Jurnalis Independen: Walau Pemilihan Umum Presiden Indonesia (th 2014) masih Dua tahun lagi, tetapi bagi Jurnalis Independen tahun 2014 itu tidak terlalu lama. Pada pemilu yang akan datang ini sangat menentukan bagi langkah bangsa dan negara. Sebab di tahun itu kebangkitan sekaligus merupakan tahun keterpurukan bagi negeri yang kita cintai ini.
Sudah 6 orang pemimpin sejak kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia di Proklamirkan menduduki jabatan sebagai Presiden. Dari 6 orang pemimpin yang menjabat sebagai Presiden, masih belum juga mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat negeri ini. Selalu saja ada golongan masyarakat yang "dimarginalkan" atau "menerima ketidakadilan" dari Sang Presiden di Era kekuasaannya masing-masing. Tentu saja hal itu terlepas dari sistem yang diterapkan dalam proses pemilihan Presiden yang dianut oleh pemerintah kita.
Yang jelas, selama berdirinya Republik hingga detik ini, kondisi masyarakat, bangsa dan negara, selalu dililit berbagai masalah.
Ketika jaman kekuasaan Soekarno sebagai Presiden Pertama RI, negeri ini dililit persoalan keamanan yang mendapat rongrongan baik dari dalam negeri bahkan luar negeri. Persoalan pemberontakan, kemiskinan dan ketidakpuasan sebagian kelompok masyarakat menjadikan negeri ini bagaikan kapal yang selalu diterjang ombak dan badai.
Sebelum masa Kepresidenan Soeharto, resmi diakui masyarakat dalam dan luar negeri, negeri ini terpuruk dengan menumpahkan banyak darah masyarakat, bahkan banyak rakyat yang tak berdosa menjadi "tumbal keinginan Soeharto menuju RI1".
Berubahnya pemikiran kepemerintahan dan keberanian sekaligus kejenuhan rakyat akan pemimpin yang diktator, membuat naiknya Baharudin Jusuf Habibi menjadi orang nomor satu negeri ini walau hanya seumur jagung dan "melepaskan Timor-Timur" (lewat Referendum rekayasa Barat) dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Situasi transisi dari demokarasi Pancasila menuju demokrasi ala barat murni, menaikkan sosok tokoh agama dari NU, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke tampuk kekuasaan Presiden RI ke 4.
Dengan segala gonjang-ganjing demokrasi dan politik yang belum stabil dan jelas arahnya, Megawati Soekarno Putri naik menduduki RI 1 menggantikan Gus Dur. Walaupun Mega adalah anak seorang tokoh Proklamator dan Presiden Pertama RI Ir. Soekarno, tetapi Megawati sebagai Pemimpin Tertinggi Negara sama seperti pendahulunya yaitu pemerintahan Soeharto tidak bisa melindungi aset-aset rakyat dan negara agar tidak jatuh ke tangan imperialis Kapitalis ekonomi dari dalam negeri dan Eropa.
Akibat dari salah satu kelengahan itu, Megawati gagal menduduki kursi RI 1 melewati pemilihan langsung Presiden yang pertama dilakukan di negeri ini. Mega harus menyerah saat ditantang oleh mantan menterinya yang disebut oleh Taufik Kiemas suaminya sebagai anak TK, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kalah itu berpasangan dengan seorang konglomerat Yusuf Kala.
Sistem demokrasi murni ala Barat yang dilaksanakan Indonesia dan menaikkan SBY-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden bukan tanpa berarti tanpa "cela". Pelaksanaan Permilu secara Demokrasi ala Barat yang dikatakan sebagai pesta rakyat menelan biaya yang tidak sedikit. Biaya besar yang ditanggung oleh pemerintah dan kandidat presiden dalam pelaksanaan pemilu membuat dampak yang sangat mengerikan, korupsi merajalela.
Walau slogan Pemerintah SBY (dua kali masa pemerintahannya) memberantas korupsi, bahkan pada masa SBY inilah dibentuk sebuah lembaga anti korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diciptakan SBY, namun korupsi bukannya mereda bahkan justru semakin merajalela. Justru dalam pemerintahan SBY jilid 2 (SBY-Boed), penegakkan hukum, keadilan sosial, lingkungan dan pengelolahan Sumber Daya Alam mengalami titik kulminasi paling bawah. Akibatnya rakyat menjadi tidak mudah lagi terkelabui dengan politik pencitraan yang dilakukan SBY, bahkan buku mantan menteri luar negeri AS semasa Pemerintahan Presiden George W Bush, Condoleeza Rice pun tak mampu mengelabui, menyembunyikan kebobrokan SBY dan pemerintahannya pada rakyat Indonesia.
Karenanya, agar masyarakat tidak terjebak oleh tokoh palsu yang hanya memimpin negeri ini tanpa dasar moral, kejujuran dan keberpihakan kepada NKRI dan Pancasila, serta UUD 1945, inilah Empat Tokoh dari Jurnalis Independen yang layak menjadi bahan renungan pada pemilu 2014 mendatang.
Dahlan Iskan (lahir tanggal 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur), dalam bukunya Ganti Hati ada cerita menarik tentang tanggal kelahiranya, Dahlan Iskan menuturkan bahwa tanggal tersebut dikarang sendiri oleh pak Dahlan karena pada waktu itu tidak ada catatan kapan dilahirkan dan orang tuanya juga tidak ingat tanggal kelahirannya. Dan kenapa pak Dahlan memilih tanggal 17 Agustus, karena bertepatan dengan tanggal kemerdekaan Indonesia dan supaya mudah diingat.
Dahlan kecil dibesarkan dilingkungan pedesaan dangan serba kekurangan, akan tetapi sangat kental akan suasana religiusnya. Ada cerita menarik yang saya baca pada buku beliau Ganti Hati yang menggambarkan betapa serba kekurangannya beliau ketika waktu kecil.
Disitu diceritakan Dahlan kecil hanya memiliki satu celana pendek dan satu baju, tapi masih memiliki satu sarung!. Dan dengan joke-joke pak Dahlan yang segar beliau menceritakan kehebatan dari sarung yang dimiliki. Disini Dahlan menceritakan bahwa sarung bisa jadi apa saja. Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan sampai menjadi alat untuk menakut-nakuti.
Kalau Dahlan kecil lagi mencuci baju, sarung bisa dikemulkan pada badan atasnya. Kalau lagi mencuci celana, sarung bisa dijadikan bawahan. Kalau lagi cari sisa-sisa panen kedelai sawah orang kaya, sarung itu bisa dijadikan karung.
Kalau perut lagi lapar dan dirumah tidak ada makanan, sarung bisa diikatkan erat-erat dipinggang jadilah dia pengganjal perut yang andal. Kalau mau sholat jadilah dia benda yang penting untuk menghadap Tuhan. Kalau lagi kedinginan, jadilah dia selimut. Kalau sarung itu sobek masih bisa dijahit. Kalau ditempat jahitan itu robek lagi, masih bisa ditambal. Kalau tambalanya pun robek, sarung itu belum tentu akan pensiun.
Masih bisa dirobek-robek lagi, bagian yang besar bisa digunakan sebagai sarung bantal dan bagian yang kecil bisa dijadikan popok bayi. Ada pelajaran yang bisa kita petik dari cerita beliau, bahwa apapun kondisi kita, baik kurang, cukup atau lebih kita harus tetap bersyukur, sabar dan harus menikmati semuanya dengan apa adanya.
Dahlan Iskan Bersama Jawa POS
Jawa Pos didirikan oleh The Chung Shen pada 1 Juli 1949 dengan nama Djawa Post. Saat itu The Chung Shen hanyalah seorang pegawai bagian iklan sebuah bioskop di Surabaya.
Karena setiap hari dia harus memasang iklan bioskop di surat kabar, lama-lama ia tertarik untuk membuat surat kabar sendiri. Setelah sukses dengan Jawa Pos-nya, The Chung Shen mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan Belanda.
Bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar tidak selamanya mulus. Pada akhir tahun 1970-an, omzet Jawa Pos mengalami kemerosotan yang tajam. Tahun 1982, oplahnya hanya tinggal 6.800 eksemplar saja. Koran-korannya yang lain sudah lebih dulu pensiun.
Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen akhirnya memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Dia merasa tidak mampu lagi mengurus perusahaannya, sementara tiga orang anaknya lebih memilih tinggal di London, Inggris.
Pada tahun 1982, Eric FH Samola, waktu itu adalah Direktur Utama PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) mengambil alih Jawa Pos. Dengan manajemen baru, Eric mengangkat Dahlan Iskan, yang sebelumnya adalah Kepala Biro Tempo di Surabaya untuk memimpin Jawa Pos. Eric Samola kemudian meninggal dunia pada tahun 2000.
Karir Dahlan Iskan dimulai sebagai calon reporter sebuah surat kabar kecil di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 1975. Tahun 1976, ia menjadi wartawan majalah Tempo. Sejak tahun 1982, Dahlan Iskan memimpin surat kabar Jawa Pos hingga sekarang.
Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 ekslempar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar.
Lima tahun kemudian terbentuk Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia.
Pada tahun 1997 ia berhasil mendirikan Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya, dan kemudian gedung serupa di Jakarta. Pada tahun 2002, ia mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru.
Akhir tahun 2009, Dahlan diangkat menjadi direktur utama PLN menggantikan Fahmi Mochtar yang dikritik karena selama kepemimpinannya banyak terjadi mati lampu di daerah Jakarta.
Selain sebagai pemimpin Grup Jawa Pos, Dahlan juga merupakan presiden direktur dari dua perusahaan pembangkit listrik swasta: PT Cahaya Fajar Kaltim di Kalimantan Timur dan PT Prima Electric Power di Surabaya.
Dahlan kemudian diangkat menjadi menteri BUMN oleh Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga sekarang, jabatan itu masih disandangnya. Sepak terjangnya dalam memimpin BUMN, penuh dengan kesederhanaan yang tidak pernah ditampilkan oleh menteri sebelumnya. Dahlan tak mau dikawal saat melakukan "kunjungan kerja". Dahlan bahakn naik angkot dan ojek saat hendak mengikuti rapat dengan presiden di Bogor. Dahlan juga naik kereta api layaknya seorang penumpang rakyat jelata.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar