalam kategori yang sama
dengan penduduk pribumi lain pada umumnya, namun hal ini belum
menghilangkan kenyataan bahwa penganut Kristen pada umumnya menikmati
berbagai keuntungan dari pemerintah Belanda, umpamanya dalam mencari
lapangan kerja serta dalam memperoleh kenaikan pangkat dalam pekerjaan
mereka. Anak-anak mereka pun, dibandingkan dengan anak-anak orang Islam,
mudah mendapat tempat di sekolah-sekolah yang didirikan oleh
pemerintah. [35]
Apabila para zendeling dan misionaris cukup berhasil mengkristenkan
penduduk di daerah-daerah luar Jawa yang masih menganut agama primitif,
namun tidak demikian halnya di Jawa. Meski mereka telah mengerahkan
tenaga dan dana yang besar, namun hanya sedikit penduduk Jawa yang masuk
Kristen.
Perkembangan komunitas Kristen di Jawa sangat lambat. Pengaruh
Islam sangat kuat di kalangan pribumi Jawa sehingga menjadi penghalang
kokoh bagi upaya Kristenisasi. Dalam suratnya kepada Pengurus Pusat
Nederlandsche Zendings Vereeniging pada 8 Mei 1863, D.J. van der Linden
mengatakan, “Agama Islam di Pulau Jawa ini bukan seperti pohon yang
tidak berbunga lagi. Bahkan sebaliknya, tahun demi tahun buahnya
bertambah banyak. Orang Jawa masih merasa yakin bahwa agama Islam
memenuhi kebutuhannya. Dia belum siap. Itulah sebab utama kurang
berhasilnya perkabaran Injil di Pulau Jawa selama ini.” [36]
Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Th. van den End,
“Akhirnya, di daerah-daerah di luar Jawa pun waktu panen yang
berlimpah tiba; kalau di Jawa Barat masa panen itu tidak kunjung datang.
Yang demikian itu karena di sana beton adat, yang membuat masyarakat
begitu tertutup, masih diperkuat lagi oleh besinya Islam.” [37]
Pertarungan Identitas
Agama Kristen bagi pribumi Muslim dipandang sebagai agama penjajah
Belanda karena agama ini dianut, disebarkan ke kalangan pribumi, dan
didukung oleh orang-orang Belanda. Maka dari itu, pribumi yang masuk
agama Kristen bukan hanya dikucilkan dari lingkungannya, tetapi juga
dianggap telah menjadi “Belanda” atau antek Belanda. Dengan demikian,
rasa bangga berdasarkan kebangsaan akan terusik. [38]
Pada masa itu Islam adalah identik dengan kebangsaan. [39] Pandangan ini
muncul akibat kuatnya pengaruh Islam dalam diri penduduk pribumi. Bagi
mereka, Islam berfungsi sebagai titik pusat identitas untuk melambangkan
keterpisahan dari dan perlawanannya terhadap penguasa-penguasa Kristen
dan asing. [40] Politik kolonial Belanda sesudah 1850
memang tidak hanya bermotif ekonomi, namun juga perluasan militer,
pegawai, politik dan agama. [41] Dalam hal ini, kegiatan zending dan misi turut memperkokoh kekuasaan politik kolonial Belanda.
Desa-desa Muslim menjadi benteng pertahanan yang kokoh untuk menjaga
indentitas keislaman warganya dan melawan penyebaran agama Kristen.
Dalam suratnya kepada Pengurus Pusat Nederlandsche Zendings Vereeniging
pada 15 Desember 1884, J. Verhoeven menulis,
Dengan memperhatikan pengalaman banyak teman, dan karena banyak
bergaul di desa-desa kaum Muslimin di daerah pedalaman, saya menjadi
yakin bahwa untuk sementara waktu tidak mungkin mengharapkan kaum
penganut Kristus dapat tinggal sedesa bersama kaum penganut Muhammad.
Belum lama berselang telah dikemukakan suatu contoh yang membuktikan
bahwa susunan pemerintah desa serta keseluruhan tatanan hidup
perekonomian dalam suatu desa Muslim merupakan suatu benteng pertahanan
yang kokoh, yang untuk sementara waktu tak tertaklukkan, melawan
penyebaran agama Kristen. Olehnya juga ditimbulkan keadaan yang
menyebabkan setiap individu yang telah masuk Kristen hampir tidak
mungkin tetap setia dan mencapai pertumbuhan rohani yang membuat kita
dapat menyaksikan kehidupan jemaat yang sehat dan kuat. [42]
Untuk menyelamatkan jemaat Kristen dari pengaruh Islam, sekaligus
sebagai basis gerakan Kristenisasi, maka didirikanlah desa-desa Kristen.
Beberapa desa Kristen di Jawa antara lain adalah Mojowarno di Jombang,
Pangharepan di Sukabumi, Cideres di Majalengka, dan Palalongan di
dataran Cihea di Priangan. Sebagaimana desa kaum Muslim yang berfungsi
sebagai benteng pertahanan terhadap identitas keislaman warganya, desa
Kristen juga diharapkan bisa berfungsi sebagai benteng pertahanan
terhadap identitas kekristenan warganya. Mengenai harapannya di
Mojowarno, A. Kruyt mengatakan,
Maka kami berikhtiar untuk di Mojowarno membentuk jemaat inti
yang sungguh sehat. Melalui inti ini, kami berupaya untuk mempengaruhi
masyarakat Islam di sekitar kita, seperti halnya ragi meragi tepung
terigu tiga sukat. Apabila waktu yang ditetapkan Allah sudah tiba, maka
orang banyak, bahkan para pembesar pun, akan datang kepada Tuhan, lalu
pulau Jawa ini akan memasuki masa yang serba indah dan serba gemilang. [43]
Sementara itu, J. Verhoeven menjelaskan alasan keinginannya mendirikan desa Kristen sebagai berikut:
1. Agar orang-orang yang sudah dibawa masuk ke dalam jemaat dapat
tetap menjadi anggota, dengan melepaskan mereka dari ikatan yang
menghimpit mereka jika terpaksa tetap menjadi warga desa Muslim, dan
memindahkan mereka ke dalam lingkungan dimana Roh Kudus dapat berkuasa
untuk menyegarkan hati sanubari, keluarga, serta lingkungan mereka.
2. Agar kaum Kristen bumiputra tidak lagi harus tunduk kepada
pemerintahan desa yang antara lain beranggotakan tokoh-tokoh yang harus
kita pandang sebagai musuh wajar orang-orang Kristen, dan juga agar
mereka akan dapat menjauhi oknum-oknum yang keberadaannya merusak bagi
kaum muda dan kaum tua pula.
3. Agar mereka dapat sungguh-sungguh tumbuh sebagai jemaat; agar
dapat diadakan pengaruh yang baik terhadap pendidikan anak-anak warga
jemaat, dan agar dengan demikian kaum muda dan kaum dewasa dapat
bertumbuh dalam takwa terhadap Tuhan.
4. Agar dalam melakukan usaha pertanian dan usaha pencarian halal
lainnya, dapat diusahakan kerja sama dan jiwa gotong royong yang
diperlukan, agar tangan-tangan yang rajin dapat menghasilkan lebih
daripada hanya kebutuhan yang paling pokok saja, serta juga agar
lama-lama jemaat ini dapat berswadaya dalam memenuhi segala
kebutuhannya, termasuk alat-alat dan barang keperluan sekolah, yang kini
masih menjadi tanggungan utusan Injil atau perhimpunan yang
mengutusnya, ataupun sama sekali tidak dapat diperolehnya.
5. Agar kami (para zendeling) dapat menunjukkan dengan lebih tegas
kepada kaum Muslim di sekitar kami –kami sungguh-sungguh ingin hidup
dalam kedamaian dan kerukunan dengan mereka—bahwa kaum Kristen merupakan
sahabat-sahabat mereka, dan bahwa agama Kristen menginginkan
kesejahteraan sejati untuk semua bangsa
6. Agar Zending Injili paling sedikit mengupayakan, agar dalam
lingkungan desa-desa Kristen disediakan lapangan, dimana pihak
pemerintah dengan berangsur-angsur akan dapat melaksanakan
“pembaruan-pembaruan” yang dibutuhkan oleh kaum bumiputra Kristen kami,
yang dikehendaki pemerintah, namun dianggap “belum sampai masanya”. [44]
Masalah identitas merupakan masalah penting. Identitas menjadi faktor
pemersatu. Selama Islam masih menjadi identitas penduduk pribumi, sulit
untuk mengharapkan mereka masuk Kristen. Agaknya hal ini disadari oleh
sebagian misionaris maupun zendeling. Oleh karena itu, mereka tidak
hanya mendirikan desa-desa Kristen, namun juga berusaha memisahkan
identitas keislaman dari penduduk pribumi. Strategi ini terutama
dilakukan di Jawa pada abad XX, seperti yang akan dibicarakan nanti.
Catatan Kaki
26. Th. Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959), hlm. 25. Lihat juga Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan, hlm. 44.
27. Th. Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, hlm. 31.
28. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan, hlm 49–50.
29. C. Guillot, Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa, (Jakarta: Grafiti, 1985), hlm. 4-5.
30. Alwi Shihab, Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 33.
31. Ibid, hlm. 35.
32. Jane I. Smith, “Christian Missionary Views of Islam in The Nineteenth and Twentieth Centuries”, dalam Islam and Christian-Muslim Relations, Volume 9, Number 3 (Oktober 1998), hlm. 357.
33. Alwi Shihab, Membendung Arus, hlm. 39–40. Lihat juga H. Berkhof, Sedjarah Geredja, Jilid II, hlm. 160
34. Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions, hlm. 188.
35. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm.9–10.
36. Th. van den End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858–1963, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 100.
37. Th. van den End, Ragi Carita 2; Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an–Sekarang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 223.
38. Th. van den End, Sumber-Sumber Zending, hlm. 100.
39. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam., hlm. 8.
40. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 32.
41. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional; Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid II, (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 5.
42. Th. van den End, Sumber-Sumber Zending, hlm.219.
43.Th. van den End, Ragi Carita 2, hlm.250.
44. Th. van den End, Sumber-Sumber Zending, hlm.221–222.
Kolonialisme Dan Misi Kristen Dalam Sejarah Indonesia (bagian 3)
Jurnalis Independen: Politik etis merupakan reaksi terhadap politik liberal (1870-1900).
Masa politik liberal merupakan masa eksploitasi Indonesia oleh
perusahaan-perusahaan swasta setelah dihentikannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel)
secara bertahap.
Pengejaran untung oleh para pengusaha swasta Eropa
menyebabkan perekonomian pribumi porak poranda. Maka dari itu,
muncullah kritikan dan kecaman terhadap penerapan politik liberal di
kalangan orang Belanda. Pada 1888, P. Brooshooft, redaksi surat kabar di
Semarang, De Locomotief, menuntut pemerintah Belanda agar memperbaiki
keadaan pribumi di Hindia Timur dan memberi otonomi lokal yang lebih
besar. [46] Sebuah kritikan datang dari Mr. Conrad Th. van Deventer pada
1899 melalui artikelnya "Een eereschuld" (Utang Budi) di majalah ternama "De Gids".
Senada dengan P. Brooshooft, van Deventer menuntut pemerintah membayar
budi atas dana berjuta-juta dari keuntungan sistem tanam paksa. Jumlah
yang harus dikembalikan sekitar 187 juta gulden. Uang ini dipergunakan
untuk memperbaiki sistem pendidikan dan kepentingan publik lainnya. [47]
Sementara itu di Negeri Belanda sendiri, tuntutan untuk meninggalkan
politik eksploitasi semakin kuat. Semua partai memberi tekanan pada
politik kolonial yang didasarkan pada suatu kewajiban moril dan
diarahkan pada perbaikan nasib penduduk pribumi. Partai Liberal yang
menguasai politik selama lima puluh tahun terakhir telah keluar dari
kekuatan politik. Koalisi partai agama (Partai Roma Katolik, Partai
Anti-Revolusioner, dan Partai Kristen Historis) dan kelompok kanan
berhasil memenangkan pertarungan politik dan menetapkan untuk kembali
pada prinsip-prinsip Kristen dalam pemerintahan. [48]
Tiga partai agama
tersebut memiliki program yang banyak menitikberatkan pada agama, kerja
bebas, dan kewajiban moral dari negeri induk. Mereka menuntut supaya
Hindia Belanda dibuka untuk kegiatan misi, juga menuntut dukungan
pemerintah kolonial terhadap kegiatan-kegiatan itu. Kedudukan legal
agama dan orang-orang Kristen harus diatur dengan undang-undang. [49]
Partai Anti-Revolusioner, di antaranya, menyebutkan programnya:
Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat
Kristen Eropa (Belanda), yang jika ditinjau dari segi kenegaraan maupun
kemasyarakatan adalah juga sangat penting. Maka dari itu, pemerintah
kolonial harus memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dan tunjangan
keuangan dalam melakukan pendidikan dan perawatan (misi). [50]
Partai agama juga menentang eksploitasi ekonomi dan finansial, terutama
penggunaan uang-uang Hindia untuk kepentingan negeri Belanda. Politik
eksploitasi perlu diganti dengan politik kewajiban etis, atau poltik
sosial. Selain itu, mereka menuntut agar diberikan perhatian lebih
banyak kepada kepentingan penduduk. [51]
Politik ekspansi yang
dijalankan secara keras juga ditentang oleh kaum agama. Mereka
menegaskan bahwa kaum Nasrani tidak diperbolehkan memiliki daerah
jajahan, kewajibannya ialah mendatangkan peradaban dan agama Kristen.
Dalam prakteknya perubahan politik kolonial hanya merupakan eksploitasi
untuk perbendaharaan Belanda menjadi eksploitasi untuk kepentingan
sosial, baik Belanda maupun asing. [52]
Oleh karena latar belakang tadi, akhirnya pada September 1901 Ratu Wihelmina menyampaikan pidato tahunan kerajaan,
Sebagai bangsa Kristen, Belanda mempunyai kewajiban untuk
memperbaiki keadaan orang-orang Kristen pribumi di daerah kepulauan
Hindia (Indonesia), memberikan bantuan lebih banyak kepada kegiatan
zending Kristen, dan memberikan penerangan kepada segenap petugas bahwa
Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk wilayah itu. [53]
Pidato Ratu Wihelmina ini dianggap sebagai pertanda dimulainya
politik etis di Indonesia yang jelas sekali memperlihatkan semangat
Kristen. Memang, sebagaimana dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo,
politik kolonial Belanda pada abad XX tidak hanya terbentuk oleh
kristianisme, tetapi juga liberalisme dan humaniterisme. [54] Namun
demikian, "warna Kristen" tetap mendominasi dalam politik etis, terlebih
dengan duduknya beberapa tokoh partai agama dalam pemerintahan di
Hindia Belanda, yang dengan terus terang mendukung Kristenisasi. Atas
nama "kewajiban moral bagi orang Belanda untuk mengangkat derajat
penduduk pribumi", gerakan penyebaran agama Kristen mendapatkan dukungan
pemerintah karena dianggap sejalan dengan misi pengadaban (civilizing mission).
Istilah "politik etis" di kalangan sejarawan mempunyai sekian banyak
batasan, penanggalan, dan tafsiran. Elsbeth Locher-Scholten menyimpulkan
bahwa politik etis bisa diartikan sebagai kebijakan yang bertujuan
melebarkan kekuasaan nyata Belanda atas seluruh wilayah kepulauan
Indonesia serta mengembangkan negeri dan bangsa wilayah ini menuju
pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Belanda dan menurut model Barat.
Berakhirnya politik etis dianggap terjadi pada 1910, 1912, 1920, 1927,
1930 ataupun 1942. Nama politik etis itu sendiri diberikan oleh para
pelopor yang menginginkan kebijakan kolonial yang baru. Mereka berasal
dari golongan partai-partai agama, sosialis, dan liberal progresif (vrijzinnig-democratish). [55]
Pada 1900-an, kata "etis" merupakan kata yang sedang musim. Istilah
"politik etis" merupakan bagian dari mentalitas tertentu yang mencolok
di berbagai bidang dan mengungkapkan mentalitas itu. Kesadaran moral
yang meningkat ini pada satu segi merupakan sebab meningkatnya
Calvinisme sesudah tahun 1870, yang memang dari dulu sarat muatan moral.
Dari segi lain, kesadaran ini berakar dalam kelompok yang pada waktu
yang sama meninggalkan Calvinisme.
Pada masa meningkatnya sekulerisasi,
etika atau ilmu kesusilaan merupakan endapan kepercayaan lama yang
sangat dihargai. Di dalam aliran baru yang banyak muncul, yang
bervariasi dari sosialime sampai teosofi, etika ini bisa memberikan
pegangan hidup yang baru. Perjuangan melawan kepincangan sosial pada
akhir abad XIX menguatkan kesadaran akan moral ini. Di samping itu,
pergeseran dari karya amal individual (gerakan kebangunan Protestan Réveil)
kepada bentuk organisasi yang lebih besar ikut mendorong kepekaan
kesadaran moral. Dapatlah dikatakan bahwa "keadaan kurang sejahtera"
sebagai varian kolonial "permasalahan sosial" justru menggugat kesadaran
etis ini. [56]
Untuk meningkatkan kemakmuran pribumi, pemerintah Hindia Belanda
menyebutkan tiga prinsip politik etis, yaitu: educatie, emigratie,
irrigratie (pendidikan, perpindahan penduduk, pengairan). Namun dalam
pelaksanaannya, ketiga prinsip ini tidak dapat dilepaskan dari upaya
mempertahankan penjajahan. Mereka beranggapan bahwa apabila Indonesia
merdeka, segalanya akan hilang. [57] Tujuan kaum penganjur politik etis
bukanlah kemerdekaan Indonesia, melainkan kerja sama antara dua golongan
yang setaraf dalam rangka suatu Hindia Belanda yang tetap bergabung
dengan negeri Belanda di Eropa. Hanya sedikit sekali orang Belanda yang
berpikir lebih jauh, yaitu yang mencita-citakan suatu Indonesia yang
sungguh-sungguh merdeka. [58]
Kerstening-politiek (politik pengkristenan) merupakan bagian tidak
terpisahkan dari politik etis. Cita-cita dan tujuan yang termuat dalam
politik etis berjalan sejajar dengan politik Kristen sehingga kaum etisi
mendapat sokongan penuh dari partai-partai agama di negeri Belanda.
[59] Mereka yang diangkat sebagai pelaksana politik etis setelah pidato
kerajaan tahun 1901 adalah orang-orang yang dikenal loyal terhadap
Kristenisasi, seperti Abraham Kuyper dan Alexander Willem Frederik
Idenburg. Abraham Kuyper diangkat sebagai Perdana Menteri pada 1901.
Alexander Willem Frederik Idenburg diangkat sebagai Menteri Urusan
Penjajahan (1902—1909) dan selanjutnya sebagai Gubernur Jenderal di
Hindia Belanda (1909—1916).
Abraham Kuyper sejak 1879 telah mengkritik kecenderungan kebijakan
pemerintah Belanda yang mengeksploitasi Hindia (Indonesia) demi kas
negara Belanda atau kas para pengusaha swasta Belanda. Dia mengusulkan
agar kebijakan itu diganti dengan kebijakan yang berkesusilaan. Untuk
itu, harus ada upaya menjalankan pemerintahan Hindia demi kepentingan
Hindia. Menurut Kuyper, pemerintahan Hindia demi Hindia itu berarti:
pemisahan urusan keuangan Hindia dari keuangan negeri Belanda, tidak ada
westernisasi yang dipaksakan tetapi Kristenisasi dijalankan,
pemerintahan yang adil, kerja bebas dan perluasan berangsur-angsur
kedaulatan atas "tanah milik Kerajaan di luar Jawa". [60]
Dalam gagasan
"Hindia demi Hindia", Belanda tetap menjadi wali atas Hindia. Konsep
perwalian Belanda atas Hindia ini, menurut Kuyper, adalah memberi
pendidikan kesusilaan yang diartikan dengan mengkristenkan, mengelola
milik pihak yang di bawah perwalian dengan seksama demi kepentingannya,
dan memungkinkan bagi pihak tersebut posisi yang mandiri di masa depan,
jika Tuhan menghendakinya. [61]
Alexander Willem Frederik Idenburg juga dikenal konsisten melakukan kerstening-politiek.
Ketika pada 1909 dia diangkat sebagai gubernur jenderal di Bogor, para
pegawai pemerintahan kolonial heran karena Gubernur Jenderal ini adalah
orang yang taat pergi ke gereja. Dia bahkan disebut sebagai "orang
Kristen pertama di atas Tahta Buitenzorg (Bogor)". [62]
Idenburg
berpendapat bahwa satu-satunya jalan untuk melanjutkan penjajahan adalah
pengkristenan. Meminjam kata Robert E. Speer, Idenburg menyatakan,
Pilihan untuk Dunia Islam bukanlah Muhammad dan Kristus. Bukan
pula Muhammad atau Kristus. Tetapi, hanya Kristus. Kristus atau hancur
dan mati. Islam (penyerahan kepada Tuhan) yang sebenarnya adalah
menyerah kepada Kristus. Barulah boleh hidup dan bebas.
Idenburg kemudian membela secara panjang lebar keuntungan-keuntungan
bagi pemerintah Belanda bila rakyat telah dikristenkan. Rakyat dengan
demikian tidak akan mau dipisahkan lagi dengan pemerintah Belanda,
seperti dikatakannya,
Kebenaran cita Kristen dapat dibuktikan dalam praktek. Rakyat
Hindia Belanda dimana agama Kristen telah berakar (Minahasa, Maluku,
Batak) meskipun mengenal aspirasi nasional, tetapi mereka umumnya merasa
ada ikatan kokoh dengan pemerintah Belanda dan tidak menghendaki
pemecahan masalahnya di luar pemerintah Belanda. [63]
Dengan demikian, "kewajiban moral untuk mengangkat derajat penduduk
pribumi" dalam prakteknya adalah upaya untuk membaratkan (mensekulerkan)
dan mengkristenkan penduduk pribumi. Memang Barat tidak selalu berarti
Kristen, namun nilai-nilai dan semangat Kristen tidak bisa dilepaskan
dari worldview Barat. Itulah makanya meski beberapa individu yang duduk
dalam pemerintahan Hindia Belanda dianggap sebagai orang yang liberal
dan moderat, namun kecenderungan untuk mendukung Kristen dan
Kristenisasi dalam menghadapi Islam tidak bisa dihindarkan. [64]
Kristen
dipandang sebagai agama yang berperadaban tinggi, sedangkan Islam
dipandang sebagai agama yang berperadaban rendah. Belanda menganggap
bahwa perluasan kontrol politik atas suatu daerah akan mendatangkan
keamanan dan ketertiban yang unggul mempunyai kewajiban untuk
menyebarkan kekayaan peradabannya ke bangsa lain. Perkembangan dan
tersebarnya kegiatan misi Kristen ada hubungan erat dengan doktrin
peradaban itu. [65]
Kolonialisme Dan Misi Kristen Dalam Sejarah Indonesia (bagian 4)
Arus Kristenisasi terus berkembang dan mencapai puncaknya ketika Abraham Kuyper, pemimpin Partai Kristen Anti-Revolusioner, menduduki kursi Perdana Menteri Belanda pada 1901. Selama masa itu, banyak anggota Parlemen Belanda menuntut agar pemerintah membatasi pengaruh Islam di Indonesia. Van Baylant, misalnya, sambil memperingatkan pemerintah akan seriusnya bahaya penyebaran Islam, serta merta menuntut ditingkatkannya kegiatan misi Kristen. Sementara itu, W.H. Bogat meluncurkan kampanye anti-Islam yang keras dan menuduh agama ini sebagai penyebab "kurang bermoralnya masyarakat". [66]
Diangkatnya Idenburg sebagai Menteri Urusan Penjajahan (1902—1909) dan selanjutnya sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (1909—1916) juga turut mempengaruhi arus Kristenisasi. Setelah tahun 1909, kelompok misi Kristen dengan cepat meluaskan kegiatan mereka di kepulauan Indonesia. Misi-misi yang beroperasi dalam ruang lingkup yang luas untuk pembangunan kesejahteraan dan ekonomi di tengah bangsa Indonesia mendapat bantuan dari negara. Pembatasan jumlah dan tempat misi dihapuskan sehingga daerah baru di kepulauan ini pun terbuka bagi kegiatan misi Kristen. [67]
Idenburg menjadikan Kristenisasi sebagai tugas politik utama pemerintahannya. Di hadapan Tweede Kamer, dia mengucapkan, "Penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda sebagai dasar peradaban yang tinggi adalah tugas politik utama." [68]
Pemerintah kolonial mencoba untuk melanjutkan pokok-pokok ajaran Kristen di dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dan tata pemerintahan Hindia Belanda. Sebagai contoh ialah "Edaran Minggu" atau "Edaran Pasar", keduanya diterbitkan oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada 1910. "Edaran Minggu" memberi sugesti bahwa tidak pantas untuk mengadakan pesta kenegaraan pada hari Minggu dan terutama meminta kepada seluruh administratur dan pegawai sipil untuk menghindari kegiatan-kegiatan resmi atau setengah resmi pada hari Minggu. "Edaran Pasar" melarang diadakannya hari pasar orang Indonesia apabila ini jatuh pada hari Minggu. Hal ini agak sering terjadi karena hari pasar orang Jawa berlangsung dalam lingkaran lima hari, bukan tujuh hari. [69]
Selain mendapat bantuan dari negara, peningkatan Kristenisasi pada masa politik etis juga karena adanya perubahan strategi. Apabila dalam abad XIX umumnya strategi zending Protestan maupun misi Katolik masih diarahkan pada Kristenisasi langsung, tetapi dalam abad ke XX strategi ini diganti. Kegiatan mereka tidak dimulai dengan mengabarkan intisari agama Kristen, tetapi dimulai dengan mendirikan sekolah dan rumah sakit, rumah yatim piatu dan beberapa kegiatan sosial lainnya. Melalui kegiatan di bidang pendidikan dan kesehatan itu, zending sanggup memikat hati orang yang masih bersikap menolak terhadap Kristenisasi secara langsung. Di samping itu, sebagian para zendeling yakin bahwa sekolah perlu untuk menuntun orang masuk ke dalam lingkungan peradaban Barat (Kristen) sehingga mereka dapat memahami pemberitaan agama Kristen. Dinas medis tentu dilihat pula sebagai pelayanan Kristen kepada sesama manusia yang sedang menderita sengsara. [70]
Melalui Kristenisasi tidak langsung ini, akhirnya diharapkan dapat diperoleh penganut yang lebih besar. Strategi ini disebut pre-evangelisation, yaitu suatu usaha yang perlu diadakan untuk mempersiapkan daerah supaya siap menerima pesan dan intisari dari agama Kristen. [71]
Meski membutuhkan biaya besar dan waktu lama, Kristenisasi lewat pendidikan berhasil mengkonversi banyak pribumi Muslim. Sebagai contoh adalah sekolah yang didirikan oleh Frans van Lith di Muntilan Magelang Jawa Tengah. Di desa kecil Semampir dia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan gereja. Saat itulah dia memulai kompleks persekolahan Katolik di Muntilan, mulai dari Normaalschool pada 1900, sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweekschool pada 1904, kemudian pendidikan guru-guru kepala pada 1906. Anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini semuanya Muslim. Akan tetapi, mereka semua tamat sebagai orang Katolik. Beberapa dari kelompok siswa pertama bahkan melanjutkan studi mereka untuk menjadi imam. [72]
Teman van Lith, Hoevenaars, juga menempuh cara serupa. Dia membangun berbagai sekolah di Mendut dan mengumpulkan para murid yang masih belia. Para guru sekolah tersebut semuanya beragama Katolik, namun para muridnya seluruhnya berasal dari keluarga Muslim. Sebagaimana misionaris lainnya, Hoevenaars berpikir bahwa agama Islam yang mereka anut hanyalah kepatuhan superfisial atau nominal sehingga tidak akan menghalangi para murid untuk berpindah ke agama Katolik. [73]
Mantan murid sekolah-sekolah Muntilan dan Mendut kebanyakan menjadi guru pada jejaring sekolah-sekolah dasar Katolik yang dikembangkan dengan cepat di berbagai kota dan kampung di Jawa. Para guru itu kemudian berupaya menghasilkan jemaat-jemaat Katolik baru. [74]
Strategi lain dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa pada dekade pertama abad XX adalah penyesuaian ajaran Kristen dengan budaya Jawa. Strategi ini terutama ditempuh oleh kalangan Yesuit atau malah misi Katolik pada umumnya. Agama Islam harus dipisahkan dengan budaya Jawa, setidak-tidaknya dalam teori dan juga dalam praktek sejauh hal itu dimungkinkan. Semua konfrontasi langsung dengan agama Islam mesti dihindari. Dalam strategi ini, penyangkalan atas jati diri Muslim Jawa atau setidak-tidaknya peremehan atas unsur Muslim dalam budaya Jawa tetap merupakan sebuah faktor yang kuat. [75]
Untuk itulah di sekolah Muntilan, penggunaan bahasa Melayu dihindari sejauh mungkin. Sebab, bahasa Melayu identik dengan bahasa kaum Muslim. Penggunaan bahasa Melayu dikhawatirkan akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam. Imam Yesuit Frans van Lith mengatakan,
Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara. [76]
Dengan bantuan pemerintah kolonial dan strategi pre-evangelisation, kegiatan misi Kristen di Jawa meningkat tajam pada masa politik etis. Walaupun orang Kristen tetap terbilang sebagai minoritas kecil, namun jumlah pribumi Muslim Jawa, terutama di Jawa Tengah, yang murtad ke agama Kristen cukup besar. [77]
Mengutip kesimpulan seorang anggota muda Yesuit, Karel A. Steenbrink mengatakan, "Barangkali tidak ada wilayah misi lain di seantero dunia dimana imam pribumi dikembangkan sedemikian cepat dan berhasil seperti di Jawa Tengah." [78]
Total populasi penduduk Pulau Jawa pada 1906 adalah 28.746.688 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 24.270.600 adalah Muslim. Lapangan yang sangat luas dan sulit ini digarap oleh enam lembaga zending. [79]
C. Albers, Jr. dan J. Verhoeven, Sr. melaporkan pada tahun tersebut bahwa pengaruh Islam menjadi rintangan berat bagi para zendeling dan misionaris. Akan tetapi, berkat bantuan medis dan penyelenggaraan sekolah, mereka berhasil mengkonversi pribumi Muslim ke agama Kristen. Menurut statistik terakhir, di Pulau Jawa terdapat sekitar 18.000 Muslim dan 2.000 orang kafir dari Cina dan bangsa Timur lainnya yang telah dikonversi ke Kristen. Jumlah Muslim yang murtad ke Kristen tersebut setiap tahunnya bertambah antara 300–400 orang dewasa. [80]
Mereka mayoritas berasal dari kelas masyarakat kurang mampu. Hampir semua posisi jabatan dan kepercayaan dalam pemerintahan pribumi tertutup untuk orang Kristen pribumi. [81] Pada 1924, Samuel M. Zwemer menyatakan bahwa jumlah Muslim di Jawa dan Sumatra yang murtad ke Kristen tidak kurang dari 45.000 orang. [82].
Kolonialisme Dan Misi Kristen Dalam Sejarah Indonesia (5-Habis)
Bantuan Pemerintah untuk Kegiatan Kristenisasi
Sejak Indonesia diambil alih dari VOC, pemerintah Hindia Belanda banyak memberikan bantuan, baik berupa kebijakan politik maupun finansial, untuk penyebaran agama Kristen. Oleh karena pada abad XIX pemerintah masih disibukkan menghadapi perang di berbagai wilayah di Indonesia, maka bantuan untuk misi Kristen belum sebanyak pada abad berikutnya. Bantuan secara lebih intensif diberikan pemerintah pada masa politik etis.
Dalam beberapa kasus, pemerintah membatasi dan melarang kegiatan misi. Hal ini bukan berarti mereka memusuhi cita-cita agama Kristen, tetapi untuk mengatur serta menjaga keamanan dan ketertiban. Pemberian izin bagi zending dan misi diberikan ketika ancaman terhadap keamanan diyakini tidak akan muncul.
Regeeringsreglement tahun 1854 artikel 123 menyatakan bahwa guru-guru Kristen, pendeta dan misionaris harus mempunyai izin khusus dari Gubernur Jenderal atau atas namanya untuk melakukan pekerjaan di salah satu bagian dari Hindia Belanda. Adanya artikel ini bukan berarti menyempitkan langkah mereka dalam mengkristenkan pribumi, tetapi dalam prakteknya lebih banyak menjadi perlindungan bagi mereka. Dengan surat izin dari Gubernur Jenderal itu, mereka mendapatkan kesempatan sebaik-baiknya untuk berkilah dari protes para pemimpin pribumi yang berani mengusiknya. [83]
Terlebih pada 1 Nopember 1889, pemerintah mengeluarkan besluit (keputusan) no. 2 bijblad dari staatsblad no. 4642 bahwa, "Para pemimpin pribumi dan kaum priyayinya tidak boleh mencampuri perkara agama Kristen terhadap pribumi yang memasuki agama itu." [84]
Sikap pemerintah Hindia Belanda yang cenderung berpihak dan membantu Kristen dapat dipahami dari eratnya hubungan negara dan gereja. Pada 1835 dan 1840 Raja William I mengeluarkan sebuah dekrit yang menyatakan bahwa administrasi gereja (Protestan) di Hindia Belanda ditempatkan di bawah naungan Gubernur Jenderal pemerintahan kolonial di Indonesia. [85]
Masalah ini pada 1925 ditetapkan lagi dalam Indische Staatsregeling (Konstitusi Hindia Belanda) artikel 176 yang menyatakan, "Struktur dan pengurus gereja-gereja Kristen (Protestan) tidak dapat diubah kecuali dengan persetujuan raja dan pengurus gereja-gereja itu." [86]
Konsekuensi dari hubungan ini, ada beberapa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Pengurus Gereja diangkat oleh Gubernur Jenderal dari calon-calon yang dikemukakan oleh Gereja sendiri. Pemerintah juga turut campur dalam pengangkatan dan pemberhentian para pendeta. Sementara itu, Pemerintah diwajibkan membayar sebagian besar (hampir semua) biaya yang diperlukan untuk pekerjaan Gereja. Biaya tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama; biaya untuk personil Gereja yang terdiri dari para pendeta, pengkhutbah, dan guru agama. Mereka ini mendapat biaya pengiriman dari Belanda, gaji, pensiun, bantuan untuk janda dan anak yatimnya, ongkos jalan, dan lainnya. Mereka juga mendapat hak cuti ke Eropa, sebagaimana para pejabat pemerintah lainnya. Selain itu, guru-guru agama Protestan pribumi mendapat gaji yang tetap dan ongkos jalan.
Kedua; biaya untuk pengurus Gereja yang diberi bagian khusus dalam anggaran negeri. Biaya ini dialokasikan untuk pengurus Gereja yang duduk di Betawi ataupun untuk pengurus di Belanda yang dinamakan Haagsche Commissie.
Ketiga; biaya untuk peribadahan umum (openbare eeredienst) dikeluarkan dari kas negeri apabila salah satu jemaah tidak sanggup membayar semua biaya yang diperlukan.
Keempat; biaya untuk pemberi pelajaran kepada anak-anak. Anggaran yang diperlukan untuk point ketiga dan keempat ini tidak sedikit. Pada 1927, misalnya, bahkan pernah sampai f 70.000,—.
Kelima; bantuan untuk mendirikan gereja-gereja apabila jemaah yang bersangkutan tidak cukup kekuataannya. Biaya untuk point kelima ini setiap tahun kurang lebih sebesar 700.000 rupiah. [87]
Gereja Katolik berbeda dengan Gereja Protestan dalam hubungannya dengan Pemerintah. Hak untuk mengangkat, memberhentikan, mengirim dan menskors pegawai-pegawainya terletak di tangan wali gereja (Kerkvoogd). Gubernur Jenderal hanya dimintai persetujuannya oleh Kerkvoogd apabila hendak mengirim pegawai gereja ke Hindia Belanda atau memindahkan pastur dari satu tempat ke tempat lain.
Dalam hal ini, Gubernur Jenderal tidak boleh sama sekali mencampuri urusan yang berhubungan dengan agama Kristen Katolik. Gubernur Jenderal hanya memiliki kewajiban untuk menjaga agar keamanan dan ketertiban tidak terganggu. Apabila telah dilakukan pengangkatan, maka pemerintah tinggi memberitahu pejabat yang berwajib agar mengakui para pastur dan pegawai gereja tersebut dan memberi hak-haknya sebagai pegawai yang digaji dan dibiayai dari kas negeri menurut peraturan-peraturan yang sudah ada.
Mengenai keuangan, kewajiban-kewajiban pemerintah terhadap Gereja Katolik tidak begitu berbeda dengan terhadap Gereja Protestan. Personil gereja yang diangkat mendapat gaji tetap, uang jalan jika bepergian, pensiunan jika telah lama berkarya dan cuti ke Eropa bila melepaskan lelah.
Pemerintah memberikan seperlunya biaya peribadahan, subsidi untuk mendirikan gereja dan biaya pelajaran agama untuk anak-anak. Untuk semua ini, kas negeri setiap tahunnya mengeluarkan anggaran kurang lebih sebesar 400.000 rupiah. Pada 1929 pernah dikeluarkan untuk Protestan sebanyak f 1.335.000,– dan untuk Katolik sebanyak f 393.150,–. [88]
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Hindia Belanda juga mendapat anggaran dari pemerintah. Akan tetapi, anggaran tersebut jauh lebih kecil jika dibanding dengan anggaran yang diberikan untuk Protestan dan Katolik.
Selain itu, terdapat perbedaan yang sangat mencolok dalam masalah anggaran ini antara Islam dengan Protestan dan Katolik.
Pertama; tidak ada kepala masjid yang diberi gaji, hak cuti, pensiun, bantuan untuk janda dan anak yatimnya, ongkos pengiriman dan ongkos pendidikan menjadi personil, sebagaimana yang ada di Gereja Protestan dan Katolik. Yang dianggarkan dari kas negeri hanyalah gaji penghulu yang kebetulan turut menjadi penasihat pada pengadilan negeri. Penghulu diberi gaji bukan sebagai kepala masjid atau pemimpin dalam urusan keagamaan, melainkan sebagai pegawai pengadilan negeri, sebagaimana halnya pegawai lain. Selebihnya personil dan anggota pengadilan agama boleh diberi dari hasil uang nikah, uang thalak, kas masjid dan zakat fitrah yang masuk setiap tahun. Banyak sedikitnya tergantung pada keadaan masing-masing tempat.
Kedua; tidak ada pengurus masjid yang harus digaji sebagaimana pengurus gereja.
Ketiga; pemberian pelajaran-pelajaran agama kepada anak-anak diserahkan pada pengaturan para kyai dan ajengan selama tidak melanggar ordonansi guru. Kas negeri tidak ikut menanggung beban ini.
Keempat; mengenai pendirian masjid, menurut Bijblad 1741 Pemerintah berpegang teguh pada kaidah bahwa Pemerintah tidak boleh memberi bantuan uang melainkan dalam keadaan yang bisa dikecualikan.
Kelima; mengenai ongkos peribadahan umum (openbare diensten) untuk Islam, maka Pemerintah tidak turut campur. Hal ini diserahkan kepada orang yang bersangkutan sendiri asalkan tidak mengganggu keamanan dan ketertiban. [89]
Pemerintah kolonial membantu dan mendukung gerakan penyebaran agama Kristen karena dianggap sejalan dengan misi pengadaban (civilizing mission).
Politik etis yang menjadi kebijakan pemerintah pada abad XX sangat diwarnai oleh nilai-nilai dan semangat Kristen. Menurut Alwi Shihab, politik etis sendiri sejatinya adalah kerangka kerja yang di atasnya konsolidasi agama Kristen di Indonesia dimapankan. [90]
Program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pribumi, di antaranya, dengan mendirikan sekolah dan rumah sakit bertemu dengan strategi pre-evangelisation yang dilakukan misi Kristen. Pertemuan ini tentu saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan terlalu banyak tenaga. Mereka hanya perlu memberi bantuan dan dukungan untuk sekolah dan rumah sakit yang didirikan dan dikelola misi Kristen.
Sementara itu bagi misi Kristen, bantuan dan dukungan pemerintah memperkokoh eksistensi mereka. Berkat bantuan pemerintah, Kristenisasi dengan cara halus dapat terus dijalankan, karena pre-evangelisation membutuhkan banyak biaya.
Pendidikan untuk pribumi mendapat perhatian lebih dari pemerintah pada abad XX. Menurut Karel A. Steenbrink, masa ini merupakan pola keempat dari pertemuan antara orang Kristen Belanda dan kaum Muslim Indonesia.
Pada masa ini, kekuasaan kolonial telah sangat mapan sehingga rasa khawatir terhadap fanatisme Islam tidak lagi diperlukan. Sejak inilah perasaan superioritas yang nyata menjadi sangat dominan dan muncullah sikap sebagai penguasa. Orang Belanda mulai menganggap dirinya sebagai guru dan bahkan sebagai pengawas bagi bangsa yang masih belum terpelajar. Hal ini dimanifesrtasikan dalam dua cara: ide-ide pembangunan sekuler, terutama berpusat pada pendidikan dan misi-misi Kristen. Namun, kedua hal ini akhirnya tidak dapat dipisahkan. Barangkali bukan kebetulan bahwa maju pesatnya sebagian besar kegiatan misionaris terjadi tepat selama periode penyebarluasan sistem pendidikan kolonial. [91]
Dalam strategi pre-evangelisation, pendidikan mempunyai arti penting. Samuel M. Zwemer, tokoh misionaris dunia yang pandangannya banyak mempengaruhi para misionaris lain, berpendapat bahwa pendidikan mampu menaklukkan Islam dan umatnya. Zwemer mengatakan,
Semua kekuatan pendidikan, yang besar maupun yang kecil, dapat membantu meruntuhkan karang kebodohan dan takhayul luar biasa, yang menjadi tradisi Islam. Akan tetapi, karya pendidikan hanyalah persiapan. Kita harus bisa menembus hati nurani, atau gagal. Pendidikan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. [92]
Keinginan bersama untuk menaklukkan Islam ini juga bisa menjelaskan mengapa kolonialisme dan misi Kristen mempunyai hubungan erat. Menurut Anwar Al-Jundi, pemerintah kolonial berusaha membangun opini publik bahwa penjajahan mereka itu berkaitan dengan misi pengadaban dan misi kemanusiaan yang bertujuan memajukan umat manusia. Pemerintah kolonial juga berusaha mengubah intelektualitas Islam dari konsep dasarnya dan membangkitkan kesamaran seputar unsur-unsur pemikiran Islam. [93]
Pendidikan diakui bisa mewujudkan kedua hal tersebut. Untuk itulah, pemerintah kolonial membantu sekolah-sekolah misi Kristen.
Kebangkitan Islam yang terjadi di Indonesia pada masa puncak kolonialisme Belanda dipandang sebagai bahaya yang mengancam eksistensi mereka. Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat membiarkan guru-guru pesantren, yang berbicara berkobar-kobar mengenai "para penjajah asing", secara leluasa mendominasi bidang pendidikan. Oleh karena itu, mereka mulai lebih serius memperluas program pendidikan bagi rakyat dengan tujuan mengimbangi pendidikan yang berorientasi Islam. Di bawah dalih mengembangkan program pendidikan pemerintah inilah sekolah-sekolah misi Kristen, yang disubsidi pemerintah, menampakkan kehadirannya yang sangat kentara di seluruh negeri. [94]
Sejak 1909, sekolah yang disponsori oleh gereja di Indonesia bertambah sebanyak 40%.Dari tahun 1910 sampai 1912, subsidi yang diberikan kepada sekolah normal yang disponsori gereja sebanyak hampir 300%. [95]
Sebenarnya, subsidi untuk pendidikan tidak hanya diberikan kepada sekolah zending dan misi. Beberapa sekolah partikelir (swasta) lain juga mendapat subsidi dari pemerintah; termasuk sekolah Islam. Akan tetapi, jumlah sekolah Islam yang mendapat subsidi jauh lebih sedikit dibanding jumlah sekolah zending dan misi.
Pada tahun 1919, di Pulau Jawa terdapat 331 sekolah yang mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial. Dari jumlah itu, sekolah Kristen berada pada urutan pertama yang mendapatkan subsidi, yaitu sebanyak 156 sekolah. Sisanya sekolah Jawa maupun priyayi, baru kemudian sekolah Islam, seperti sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah. [96]
Meskipun salah satu prinsip politik etis adalah peningkatan pendidikan, namun pemerintah Hindia Belanda malah menghalangi laju perkembangan pendidikan Islam. Pada 1905 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bernama ordonansi guru.
Ordonansi ini mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi kedua dikeluarkan pada 1925 hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini. [97]
Ordonansi ketiga dikeluarkan pada 1932 yang dikenal dengan ordonansi sekolah liar (de wilde scholen ordonnantie). Ordonansi ini mengemukakan bahwa mereka yang ingin memberikan pelajaran di sekolah-sekolah "yang tidak sepenuhnya atau sebagian dibiayai oleh dana pemerintah" harus mempunyai izin tertulis pemerintah sebelum memulai pekerjaan tersebut.
Izin ini harus memenuhi beberapa syarat, antara lain bahwa yang memintanya hendaknya dipercayai oleh pemerintah, tidak akan melanggar "ketertiban dan ketenteraman", dan seorang lulusan sekolah pemerintah atau sekolah swasta yang bersubsidi. [98] Meski dalam prakteknya ketiga ordonansi ini kurang efektif dan menimbulkan banyak protes, namun peraturan yang sama tidak berlaku bagi sekolah-sekolah Kristen. Hal ini mudah dipahami karena sekolah-sekolah Kristen yang diselenggarakan lembaga zending dan misi merupakan bagian dari sarana menuju peradaban Barat. Kurikulumnya pun tentu telah sesuai dengan standar pemerintah.
Kegiatan lain zending dan misi yang sejalan dengan program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan pribumi adalah pelayanan medis. Untuk keperluan ini, dibangunlah rumah sakit dan poliklinik. Pelayanan medis oleh zending sebenarnya merupakan usaha yang tidak akan pernah terlepas dari tujuan pokok para zendeling, yaitu penyebaran Injil alias Kristenisasi.
Dasar pelayanan medis adalah aspek kasih sayang terhadap sesama: para zendeling ingin menolong orang-orang sakit agar terbebas dari penderitaan mereka yang ditimbulkan oleh penyakit yang dideritanya itu. Akan tetapi, karena pelayanan medis dilihat sebagai penyebaran Injil, maka aspek kasih sayang menjadi samar-samar. [99]
Sebagaimana pendidikan, pelayanan medis juga mempunyai arti penting dalam strategi pre-evangelisation. Samuel M. Zwemer menjelaskan,
Peluang untuk karya misi medis di kalangan Muslim sangat besar. Sebab, ada permintaan dokter misionaris di pihak Muslim sendiri. Dari semua metode yang diadopsi oleh misi Kristen di wilayah Muslim, tidak ada yang lebih berhasil mendobrak prasangka dan membawa sejumlah besar orang di bawah suara Injil, selain metode ini. Para misionaris medis membawa pesan kasih sayang sehingga mendapat izin masuk untuk menyampaikan kebenaran di mana-mana. Semua wilayah luas yang masih kosong di dunia Islam menantikan pelopor misionaris medis, baik pria maupun wanita. [100]
Upaya Kristenisasi melalui pelayanan medis di antaranya dilakukan di rumah sakit zending Mojowarno Jombang. Dalam laporan tahunan rumah sakit zending Mojowarno pada 1928 dipaparkan bahwa setiap hari Minggu diadakan pertemuan untuk lelaki dan wanita yang mau mendengarkan pelajaran guru Injil di kamar perkumpulan.
Guru Injil itu terkadang mengunjungi orang sakit di ruangannya masing-masing untuk membicarakan substansi Kitab Suci atau masalah agama lainnya. Di setiap ruangan disediakan rak kecil sebagai tempat Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru atau buku bacaan lainnya. Selain itu, setiap bulan disediakan selebaran berbahasa Jawa dan buku "Kabar Gembira" yang berisi penjelasan masalah agama atau cerita lainnya.
Di poliklinik setiap hari selalu disediakan buku-buku dan bacaan-bacaan cerita Kristen. Buku-buku itu diletakkan di meja serambi depan, tempat orang banyak berkumpul menunggu obat, agar selama menunggu mereka bisa sambil melihat atau membaca serta mau membelinya. Dengan demikian, diharapkan orang akan tertarik pada Kristen. [101]
Rumah sakit zending Mojowarno setiap tahun mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial. Pada 1928, rumah sakit ini mendapatkan subsidi sebanyak f 59.154,39. Jumlah ini didapat dari subsidi teratur pemerintah sebanyak f 32.354,39; gaji dari pemerintah untuk dokter pribumi sebanyak f 7.800,–; subsidi pemerintah untuk obat-obatan dan peralatan sebanyak f 9.000,–; dan subsidi dari pemerintah daerah Surabaya sebanyak f 10.000,–. [102]
Pemberian subsidi untuk rumah sakit dan poliklinik zending tidak dapat dilepaskan dari misi pengadaban dan misi kemanusiaan kolonial Belanda. Sesuai pendapat Anwar Al-Jundi, pihak kolonial berasumsi bahwa orang kulit putih adalah pemilik peradaban yang bertanggungjawab terhadap kemajuan peradaban orang kulit berwarna. [103]
Kesehatan merupakan faktor penting dalam mewujudkan kemajuan peradaban. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang produktif sehingga bisa menghasilkan karya perabadan. Oleh karena itulah, upaya memajukan peradaban pribumi harus disertai upaya meningkatkan kesehatan mereka. Pemerintah pun membantu rumah sakit dan poliklinik zending karena dianggap sejalan dengan misi pengadaban dan misi kemanusiaan. Para zendeling dan misionaris sendiri memandang kesehatan bukan hanya kesehatan fisik, namun juga kesehatan ruhani. [104]
Berdasarkan pandangan ini, pekabaran Injil perlu disampaikan kepada orang yang menderita sakit. Dengan demikian, bertemulah kepentingan kolonial dan misi Kristen dalam pelayanan medis.
Kesimpulannya, kedatangan dan penyebaran Kristen yang mengikuti kedatangan dan penyebaran kolonialisme Barat di negeri ini sebenarnya sudah cukup menjadi bukti bahwa keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Dukungan pemerintah kolonial terhadap misi Kristen juga merupakan fakta keras (hard fact) yang tak terbantahkan. Kalaupun dalam beberapa kasus pemerintah membatasi dan melarang kegiatan misi, hal itu bukan berarti mereka memusuhi cita-cita agama Kristen.
Pemerintah melakukan itu untuk mengatur serta menjaga keamanan dan ketertiban. Akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo, [105] opini lama yang berpendapat bahwa conquistadores Spanyol datang ke Benua Baru demi Kejayaan, Kebesaran Tuhan, dan Emas (Glory, God and Gold) itu memang benar-benar berlaku bagi imperialisme Belanda. Wallahu a‘lam.(selesai)
84. Ibid.
85. Alwi Shihab, Membendung Arus, hlm. 39.
86. M. Soeangkoepon, “Membela Hak-Hak Islam di Hindia Belanda” dalam Pandji Islam no. 33—34, 1 Syawal 1357 H/24 Nopember 1938 M, hlm. 2905.
87. A. Moechlis, “Perpisahan Geredja dan Keradjaan” bagian I dalam Pandji Islam no. 52, 25 Desember 1939, hlm. 7646–7647.
88. A. Moechlis, “Perpisahan Geredja dan Keradjaan” bagian II dalam Pandji Islam no. 53, 31 Desember 1939, hlm. 7680.
89. Ibid, hlm. 7680—7681.
90. Alwi Shihab, Membendung Arus, hlm. 43.
91. Karel A. Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596–1942), (Bandung: Mizan, 1995) hlm. 22–23.
92. Samuel M. Zwemer, Islam; A Challenge to Faith, (New York: Student Volunteer Movement for Foreign Missions, 1907), hlm. 211.
93. Anwar Al-Jundi, Al-‘Âlam Al-Islâmî, hlm. 415.
94. Alwi Shihab, Membendung Arus, hlm. 69.
95. Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, hlm. 135.
96. Lihat Koloniaal Verslag 1920, Overzicht van de in 1919 toegekende subsidiën ten behoeve van particuliere inlandsche scholen, hlm. 2–7.
97. H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 51–52.
98. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 199.
99. Firman Permana Sidiq, Rumah Sakit Cideres Majalengka; Dari Zendings Hoospitaal Tjideres Menjadi RSUD (1928–1996), Skripsi S1, (Bandung: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, 2006), hlm. 32.
100. Samuel M. Zwemer, The Moslem World, (New York: The Young People’s Missionary Movement, 1908), hlm. 194–195.
101. Jaarverslag van het Zending-Ziekenhuis te Modjowarno over het Jaar 1928, hlm. 36–37.
102. Ibid, hlm. 44.
103. Anwar Al-Jundi, Al-‘Âlam Al-Islâmî, hlm. 415.
104. Jaarverslag van het Zending-Ziekenhuis te Modjowarno over het Jaar 1928, hlm. 36.
105. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Jilid II, hlm. 34.
Oleh: Muhammad Isa Anshory (Peneliti Pusat Studi dan Peradaban Islam)
Sejak Indonesia diambil alih dari VOC, pemerintah Hindia Belanda banyak memberikan bantuan, baik berupa kebijakan politik maupun finansial, untuk penyebaran agama Kristen. Oleh karena pada abad XIX pemerintah masih disibukkan menghadapi perang di berbagai wilayah di Indonesia, maka bantuan untuk misi Kristen belum sebanyak pada abad berikutnya. Bantuan secara lebih intensif diberikan pemerintah pada masa politik etis.
Dalam beberapa kasus, pemerintah membatasi dan melarang kegiatan misi. Hal ini bukan berarti mereka memusuhi cita-cita agama Kristen, tetapi untuk mengatur serta menjaga keamanan dan ketertiban. Pemberian izin bagi zending dan misi diberikan ketika ancaman terhadap keamanan diyakini tidak akan muncul.
Regeeringsreglement tahun 1854 artikel 123 menyatakan bahwa guru-guru Kristen, pendeta dan misionaris harus mempunyai izin khusus dari Gubernur Jenderal atau atas namanya untuk melakukan pekerjaan di salah satu bagian dari Hindia Belanda. Adanya artikel ini bukan berarti menyempitkan langkah mereka dalam mengkristenkan pribumi, tetapi dalam prakteknya lebih banyak menjadi perlindungan bagi mereka. Dengan surat izin dari Gubernur Jenderal itu, mereka mendapatkan kesempatan sebaik-baiknya untuk berkilah dari protes para pemimpin pribumi yang berani mengusiknya. [83]
Terlebih pada 1 Nopember 1889, pemerintah mengeluarkan besluit (keputusan) no. 2 bijblad dari staatsblad no. 4642 bahwa, "Para pemimpin pribumi dan kaum priyayinya tidak boleh mencampuri perkara agama Kristen terhadap pribumi yang memasuki agama itu." [84]
Sikap pemerintah Hindia Belanda yang cenderung berpihak dan membantu Kristen dapat dipahami dari eratnya hubungan negara dan gereja. Pada 1835 dan 1840 Raja William I mengeluarkan sebuah dekrit yang menyatakan bahwa administrasi gereja (Protestan) di Hindia Belanda ditempatkan di bawah naungan Gubernur Jenderal pemerintahan kolonial di Indonesia. [85]
Masalah ini pada 1925 ditetapkan lagi dalam Indische Staatsregeling (Konstitusi Hindia Belanda) artikel 176 yang menyatakan, "Struktur dan pengurus gereja-gereja Kristen (Protestan) tidak dapat diubah kecuali dengan persetujuan raja dan pengurus gereja-gereja itu." [86]
Konsekuensi dari hubungan ini, ada beberapa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Pengurus Gereja diangkat oleh Gubernur Jenderal dari calon-calon yang dikemukakan oleh Gereja sendiri. Pemerintah juga turut campur dalam pengangkatan dan pemberhentian para pendeta. Sementara itu, Pemerintah diwajibkan membayar sebagian besar (hampir semua) biaya yang diperlukan untuk pekerjaan Gereja. Biaya tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama; biaya untuk personil Gereja yang terdiri dari para pendeta, pengkhutbah, dan guru agama. Mereka ini mendapat biaya pengiriman dari Belanda, gaji, pensiun, bantuan untuk janda dan anak yatimnya, ongkos jalan, dan lainnya. Mereka juga mendapat hak cuti ke Eropa, sebagaimana para pejabat pemerintah lainnya. Selain itu, guru-guru agama Protestan pribumi mendapat gaji yang tetap dan ongkos jalan.
Kedua; biaya untuk pengurus Gereja yang diberi bagian khusus dalam anggaran negeri. Biaya ini dialokasikan untuk pengurus Gereja yang duduk di Betawi ataupun untuk pengurus di Belanda yang dinamakan Haagsche Commissie.
Ketiga; biaya untuk peribadahan umum (openbare eeredienst) dikeluarkan dari kas negeri apabila salah satu jemaah tidak sanggup membayar semua biaya yang diperlukan.
Keempat; biaya untuk pemberi pelajaran kepada anak-anak. Anggaran yang diperlukan untuk point ketiga dan keempat ini tidak sedikit. Pada 1927, misalnya, bahkan pernah sampai f 70.000,—.
Kelima; bantuan untuk mendirikan gereja-gereja apabila jemaah yang bersangkutan tidak cukup kekuataannya. Biaya untuk point kelima ini setiap tahun kurang lebih sebesar 700.000 rupiah. [87]
Gereja Katolik berbeda dengan Gereja Protestan dalam hubungannya dengan Pemerintah. Hak untuk mengangkat, memberhentikan, mengirim dan menskors pegawai-pegawainya terletak di tangan wali gereja (Kerkvoogd). Gubernur Jenderal hanya dimintai persetujuannya oleh Kerkvoogd apabila hendak mengirim pegawai gereja ke Hindia Belanda atau memindahkan pastur dari satu tempat ke tempat lain.
Dalam hal ini, Gubernur Jenderal tidak boleh sama sekali mencampuri urusan yang berhubungan dengan agama Kristen Katolik. Gubernur Jenderal hanya memiliki kewajiban untuk menjaga agar keamanan dan ketertiban tidak terganggu. Apabila telah dilakukan pengangkatan, maka pemerintah tinggi memberitahu pejabat yang berwajib agar mengakui para pastur dan pegawai gereja tersebut dan memberi hak-haknya sebagai pegawai yang digaji dan dibiayai dari kas negeri menurut peraturan-peraturan yang sudah ada.
Mengenai keuangan, kewajiban-kewajiban pemerintah terhadap Gereja Katolik tidak begitu berbeda dengan terhadap Gereja Protestan. Personil gereja yang diangkat mendapat gaji tetap, uang jalan jika bepergian, pensiunan jika telah lama berkarya dan cuti ke Eropa bila melepaskan lelah.
Pemerintah memberikan seperlunya biaya peribadahan, subsidi untuk mendirikan gereja dan biaya pelajaran agama untuk anak-anak. Untuk semua ini, kas negeri setiap tahunnya mengeluarkan anggaran kurang lebih sebesar 400.000 rupiah. Pada 1929 pernah dikeluarkan untuk Protestan sebanyak f 1.335.000,– dan untuk Katolik sebanyak f 393.150,–. [88]
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Hindia Belanda juga mendapat anggaran dari pemerintah. Akan tetapi, anggaran tersebut jauh lebih kecil jika dibanding dengan anggaran yang diberikan untuk Protestan dan Katolik.
Selain itu, terdapat perbedaan yang sangat mencolok dalam masalah anggaran ini antara Islam dengan Protestan dan Katolik.
Pertama; tidak ada kepala masjid yang diberi gaji, hak cuti, pensiun, bantuan untuk janda dan anak yatimnya, ongkos pengiriman dan ongkos pendidikan menjadi personil, sebagaimana yang ada di Gereja Protestan dan Katolik. Yang dianggarkan dari kas negeri hanyalah gaji penghulu yang kebetulan turut menjadi penasihat pada pengadilan negeri. Penghulu diberi gaji bukan sebagai kepala masjid atau pemimpin dalam urusan keagamaan, melainkan sebagai pegawai pengadilan negeri, sebagaimana halnya pegawai lain. Selebihnya personil dan anggota pengadilan agama boleh diberi dari hasil uang nikah, uang thalak, kas masjid dan zakat fitrah yang masuk setiap tahun. Banyak sedikitnya tergantung pada keadaan masing-masing tempat.
Kedua; tidak ada pengurus masjid yang harus digaji sebagaimana pengurus gereja.
Ketiga; pemberian pelajaran-pelajaran agama kepada anak-anak diserahkan pada pengaturan para kyai dan ajengan selama tidak melanggar ordonansi guru. Kas negeri tidak ikut menanggung beban ini.
Keempat; mengenai pendirian masjid, menurut Bijblad 1741 Pemerintah berpegang teguh pada kaidah bahwa Pemerintah tidak boleh memberi bantuan uang melainkan dalam keadaan yang bisa dikecualikan.
Kelima; mengenai ongkos peribadahan umum (openbare diensten) untuk Islam, maka Pemerintah tidak turut campur. Hal ini diserahkan kepada orang yang bersangkutan sendiri asalkan tidak mengganggu keamanan dan ketertiban. [89]
Pemerintah kolonial membantu dan mendukung gerakan penyebaran agama Kristen karena dianggap sejalan dengan misi pengadaban (civilizing mission).
Politik etis yang menjadi kebijakan pemerintah pada abad XX sangat diwarnai oleh nilai-nilai dan semangat Kristen. Menurut Alwi Shihab, politik etis sendiri sejatinya adalah kerangka kerja yang di atasnya konsolidasi agama Kristen di Indonesia dimapankan. [90]
Program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pribumi, di antaranya, dengan mendirikan sekolah dan rumah sakit bertemu dengan strategi pre-evangelisation yang dilakukan misi Kristen. Pertemuan ini tentu saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan terlalu banyak tenaga. Mereka hanya perlu memberi bantuan dan dukungan untuk sekolah dan rumah sakit yang didirikan dan dikelola misi Kristen.
Sementara itu bagi misi Kristen, bantuan dan dukungan pemerintah memperkokoh eksistensi mereka. Berkat bantuan pemerintah, Kristenisasi dengan cara halus dapat terus dijalankan, karena pre-evangelisation membutuhkan banyak biaya.
Pendidikan untuk pribumi mendapat perhatian lebih dari pemerintah pada abad XX. Menurut Karel A. Steenbrink, masa ini merupakan pola keempat dari pertemuan antara orang Kristen Belanda dan kaum Muslim Indonesia.
Pada masa ini, kekuasaan kolonial telah sangat mapan sehingga rasa khawatir terhadap fanatisme Islam tidak lagi diperlukan. Sejak inilah perasaan superioritas yang nyata menjadi sangat dominan dan muncullah sikap sebagai penguasa. Orang Belanda mulai menganggap dirinya sebagai guru dan bahkan sebagai pengawas bagi bangsa yang masih belum terpelajar. Hal ini dimanifesrtasikan dalam dua cara: ide-ide pembangunan sekuler, terutama berpusat pada pendidikan dan misi-misi Kristen. Namun, kedua hal ini akhirnya tidak dapat dipisahkan. Barangkali bukan kebetulan bahwa maju pesatnya sebagian besar kegiatan misionaris terjadi tepat selama periode penyebarluasan sistem pendidikan kolonial. [91]
Dalam strategi pre-evangelisation, pendidikan mempunyai arti penting. Samuel M. Zwemer, tokoh misionaris dunia yang pandangannya banyak mempengaruhi para misionaris lain, berpendapat bahwa pendidikan mampu menaklukkan Islam dan umatnya. Zwemer mengatakan,
Semua kekuatan pendidikan, yang besar maupun yang kecil, dapat membantu meruntuhkan karang kebodohan dan takhayul luar biasa, yang menjadi tradisi Islam. Akan tetapi, karya pendidikan hanyalah persiapan. Kita harus bisa menembus hati nurani, atau gagal. Pendidikan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. [92]
Keinginan bersama untuk menaklukkan Islam ini juga bisa menjelaskan mengapa kolonialisme dan misi Kristen mempunyai hubungan erat. Menurut Anwar Al-Jundi, pemerintah kolonial berusaha membangun opini publik bahwa penjajahan mereka itu berkaitan dengan misi pengadaban dan misi kemanusiaan yang bertujuan memajukan umat manusia. Pemerintah kolonial juga berusaha mengubah intelektualitas Islam dari konsep dasarnya dan membangkitkan kesamaran seputar unsur-unsur pemikiran Islam. [93]
Pendidikan diakui bisa mewujudkan kedua hal tersebut. Untuk itulah, pemerintah kolonial membantu sekolah-sekolah misi Kristen.
Kebangkitan Islam yang terjadi di Indonesia pada masa puncak kolonialisme Belanda dipandang sebagai bahaya yang mengancam eksistensi mereka. Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat membiarkan guru-guru pesantren, yang berbicara berkobar-kobar mengenai "para penjajah asing", secara leluasa mendominasi bidang pendidikan. Oleh karena itu, mereka mulai lebih serius memperluas program pendidikan bagi rakyat dengan tujuan mengimbangi pendidikan yang berorientasi Islam. Di bawah dalih mengembangkan program pendidikan pemerintah inilah sekolah-sekolah misi Kristen, yang disubsidi pemerintah, menampakkan kehadirannya yang sangat kentara di seluruh negeri. [94]
Sejak 1909, sekolah yang disponsori oleh gereja di Indonesia bertambah sebanyak 40%.Dari tahun 1910 sampai 1912, subsidi yang diberikan kepada sekolah normal yang disponsori gereja sebanyak hampir 300%. [95]
Sebenarnya, subsidi untuk pendidikan tidak hanya diberikan kepada sekolah zending dan misi. Beberapa sekolah partikelir (swasta) lain juga mendapat subsidi dari pemerintah; termasuk sekolah Islam. Akan tetapi, jumlah sekolah Islam yang mendapat subsidi jauh lebih sedikit dibanding jumlah sekolah zending dan misi.
Pada tahun 1919, di Pulau Jawa terdapat 331 sekolah yang mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial. Dari jumlah itu, sekolah Kristen berada pada urutan pertama yang mendapatkan subsidi, yaitu sebanyak 156 sekolah. Sisanya sekolah Jawa maupun priyayi, baru kemudian sekolah Islam, seperti sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah. [96]
Meskipun salah satu prinsip politik etis adalah peningkatan pendidikan, namun pemerintah Hindia Belanda malah menghalangi laju perkembangan pendidikan Islam. Pada 1905 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bernama ordonansi guru.
Ordonansi ini mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi kedua dikeluarkan pada 1925 hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini. [97]
Ordonansi ketiga dikeluarkan pada 1932 yang dikenal dengan ordonansi sekolah liar (de wilde scholen ordonnantie). Ordonansi ini mengemukakan bahwa mereka yang ingin memberikan pelajaran di sekolah-sekolah "yang tidak sepenuhnya atau sebagian dibiayai oleh dana pemerintah" harus mempunyai izin tertulis pemerintah sebelum memulai pekerjaan tersebut.
Izin ini harus memenuhi beberapa syarat, antara lain bahwa yang memintanya hendaknya dipercayai oleh pemerintah, tidak akan melanggar "ketertiban dan ketenteraman", dan seorang lulusan sekolah pemerintah atau sekolah swasta yang bersubsidi. [98] Meski dalam prakteknya ketiga ordonansi ini kurang efektif dan menimbulkan banyak protes, namun peraturan yang sama tidak berlaku bagi sekolah-sekolah Kristen. Hal ini mudah dipahami karena sekolah-sekolah Kristen yang diselenggarakan lembaga zending dan misi merupakan bagian dari sarana menuju peradaban Barat. Kurikulumnya pun tentu telah sesuai dengan standar pemerintah.
Kegiatan lain zending dan misi yang sejalan dengan program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan pribumi adalah pelayanan medis. Untuk keperluan ini, dibangunlah rumah sakit dan poliklinik. Pelayanan medis oleh zending sebenarnya merupakan usaha yang tidak akan pernah terlepas dari tujuan pokok para zendeling, yaitu penyebaran Injil alias Kristenisasi.
Dasar pelayanan medis adalah aspek kasih sayang terhadap sesama: para zendeling ingin menolong orang-orang sakit agar terbebas dari penderitaan mereka yang ditimbulkan oleh penyakit yang dideritanya itu. Akan tetapi, karena pelayanan medis dilihat sebagai penyebaran Injil, maka aspek kasih sayang menjadi samar-samar. [99]
Sebagaimana pendidikan, pelayanan medis juga mempunyai arti penting dalam strategi pre-evangelisation. Samuel M. Zwemer menjelaskan,
Peluang untuk karya misi medis di kalangan Muslim sangat besar. Sebab, ada permintaan dokter misionaris di pihak Muslim sendiri. Dari semua metode yang diadopsi oleh misi Kristen di wilayah Muslim, tidak ada yang lebih berhasil mendobrak prasangka dan membawa sejumlah besar orang di bawah suara Injil, selain metode ini. Para misionaris medis membawa pesan kasih sayang sehingga mendapat izin masuk untuk menyampaikan kebenaran di mana-mana. Semua wilayah luas yang masih kosong di dunia Islam menantikan pelopor misionaris medis, baik pria maupun wanita. [100]
Upaya Kristenisasi melalui pelayanan medis di antaranya dilakukan di rumah sakit zending Mojowarno Jombang. Dalam laporan tahunan rumah sakit zending Mojowarno pada 1928 dipaparkan bahwa setiap hari Minggu diadakan pertemuan untuk lelaki dan wanita yang mau mendengarkan pelajaran guru Injil di kamar perkumpulan.
Guru Injil itu terkadang mengunjungi orang sakit di ruangannya masing-masing untuk membicarakan substansi Kitab Suci atau masalah agama lainnya. Di setiap ruangan disediakan rak kecil sebagai tempat Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru atau buku bacaan lainnya. Selain itu, setiap bulan disediakan selebaran berbahasa Jawa dan buku "Kabar Gembira" yang berisi penjelasan masalah agama atau cerita lainnya.
Di poliklinik setiap hari selalu disediakan buku-buku dan bacaan-bacaan cerita Kristen. Buku-buku itu diletakkan di meja serambi depan, tempat orang banyak berkumpul menunggu obat, agar selama menunggu mereka bisa sambil melihat atau membaca serta mau membelinya. Dengan demikian, diharapkan orang akan tertarik pada Kristen. [101]
Rumah sakit zending Mojowarno setiap tahun mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial. Pada 1928, rumah sakit ini mendapatkan subsidi sebanyak f 59.154,39. Jumlah ini didapat dari subsidi teratur pemerintah sebanyak f 32.354,39; gaji dari pemerintah untuk dokter pribumi sebanyak f 7.800,–; subsidi pemerintah untuk obat-obatan dan peralatan sebanyak f 9.000,–; dan subsidi dari pemerintah daerah Surabaya sebanyak f 10.000,–. [102]
Pemberian subsidi untuk rumah sakit dan poliklinik zending tidak dapat dilepaskan dari misi pengadaban dan misi kemanusiaan kolonial Belanda. Sesuai pendapat Anwar Al-Jundi, pihak kolonial berasumsi bahwa orang kulit putih adalah pemilik peradaban yang bertanggungjawab terhadap kemajuan peradaban orang kulit berwarna. [103]
Kesehatan merupakan faktor penting dalam mewujudkan kemajuan peradaban. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang produktif sehingga bisa menghasilkan karya perabadan. Oleh karena itulah, upaya memajukan peradaban pribumi harus disertai upaya meningkatkan kesehatan mereka. Pemerintah pun membantu rumah sakit dan poliklinik zending karena dianggap sejalan dengan misi pengadaban dan misi kemanusiaan. Para zendeling dan misionaris sendiri memandang kesehatan bukan hanya kesehatan fisik, namun juga kesehatan ruhani. [104]
Berdasarkan pandangan ini, pekabaran Injil perlu disampaikan kepada orang yang menderita sakit. Dengan demikian, bertemulah kepentingan kolonial dan misi Kristen dalam pelayanan medis.
Kesimpulannya, kedatangan dan penyebaran Kristen yang mengikuti kedatangan dan penyebaran kolonialisme Barat di negeri ini sebenarnya sudah cukup menjadi bukti bahwa keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Dukungan pemerintah kolonial terhadap misi Kristen juga merupakan fakta keras (hard fact) yang tak terbantahkan. Kalaupun dalam beberapa kasus pemerintah membatasi dan melarang kegiatan misi, hal itu bukan berarti mereka memusuhi cita-cita agama Kristen.
Pemerintah melakukan itu untuk mengatur serta menjaga keamanan dan ketertiban. Akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo, [105] opini lama yang berpendapat bahwa conquistadores Spanyol datang ke Benua Baru demi Kejayaan, Kebesaran Tuhan, dan Emas (Glory, God and Gold) itu memang benar-benar berlaku bagi imperialisme Belanda. Wallahu a‘lam.(selesai)
Catatan Kaki
83. Pandji Islam no 13, 27 Maret 1939, hlm. 5073.84. Ibid.
85. Alwi Shihab, Membendung Arus, hlm. 39.
86. M. Soeangkoepon, “Membela Hak-Hak Islam di Hindia Belanda” dalam Pandji Islam no. 33—34, 1 Syawal 1357 H/24 Nopember 1938 M, hlm. 2905.
87. A. Moechlis, “Perpisahan Geredja dan Keradjaan” bagian I dalam Pandji Islam no. 52, 25 Desember 1939, hlm. 7646–7647.
88. A. Moechlis, “Perpisahan Geredja dan Keradjaan” bagian II dalam Pandji Islam no. 53, 31 Desember 1939, hlm. 7680.
89. Ibid, hlm. 7680—7681.
90. Alwi Shihab, Membendung Arus, hlm. 43.
91. Karel A. Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596–1942), (Bandung: Mizan, 1995) hlm. 22–23.
92. Samuel M. Zwemer, Islam; A Challenge to Faith, (New York: Student Volunteer Movement for Foreign Missions, 1907), hlm. 211.
93. Anwar Al-Jundi, Al-‘Âlam Al-Islâmî, hlm. 415.
94. Alwi Shihab, Membendung Arus, hlm. 69.
95. Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, hlm. 135.
96. Lihat Koloniaal Verslag 1920, Overzicht van de in 1919 toegekende subsidiën ten behoeve van particuliere inlandsche scholen, hlm. 2–7.
97. H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 51–52.
98. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 199.
99. Firman Permana Sidiq, Rumah Sakit Cideres Majalengka; Dari Zendings Hoospitaal Tjideres Menjadi RSUD (1928–1996), Skripsi S1, (Bandung: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, 2006), hlm. 32.
100. Samuel M. Zwemer, The Moslem World, (New York: The Young People’s Missionary Movement, 1908), hlm. 194–195.
101. Jaarverslag van het Zending-Ziekenhuis te Modjowarno over het Jaar 1928, hlm. 36–37.
102. Ibid, hlm. 44.
103. Anwar Al-Jundi, Al-‘Âlam Al-Islâmî, hlm. 415.
104. Jaarverslag van het Zending-Ziekenhuis te Modjowarno over het Jaar 1928, hlm. 36.
105. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Jilid II, hlm. 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar