Dua orang akhwat sedang terlibat perbincangan. Salah seorang
diantaranya mengeluhkan kondisinya yang merasa sangat lelah baik secara
fisik maupun emosi. Ia menatap sahabatnya sejenak, lalu mengalihkan
matanya ke langit-langit kamar, lalu bertanya, "Pernahkah engkau merasa
mati rasa?" Sahabatnya menjawab, "Ya, beberapa kali."
Lalu sahabatnya itu bertanya, "Apakah kamu senang merasakan kondisi
seperti itu?" Akhwat yang mengeluh lelah tadi menjawab, "Tentu saja
tidak." Sahabatnya pun berkata, "Jadi kelelahan atau sakit itu lebih
enak kan?"
Perkataan itu membuat akhwat satunya lagi berpikir. "Maksudmu, gejala
semacam ini normal? Apakah saya harus menerima rasa sakit sebagai
bagian dari hidup saya?" tanyanya.
Sahabat akhwat itu menjawab lagi, "Ya, tentu saja. Tapi, jangan fokus
pada lelah dan rasa sakit itu. Masih banyak rasa dan sensasi lain,
tapi kadang kita mengabaikannya dan hanya memberikan perhatian yang
berlebihan pada hal-hal yang menyakitkan atau mungkin menakutkan."
Sebagai manusia biasa, kita semua pasti pernah mengalami apa yang
digambarkan dalam ilustrasi diatas. Pada satu titik dalam kehidupan ini,
kita merasakan kebosanan yang amat sangat, merasa lelah hati dan
pikiran yang membuat tubuh menjadi terasa sakit dan emosi jadi labil.
Cara orang menghadapi situasi ini pun berbeda-beda. Sebagian orang
ada yang terlalu memikirkan rasa sakit atau lelah yang dialaminya. Tapi
ada juga yang mencoba melawannya dan menolak terperangkap dalam situasi
yang hanya akan membuat jiwa dan pikirannya bertambah suram. Orang tipe
kedua, akan segera mencari jalan keluar dan mencoba mencari keseimbangan
bagi fisik dan emosinya.
Misalnya, dengan menekuni kembali hobi
lamanya, bersilaturahim ke rumah kerabat atau sahabat, melakukan
olahraga yang digemarinya, membaca buku, membaca Quran atau mendengarkan
lagu-lagu nasyid favorit mereka.
Merasa lelah fisik atau mental itu
hal yang biasa dialami setiap manusia. "Kita harus mampu menerimanya,
bukan melawannya sekuat tenaga.
Menerima bukan berarti kita tenggelam
dalam situasi kelelahan itu, tapi berusaha mencari keseimbangan dan
menetralisirnya," kata teman saya itu ketika suatu hari secara tak
sengaja sedang mendengarkan curhat seorang teman yang merasa dirinya
mentok kanan kiri yang membuat fisik dan mentalnya "down".
Teman itu memang bukan seorang psikiater yang memahami
masalah-masalah kejiwaan secara mendalam. Tapi, diantara kami, ia adalah
sosok orang yang penyabar, bijak dan selalu mampu memberikan nasehat
atau semangat.
Rasa sakit menjadi pertanda ada yang salah dalam tubuh kita,
tapi bisa juga karena pengaruh dari pikiran kita yang tidak seimbang.
Kita cenderung terfokus pada rasa sakit itu saja, dan kadang lupa bahwa
ada Allah Swt. tempat kita meminta pertolongan saat kita berada pada
saat-saat yang tersulit sekalipun.
Bukankah dalam Al-Quran disebutkan, "Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan," (QS. Al-Insyirah : 6).
Dalam kehidupan, setiap manusia pasti akan mengalami hal-hal negatif
dan tentu saja hal-hal positif. Tapi semua itu datangnya dari Allah Swt.
untuk sesuatu yang lebih baik. Seperti juga kesenangan dan kesusahan,
dua-duanya sebenarnya ada ujian yang diberikan Allah Swt. bagi umat
manusia agar selalu mengingat-Nya, baik dalam kondisi senang maupun
susah.
"Bahkan kematian mengandung hal yang positif. Bunga dan pohon yang
tumbuh di atas sebuah makam, tidak ada yang sia-sia," kata teman yang
dikenal bijak tadi.
"Kematian memang menyebabkan rasa kehilangan dan kesedihan yang
mendalam. Tapi kesedihan itu membuat hati kita menjadi lembut. Bahkan
lebih lembut dibandingkan ketika kita mendapatkan kebahagiaan.
Kebahagiaan kadang justru membuat hati orang keras, senang terlalu
berlebihan dan kadang membuat hati kita jadi tidak peka," sambungnya.
Manusia hidup dalam dunianya sendiri dalam hal bagaimana ia memandang
suatu hal, merespon, membuat keputusan atau bermimpi akan sesuatu yang
diinginkannya. Bagaimana hasil yang kita dapat, tergantung pada
keputusan yang kita buat, niat awal dan upaya yang dilakukan untuk
mendapatkan yang terbaik.
Pada saat kita merasakan sakit, kadang kita merasa menjadi orang yang
paling menderita, tanpa menyadari bahwa bisa jadi masih ada orang lain
yang kondisinya lebih buruk dari apa yang kita alami sekarang.
Rasa
sakit, entah itu fisik maupun mental, sejatinya akan mengasah kepekaan
kita agar bisa ikut merasakan penderitaan orang lain. Lebih dari itu,
senantiasa membuat kita bersyukur pada Allah Swt. meski sedang diuji
dengan rasa sakit itu.
Hidup tak selamanya berjalan mulus. Allah Swt. menciptakan sesuatu
dengan dua sisi. Ada sakit pasti ada obatnya. Ada senang ada sedih.
Kadang, kita baru bisa menghargai apa itu kejujuran atau kebahagiaan
setelah kita mengalami hal yang sebaliknya, mengalami bagaimana rasanya
dikhianati orang atau mengalami hal-hal yang membuat kita merasa sangat
sedih.
Semua itu pada dasarnya mengajarkan kita untuk belajar "survive"
di tengah himpitan kesulitan, bahwa semua kesulitan itu pada saatnya
akan berakhir dan berubah menjadi hal-hal positif dalam diri kita. Anda
setuju?
Penulis: Rubina Zalfa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar