Rabu, 04 Januari 2012

Belajar dari Kasus Mesuji: Atasi Keserakahan Penguasaan SDA, Perlu Pencabutan UU Minerba, Ijin Pertambangan dan Referendum

Jurnalis Independen: Kejadian di Bima, Nusa Tenggara Barat, menyingkap banyak kejanggalan dalam tata-kelola Sumber Daya Alam (SDA). Diantaranya: pemberian ijin usaha pertambangan yang tidak melalui konsultasi rakyat.
Dalam kasus itu, juga banyak kasus serupa di daerah lain, kepala daerah bertindak "Tukang Loak SDA" atau  "tukang obral SDA". Ini dimungkinkan oleh kehadiran UU yang sangat pro kepada modal asing. Sebut saja: Undang Undang No 4/2009 tentang Minerba.

Dalam pasal 37 UU No 4/2009 tentang Minerba disebutkan bahwa Ijin Usaha Pertambangan diberikan oleh bupati/ wali kota jika wilayah tambang berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota.

Belakangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik juga angkat bicara. Katanya, kendati kewenangan pemberian IUP ada di tangan Bupati/kepala daerah, tetapi proses pemberian ijin harus melalui konsultasi dengan DPRD dan masyarakat setempat.

Pada kenyataannya, hampir semua ijin pertambangan di Indonesia tidak melalui konsultasi dengan rakyat. Adanya konsultasi dengan aparat pemerintah (kepala desa dan kepala dusun) dan segelintir tokoh masyarakat. Sehingga, ketika ijin pertambangan itu sudah mau beroperasi, terkadang berhadapan dengan protes rakyat.

Protes rakyat itu sangat dimaklumi dan sangat konstitusional. Sebab, di mata konstitusi kita, pemilih sah kekayaan alam negeri ini adalah rakyat. Apalagi, jika proses perijinan pertambangan itu merampas hak-hak rakyat di sekitarnya.

Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) menyebutkan: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Di sini, makna "dikuasai oleh negara"—meminjam pendapat Bung Hatta—bukan berarti negara sebagai usahawan atau ondernemer. Di sini, kekuasaan negara hanya sebagai pembuatan peraturan guna melancarkan jalannya ekonomi.

Dalam konstitusi kita juga terkandung azas: setiap penyelenggaran kegiatan ekonomi, baik yang diselenggarakan langsung oleh negara maupun swasta, mesti mendatangkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Tapi pada kenyataannya sering rakyat harus menderita lantaran kegiatan ekonomi itu.

Bila diperhatikan, model ijin pertambangan ala UU Minerba itu sangat berbau neoliberal. Dengan menumpangi semangat otonomi daerah, pihak kolonialis dan rejim komprador dan antek imperialis di dalam negeri berharap bisa memangkas birokratisme dalam pemberian ijin usaha pertambangan.

Model ala kolonial ini harus dihentikan. UU Minerba harus segera dicabut karena bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD 1945 yang asli. Selanjutnya, untuk tata kelola pertambangan di Indonesia, perlu diusulkan:

Pertama, menuntut pemerintah segera mencabut semua ijin pertambangan yang sudah terlanjur diberikan kepada perusahaan swasta (nasional dan asing). Langkah pencabutan ini adalah langkah menghentikan konflik yang muncul di berbagai daerah dan sekaligus memulihkan martabat rakyat.

Kedua, setiap pemberian ijin pertambangan harus melalui konsultasi dengan rakyat: referendum. Di sini, pemerintah harus menanyakan kepada rakyat: apakah mereka setuju atau tidak jika SDA itu dikelola oleh swasta (nasional atau asing)? Jika, dalam referendum rakyat menyatakan tidak setuju, maka ijin pun tidak boleh dikeluarkan.

Jika pemerintah menolak menghapus UU Minerba—dan pastinya, itu sikap pemerintah yang berwatak komprador dan antek imperilais, maka gerakan rakyat harus mengambil inisiatif sendiri untuk menggelar referendum: apakah rakyat setuju atau tidak dengan keberadaan perusahaan tambang di daerahnya.

Memang, secara hukum, referendum tidak diakui dan tidak diatur dalam ketentuan hukum kita sekarang ini. Akan tetapi, referendum juga bukan sesuatu yang dilarang oleh Undang-Undang. Kita bisa menyebut referendum sebagai metode bukan legal (tidak diatur dalam hukum) tetapi juga tidak illegal (tidak dilarang atau terlarang oleh hukum kita).

Metode referendum sumber daya alam ini pernah dipraktekkan oleh Bolivia pada tahun 2004. Saat itu, gerakan rakyat Bolivia  baru saja bangkit memprotes privatisasi perusahaan gas negara oleh pihak asing. Lalu, atas tekanan gerakan rakyat, pemerintah menyelenggarakan referendum. Meskipun tingkat abstain sangat tinggi, karena tidak semua gerakan rakyat setuju dengan referendum ini, tetapi hasilnya cukup positif: mayoritas pemilih setuju gas dikelola oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Contoh lainya, Frente Amplio, sebuah front kiri dan gerakan sosial di Uruguay, juga menggunakan referendum untuk membendung gempuran neoliberal. Referendum diselenggarakan pada 8 Desember 2002, yang mencoba memutuskan apakah mencabut atau mendukung UU yang membolehkan kemitraan perusahaan minyak negara dengan asing.
Frente Amplio berhasil mengumpulkan 700.000 tandatangan yang diperlukan. Meskipun kalah dalam referendum itu, tetapi langkah ini telah menjadi jembatan bagi Frente Amplio untuk menarik dukungan rakyat. (mnt)

Tidak ada komentar: